Category Archives: Uncategorized

Buffett’s State of the World: There’s Folly in Wonderland

Buffett’s State of the World: There’s Folly in Wonderland

Warren Buffett’s annual letter to shareholders, which was released Friday, has become something of a business institution, with the hope that he will shed light on his investments.

Search

 

Konvensi Antikorupsi ASEAN

Todung Mulya Lubis

Hampir semua negara Eropa Barat mendapat score Indeks Persepsi Korupsi yang tinggi, menurut survei tahunan Transparency International. Itu berarti tingkat korupsi di negara-negara Eropa Barat umumnya rendah. Namun, itu bukan berarti tidak ada korupsi.

Berbagai media mewartakan, korupsi di negara-negara Eropa Barat termasuk yang dilakukan di negara-negara lain tempat investasi dilakukan. Konon, perusahaan raksasa Jerman, Siemens, sedang dalam investigasi karena diduga melakukan penyuapan dan/atau korupsi dalam praktik bisnisnya di negara mereka berinvetasi.

Siemens jelas bukan sendirian. Pasti ada perusahaan multinasional lainnya. Kekhawatiran utama para pengusaha adalah bagaimana mereka bersaing dan mendapatkan proyek di negara-negara Asia dan Afrika, misalnya, tanpa berkotor tangan ikut menyuap. Bisa-bisa mereka akan selalu kalah dengan perusahaan lain yang tak tabu menyuap.

Penggiat antikorupsi di Eropa memantau dengan ketat perilaku korup dari banyak praktik bisnis. Di Inggris, misalnya, popularitas Tony Blair sebagai Perdana Menteri pernah tergerus karena mendeponir satu kasus korupsi yang ditengarai terkait dengan salah seorang tokoh penting Kerajaan Arab Saudi. Perdagangan senjata dengan angka transaksi yang fantastis itu ternyata menciprati sejumlah orang di Inggris ataupun di Arab Saudi.

Resolusi dari Bali

Dalam rapat tahunan Transparency International di Bali dua pekan silam, sebuah resolusi diloloskan agar secara terus-menerus pelaksanaan OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions dipantau, bukan saja di Eropa, tetapi juga di negara-negara tempat modal dari Eropa ditanamkan.

Kejahatan suap dan/atau korupsi yang terjadi di negara-negara OECD tentu sudah diatur dalam peraturan perundangan mereka. Yang menarik, kejahatan suap dan korupsi yang dilakukan di negara-negara tempat modal itu ditanamkan kini, menurut OECD Convention itu, juga sudah termasuk dalam apa yang disebut criminal offence. Di sini pengertian suap dan korupsi sedemikian luas sehingga yang bisa dijerat adalah semua jenis perbuatan, langsung atau tidak langsung, terlaksana atau belum (karena masih berupa penawaran), yang dilakukan terhadap semua pejabat sehingga sang pengusaha mendapat keuntungan. Jadi bukan hanya pelaku suap atau korupsi yang bisa dijerat, tetapi juga pelaku pembantu (complicity).

Dasar penting

Bagi saya, OECD Convention yang hanya terdiri dari 17 pasal ini adalah suatu dokumen hukum yang menarik untuk dikaji lebih mendalam karena dengan daya laku extraterritorial OECD Convention bisa menjadi landasan kerja sama bilateral dan multilateral yang mutlak perlu jika kita ingin berhasil dalam perang melawan korupsi. Kalau kita lemah dalam pemberantasan korupsi di dalam negeri, menambah satu mata rantai pemberantasan korupsi melalui kerja sama bilateral dan multilateral adalah pilihan yang harus dilakukan. Bukankah kita semua sepakat, kejahatan suap dan korupsi bisa jadi merupakan kejahatan luar biasa yang sifatnya transnasional?

Indonesia memang sudah memiliki perangkat hukum nasional yang lumayan komprehensif tentang suap, korupsi, dan pencucian uang. Kita juga sudah memiliki semua lembaga penegak hukum yang didukung semua sumber daya dan sumber dana. Berbagai pelatihan juga sudah dilakukan dengan mendatangkan berbagai pengajar yang punya pengalaman dalam menangani kasus suap dan korupsi internasional. Dukungan dari berbagai lembaga keuangan internasional juga amat tersedia sehingga praktis tak banyak alasan untuk tidak berhasil. Namun, Indonesia masih juga belum berhasil dan publik masih melecehkan kemampuan aparat penegak hukum kita dalam memberantas suap, korupsi, dan pencucian uang.

Sebagian beralasan, ASEAN sebagai perkumpulan negara-negara sekawasan ternyata tak banyak memanfaatkan kerja sama regional untuk memberantas korupsi. Singapura, misalnya, tetap dianggap sebagai safe haven bagi banyak uang haram dan penjahat korupsi dari Indonesia. Perjanjian ekstradisi yang dimaksudkan untuk memfasilitasi kerja sama bilateral dalam membawa kembali koruptor dan uang haramnya ternyata gagal dan digagalkan. Saya yakin sebagian koruptor dan uang haram ada juga yang berinvestasi di negara-negara ASEAN lain, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam, dan mereka tetap aman. Apakah karena dalam bisnis tak ada beda antara uang halal dan uang haram?

Tak cukup hanya berteriak

ASEAN tak boleh membiarkan suap, korupsi, dan pencucian uang terjadi. ASEAN tak cukup hanya berteriak perlunya good governance, tetapi justru harus melakukan good governance dalam tindakan bilateral dan regional. Apa yang dilakukan di negara-negara OECD adalah contoh bagus dan mungkin ASEAN bisa memulai langkah itu.

Jika dalam bidang hak asasi manusia ASEAN sepertinya sudah menyepakati pembentukan human rights commission meski kesepakatan itu memerlukan 18 tahun, kini setelah 40 tahun ASEAN berdiri, kiranya sudah saatnya ASEAN membuat sejarah baru dengan melahirkan ASEAN Convention on Anti Corruption.

Indonesia perlu mengambil kepemimpinan dalam kerja pemberantasan korupsi di ASEAN. Dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua pekan silam, Transparency International mengusulkan kepada Presiden Yudhoyono agar dalam Pertemuan Puncak ASEAN di Singapura pekan depan, langkah besar ini dimulai. Minimal kerja pemberantasan korupsi bisa masuk agenda ASEAN dan mulai dimatangkan dalam pertemuan-pertemuan senior officials meeting.

Mana tahu mimpi, kelak tak lama lagi sebuah ASEAN Convention on Anti Corruption bisa lahir sebagai kenyataan.

Todung Mulya Lubis Ketua Dewan Pengurus Transparency International-Indonesia