70 Tahun Tragedi Nanking

Josef Purnama Widyatmadja

Tahun 2007 adalah peringatan tujuh puluh tahun jatuhnya Kota Nanking (Nanjing) ke tangan tentara Jepang. Peringatan kali ini istimewa karena di beberapa kota besar di dunia akan diluncurkan sebuah film berjudul “Nanking: Even in the Darkness of Times, There is Light” produksi A Ted Leonsis dan disutradarai Bill Guttentag dan Dan Sturman. Film tersebut dibuat berdasarkan buku karya Irish Chang berjudul The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II (1997).

Pada 9 November 2007 tiga tahun kematian Irish Chang. Ia ditemukan mati di mobilnya di Santa Clara dalam keadaan kepala tertembak. Dalam usia 36 tahun (lahir 1968) ia meninggalkan seorang suami dan seorang anak lelaki berusia dua tahun. Belum jelas apakah dia mati karena bunuh diri atau korban konspirasi pembunuhan sehubungan dengan penelitian dan penerbitan bukunya.

Buku Chang menjadi best seller dan membuka mata pembacanya adanya holocaust di Asia selama Perang Dunia II. Sebelumnya, orang hanya mengenal satu holocaust di Auswitch, kisah pembantaian orang Yahudi oleh Nazi Jerman.

Selain buku Chang, dua buku lainnya yang membahas tentang tragedi Nanking. Yang pertama The Good Man from Nanking: The Diaries of John Rabe” (1998) disunting oleh John E Woods. John Rabe lahir di Hamburg 23 November 1882, anggota Nazi, dan Ketua International Safety Zone Nanking yang menyelamatkan tak kurang dari 150.000 orang. Buku kedua adalah American Goddess at the Rape of Nanking: The Courage of Minnie Vautrin ( 2000) ditulis oleh Hua ling Hu. Vautrin adalah misionaris dari Illinois, Amerika Serikat. Ia adalah Kepala Sekolah Jinling Women College yang menyelamatkan lebih kurang 50.000 orang di kampusnya. Kedua orang tersebut diakui oleh pemerintah Tiongkok komunis dan Koumintang sebagai orang asing yang berjasa besar kepada penduduk Nanking.

Dalam pembantaian Nanking, bukan jenderal atau tentara yang dikenang sebagai pahlawan, tapi dua orang asing, yaitu John Rabe dan Minnie Vautrin. Di samping Rabe dan Vautrin masih ada beberapa misionaris Amerika yang terlibat pekerjaan kemanusiaan, di antaranya, Rev John Magee, George Fitch dari YMCA Nanking, dan Robert Wilson, dokter bedah. Kepahlawanan seseorang di tengah perang bukan karena mereka jagoan perang yang dimakamkan di taman pahlawan, tapi karena mereka berani berkorban atas dasar panggilan kemanusiaan.

Strategi Penaklukan

Pembantaian penduduk sipil oleh militer sering tak terhindarkan karena itu dianggap bagian dari strategi penaklukan sebuah kota. Seperti yang dikemukakan oleh seorang pimpinan tentara Jepang waktu itu, tidak mungkin 50.000 tentara Jepang menguasai Nanking dengan sejuta manusia Tiongkok yang patriotik. Jalan satu-satunya menguasai kota adalah bunuh semua. Banyaknya korban selama invasi Jepang ke Nanking dilukiskan oleh Chang sebagai pembantaian manusia yang tidak ada duanya dalam sejarah dunia. Bukan hanya dalam angka, tapi juga dalam hal derajat cara yang dipakai untuk pembunuhan.

Dalam bukunya, Chang menggambarkan pembantaian di Nanking melebihi korban ketika tentara Roma menyerbu Kota Carthago di Afrika, yang berjumlah 150.000 orang. Kalau korban pembunuhan Nanking dijajarkan bersambung akan merentang jarak dari Nanking ke Hangchow yang berjarak 100 mil.

