Pemikiran Indonesia Maret 2007 2

 

“Cash & Carry” Vs Relokasi Plus

Teguh Imawan

Warga Perumahan Tanggul Angin Sejah- tera (TAS) Sidoarjo sedang berjuang menuntut haknya dengan mengusung slogan cash & carry, untuk menandingi opsi tawaran pemerintah berlabel “relokasi plus” sebagai solusi mengakhiri kemelut antara Lapindo dan warga korban luberan lumpur panas.

Slogan warga TAS sebagai refleksi sikap menuntut ganti rugi itu mengingatkan kita pada bunyi iklan penjualan kendaraan bermotor beberapa tahun silam. Bunyi iklan berlabel cash & carry itu menggambarkan betapa praktis, mudah, serta murahnya konsumen membawa pulang sepeda motor ataupun mobil.

Tapi, kini kenyataan memperlihatkan betapa hal yang mudah, gampang, dan praktis itu begitu sulit direngkuh. Pilihan warga yang tampaknya sangat sederhana, “silakan Lapindo bayar tunai dan ambil rumahnya”, seperti bertepuk sebelah tangan. Itu karena pemerintah melalui sidang kabinet telah memutuskan skema ganti rugi memakai formula “relokasi plus”.

Adu tanding cash & carry versus “relokasi plus” sedemikian itu merupakan duel langsung, head to head, antara apa yang oleh Habermas dalam bukunya Theory of Communication Action, sebagai konflik tiada henti antara tin- dakan komunikatif dan tindakan strategis.

Tindakan strategis yang asosiatif dengan kapitalisme tak lain merupakan gagasan dominan masyarakat modern yang cenderung membuat kebijakan dengan poros utama mereduksi realitas sosial politik menjadi semata-mata hanya problem teknis, sekaligus membuang jauh dimensi nilai atau moral peristiwa.

Sedangkan tindakan komunikatif adalah lifeworld, dunia nyata, alam praksis yang menganyam manusia, alam, moral sebagai realitas yang dihayati, bukan sekadar objek pasif. Sebuah paradigma yang menghargai bagaimana setiap manusia mam- pu merekonstruksi identitas diri sendiri.

Bila kerangka pemahaman tindakan komunikatif digunakan untuk memahami slogan cash & carry, maka sikap fenomenal warga TAS itu merupakan manifestasi atau perwujudan dari harapan adanya proses komunikasi yang sehat. Tahapan negosiasi yang di dalamnya, mengandaikan adanya partisipan warga yang bebas untuk melawan argumentasi “relokasi plus” tanpa ketakutan akan intimidasi, tindak kekerasan, dan semacamnya.

Di alam tindakan komunikatif, terkandung adanya komponen, pertama, setiap warga dinilai kompeten berbicara dan bertindak mengambil bagian dalam menentukan sikap skema ganti rugi yang menimpa harta bendanya. Kedua, setiap warga bebas mengekspresikan perilakunya, keinginan, dan kebutuhannya tanpa ada upaya represif melalui cara-cara kekerasan fisik.

Karena itu, sangat disayangkan kalau dalam mengeluarkan aspirasi warga dan aparat kepolisian terjerumus dalam tindakan anarkis. Anomali tindakan tidak hanya ada pada warga korban lumpur yang kehabisan kesabaran, tapi juga melanda politisi atau elite lokal yang cenderung mem-beri “janji-janji manis”.

Simbol Ketidakpercayaan

Sejatinya, warga membutuhkan kesadaran elite politik lokal, regional, dan nasional untuk lebih sensitif atas penderitaan mereka. Bahwa cash & carry merupakan simbol puncak ketidakpercayaan warga kepada para perumus dan pembuat kebijakan publik, khususnya dalam menyelesaikan sengketa dengan Lapindo, tak bisa terbantah lagi.

Celakanya, elite politik masih merasa mampu menjadi agen yang efektif meresolusi konflik lumpur panas Lapindo.

Padahal, media melakukan fungsinya dengan baik ketika mempublikasi tindakan komunikatif warga TAS ke ruang publik yang lebih luas. Yang perlu dihindari adalah jangan sampai siapa pun melakukan pembingkaian pemahaman dengan sudut pandang bahwa perjuangan warga TAS dalam konteks teknis belaka, yakni lebih mengedepankan dampak aksi warga terhadap kemacetan lalu lintas, kerugian sesaat aktivitas ekonomi, ataupun sudut kehebohan audio-visual kejadian warga berdemonstrasi an sich.

Kalau itu terjadi, yang mengemuka bukannya proses dialogis dan penghindaran eksploitasi warga korban lumpur, tapi justru tindakan monologis/kekerasan dan represif. Pada akhirnya, semua pihak niscaya gagal menyemai nilai-nilai yang menghargai dan menghormati dialog, independensi, dan kemanusiaan. Sebuah nilai yang telah begitu langka keberadaannya karena digilas pelaku industri yang kapitalistik, yang diwakili Lapindo.

Kapitalisme sendiri cenderung memahami persoalan dari sudut pandang ekonomis belaka, lepas dari tautan etika, moral, nilai yang hidup dan menyelubungi warga. Roh kapitalisme lebih mengedepankan pemikiran bagaimana membebaskan manusia agar hanya melulu mengejar laba, bebas dari tekanan nilai dan negara. Kecuali itu, industri kapitalistik semacam bisnis pengeboran minyak Lapindo memfokuskan pada bagaimana produksi pengeboran minyak ditujukan untuk profit guna penambahan modal.

Spirit pikir kapitalistik itu jelas-jelas mencampakkan nilai dan moral humanistik.

Korban Kuasa

Dengan demikian, cash & carry adalah contoh militansi sekaligus catatan kelam aspek dimensi manusia dalam pembangunan. Sebuah spirit humanistik komunitas warga menderita yang terpasung dan terlindas oleh kri-terium performatif: maximum output with a minimum input.

Itulah gambaran faktual dan konkret, yang disebut Foucault, sebagai kuasa produktif yang bersifat represif. Sebuah pelaksanaan kuasa yang berbalikan arah dengan makna production network. Yaitu, cara pandang yang menekankan kuasa senantiasa menje- lajahi tubuh sosial, lebih dari sekadar represi kekuasaan sekelompok elite, melainkan harus difungsikan dalam relasi-relasi yang tak terhitung banyaknya sehingga semua pihak/institusi/orang terlibat.

Asumsinya, semua orang, sekaligus tak ada seorang pun, adalah korban kuasa. Itu karena setiap orang bisa bergabung ke kelompok dengan wacananya sendiri dengan sukarela, tanpa sedang dikelabui seperangkat gagasan palsu yang dibungkus melalui janji elite seperti relokasi plus atau plus, plus, plus….

Penulis adalahstaf pengajar Fikom Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta

Last modified: 19/3/07


 

Membangun Kemandirian Universitas

Emil Salim

Sejak 26 Desember 2000, dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 152 Tahun 2000, Universitas Indonesia (UI) ditetapkan sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memperoleh kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab lebih besar menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Menurut PP itu, asas yang melandasi penyelenggaraan universitas adalah pertama kemandirian moral membangun perguruan tinggi sebagai kekuatan moral dalam pembangunan masyarakat yang demokratis dan mampu bersaing secara global. Kedua wawasan global guna mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan seni (iptekbudsen).

UI bertujuan pertama, mewujudkan universitas riset sebagai pusat unggulan iptekbudsen. Kedua, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang bermoral, berkemampuan akademik dan professional dapat menerapkan, mengembangkan dan memperkaya khazanah iptekbudsen. Ketiga, mengembangkan dan menyebarluaskan iptekbudsen untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional. Keempat, mendukung pembangunan masyarakat yang demokratis dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri. Kelima, mencapai keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip sumber daya universitas yang dikelola dengan asas profesional.

Untuk mencapai tujuan itu segala hak dan kewajiban, perlengkapan dan kekayaan, penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk pegawai, dialihkan menjadi aset dan pegawai universitas.

Bagi universitas, modal utama terkumpul dalam Dewan Guru Besar sebagai salah satu organ universitas yang bertugas membina kehidupan akademik dan integritas moral serta etika akademika universitas. Wujud kualitas universitas tercermin pada mutu dan integritas yang dimiliki guru besar. Kualitas karya ilmiah yang tersebar dalam publikasi bermutu di luar negeri serta frekuensi kutipan karya guru besar oleh kelompok ilmuwan internasional dan mudah diserapnya tamatan universitas dalam pasaran intelektual karena berkualitas tinggi, merupakan indikator penentu urutan kualitas universitas di tingkat dunia.

Guru besar menyandang gelar “profesor” sebagai guru berpangkat tertinggi dalam universitas. Sungguhpun begitu, kebanyakan guru besar tidak memperoleh pendidikan tentang metodologi dan cara mengajar. Dari guru besar yang diandalkan adalah terutama pemahaman iptekbudsen dalam cabang tertentu yang menjadi medan spesialisasinya. Sehingga menjadi penting kemampuan guru besar mendorong proses pembelajaran (learning) ketimbang proses pengajaran (teaching) mahasiswa.

Menggugah mahasiswa menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity), dan merangsang mahasiswa untuk senantiasa kritis bertanya “apa, mengapa, bagaimana, untuk apa, bilamana” dalam menanggapi kejadian, adalah bagian pokok dari kewajiban guru besar mendorong proses pembelajaran universitas. Menggugah dan merangsang tumbuhnya benih dan semangat iptekbudsen adalah kewajiban utama sang guru besar. Untuk memungkinkan itu, guru besar itu sendiri perlu tumbuh menjadi sosok yang inspiratif bagi mahasiswa untuk bisa kritis bertanya, berpikir dan berkontemplasi sebagai bagian dari budaya kehidupan akademik.

Tetapi, mengembangkan kehidupan akademik yang bagaimana? Sudah lazim diketahui bahwa ilmu pengetahuan memuat unsur “kekuasaan”. Karena itu sudah sepatutnya kehidupan akademik perlu bernapaskan integritas moral dan tumbuh atas kesuburan etika akademika yang menundukkan kekuasaan ilmu pengetahuan.

Iptekbudsen tidaklah dibangun dalam kehampaan sosial, tetapi perlu ditumbuhkembangkan dengan membangun masyarakat demokratis yang berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri. Sehingga pembangunan masyarakat yang demokratis adalah identik dengan mengembangkan kekuatan moral mengendalikan pertumbuhan iptekbudsen.

Dan, menjadilah tantangan permasalahan bukan pilihan antara membangun ekonomi dulu baru demokrasi atau sebaliknya, tetapi proses pembangunan ekonomi memuat unsur demokrasi dan demokrasi membawa kita ke arah pembangunan ekonomi. Dan lahirlah pola “pembangunan melalui demokrasi” dan “demokrasi melalui pembangunan” dalam paradigma development through democracy, democracy through development.

