Pendidikan Akal Sehat

Mohammad Abduhzen

Meski Republik Indonesia sudah melampaui usia 62 tahun, akal sehat bangsa ini terasa kian tumpul. Banyak solusi persoalan secara logika tidak tepat dan mengherankan.

Perjanjian kerja sama pertahanan (defence cooperation agreement/DCA) dengan Singapura, lumpur Lapindo, korupsi dana Departemen Kelautan dan Perikanan, seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan ujian nasional (UN) adalah contoh yang dapat disebut.

Mengherankan, karena berbagai kebijakan menunjukkan struktur berpikir yang kacau, seolah tidak mampu membedakan yang baik dan buruk, menguntungkan dan merugikan. Kasus UN, misalnya, sebagai solusi peningkatan mutu pendidikan, jelas menggambarkan penalaran non causa pro causa (bukan sebab disangka sebab).

Pada tingkat grass-roots, fenomena irasionalitas kian nyata. Demonstrasi brutal, sinetron klenik, tayangan kriminalitas, dan infotainment perceraian mendedah masyarakat setiap saat, memberi referensi keberingasan dan mistik sebagai solusi problem.

Situasi mental bangsa ini jelas berkorelasi dengan pendidikan nasional yang diupayakan selama ini. Filosofi pendidikan kita memang mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi strategi pembelajaran tidak mementingkan pengembangan kemampuan berpikir. Kurikulum dan metodologi pendidikan nasional dirancang hanya untuk mengisi pikiran dengan seabrek fakta pengetahuan, dan tidak memberi cukup ruang bagi tumbuhnya kemampuan menalar sehingga pembelajaran di sekolah tidak mencerahkan.

Pentingnya pengembangan kemampuan berpikir karena pemikiran merupakan kemudi dari sebagian besar perilaku manusia (Slamet Imam Santoso, 1987). Keimanan, moralitas, dan nasionalisme mudah menjadi fanatisme sesat dan menyesatkan jika tak dilandasi nalar yang sehat.

Mengajarkan berpikir

Berpikir secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif dengan pengetahuan amat diperlukan. Ada nuansa makna antara mengajarkan berpikir dan mengisi pikiran.

Mengisi pikiran maksudnya adalah menyampaikan sejumlah data pengetahuan agar dapat digunakan sebagai bahan untuk berpikir. Dalam pengertian ini, otak merupakan tempat penyimpanan bahan-bahan yang setiap saat akan dikeluarkan kembali. Pengajaran ini, menurut taksonomi Bloom, meliputi mengenal, mengingat, mendefinisikan, dan mengerti. Sekolah di Indonesia kebanyakan mengutamakan model pembelajaran ini.

Model transfer of knowledge itu implisit memperkenalkan logika disiplin ilmu yang dipelajari murid. Ketika belajar sains, mereka dituntun kepada berpikir pola induktif, sementara saat mendalami matematika dan bahasa mereka dibawa ke berpikir deduktif. Pembelajaran seperti ini hanya menghasilkan kemampuan berpikir tingkat rendah, linier, sulit ditransformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

Mengajarkan berpikir ialah dengan berpikir. Seperti berenang, murid tidak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi terlibat aktif melahirkan ide-idenya. Peran guru dan dukungan lingkungan belajar yang kondusif adalah inti pengajaran berpikir.

Peran guru antara lain menciptakan iklim kelas dengan murid aktif belajar dan kepercayaan dirinya dikuatkan. Guru memberi stimulus dan waktu untuk berpikir melalui kerelaan mendengarkan dan menghargai gagasan murid. Meski pembelajaran kadang bertele-tele, murid harus dibawa kepada proses melakukan (mengalami), mengartikulasikan, menganalisis, dan menyimpulkan. Daur ini akan menjadi medan inquiry yang melahirkan aneka pertanyaan yang harus direspons positif oleh guru.

Beberapa respons yang mengandung pengajaran berpikir adalah respons reflektif, yaitu memberi tempo agar murid berpikir introspektif. Respons analitik memberi peluang untuk membandingkan dan mengategorikan, sedangkan respons defiansi adalah menantang murid untuk bereaksi dan mengelaborasi tema.

Mengerdilkan akal sehat

Para guru harus waspada terhadap respons yang menghambat dan membatasi mekarnya kemampuan berpikir. Memotong pembicaraan; langsung menyetujui/menolak pendapat murid; atau langsung menunjukkan apa yang harus dilakukan, merupakan penghambat yang dapat menutup proses berpikir.

Adapun reaksi guru yang menyakitkan dengan menertawakan, mengejek, mengolok-olok atau sarkastisme akan membatasi proses berpikir karena melemahkan rasa percaya diri, menumbuhkan rasa takut, ragu-ragu, dan malu berpendapat.

Praktik pendidikan kita amat kaya dengan perilaku yang mengerdilkan akal sehat. Penghormatan perasaan, ruang berpendapat jarang diberikan kepada murid. Di perguruan tinggi, mahasiswa diperlakukan layaknya kanak-kanak sehingga tidak heran para sarjana dan pemimpin bangsa ini kebanyakan infantil.

Mengembangkan kemampuan berpikir merupakan paradigma pendidikan yang mencerdaskan. Ini dapat terjadi jika murid dimuliakan sebagai manusia seutuhnya.

Mohammad Abduhzen Sekretaris Institute for Education Reform Universitas Paramadina Jakarta; Koordinator Education Forum

Leave a comment