Jumlah korban pembantaian di Nanking menimbulkan perdebatan sejarah. Chang memperkirakan korban sekitar 350.000 orang, hampir mendekati jumlah yang diklaim oleh pemerintah Tiongkok dan Koumintang. Sedangkan pihak Jepang sampai saat ini tidak saja memperkecil jumlah korban (sekitar 40.000), bahkan cenderung menyangkal bahwa pembantaian itu terjadi. Para kelompok kanan Jepang menganggap pembantaian Nanking adalah hasil rekayasa dari pihak musuh Jepang, khususnya Tiongkok komunis dan nasionalis.

Chang tidak saja mengkritik Kaisar Hirohito yang puas dan menyambut jatuhnya Nanking oleh tentara Jepang tanpa mempedulikan korban. Tapi, Chang juga mengecam baik pemerintah Tiongkok yang tidak pernah serius meminta pemerintah Jepang untuk meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada korban. Lebih lanjut Chang menganggap penyangkalan fakta pembantaian oleh pihak Jepang sebagai “pembantaian korban kedua.”

Di tengah keganasan perang itulah John Rabe bersama Minnie Vautrin tampil sebagai pahlawan kemanusiaan mengalahkan kepahlawanan tentara Jepang dan Tiongkok. Mereka bukan pahlawan yang menyandang senjata yang mampu menghilangkan nyawa dan kehidupan. Mereka adalah pahlawan bersenjatakan cinta dan memancarkan kerlipan cahaya di tengah kegelapan dan berbagi hidup dengan mereka yang menjadi korban.

Beban Sejarah

Peristiwa “The Rape of Nanking” terjadi ketika Jepang menduduki Tiongkok pada 1937 -1945. Jepang melakukan invasi ke Tiongkok ketika sedang terjadi perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis. Dengan menggunakan insiden Luguoqiao/Marco Polo Bridge di Kota Beijing pada 7 Juli 1947, Jepang melakukan invasi ke Tiongkok mulai dari Manchuria, Shanghai hingga Nanking, yang menjadi markas besar pemerintah Chiang Kaishik.

Akibat sejarah masa lalu, hubungan Jepang dengan Tiongkok diwarnai prasangka dan beban sejarah. Jepang pernah mengalahkan Tiongkok ketika dinasti Ching berkuasa pada 1894-1895. Akibat perang ini pemerintah Ching kehilangan Korea, Provinsi Liaoning, dan Kepulauan Pescadores, termasuk Taiwan dan Diaoyu. Setelah Perang Dunia II berakhir, Diaoyu tetap diklaim dan diduduki Jepang.

Di samping sejarah masa lalu, kedua bangsa itu bersaing dalam berebut pengaruh dan sumber alam. Selama masa PM Yunichiro Koizumi hubungan Jepang dan Tiongkok sangat buruk. Tapi, dengan pergantian PM Jepang hubungan Jepang dengan Tiongkok mulai menunjukkan perbaikan. Beberapa pemimpin Jepang telah menyampaikan ucapan penyesalan dan permintaan maaf di berbagai kesempatan. Tapi, sayang ucapan maaf belum dalam kapasitas resmi sebagai negara dan pemerintah Jepang.

Film yang diperankan bintang kondang dari Amerika, Prancis, Jerman, Tiongkok, dan Jepang, yang biayanya didukung oleh pemerintah Tiongkok tentu bisa menimbulkan banyak interpretasi. Bisa saja film itu dianggap sebagai film propaganda Tiongkok untuk membesar-besarkan sejarah pembantaian Nanking. Tapi, pihak produser berharap bahwa film itu jangan diartikan sebagai film yang anti-Jepang, tapi film antiperang dan menonjolkan kemanusiaan.

Pembuatan film yang berdasarkan tragedi Nanking seyogyanya menjadi bahan renungan bahwa setiap bangsa memiliki noda hitam dalam sejarah masa lalunya. Dan sejarah masa lalu merupakan peringatan bagi semua insan agar peristiwa serupa tak terulang. Korban, saksi, dan pelaku peristiwa pembantaian telah tiada. Panggilan generasi masa kini bukan untuk menyangkal perbuatan yang telah dilakukan pendahulu, melainkan untuk menerima sejarah pahit masa lalu serta membalut luka dari korban maupun keturunannya masa kini. Dunia tidak makin damai dengan menyangkal sejarah masa lalu ataupun mengumbar dendam yang tidak ada akhirnya.

Penulis adalah pengamat masalah internasional

Leave a comment