“Sapu Lidi”

UI terdiri dari kumpulan fakultas yang terfokus pada peningkatan kualitas manusia, seperti fakultas kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, perawatan, dan psikologi. Ada pula kumpulan fakultas yang terpusatkan pada peningkatan kualitas masyarakat, seperti fakultas ilmu sosial-politik, ekonomi, hukum, ilmu pengetahuan budaya. Dan kumpulan fakultas yang menekankan peningkatan kualitas hidup berkat intervensi iptekbudsen, seperti fakultas MIPA, teknik, dan komputer.

Setiap fakultas memiliki keunggulan yang unik. Apabila keunggulan utama berbagai fakultas itu kemudian dipadukan akan terciptalah kekuatan tangguh bagaikan penyatuan “sapu lidi” diikat jadi tunggal oleh kesamaan tujuan dan kebulatan komitmen pembangunan jangka panjang UI.

Dalam mengaitkan tujuan pembangunan jangka panjang UI 2007- 2022 dengan tujuan pembangunan bangsa ini, sangatlah perlu menerjemahkannya dalam berbagai sasaran konkret dan terukur untuk dicapai dalam Indonesia 2022.

Pertama, meraih Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2022 masuk ranking top-50 dunia, antara lain berkat dicapainya peringkat Universitas Indonesia dalam top-50 dari 11.000 universitas sedunia dibandingkan dengan posisi nomor 250 sekarang.

Kedua, mencapai pendapatan tingkat tinggi dari kelompok negara berpendapatan menengah dengan US$ 7,500 per orang dalam nilai konstan. Ketiga, rendahnya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Keempat, lebih berimbangnya pembangunan daerah Indonesia Timur dengan Barat, luar-Jawa dengan Jawa, perdesaan dengan perkotaan dalam masyarakat berkeadilan sosial. Kelima, mencapai tingkat produktivitas dan daya saing terbaik di antara ASEAN.

Indonesia 2022 inilah perlu dijadikan faktor pemersatu lintas fakultas dalam mengarahkan perkembangan UI mewujudkan Tri Dharmanya, penelitian, pembelajaran, dan pengabdian masyarakat, dalam masa datang. Dengan fokus bersama itu, setiap fakultas menggunakan keunggulan iptekbudsennya masing-masing berusaha mencapai sasaran pembangunan Indonesia 2022 yang ditanggapi secara komprehensif lintas fakultas dengan menggalang kemampuan akademik UI.

Dengan keserasian pola pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat, akan terbentuk pula sosok cendekiawan UI menjadi motor penggerak pembangunan bangsa. Dalam kaitan itulah Dewan Guru Besar menyandang tugas mulia mengangkat harkat bangsa menjadi pendorong pembangunan Asia sebagai lokomotif pembangunan dunia abad ke-21 itu.

Sangat ideal cita-cita itu. Lebih-lebih jika dihadapkan dengan imbalan pendapatan yang diterima guru besar rata-rata 25 persen dari perkiraan tunjangan yang (bakal) diterima anggota DPRD jika rencana PP Nomor 37 Tahun 2006 tetap diberlakukan. Dengan kemandirian universitas dan kelincahan kerja yang lebih bebas dari ikatan birokrasi bagi UI sebagai BHMN, terbuka kini kemungkinan lebih sensibel mengembangkan sistem pengabdian beserta imbalan yang lebih manusiawi untuk mewujudkan cita-cita bangsa.

Penulis adalah pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia

Last modified: 28/2/07


 

Nyawa Manusia yang Makin Murah

Benny Susetyo

Musibah beruntun mulai dari kapal laut tenggelam, terbakar, kereta api anjlok, kapal terbang hilang, sangat menyita energi kita berhari-hari. Peristiwa itu seharusnya menyadarkan semua pihak akan arti penting manusia sebagai manusia. Manusia bukan sekadar material yang bisa dieksploitasi demi kepentingan ekonomi semata.

Keselamatan manusia jauh lebih penting di atas semua kepentingan material dan modal. Selama ini kita memperlakukan manusia sering di luar batas-batas kemanusiaannya. Terlalu banyak pelanggaran kemanusiaan dilakukan hanya untuk kepentingan personal yang memiliki modal dan kekua- saan.

Para pemodal menganggap manusia sebagai konsumen semata yang bisa dikomersialisasi dan dieksploitasi demi meraih keuntungan ekonomi. Para pejabat menganggap rakyat tidak sebagai manusia, melainkan segerombolan objek legitimasi kebijakan-kebijakannya.

Para elite agama melihat umatnya hanya sebagai sekumpulan tubuh yang bisa digerakkan atas dalil agama yang direkayasa penuh dengan kepentingan politik.

Terlalu banyak contoh perilaku kehidupan yang mengabaikan manusia lengkap dengan jiwanya. Pandangan manusia terlalu simpel dan simplifikatif. Manusia dilihat dengan kacamata kuda, mana yang menguntungkan ditonjolkan, dan yang tak berguna diabaikan.

Komersialisasi penerbangan adalah dampak kecil dari sebuah usaha besar peradaban yang digerakkan menuju materialisme. Ketika kebutuhan-kehidupan diperluas dan dilebarkan, usaha untuk memenuhi kebutuhan itu justru secara ironis didesak-desakkan, dipersempit ruang geraknya.

Usaha untuk memperoleh dan meraih kepentingan ekonomi maupun kekuasaan sering dilakukan dengan cara meminggirkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya, atau rakyat dengan nilai-nilai kedaulatannya. Kepentingan di luar kemanusiaan yang seharusnya menjadi utama dalam segenap perilaku manusia justru diabaikan. Kesadaran akan dipulangkan ke mana kehidupan ini lenyap ditelan keserakahan dan keangkuhan.

Jelas, dua peristiwa besar pembuka 2007 ini harus bisa menyadarkan betapa pentingnya nilai keselamatan manusia daripada sekedar kepentingan ekonomi. Komersialisasi penerbangan dan dunia transportasi lainnya menyeret manusia dan tereduksi hanya sebagai barang rongsokan.

Nilai keselamatan kurang dijamin oleh karena paradigma yang digunakan semata-mata adalah keuntungan.

Budaya Bohong

Negara juga harus belajar banyak untuk bersikap adil dan jujur kepada rakyatnya. Kita bukan lagi masa Orde Baru yang pandai membohongi rakyatnya untuk sesuatu yang manis-manis, kelemahan dianggap prestasi, dan prestasi dianggap sebagai kelemahan.

Birokrasi kita masih terbukti membawa kuat budaya birokrasi lama tersebut. Luka keluarga korban menjadi-jadi ketika publik dibohongi. Hingga sepekan pesawat hilang, malah ada yang dengan jelas memberitakan penemuan bangkai korban lengkap serta detail dengan korban-korbannya.

Itulah kebohongan publik yang memalukan dan memuakkan. Pertanda rakyat tak lagi dihargai. Pertanda derita keluarga korban tak diempati.

Semakin jelas negara gagal merasakan penderitaan rakyat. Ini membuktikan selama ini, terhadap korban lumpur, korban tsunami, tanah longsor, banjir, kelaparan dan sebagainya, begitulah pejabat kita bersikap.

Persoalan paling besar bagi bangsa ini ketika mempersepsikan harga nyawa manusia dan rakyatnya begitu murahnya ketika dianggap tiada lagi berguna.

Rakyat berharga mahal hanya saat menjelang pemilu dilakukan. Mereka dijadikan kambing congek yang dibeli mahal karena dianggap menguntungkan untuk mendukung posisi politik.

Begitu pula ketika mentalitas pengusaha menjadikan manusia sebagai konsumen belaka. Mereka dijebak dari kiri, kanan, atas dan bawah. Ruang kehidupannya semakin dipersempit ketika dalam pikiran dijejali kebutuhan-kebutuhan yang dipaksakan.

Sifat kemanusiaan dihilangkan dalam segenap aspek ekonomi. Yang penting hanyalah untung dan untung. Transportasi udara, darat dan air kurang memperhatikan keselamatan penumpang karena penumpang hanya dilihat dalam nilai materi belaka.

Penerbangan Murah

Hilangnya pesawat Adam Air kembali mengingatkan kita mengenai keamanan dan keselamatan pada pelbagai penerbangan murah di dunia. Apakah penerbangan bisa menjadi murah karena unsur keselamatan dan keamanannya tidak dipentingkan lagi? Arah peradaban global yang bergerak menuju materialisme merupakan dasar dari semua soal ini.

Buktinya soal seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di belahan dunia lain. Hukum ekonomi dipaksakan berlaku walau tak cocok. Untuk mengakses suatu barang, konsumen diberikan harga murah agar terjangkau dengan mengurangi jaminan-jaminan lainnya termasuk keamanan.

Kita menghadapi masalah besar yakni ketika nilai kehidupan dianggap begitu rendah oleh manusia itu sendiri. Harga manusia tak lebih dari sekadar materi belaka. Nilai manusia direduksi dalam kungkungan materialisme. Semua dibendakan, dan lebih sempit lagi adalah keuntungan sepihak.

Masalah demikian akan terus terjadi bila dasar pikiran kita tentang manusia dan rakyat masih tak berubah. Jika manusia adalah konsumen, rakyat adalah gerombolan, maka unsur kemanusiaan dan kedaulatan manusia akan tergerus.

Sudah waktunya, manusia yang konsumen juga dihargai kehidupan dan keselamatannya. Manusia yang juga rakyat dihormati kedaulat- annya.

Penulis adalah budayawan

Last modified: 1/3/07


 

Implikasi Reklamasi Singapura

Oleh Poltak Partogi Nainggolan

Reklamasi pantai dan perairan laut Singapura yang dilakukan sejak 20 tahun lalu, terus berlangsung, dan direncanakan berlangsung hingga 2030. Kebijakan Singapura itu telah menimbulkan kekhawatiran membawa kerugian besar bagi Indonesia. Bukan hanya berpengaruh terhadap posisi dan pengukuran garis batas kedua negara, namun juga konsekuensi hilangnya lebih banyak lagi potensi Indonesia sebagai kawasan persinggahan, jalur pelayaran, dan perdagangan internasional yang sangat strategis dan menguntungkan dalam beberapa dasarwarsa sebelumnya, ketika Singapura belum melakukan proyek reklamasi pantai.

Semakin banyak wilayah Indonesia yang hilang akibat pulau-pulau terluar mengalami abrasi karena kenaikan permukaan air laut dan eksploitasi pasir untuk ekspor ke Singapura. Kenyataan seperti itu menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan, di kalangan TNI, terutama AL yang bertugas menjaga perbatasan laut, DPR, dan tokoh masyarakat, terutama terhadap kian luasnya wilayah dan kedaulatan negara yang terancam oleh kebijakan reklamasi pantai dan perairan Singapura yang masuk ke perairan Indonesia.

