PENDIDIKAN POLITIK PARTISIPATORIS

Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI
Dalam salah satu berita koran, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat sekaligus bekas Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera–yang dulu disebut Partai Keadilan saja–Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa deklarasi pencalonan presiden 2009 oleh beberapa tokoh (Megawati, Gus Dur, dan Sutiyoso) merupakan “kegaduhan berpolitik”. Hidayat menilai pencalonan itu mengganggu kinerja pemerintah, lebih khusus lagi kinerja Kabinet Indonesia Bersatu.
Istilah “kegaduhan berpolitik” atau saya singkatkan lagi menjadi “kegaduhan politik” barangkali frase baru yang menarik untuk kita cermati bersama. Pertama sekali, pernyataan Hidayat Nur Wahid tersebut berkesan mengandung muatan politik yang mendalam dan berskala besar. Semacam ada skenario untuk menyudutkan para tokoh yang sudah berani menyatakan diri maju pada Pemilu 2009 yang akan datang. Sebab, kalau disebut kegaduhan politik, pencalonan itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kinerja pemerintah atau dengan proses bernegara. Kalau misalnya saja pemerintah terganggu, itu jelas bukan karena deklarasi yang dilakukan Sutiyoso atau Megawati, melainkan karena memang ada pihak di lingkaran pemerintah yang barangkali kebakaran jenggot.
Tentu saja bukan hal yang mustahil atau aneh kalau ada pihak tertentu yang kebakaran jenggot dengan adanya deklarasi pencalonan yang dilakukan sejumlah tokoh selama ini. Meskipun survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2 Oktober lalu menunjukkan popularitas Sutiyoso hanya 1 persen (Jusuf Kalla juga cuma 4 persen), di mana angka itu jauh tertinggal dari popularitas Yudhoyono (35,5 persen) dan Megawati Soekarnoputri (28 persen), pencalonan mereka merupakan manuver yang patut diperhitungkan untuk disebut “lawan” pada 2009.
Tampak dari gambaran ini bahwa pencalonan presiden yang sudah cukup marak mencemaskan kelompok politik tertentu, sehingga timbullah penilaian bersifat negatif seperti “kegaduhan berpolitik”. Namun, kalau kita konsisten berbicara tentang demokrasi, kalau kita mau melihat segala hal dari sudut pandang demokrasi, pencalonan presiden yang marak itu jelas bukan kegaduhan, melainkan justru dinamika politik yang perlu dihargai. Dinamika politik yang menyegarkan dan menyemarakkan demokrasi kita. Pencalonan tersebut malah memberikan kontribusi yang positif bagi rakyat yang akan memilih, karena rakyat dari awal diberi pilihan, agar rakyat dapat menilai dan menentukan pilihan jauh-jauh hari.
Karena itu, saya justru menilai pencalonan presiden tersebut merupakan salah satu bentuk pendidikan politik partisipatoris. Yaitu bentuk pendidikan politik bagi masyarakat, di mana masyarakat dilibatkan secara tanpa paksaan dan dengan cara yang terbuka dan bebas dalam proses politik demokrasi. Dengan membuka diri bagi masyarakat, dan dengan terus terang mau menjadi presiden untuk rakyat, para tokoh yang mendeklarasikan pencalonannya justru melakukan pendidikan politik. Pendidikan tentang perlunya kesempatan yang panjang menilai calon pemimpin, karena menjadi pemimpin bukan sekadar mengandalkan popularitas.
Hari ini media massa bisa melahirkan para bintang yang popularitasnya sangat tinggi hanya dalam hitungan satu malam, tapi untuk melahirkan pemimpin sejati yang tepat di hati rakyat tentu membutuhkan proses yang panjang. Maka popularitas bukan andalan utama, bukan pula jaminan. Yang paling penting adalah bagaimana menjadi pemimpin yang memiliki hati untuk rakyat, pemimpin yang mengerti dan merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Pemimpin yang demikianlah yang enggan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyatnya.
Lantas bagaimana rakyat bisa mendapatkan pemimpin yang sejati itu? Di sinilah pentingnya partai politik memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memahami, mengenal, dan mempelajari para calon pemimpinnya. Jangan sampai rakyat selalu dibohongi dengan menyodorkan “kucing dalam karung” pada setiap pemilihan umum. Dalam hal inilah pencalonan presiden yang sudah diumumkan sejumlah pihak selama ini dinilai amat positif untuk dinamika demokrasi di Indonesia. Rakyat diberi kesempatan mengenal dan mendalami karakter serta jiwa para calon pemimpinnya.
Apa hubungannya dengan kegaduhan politik? Politik kita dari awal hingga tahun yang ketiga sekarang sudah penuh dengan kegaduhan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak pada 2005, menciptakan kegaduhan yang besar. Begitu juga dalam kebijakan lain seperti dukungan terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai nuklir Iran, kasus meluapnya lumpur Lapindo di Jawa Timur, kematian aktivis hak asasi manusia Munir yang hingga detik ini menjadi beban moral yang besar buat bangsa Indonesia di mata internasional, dan masih banyak persoalan lain. Ini semua yang disebut kegaduhan politik. Bukan pencalonan presiden yang merupakan hak setiap warga negara sekaligus kontribusi untuk mendorong dinamika politik.

Leave a comment