Kebijakan ekspor pasir Indonesia ke Singapura dimulai sejak 1976, sejalan dengan keinginan Singapura memperluas wilayahnya dari semula 580 menjadi 760 km persegí pada 2030. Singapura membutuhkan 7,1 miliar meter kubik pasir.

Pada 2010, ditargetkan perluasan daratan Singapura mencapai 30 persen. Saat ini baru tercapai sekitar 24 persen. Pemerintah Singapura membutuhkan 7,1 miliar meter kubik pasir. Pada 2001, luas daratan Singapura bertambah dari 580 km persegi menjadi 646 km persegí.

Proyek reklamasi semula dilakukan di halaman Singapura sendiri, di daratan utamanya, di belakang pulau-pulau kecil miliknya, sehingga belum mengancam garis perbatasan laut. Namun, belakangan reklamasi dilakukan di wilayah Jurong, sisi barat daya Singapura, kawasan yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan Indonesia, sehingga dapat menggeser garis perbatasan kedua negara.

Merugikan Indonesia

Secara realistis, dengan proyek reklamasi pantainya, Singapura berhasil memperluas wilayah perairannya hingga 12 mil masuk ke wilayah Indonesia. Di dalam negeri, proyek reklamasi Singapura yang dilakukan dengan pasir-pasir yang diimpor dari Indonesia, termasuk yang legal, telah berakibat terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak terkendali.

Kawasan yang dieksploitasi pasirnya, yang dulunya indah, kini bopeng-bopeng besar bekas galian. Kawasan hutan lindung terbabat dan ekosistem darat dan pantai rusak, dengan kasus erosi dan abrasi yang hebat. Habitat terumbu karang di sekitarnya juga hancur. Pulau Sebait, yang luasnya mencapai 80 ha di Kabupaten Karimun, rusak parah, dengan angka kerugian bila diaudit senilai Rp 1 triliun. Dari angka kehilangan pasir sejak 2004 sampai sekarang, tercatat kerugian Rp 1,256 triliun. Jika diteruskan sampai 2015, kerugian dari pasir ini mencapai Rp 2,9 triliun.

Beberapa pulau terluar kian terancam hilang, sehingga luas wilayah Indonesia, baik daratan maupun perairan, terancam berkurang. Pulau Moro di Kabupaten Karimun, Pulau Nipah, Batam, dan pulau-pulau lain di Kepulauan Riau, terutama Pulau Sebait, selama ini menjadi sasaran penggalian pasir untuk ekspor ke Singapura, sehingga hampir rata dengan laut.

Eksploitasi pasir besar-besaran juga berlangsung di Gunung Kijang, Trikora, Lobam (di Pulau Bintan), dan Senggarang. Jutaan meter kubik pasir dikeruk dari bumi Indonesia untuk memperluas Singapura, termasuk lapangan terbang internasionalnya. Setiap tahun, 9 juta ton pasir dan tanah dari Kepulauan Riau dibawa ke Singapura.

Reklamasi pantai menambah kebijakan Singapura yang berdampak negatif atas Indonesia selama ini. Yakni, ekspor limbah industri, mobil bekas, pakaian bekas, penampungan penjahat ekonomi atau pelarian koruptor asal Indonesia, penyelundupan BBM dan kayu gelondongan, yang bisa leluasa terjadi akibat buruknya perilaku aparat.

Kebijakan ekspor pasir secara ilegal terus berjalan karena ulah pejabat setempat, termasuk tentara. Diketahui, setiap meter kubik pasir darat menyumbang Rp 10.000 ke kocek pemda, dan pemasukan lain berupa pajak eksploitasi Rp 45.000 per ha per tahun, pajak eksplorasi Rp 25.000 per ha per tahun. Keseluruhannya, Pemkab Karimun memperoleh Rp 3 miliar dari hasil pertambangan pasir darat.

Perluasan wilayah daratan Singapura menjadi masalah karena hingga saat ini belum ada kesepakatan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) antara Indonesia dan Singapura. Dalam UNCLOS I (First United Nations Conference on the Law of the Sea), Batas Landas Kontinen (BLK) negara pantai adalah sampai kedalaman laut 200 mil, atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan dilakukannya eksploirasi dan eksploitasi sumber daya alam. Namun, kedalaman Selat Singapura yang merupakan perbatasan Indonesia-Singapura kurang dari 200 mil, sehingga penghitungan BLK akan didasarkan pada garis tengah atau median yang ditentukan dari garis pangkal kedua negara.

Keterangan Menlu Singapura, George Yeo, yang mengatakan perbatasan laut Indonesia-Singapura sudah selesai tahun 1973, tidak tepat. Masih terdapat sekitar 46,8 nautical mile, sekitar 84 km, garis batas laut yang belum disepakati. Sementara, dari jumlah itu, 52 km ada di wilayah timur (di Utara Batam) dan selebihnya di sebelah barat Pulau Nipah.

Perundingan perbatasan laut baru dimulai lagi pada Februari 2005 di Singapura dan dilanjutkan di Jakarta April 2006. Adapun penetapan batas laut di sisi timur akan dilakukan setelah diputuskannya claim and counter claim kepemilikan Pulau Pedra Branca, Middle Rock, dan South Lodge antara Singapura dan Malaysia.

Prospek perundingan atas wilayah barat menimbulkan kekhawatiran Indonesia, karena reklamasi di Tuas Bay, bagian dari wilayah Jurong, sudah semakin menjorok ke selatan. Keinginan Indonesia dalam perundingan untuk menggunakan titik dasar dan garis pangkal negara kepulauan dan penggunaan garis pantai yang asli sebagai dasar pengukuran sesuai UNCLOS tahun 1982, tidak ditanggapi Singapura secara jelas.

Reklamasi pantai dan wilayah perairan Singapura yang menjorok ke wilayah perairan Indonesia, wajar saja menimbulkan kekhawatiran yang semakin besar atas terjadinya ancaman kedaulatan Indonesia dewasa ini dan di masa depan. Wajar mengingat proyek tersebut berlangsung selama beberapa dasawarsa hingga 2030. Hal itu akan mempengaruhi posisi perbatasan terluar wilayah dan penghitungan luas wilayah perairan masing-masing negara. Sehingga, Indonesia harus segera mengambil upaya tegas mencegah kerugian lebih banyak.

Kerangka Aksi

Untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih parah lagi, ekspor pasir harus dihentikan. Pembatalan atas kebijakan pemda mengeluarkan izin ekspor pasir harus dilakukan. Kebijakan mengenai pelarangan ekspor pasir harus dijalankan secara konsisten. Jangan ada lagi praktik pelarangan yang tarik-ulur dengan Inpres No 2/2002, yang kemudian dibatalkan dengan ke Keppres No 33/2002 pada 23 Mei 2002, yang lalu dilarang kembali dengan Peraturan Mendag No 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah, dan Top Soil, serta dengan Permendagri No 02M/DAG/Per/1/2007, yang efektif sejak 6 Februari 2007.

Kebijakan pelarangan itu harus disertai dengan peningkatan patroli keamanan laut untuk mencegah upaya penyelundupan pasir sebagaimana yang berlangsung pascamoratorium 2003. Sehingga, harus dilakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah yang bekerja di sepanjang perbatasan perairan kedua negara.

Juga, penegakan hukum harus disertai dengan tindakan tegas atas semua pihak yang terlibat, baik pemda, pejabat pemerintah, aparat militer, cukong pasir, pihak asing, termasuk kapal-kapal berbendera Belanda, yang sering pula disalahgunakan. Mereka yang tertangkap harus segera diproses pengadilan, dan dihukum, dan membayar ganti rugi, termasuk atas kerusakan lingkungan yang telah diakibatkannya.

Lalu, Indonesia perlu mengajukan keberatan secara resmi terhadap kegiatan reklamasi yang dilakukan Singapura, karena menjorok ke wilayah perairan dan mengancam kedaulatan Indonesia atas wilayah daratan dan perairannya. Protes Pemerintah Singapura atas kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menyetop ekspor pasir ke Singapura, harus diabaikan, apalagi jika pemerintahnya menekan Indonesia agar melanjutkan kembali kebijakan ekspor pasir. Sementara, upaya menarik dubes belum perlu dilakukan, karena posisi mereka masih dibutuhkan untuk saling memberi informasi secara langsung atas sikap yang akan diambil setiap pihak.

Penulis adalah mahasiswa program doktoral ilmu politik Albert-Ludwigs Universitaet Freiburg, Jerman, dapat dihubungi di: pptogin@yahoo.com.

Last modified: 3/3/07


 

Stop Manipulasi Kekuasaan

Frans H Winarta

Poblem banjir di Jakarta sudah bukan merupakan rahasia umum lagi. Dari Presiden Republik Indonesia, menteri di kabinet, Gubernur DKI Jakarta, sampai rakyat jelata mengetahui dan mengalaminya sendiri.

Banjir yang parah dan cukup berat di Jakarta terjadi pada 2002 dan tepat lima tahun setelah itu, tepatnya 1 Februari 2007, terjadi banjir yang lebih parah dan berat di Jakarta yang berlangsung hingga tujuh hari.

Semua kegiatan ekonomi dan kegiatan lain lumpuh total tanpa dapat diatasi secara signifikan. Peristiwa banjir itu sungguh menyengsarakan rakyat.

DPR tidak boleh diam saja, sebagai wakil rakyat harus memperjuangkan nasib rakyat dan menyuarakan hati nurani rakyat untuk menanggulangi banjir. Ini merupakan satu lagi kejadian bagaimana bangsa Indonesia cq Pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasi berbagai bencana alam.

Yang mengherankan, walaupun sudah diprediksi akan terjadi banjir dalam bulan Januari dan Februari 2007, pemerintah cq Pemda DKI Jakarta, tidak mengambil langkah konkret untuk mengurangi dam- pak banjir yang akan melanda Ibukota.

Seperti misalnya pengerukan sungai-sungai besar dan kecil yang mengalir di Jakarta secara menyeluruh, memelihara dengan baik fungsi gorong-gorong, serta membangun tempat untuk daerah resapan air.

Jika hal tersebut dilakukan, akan dapat mengurangi dampak negatif seperti sekarang ini, Jakarta lumpuh total selama beberapa hari, yang dapat mengakibatkan kerugian triliunan rupiah karena dampaknya dirasakan secara nasional dan internasional.

Kalau dana tidak tersedia sebagaimana sering dilontarkan selama ini, mengapa pemerintah pusat tidak mengupayakannya? Padahal problem banjir ini sudah berlangsung puluhan tahun tanpa ada solusi yang berarti.

Seharusnya manusia mampu “menguasai” alam dan bukan “menyerah” kepada alam. Memang dana yang diperlukan besar, tetapi kalau dibandingkan dengan uang yang raib berjumlah triliunan rupiah karena korupsi, maka tidak ada artinya.

Persoalan diperparah lagi dengan adanya pengabaian terhadap hukum dan lemahnya penegakan hukum. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seharusnya konsisten atas perencanaan kota (planologi), dalam hal ini perencanaan kota Jakarta, sering kali melanggar apa yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam menegakkan hukum.

Sudah ada ketentuan bagi para pengembang real estate (properti) bahwa setiap pembangunan kawasan perumahan dan industri harus disediakan fasum (fasilitas umum) dan fasos (fasilitas sosial) seperti pasar, sekolah, rumah sakit, tempat berolahraga, taman, rumah ibadah, dan lain-lain, tetapi semua itu dilanggar sendiri oleh otoritas yang seharusnya menegakkan hukum.

Membantu Penyerapan

Taman-taman dan danau yang ada, yang justru dapat membantu penyerapan air hujan, malah dibangun untuk pertokoan, sehingga menghambat penyerapan air hujan. Protes tidak digubris dan pembangunan tersebut berjalan terus. Pengusaha dan pejabat berkolusi tanpa mengindahkan kepentingan, nasib, dan keselamatan warga. Hal itu terjadi di mana-mana.

Para pengusaha hanya semata-mata mengejar keuntungan dengan mengabaikan keutuhan lingkungan hidup sekitarnya. Tidak ada CSR (Corporate Social Responsibility) yang ditunjukkan mereka, tetapi mereka berusaha mengembangkan jenis usaha properti tanpa disertai tanggung jawab sosial kepada masyarakat.

Padahal, kalau pemerintah tegas dan mewajibkan setiap pengembang (developer) membangun waduk atau danau untuk menampung air hujan, maka banjir separah itu dapat diatasi dan dicegah, paling tidak Jakarta tidak lumpuh total seperti itu.

Pada saat yang sama pula dicari dana dan upaya untuk membangun waduk melingkar di pinggiran kota Jakarta yang memang sudah direncanakan pemerintah kolonial Belanda sejak dulu.

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pernah menyatakan beberapa tahun lalu bahwa pemerintah pusat harus membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan dana untuk mengatasi banjir dan mencarikan dana untuk mengatasinya seperti dengan pembangunan waduk.

Pemilu 2009

Praktik bisnis yang berkolusi dengan pejabat masih berlangsung dan dilakukan oleh oknum-oknum pengusaha karena ketamakan dan ketidakpeduliannya terhadap tanggung jawab sosial.

Hukum dimanipulasi dengan menempel kekuasaan. Kalau ada protes, pasukan dikerahkan untuk mengatasi demonstrasi. Uang “keamanan” jalan terus untuk melindungi bisnis si pengusaha.

Karena ada problem banjir di Jakarta, pengembang (developer) meninggikan tanah proyeknya lebih tinggi daripada bangunan di sekitarnya. Apa pun protes warga yang dilancarkan secara damai tidak digubris.

Kalau perlu kekuatan fisik yang ditonjolkan. Akibatnya banjir se- makin parah dan warga sekitarnya tenggelam dan semakin tenggel- am dengan maraknya pembangunan properti apakah itu perumah- an, perkantoran, atau kawasan industri.

Yang lebih celaka adalah ketika para pengusaha properti itu berlomba-lomba memasarkan propertinya itu dengan tema “bebas banjir”. Yang bebas banjir tentunya kawasan properti miliknya, tetapi warga di sekitarnya tenggelam sampai sebatas lutut, pinggang, dada, atau tenggelam sama sekali.

Sebenarnya, kalau kawasan tersebut banjir, semua akan terkena dampaknya termasuk properti yang ditinggikan letaknya, karena akses ke dan dari kawasan tersebut tertutup akibat terkepung banjir.

Ironis memang, ketika negara Indonesia merdeka bebas dari penjajahan Belanda tetapi rakyat masih saja dibelenggu berbagai ketidakmerdekaan seperti selalu miris dan takut kalau menghadapi musim penghujan karena banjir, gempa bumi, angin puyuh, dan kecelakaan lalu lintas yang selalu mengintai nyawa.

Takut berdemo karena diancam akan “ditangkap” aparat keamanan (tanpa melalui proses hukum).

Dan tentunya ada “takut” lainnya yang sulit dijelaskan di sini satu per satu.

Tidak aneh kalau Advokat Trimoelja D Soerjadi mengeluarkan pernyataan keadaan seperti itu sebagai “Republic of Fear“. Demo protes baru-baru ini bukan ditanggapi substansinya, tetapi malahan dianggap inkonstitusional. Padahal substansinya adalah untuk memper-baiki kinerja Pemerintahan Yudhoyono-Kalla.

Barangkali banyak yang masih ingat, ketika pada permulaan tahun 1990-an Soeharto merasa terancam kedudukannya disebabkan sudah lebih-kurang 25 tahun memerintah dan banyak usulan agar “lengser”, mengancam secara terbuka bahwa siapa pun yang mau “menggantikannya” secara inkonstitusional apakah dia politisi atau jenderal, akan “digebuk”.

Inilah barangkali harga demokrasi yang harus dibayar rakyat Indonesia. Setelah “suksesi” empat presiden ketika Presiden Soeharto “melempar handuk” untuk turun dari jabatannya, rakyat masih bermimpi bahwa akan ada seorang “Ratu Adil” yang dapat membuat bangsa dan negara Indonesia makmur dan sejahtera.

Kapankah mimpi tersebut segera terwujud? Dua tahun lagi Pemilu 2009 akan digelar. Rakyat akan semakin terbuka mata dan telinganya untuk memilih pemimpin yang mau dan mampu berkorban, berjuang serta berempati jujur dan tulus untuk kepentingan rakyatnya. Manipulasi hukum atau kekuasaan harus dihentikan.

Penulis adalah Ketua Umum Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI)

Last modified: 5/3/07


 

Korupsi dan Tuntutan Perombakan

Fathullah

Kni semakin terbuka dan dibukakan Tuhan dosa-dosa (aib) para koruptor yang selama ini berlindung di balik jabatan dan kekuasaannya dalam menggerogoti uang rakyat. Siapa sangka di antara sesama koruptor kini saling “bernyanyi” dan saling membongkar aib sesamanya. Mereka telah terkena sumpah serapah dan makan sumpahnya sendiri, dan selamanya disumpahi masyarakat.

Lagi-lagi benar janji Tuhan, tidak akan ada manusia di muka bumi ini yang benar-benar sakti dan kuat melawan hukum Tuhan Yang Maha Perkasa. Apalagi para koruptor yang makan, minum, menafkahi anak istri, berpakaian dan berkendaraan menggunakan uang korupsi. Itu tidak lebih hanya kesenangan dan kemewahan bersifat sementara, sehingga sampai pada saatnya mereka akan merasakan akibat perbuatannya dengan merasakan penderitaan lahir dan batin, bahkan dipermalukan harga dirinya sampai pada keturunan-keturunannya.

Korupsi pejabat negara dan pemerintahan, termasuk pejabat di daerah, yang kini menjadi sorotan paling spektakuler di berbagai media massa cetak dan elektronik, semakin menunjukkan tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini kecuali harus memberantasnya secara bersama-sama dengan semangat rakyat dan gerakan revolusioner. Harus ada komitmen pertobatan nasional untuk mengakhiri perilaku dan budaya korupsi seluruh unsur bangsa ini.

Sebagai bangsa kita harus berani terlebih dahulu menegaskan sikap diri sendiri untuk tidak korupsi dan mengutuk serta menyerukan secara keras “hajar dan kejar koruptor”. Kita harus berani tegas dan tanpa tedeng aling-aling melaporkan koruptor yang kita ketahui ada bukti mereka korupsi. Hal itu bisa dilihat dari harta kekayaan yang tidak wajar. Mudah diketahui jika sebelum menjabat keadaannya biasa-biasa saja, tapi ketika menjabat atau setelah menjabat, kehidupan ekonominya berubah drastis mencolok mata, tidak seimbang dan tidak masuk akal dengan gaji jabatan yang mestinya diterima.

Perilaku korupsi pejabat yang semakin terang-terangan dan tanpa rasa malu, yang diikuti pula dengan bongkar-membongkar korupsinya itu, menjadi bukti kuat untuk menyatakan kini negara ini dalam keadaan darurat korupsi yang sangat membahayakan bagi kelangsungan bangsa dan negara. Kedahsyatan korupsi telah sampai melumpuhkan sistem kenegaraan dan pemerintahan yang semakin tidak mampu lagi mengendalikan arus besar korupsi. Dengan demikian, dalam tempo sesingkat-singkatnya harus segera dilakukan langkah-langkah pengambilalihan dan penyelamatan bangsa dan negara dengan semangat dan gerakan revolusi rakyat.

Kasus Yusril-Ruki

Kasus Yusril-Ruki, telah diselesaikan “secara adat” oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah rapat kabinet koordinasi terbatas tentang langkah pemberantasan korupsi di Kantor Presiden pada 23 Februari 2007. Namun, menguaknya kasus itu menimbulkan keprihatinan kita sebagai bangsa. Momentum terjadinya kasus itu perlu dijadikan momentum yang tepat untuk mengoreksi total perilaku kekuasaan yang tidak mencerminkan kepemimpinan yang seharusnya memberi keteladanan kepada bangsa ini untuk tidak bermain-main dengan penegakan hukum korupsi.

Perilaku yang sekalipun belum dikategorikan sebagai perilaku koruptor yang sesungguhnya, tapi perilaku itu cukup merepresentasikan perilaku banyak pejabat di negeri ini. Perilaku yang potensial merusak tatanan sistem hukum dan etika kebangsaan.

Presiden Yudhoyono semestinya tidak begitu saja menganggap benar pelanggaran prosedur penerapan Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang dilakukan, baik oleh Yusril dalam jabatannya sebagai Menkeh dan HAM ketika itu, maupun Ruki sebagai Ketua KPK. Presiden harus secara konsisten menegaskan sikapnya, tindakan keduanya itu telah menyalahi prosedur yang selama ini diterapkan, terlepas apakah nantinya dalam pemeriksaan ada implikasi korupsi atau tidak.

Sikap presiden yang justru tidak konsisten menegakkan aturan itu bisa berimplikasi luas dalam penerapan Keppres No 80 Tahun 2003 selanjutnya. Yang berarti akan terjadi kendala aturan dan dasar hukum berkaitan dengan prosedur pengadaan barang dan jasa dalam upaya pemberantasan korupsi di lingkungan pejabat negara dan pemerintahan. Kondisi itu dapat menjadi pertanda buruk bagi keefektifan pemberantasan korupsi, dan sebaliknya akan banyak koruptor memanfaatkan kelemahan Keppres tersebut untuk meningkatkan nilai tambah korupsinya.

Dari kasus itu sebenarnya banyak harapan masyarakat kepada Presiden Yudhoyono untuk memanfaatkan momentum tersebut secara sungguh-sungguh “membersihkan” lingkungan kepresidenan dan kabinetnya dari praktik-praktik korup-si dan upaya-upaya yang menghambat dalam pemberantasan korupsi, baik yang terselubung, maupun yang terang-terangan dilakukan pejabatnya.

Jika perlu untuk menguatkan Keppres tersebut, presiden mempertegasnya bahwa yang menyangkut tender pengadaan barang dan jasa tidak ada pengecualiannya, termasuk persetujuan presiden sendiri. Untuk itu tidak diperkenankan ada penafsiran terhadap larangan tersebut.

Sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono harus tegas menginstruksikan kepada semua menteri kabinetnya untuk segera melaporkan dan mempertanggungjawabkan semua pelanggaran prosedur sebagaimana yang diatur dalam Keppres No 80 Tahun 2003. Jika terbukti ada pelanggaran dan indikasi korupsi, tanpa ragu-ragu presiden harus segera memecat dan menyerahkan kasus itu kepada aparat penegak hukum untuk diproses.

Kenyataan sikap presiden yang sulit diterima berdasarkan rasa keadilan masyarakat itu membuat banyak pihak semakin tidak percaya dan menyangsikan kesungguhan pemberantasan korupsi di negeri ini. Kalau pemimpin di pucuk kekuasaan saja tidak tegas dan tidak konsisten menegakkan aturan, bagaimana bawahannya, atau aparat penegak hukumnya?

Isu “Reshuffle”

Menanggapi maraknya dugaan pelanggaran prosedur Keppres No 80 Tahun 2003 yang dilakukan pejabat negara dan pemerintahan di lingkungan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), persoalannya bukan lagi sekadar isu reshuffle kabinet yang lebih banyak ditunggangi kepentingan politik dari partai-partai politik (parpol) tertentu yang mendompleng isu tersebut. Lebih dari itu, perlu dilakukan perombakan menyeluruh terhadap kementerian-kementerian yang keberadaannya hanya menjadi beban bangsa dan negara.

Di samping tidak ada kinerja yang jelas, dan kehadirannya tidak terlalu diperlukan rakyat, juga pengalaman selama ini menunjukkan kementerian tertentu yang berasal dari parpol tertentu, hanya menjadi tempat mereka mencari uang atau “ATM” partai politik atau kelompok pejabat tertentu itu.

Dengan hanya me-reshuffle kabinet, tentu tidak ada jaminan bahwa para menteri yang baru nanti akan lebih baik ketaatannya kepada aturan dan tidak melakukan korupsi. Apalagi menteri yang berasal dari parpol tertentu yang secara keparpolannya sendiri tidak bersih dari kecurangan dan korupsi.

Karenanya, keberadaannya selama ini hanya menjadi beban berat, bukan sebagai solusi masalah bagi rakyat. Dalam pandangan ini, secara lebih luas, perombakan itu juga harus dilakukan di lingkungan partai-partai politik dengan melakukan pembersihan menyeluruh di dalamnya.

Presiden sebagai pemimpin bangsa dan negara harus melakukan langkah-langkah konkret dengan segera memanggil semua pimpinan parpol untuk menekankan keberpihakannya kepada rakyat. Tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri atas nama konstituennya, seperti banyak dikeluhkan rakyat selama ini. Presiden sebagai penanggung jawab konstitusional tertinggi terhadap kepentingan bangsa dan negara harus berada di atas semua parpol, dan menjaga kesewenang-wenangan parpol terhadap rakyatnya.

Presiden sebagaimana kelemahan selama ini, tidak boleh hanya berpangku tangan, melihat kesewenang-wenangan parpol tertentu yang tidak berpihak kepada rakyat, bahkan menggunakan kekuatannya untuk menekan kebijakan yang pro-rakyat. Presiden harus menunjukkan sikap kepemimpinannya yang tegas sebagai “jenderal” tertinggi negara ini.

Penulis adalah peneliti CIDES Indonesia

Last modified: 5/3/07


 

Revolusi Paradigma Menuju Inkorporasi Beras

Oleh MT Felix Sitorus

Pmbentukan inkorporasi beras dapat menjadi jalan keluar dari krisis perberasan nasional. Syaratnya, harus ada revolusi paradigma pertanian padi. Tidak seperti selama ini, hanya mengotak-atik instrumen pasar/produksi.

Paradigma yang meraja sekarang, yaitu paradigma ekonomi, melihat pertanian padi semata sebagai kegiatan produksi yang menga- winkan sejumlah sarana produksi untuk menghasilkan padi/beras. Peningkatan sarana produksi tertentu diyakini meningkatkan produksi padi.

Paradigma tersebut lalu mengukuhkan dominasi sarana produksi pupuk dan obat-obatan kimia. Tingkat produksi padi didalilkan berbanding lurus dengan tingkat penggunaan pupuk dan obat-obatan.

Paradigma ekonomi itu kini sedang mengalami krisis. Ia telah gagal menjawab masalah dasar pertanian padi yaitu kemunduran produktivitas usaha tani dan kesejahteraan petani. Karena itu pertanian padi sekarang ini sedang dalam kondisi krisis.

Sempat menaik semasa 1970-1985, sehingga swasembada beras tercapai, pertumbuhan produksi padi nasional cenderung menurun sejak paruh kedua 1980-an. Akibatnya, kita kembali mengimpor beras, sampai sekarang.

Peningkatan produksi padi sejak tahun 1970-an juga terutama dinikmati minoritas petani kaya. Sementara mayoritas petani miskin tani gigit jari.

Krisis pertanian padi itu berakar pada dua anggapan paradigma ekonomi yang menyesatkan. Pertama, asumsi bahwa produksi akan meningkat jika penggunaan pupuk dan obat-obatan meningkat. Faktanya, laju peningkatan produksi padi sejak akhir 1980-an cenderung menurun. Ini karena pemupukan telah merusak mutu tanah dan obat- obatan memicu resistensi hama dan penyakit tanaman.

Kedua, asumsi bahwa benih, tanah, dan daya petani adalah sarana produksi yang setara dengan pupuk dan obat-obatan. Ketiganya bukan sarana produksi melainkan unsur dasar pembentuk pertanian.

Ironisnya, debat pertanian padi atau perberasan selama ini justru mengukuhkan kedua anggapan sesat itu. Setiap musim tanam semua ribut soal pupuk dan obat-obatan. Persoalan mendasar yaitu krisis paradigma didiamkan.

Akibatnya, masalah dasar pertanian padi tak kunjung terpecahkan. Kemerosotan produksi/produktivitas dan kesejahteraan petani padi terus berlanjut. Keamanan pangan beras nasional menjadi rentan.

Tiga Kunci

Kini saatnya revolusi paradigma pertanian padi. Paradigma ekonomi telah gagal. Paradigma baru harus ditegakkan.

Paradigma ekologi budaya, yang melihat pertanian padi proses dan karya budaya, ditawarkan sebagai alternatif. Menurut paradigma ini, pertanian adalah interaksi triangular antara unsur-unsur dasar benih, tanah, dan daya petani, yang dipolakan secara unik oleh suatu bingkai budaya.

Paradigma itu bersandar pada tiga asumsi dasar. Pertama, benih, tanah, dan daya petani adalah tiga unsur dasar pembentuk pola pertanian padi. Karena itu pengembangan pertanian harus difokuskan pada ketiga unsur itu.

Kedua, benih adalah penentu utama tingkat kemajuan pertanian. Semakin tinggi taraf teknologi benih, semakin tinggi keunggulan pertanian. Efisiensi dan keefektifan sarana produksi ditentukan oleh tingkat teknologi benih.

Ketiga, sarana produksi bersifat suportif terhadap unsur dasar. Pupuk mendukung tanah, obat-obatan mendukung benih, dan alsintan mendukung daya petani. Karena itu fokus pengembangan inovasi pertanian harus bergeser dari tiga serangkai “pupuk-obat-alsintan” ke tiga serangkai “benih-tanah-daya”.

Dalam konteks revitalisasi pertanian, paradigma ekologi budaya memberi tiga kunci untuk mencapai sekaligus pemerataan, pertumbuhan, dan keberlanjutan. Kunci pertama, adalah penyediaan benih unggul bagi petani dengan dukungan institusi litbang dan industri benih yang kuat. Karena itu pengembangan perbenihan harus menjadi prioritas revitalisasi per-tanian padi.

Benih membuka pintu pencapaian tujuan revitalisasi dengan tiga cara. Pertama, interaksi benih unggul dengan tanah dan budaya tani yang tepat akan menghasilkan pertanian yang unggul. Kedua, kegiatan litbang yang kuat akan menghasilkan benih unggul ramah lingkungan yang menjamin keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan.

Ketiga, akses petani secara adil terhadap benih unggul akan menciptakan pertanian intensif, padat kerja, dan menghasilkan surplus besar sehingga pemerataan ekonomi tercapai.

Tiga cara itu mempersyaratkan reformasi perbenihan. Penelitian harus diarahkan pada diversifikasi benih, dengan memperhatikan potensi padi unggul lokal. Untuk menghindari produksi benih bermutu rendah, industri benih rakyat harus didampingi industri benih modern milik negara. Lalu negara menjamin distribusi benih kepada petani.

Kunci kedua adalah penyediaan tanah secara layak dan pasti dengan dukungan institusi litbang dan tata guna tanah yang kuat. Litbang tanah difokuskan pada pemulihan mutu sawah dan pengembangan potensi lahan kering.

Reforma pertanahan termasuk pengendalian konversi sawah dilakukan untuk menjamin distribusi tanah yang adil.

Kunci ketiga adalah pemberdayaan sosial-budaya petani dengan dukungan institusi litbang dan pemberdayaan petani yang kuat. Orientasinya adalah pemulihan dan pengembangan otonomi petani. Petani padi bersatu dalam organisasi korporasi yang kuat sehingga memiliki posisi tawar setara dengan pemerintah dan swasta.

Empat Kekuatan

Jika paradigma ekologi diterima, maka inkorporasi beras adalah institusi sekaligus organisasi yang relevan untuk praktik pertanian padi. Ide dasarnya adalah pertanian padi sebagai proses budaya, yang berpusat pada interaksi triangular organisasi korporasi petani, industri benih, dan institusi penelitian dan penataan tanah. Interaksi itu didukung sejumlah kekuatan yang membentuk jejaring inkorporasi.

Kekuatan pertama adalah sinergi benih-tanah berupa inovasi paduan benih-tanah dengan produktivitas optimal. Inovasi itu adalah hasil penelitian yang melibatkan institusi litbang benih, litbang tanah, penataan pertanahan, industri benih, dan organisasi korporasi petani.

Kedua, adalah kekuatan pasar sarana produksi padi (saprodi) sebagai hasil interaksi organisasi petani, industri benih, dan industri saprodi. Karena benih merupakan patokan kemajuan pertanian, maka pasar saprodi harus tunduk pada tuntutan kebutuhan benih.

Ketiga adalah kekuatan pasar kredit pertanian, yaitu kredit produksi dan kredit investasi pasca-produksi. Yang pertama adalah hasil interaksi organisasi petani, bank dan industri saprodi. Yang kedua hasil interaksi organisasi petani, bank dan organisasi perdagangan beras/padi. Di sini diperlukan kehadiran bank pertanian.

Keempat adalah kekuatan pasar beras/padi sebagai hasil interaksi antara organisasi petani, organisasi perdagangan beras/padi, dan konsumen. Jika kekuatan organisasi petani setara dengan organisasi perdagangan padi/beras, maka petani akan terbebas dari posisi penerima harga yang merugi.

Sekarang, apakah pemerintah berani menempuh langkah revolusioner seperti di atas? Atau tetap hanya mengotak-atik instrumen pasar/produksi yang sudah terbukti gagal seperti selama ini?

Penulis adalah Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Kepala Bagian Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB

Last modified: 6/3/07


 

Refleksi Menyambut Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2007

Kekerasan Belenggu Perempuan

Neni Utami Adiningsih

Masih ingat kasus yang dialami Siti Nur Jazilah, alias Lisa, pasien face-off pertama di Indonesia (bahkan di dunia)? Di Suara Pembaruan edisi 26 Januari 2007, dipajang foto Lisa saat mengikuti sidang, dengan terdakwa Mulyono, suaminya.

Wajah Lisa kelihatan aneh, seperti topeng yang bulat-gemuk, tak jelas mana mata, hidung, mulut, pipi, dahi, dan sebagainya. Raut cantiknya, telah lenyap. Air keras yang disiramkan suaminya, telah merenggutnya.

Kasus ini pantas disimak kembali. Terlebih di hari ini, ketika perempuan-perempuan sedunia memperingati hari Perempuan Internasional (8 Maret), yang dicanangkan sejak 1978, oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keberadaan hari ini tak lepas dari kenyataan akan begitu banyaknya masalah yang dihadapi perempuan.

Salah satu di antaranya adalah kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sungguh ironis. Rumah tangga yang semestinya menjadi lembaga yang paling membahagiakan bagi perempuan justru menjadi lembaga yang paling mengerikan.

Lisa, telah mengalami begitu banyak tindak kekerasan, mulai dari fisik, psikis, ekonomi hingga kekerasan seksual. Pada usia 15 tahun, usia yang masih sangat belia, ia menjadi korban perdagangan perempuan (woman trafficking), dipaksa menjadi pelacur. Di awal 2000, ia sudah harus melayani para hidung belang di kompleks pelacuran Bangunrejo, Surabaya.

Bayangkan, bagaimana kondisi fisik dan psikis Lisa ketika itu. Di usia yang wajarnya dilalui anak gadis dengan bersekolah dan mengikuti berbagai aktivitas, bahkan saat untuk bersenang-senang, kondisi sebaliknyalah yang harus dijalani Lisa.

Kondisi itu dialaminya selama empat bulan, sebelum akhirnya diajak pergi oleh Mulyono Eko, yang kemudian menjadi suaminya. Sosok laki-laki yang di satu sisi menolongnya dengan mengangkatnya dari lembah hitam, namun di sisi lain juga membuatnya semakin men- derita.

Pada Desember 2002, Mulyono melakukan pengania- yaan berat kepadanya. Mulyono menyiram mukanya dengan air keras, membuat wajahnya hancur berantakan.

Tidak Sendirian

Yang sangat mengkhawatirkan, Lisa tidak sendirian. Ada puluhan ribu korban kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Data Komnas Perempuan menunjukkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat.

Pada 2001, terjadi 3.169 kasus, meningkat 61 persen pada 2002 menjadi 5.163 kasus. Pada 2003 kasus kekerasan melonjak lagi 66 persen menjadi 7.787 kasus. Pada 2004, terjadi 14.020 kasus, dan pada 2005, terdapat 20.391 kasus yang dilaporkan, atau naik 69 persen.

Yang lebih mengerikan, 82 persen dari kasus yang terjadi pada 2005 itu, atau 16.615 kasus, merupakan tindak KDRT. Angka itu merupakan lonjakan hampir empat kali lipat dari angka KDRT yang terjadi pada 2004.

Sedangkan kekerasan dalam komunitas mencapai 15 persen atau 3.129 kasus, sisanya masuk ke dalam kategori kekerasan negara 0,3 persen, dan 2,7 persennya termasuk kategori lain-lain.

Dari jumlah kasus KDRT pada 2005 itu, kekerasan terhadap istri (KTI) sejumlah 4.886 kasus (29,41 persen), kekerasan dalam pacaran (KDP) 635 kasus (3,82 persen), kekerasan terhadap anak (perempuan)-KTA sebanyak 421 kasus (2,53 persen), kekerasan terhadap pekerja rumah tangga 87 kasus (0,52 persen).

Jenis kekerasan yang dialami, sangat beragam. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran. Korban pun tak mengenal usia, mulai dari anak hingga perempuan lanjut usia. Pelaku sebagian besar orang terdekat, seperti (mantan) suami, (mantan) pacar, kakak/adik ipar, mertua, paman, dan sebagainya.

Yang juga harus diwaspadai adalah kenyataan angka-angka di atas hanyalah bagian puncak dari fenomena gunung es kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal itu karena angka-angka tersebut hanya berdasar pada jumlah kasus yang dilaporkan, padahal dalam kenyataannya, tidaklah mudah bagi perempuan korban kekerasan melaporkan kasus yang dialaminya.

Entah karena alasan budaya, malu, tekanan/ancaman, dan sebagainya. Pelaku yang merupakan orang-orang dekat korban, menjadi salah satu pemicu korban enggan melapor.

Selain itu juga akibat masyarakat masih menjunjung tinggi sikap “mikul dhuwur mendhem njero”, berupaya menutupi kesalahan.

Hal itu pula yang dialami Lisa. Seandainya saja Lisa tidak menjalani operasi face-off, sangat besar kemungkinannya bila hingga saat ini, ia masih saja bersembunyi di balik tembok rumahnya, dan kita pun tidak mengetahui bila kerusakan wajah yang dialaminya itu akibat dari tindakan kejam suaminya.

Ubah

Untuk mereduksi terjadinya kasus kekerasan, terutama KDRT, langkah awal yang harus dilakukan adalah mengubah cara pandang. Yakni, dengan meletakkan KDRT sebagai bukan persoalan domestik, melainkan wilayah publik.

Karena berada di area publik, kasus tersebut punya hak sama derajatnya dengan pelanggaran publik lainnya, yakni mendapatkan sanksi yang sangat keras bagi pelaku.

Tindakan tanggap dari aparat kepolisian yang berinisiatif menyelidiki penyebab rusaknya wajah Lisa, yang kemudian berbuah pengakuan dari Mulyono (46), patut diapresiasi. Pada 1 April 2006, polisi menangkapnya.

Pada 4 April lalu, ia resmi menjadi tersangka, dan sejak 8 April ia menjadi tahanan Mapolwiltabes Surabaya. Pada 23 Januari 2007 sidang pertama dimulai.

Hendaknya tindakan tanggap itu juga diikuti dengan tindakan tegas dari hakim. Bukan rahasia bila hukuman bagi pelaku KDRT, umumnya masih ringan, tak jarang hanya beberapa bulan, bahkan ada yang hanya hukuman percobaan. Sungguh tak sebanding dengan luka fisik dan psikis yang mesti ditanggung korban.

Kondisi di atas, disebabkan oleh belum banyaknya aparat penegak hukum yang menggunakan UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Buktinya, dari 19 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan korban yang didampingi LBH APIK, cuma delapan yang ditangani dengan menggunakan UU PKDRT (Republika Online, 15 April 2006).

Juga harus terus disosialisasikan, terutama para korban, kekerasan terhadap perempuan tidak lagi tabu dibicarakan dan menjadi rahasia dalam rumah tangga. Jangan segan melaporkan ke aparat apabila mengalami kekerasan.

Langkah berikut yang mesti dilakukan adalah memberi kesempatan kepada perempuan mengakses pendidikan. Hingga saat ini, masih juga terjadi diskriminasi terhadap anak perempuan atas hak mendapat pendidikan.

Buktinya, sampai 2004, rata-rata lama sekolah perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki, yaitu 6,7 tahun, sedangkan laki-laki selama 7,4 tahun. Ini berarti rata- rata perempuan Indonesia hanya duduk hingga kelas 1 SMP.

Ketimpangan akses pendidikan juga dapat disimak dari angka persentase perempuan yang buta aksara lebih dari dua kali persentase laki-laki, yaitu 5,84 persen berbanding 12,28 persen.

Dengan bekal pendidikannya, perempuan akan mampu berpendapat dan mengambil keputusan yang terbaik baginya.

Semoga peringatan Hari Perempuan Internasional ini tidak sekadar menjadi seremoni, namun menjadi inspirasi yang terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kelak tak ada lagi kekerasan, tak ada lagi Lisa-Lisa yang lain.

Penulis adalah ibu rumah tangga yang sangat tertarik dengan

masalah seputar anak, perempuan dankeluarga; Penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga (Empowerment Family Studies Forum)

Last modified: 8/3/07


 

Elite Bangsa dan Budaya Orang Miskin

Sukowaluyo Mintorahardjo

Reformasi yang berjalan sembilan tahun terakhir belum menunjukkan demokrasi berkembang ke arah lebih baik. Syafi’i Maarif, mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan kegundahannya demokrasi di negeri ini berkembang menjadi bencana.

Penyebab dari keadaan itu ialah perilaku politisi yang menjadikan politik sebagai ladang mencari nafkah. Kalaupun ada yang baik, mereka terbawa arus hiruk-pikuk politisi yang berwawasan pendek dan berhati sempit. Di halaman koran terpampang foto spanduk Komite Pemuda Perjuangan (KPP) yang berbunyi, “DPR! You Don’t Care(Kompas, 6/3/’07).

Peristiwa lain, Asosiasi DPRD se-Indonesia berencana menuntut pemerintah yang merevisi PP No 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, dan mewajibkan anggota dewan mengembalikan tunjangan komunikasi yang telah diterima kepada pemerintah daerah, masing-masing melalui pemotongan gaji. Tidak semua anggota DPRD mendukung langkah itu.

Sikap dan perilaku sebagian anggota DPRD yang hanya peduli pada kepentingan sendiri itu, sangat tidak elok. Bila diperhadapkan dengan keprihatinan hidup rakyat yang terpaksa makan nasi aking, disharmonisasi sosial seperti terjadi di Poso dan Ambon, dampak sosial bencana lumpur Lapindo yang tak jelas nasibnya, karut-marut politik yang miskin etika dan kearifan, serta pemerintah yang gagal menunjukkan empati terhadap penderitaan rakyat, merupakan potret buram kehidupan bangsa.

Sepertinya kesejahteraan sosial yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 makin jauh dari genggaman. Pemimpin silih berganti, namun hingga sekarang masih saja tak berdaya mengubah neraca bangsa ini dari defisit menjadi surplus.

Lebih dari setengah abad merdeka, bangsa ini tak pernah jeda diterpa pelbagai cobaan dan krisis. Negara-negara tetangga yang sama-sama mengalami krisis moneter 1998 sudah bangkit kembali, ironisnya Indonesia masih tertatih-tatih dalam keterpurukan, belum juga terpulihkan.

Angka kemiskinan dan pengangguran terus meningkat. Bank Dunia menyebutkan angka kemiskinan mencapai 109 juta orang atau 49 persen dari jumlah keseluruhan penduduk. Sementara jumlah penganggur-an mencapai 12,6 juta (11 persen). Angka-angka tersebut meningkat drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Keadaan itu dikhawatirkan menghambat target Indonesia untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Abad Millenium (MDGs) pada 2015.

Human Development Index (HDI) rakyat Indonesia juga tidak menunjukkan perbaikan dibanding dengan negeri-negeri ASEAN lainnya. Indonesia hanya di peringkat 108, jauh tertinggal dari Singapura dan Malaysia. Melihat kondisi bangsa yang terus terpuruk, apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa ini? Pertanyaan itu sangat relevan untuk dikontemplasi dalam rangka membongkar paradigma sosial- budaya bangsa ini.

Mentalitas Orang Miskin

Sejatinya Indonesia adalah negeri yang diberikan karunia berlimpah-ruah dan tidak terbatas. Kekayaan alamnya tidak ada padanannya di dunia ini. Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki sumber daya manusia sangat besar.

Kalau saja dapat diwujudkan sinergi antara kekayaan alam dan sumber daya manusia yang dilengkapi kapasitas kepemimpinan dan manajerial memadai, kecakapan tehnis yang andal serta kemampuan memanfaatkan teknologi secara efektif, niscaya bangsa ini akan keluar dari nestapa kemiskinan, dan tampil menjadi bangsa yang maju dan berkemakmuran.

Sayang, keniscayaan itu jauh dari kenyataan karena ulah dan perilaku elite penguasa dan birokrasi pemerintahan yang korup, serakah, dan tidak peduli penderitaan rakyat dan bangsanya.

Kepentingan diri sendiri dan kelompok menjadi paradigma dan elan syahwat penguasa politik dan ekonomi serta birokrasi negeri ini. Akibatnya, kemaslahatan bersama dan kepentingan nasional secara sistemik dikesampingkan. Disadari atau tidak, apa yang diwacanakan dalam tingkat nasional seperti debat kusir seputar Amendemen UUD 1945, sekadar retorika politik semu yang tidak bermakna bagi pembebasan terhadap mentalitas kemiskinan maupun kemiskinan rakyat itu sendiri.

Potret keserakahan yang miskin empati seperti diuraikan di awal tulisan menjadi gambar menonjol dari mentalitas elite yang membawa bencana negeri ini. Lao Tzu, mengatakan, “Tidak ada bencana besar selain keinginan untuk menghambur-hamburkan. Tidak ada dosa besar selain tidak dapat menahan diri. Dan tidak ada malapetaka selain keserakahan.”

Lanskap keserakahan tampak nyata dalam pelbagai lini kehidupan. Sikap politisi daerah yang berencana menuntut pemerintah karena merevisi PP 37/2006 adalah refleksi dari mentalitas budaya orang miskin yang menjadi loba, tamak, serakah, tak peduli nasib orang lain yang menjadi susah.

Budaya penguasa bangsa ini yang selalu menginginkan apa yang dimiliki orang (melik, Jawa) meniscayakan perilaku yang selalu tertuju pada apa yang tidak dimiliki ketimbang memelihara apa yang dimiliki. Keadaan itu disebut dengan mentalitas orang miskin atau poverty mentality (Zig Ziglar). Dalam rentangan waktu mentalitas orang miskin itu akan membudidayakan manusia-manusia “machiavelian” yang loba.

Budaya Ksatria

Miskin etika juga menjadi karakteristik utama perilaku elite politik negeri ini. Syafi’i Maarif berpendapat, potret politik negeri ini mengalami defisit dalam tata nilai dan kearifan. Nilai sebagai sebuah lentera etis yang sejatinya menyinari setiap langkah dan perilaku elite politik hanya dijadikan referensi nilai yang sloganistik.

Indonesia saat ini memerlukan elite politik yang dalam pewayangan dikenal sebagai kelompok ksatria, kelompok kepemimpinan yang bersedia berkorban demi suatu tujuan besar: kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat luas. Ksatria dalam epos Mahabarata selalu menjunjung tinggi suatu etos yang berorientasi pada kemaslahatan masyarakat.

Tokoh ksatria seperti Bima, Harjuna, Gatutkaca, atau Abimanyu, selalu digambarkan sebagai pejuang yang siap mengorbankan dirinya sendiri demi membela suatu martabat, kehormatan, dan kejayaan bangsa dan negaranya. Seorang ksatria jauh dari sikap mementingkan diri sendiri, boros, konsumtif, serakah, tidak mampu mengendalikan diri.

Dalam konteks Indonesia sekarang, tampaknya pendidikan watak ksatria bagi kalangan elite bangsa menjadi sangat penting. Hal itu dimaksudkan agar elite bangsa ini mengalami transformasi dari mentalitas budaya orang miskin menjadi mentalitas budaya ksatria yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang mengagungkan keluhuran budi. Karena, kebahagian tidak berarti mendapatkan apa yang diinginkan melainkan menginginkan apa yang dimiliki untuk diabdikan bagi kemaslahatan orang banyak.

Sikap dan perilaku elite politik juga seharusnya mencerminkan nilai terima kasih atau syukur atas apa yang telah dimiliki. Rasa terima kasih (gratitude) merupakan suatu kearifan dari nilai keistimewaan yang memancarkan keluhuran budi dan rasa tanggung jawab yang sejati. Dapat dipastikan, manakala elite politik bangsa ini tidak mampu mentransformasikan diri dari budaya orang miskin kepada budaya ksatria, nasib bangsa ini akan selamanya menjadi soft-state yang terus terpuruk seperti dinujumkan Gunnar Myrdal (1968) dan ancaman sebagai “negeri bencana” akan sulit dihindari.

Penulis adalah Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demok asi Pembaruan (PKN-PDP) dan Pemimpin Lembaga Kajian Demokrasi (LKaDe)

Last modified: 9/3/07


 

Pesan Moral dari Bencana

Kasdin Sihotang

Air mata negeri ini tampaknya masih enggan untuk berhenti, karena bencana demi bencana tetap menjadi pemandangan umum di depan mata kita. Rentetan peristiwa sedih yang mendera bangsa ini seolah-olah ingin membenarkan adagium sejumlah kalangan bahwa Indonesia adalah negeri sejuta bencana.

Sejak memasuki tahun 2007, de facto telah terjadi sejumlah kejadian memilukan. Sebut saja di antaranya tenggelamnya Kapal Motor Senopati Nusantara, terbakar dan tenggelamnya Kapal Levina I, tanah longsor di Manggarai, gempa bumi yang menimpa sejumlah daerah di Sumatera Barat, serta terbakar- nya pesawat Garuda Indonesia di Yogyakarta, Rabu 7 Maret 2007.

Semua kejadian itu telah menelan ratusan korban jiwa. Hamparan mayat manusia lewat tayangan televisi atau lembaran depan media cetak seolah-olah menunjukkan betapa kurang berharganya nyawa manusia itu.

Pertanyaan kita tentunya, bagaimana kita menyikapi sejumlah bencana yang menimpa bangsa ini? Tidak bisa dimungkiri, semua tragedi itu membuat kita semakin pilu dan semakin menambah deretan daftar orang yang menderita penyakit psikis seperti stres dan depresi, karena kehilangan harta benda, lebih-lebih karena kehilangan orang-orang yang mereka cintai.

Pesan Moral

Tetapi, sebagai bangsa yang beriman dan berpengharapan, dari aneka bencana itu kita dapat memetik sejumlah pelajaran moral berharga. Penulis sendiri melihat sekurang-kurangnya tiga hal penting yang bisa kita petik sebagai pesan moral dari aneka bencana belakangan ini.

Pelajaran pertama, kita semakin disadarkan bahwa keserakahan telah menyengsarakan kehidupan kita sendiri. Sebagian besar bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta kecelakaan alat-alat transportasi tidak terlepas dari akibat dari ulah manusia.

Terkait dengan bencana alam kita tidak lagi menunjukkan sikap bahwa alam adalah bagian dari kehidupan kita. Alam justru kita perlakukan hanya sebagai objek kepentingan ekonomis belaka. Karena kita merasa penguasa atas alam, maka kita sewenang-wenang terhadapnya. Ekosistemnya kita hancurkan.

Alam sebagaimana dipotret oleh Ann Neiss bukanlah benda mati tanpa hukum. Alam justru bagian dari kehidupan yang mempunyai hukumnya sendiri. Ia bahkan dilihat sebagai pusat segala makhluk (biocentre).

Karena itu manusia menurut Neiss justru dituntut untuk mengikuti hukum alam manakala dia mau hidup dengan nyaman dan tenteram. Sebaliknya manakala manusia menghancurkan alam dan melawan hukum-hukumnya, ia akan sengsara dan menderita. Dan tampaknya kita memilih opsi kedua sebagai buah dari keserakahan itu.

Demikian halnya terhadap sarana transportasi. Keserakahan telah menghilangkan aturan kepatutan serta pengawasan ketat dan berkelanjutan atas mutu.

Melihat dampak negatif yang luar biasa itu diperlukan kesadaran semua pihak, khususnya para perusak alam dan para pemilik sarana transportasi serta aparat pemerintah, agar mau menghentikan sikap serakahnya dengan menunjukkan kepedulian pada ekosistem alam serta hukum-hukumnya.

Pelajaran kedua, sejumlah bencana telah mengajarkan kepada kita betapa penting menempatkan keselamatan manusia dalam penggunaan teknologi. Dan pengunggulan humanitas itu hanya terjadi kalau tanggung jawab moral menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemanfaatan teknologi.

Ambivalensi

Tidak bisa dimungkiri, teknologi telah membawa sejumlah perubahan yang sangat drastis dalam segala aspek kehidupan. Bahkan dapat dikatakan teknologi dewasa ini seolah-olah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia modern (co-existence).

Namun, amat perlu disadari oleh kita bersama apa yang sudah pernah diingatkan oleh Jacques Ellul tentang ambivalensi teknologi itu sendiri. Teknologi tidak saja berdimensi konstruktif dalam arti mengembangkan kehidupan manusia di berbagai aspek, tetapi juga berdimensi destruktif.

Artinya, teknologi justru bisa menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menghancurkan nyawa manusia dalam hitungan waktu yang sangat singkat, kalau manusia lalai terhadapnya.

Ellul sendiri sudah menyatakan bahwa bagaimanapun teknologi merupakan instrumen yang bersifat artisfisial dalam arti buatan manusia, bukan alat yang bersifat abadi. Sebagai alat artifisial teknologi memiliki kemampuan yang terbatas.

Maksimalisasi kemampuan yang terbatas demi kemajuan manusia hanya bisa terwujud ketika manusia memberikan perhatian atasnya melalui perawatan berkelanjutan. Dengan kata lain, agar teknologi bisa semakin membuat kehidupan manusia lebih baik, diperlukan kepedulian terhadapnya.

Hans Jonas (1977) bahkan lebih jauh menghubungkan kepedulian pada kualitas teknologi dengan tanggung jawab moral. Menurutnya kepedulian itu merupakan salah satu dari perwujudan tanggung jawab moral terhadap keselamatan manusia.

Karena teknologi tidak bisa merawat dirinya sendiri, maka manusialah yang harus melakukannya. Dan perawatan maksimal itu sesungguhnya merupakan wujud nyata dari kepedulian pada keselamatan manusia itu sendiri.

Tampaknya gagasan tanggung jawab moral dalam teknologi seperti digagaskan Hans Jonas di atas masih jauh dari perhatian kita, khususnya pihak-pihak yang terkait. Akibatnya, bencana demi bencana khususnya lewat alat-alat transportasi terus terjadi.

Sadar atau tidak kita telah menempatkan teknologi transportasi sebagai alat pembunuh sesama bangsa kita, karena sikap apatis pada perawatannya.

Menurut hemat penulis, kejadian yang menimpa bangsa belakangan ini, khususnya kecelakaan dalam bidang transportasi seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya mengembangkan etika kepedulian, meminjam Carol Gilligan (1985), sebagai tanda hidupnya tanggung jawab moral dalam teknologi.

Maksimalisasi etika kepedulian itu justru menjadi tanda besarnya kepedulian kita pada humanisme dalam teknologi itu sendiri.

Pelajaran ketiga adalah kesadaran bahwa kita bukanlah penguasa mutlak atas alam semesta melalui teknologi yang kita ciptakan. Manusia (baca: kita) tetaplah bagian dari makrokosmos. Sebagai bagian dari makrokosmos manusia harus tetap mengakui bahwa masih ada Penguasa di luar dirinya.

Karena itu pesan Erik Fromm (1978) yang berintikan agar manusia modern jangan menempatkan diri sebagai Tuhan tetap relevan ditempatkan sebagai bahan refleksi modernitas.

Dengan kata lain, memupuk semangat religius tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia modern. Terutama berhadapan dengan bencana, semangat iman ini menjadi tumpuan dan sandaran untuk ketenangan jiwa di era modern ini.

Semangat religius yang besar ini pulalah yang mampu mendorong kita keluar dari keterpurukan dalam aneka aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga.

Penulis adalah dosen Filsafat, Lektor Etika dan staf Inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta

Last modified: 10/3/07


 

“Human Factors” Musibah Garuda

Oleh Suryanto W

Hari Rabu (7/3) pukul 07.05, pesawat Garuda 737-400 nomor penerbangan GA-200 mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Menlu Australia Alexander Downer (dalam kaitan beberapa korban warga Australia), menyimpulkan penyebab kecelakaan murni flight incident. Bukan hasil kerja teroris.

Sebenarnya, musibah di atas lebih tepat dikategorikan flight accident, mengingat pesawat terbang total loss, korban jiwa cukup signifikan. Menurut definisi ICAO (Organisasi Penerbangan Internasional), kriteria dahsyatnya kehancuran pesawat dan melayangnya nyawa 22 orang cukup memenuhi batasan suatu kecelakaan (accident), bukannya kejadian (incident).

Pesawat berumur 12 tahun dan masuk jajaran Garuda Indonesia lima tahun itu, dikategorikan bukan pesawat tua. Cuaca cerah selama perjalanan, termasuk cerahnya udara di bandara tujuan, disambut baik awak pesawat. Bagi kapten pilot dan kopilot yang sedang menapaki jam-jam pertamanya hari itu (awal dari batas delapan-sembilan izin jam terbang per hari), diawali dengan serba menjanjikan.

Seharusnya, istirahat malam hari yang berkualitas, akan mendukung kebugaran fisik yang prima. Sayangnya, kantor Flight Surgeon Office di bandara keberangkatan (kalau memang ada), selama kegiatan Preflight Medical Check atau pemantauan kesehatan awak pesawat menjelang tugas terbang, terpusat pada pemeriksaan kebugaran fisik. Jarang termasuk pencermatan terhadap status mental psikologisnya.

Latihan berkala tiap enam bulan dengan flight simulator adalah kewajiban semua pilot airlines untuk mempertahankan lisensi terbangnya. Pilot dan kopilot harus lulus ujian simulator. Penerbang adalah nakhoda pesawat, yang dipercaya kemahirannya membawa penumpang selamat dalam perjalanan udara.

Begitu pintu kabin ditutup, penerbanglah yang berwenang mengendalikan penerbangan, sekaligus bertanggung jawab atas kelancaran dan keselamatan penerbangan sampai tempat tujuan. Di situ disadari, pilot termasuk salah satu manusia dalam rangkaian panjang aspek human factors di industri penerbangan.

Tentu masih banyak manusia lain yang ikut bertanggung jawab, yakni, perancang pesawat, ahli cuaca, manajemen airlines, regulator atau yang berwenang membuat peraturan penerbangan, penumpang, serta masih banyak lainnya, yang ikut berperilaku safety behavior. Yang terakhir itu diawali dengan adanya safety culture dari semua pihak.

Proses menerbangkan dan mendaratkan pesawat, dapat dikatakan tahap critical stage. Pilot harus menyentuhkan pesawat terbang yang ratusan ton beratnya dari ketinggian, secara bertahap, menjejak permukaan landasan dengan “empuk” di landing spot yang tepat. Frekuensi kecelakaan tersering terjadi ketika mendarat (32 persen) dibandingkan saat lepas landas (22 persen), atau bahkan ketika pesawat cruising atau tahap mengarungi penjelajahan yang hanya 9 persen.

Paul A Craig, instruktur penerbangan senior dari Tennessee, AS, menulis dalam bukunya, The Killing Zone, mendaratkan pesawat terbang bukanlah hal rutin yang kebetulan. Mendaratkan pesawat adalah proses penahapan dengan persiapan cermat, ditambah pengalaman cukup, serta konsentrasi ketat. Suatu keterampilan bernuansa seni.

Kebakaran

Kejadian kebakaran pesawat Garuda di Adi Sutjipto ini ditepis Menlu Australia, yang mencermati segera dengan mendekati lokasi on the spot, sebagai akibat aksi terorisme. Tertarik akan pernyataan itu, kita tengok proses pendaratan itu.

Kriminolog Adrianus Meliala, korban selamat, ketika diwawancarai TV sesaat kejadian mengisahkan, pesawat menyentuh tanah dengan kecepatan lebih tinggi daripada kecepatan pendaratan biasa. Ketika roda menyentuh aspal landasan, pesawat terguncang dan mengudara kembali. Kondisi semacam itu beberapa kali terjadi, diakhiri berhentinya pesawat sebelum semua lampu listrik padam. Tercium bau hangus serta terpercik sinar-sinar di rangkaian kabel-kabel di balik panel kabin. Di pangkal sayap sebelah kanan terjadi ledakan, diikuti masuknya asap ke seluruh kabin. Beruntung pintu-pintu darurat sudah dibuka seorang awak kabin.

Menilik kisah itu, terpikir ketika pesawat mendarat dengan kecepatan tinggi, dan tiba-tiba roda menyentuh tanah dengan agak keras, sesaat kemudian pesawat “kuda- kudaan”, meloncat-loncat (istilah yang sering dipakai siswa sekolah penerbangan), mengingatkan istilah skidding di pendaratan.

Yang dimaksud, roda-roda bukan berhenti berputar saja, tetapi meluncur di aspal landasan diseling terloncat ke udara, juga dalam posisi tak berputar. Tak pelak, Boeing 737-400 Garuda meloncati kali kecil, meloncat nyelonong pagar ujung batas landasan dan berhenti di rerumputan luar landasan pacu. Kenapa terjadi kebakaran?

Teknik pendaratan, terutama pada landasan sedikit pendek, memerlukan beberapa macam pelaksanaan, seperti critical speed, pengendalian flaps (dapat berfungsi sebagai rem di ketinggian), dan power control. Biasanya pilot membuat full flaps untuk mempersiapkan steepest approach, sedikit menghunjamkan pesawat ke arah landasan. Kadang pilot memvisualisasikan adanya obstacle (halangan), misalnya bayangan sederet pohon dengan ketinggian tertentu (misal 50 kaki), yang seolah berada di ujung landasan, guna lebih waspada dalam ketinggian pesawatnya.

Guna pendekatan dengan ketinggian itu, ia mengusahakan pesawatnya tidak menyentuh landing spot terlalu jauh di tengah landasan, sehingga pendaratan diakhiri overshooting atau kebablasan. Seterusnya ketika sampai saat short final, dengan roda-roda pendaratan sudah dibuka pelindungnya, full flaps, dan kecepatan cukup diturunkan bertahap sampai power off. Setelah (mesin) flare di ketinggian obstacle, atau hambatan bayangan tadi, pesawat siap touch down menyentuh landing spot yang benar.

Saat menyentuh tanah, seluruh bobot pesawat, ditransfer dari penyangganya, yaitu kedua sayap utama ke seluruh roda pendaratan, sambil semua flaps ditarik (retracting flaps). Dampak pendaratan semacam itu, fungsi brakes (rem-rem di roda) menjadi lebih efektif. Pesawat meluncur mulus tanpa skidding atau menampilkan pendaratan “kuda-kudaan”, sampai berhenti.

Mengerem secara berlebihan dapat saja terjadi. Sayangnya, ada pengalaman pilot menghadapi kondisi roda-roda yang “lock-up“. Konon itu terjadi karena roda pesawat belum atau tidak dilengkapi peranti sistem antilock. Bila roda-roda pesawat terkunci atau macet sehingga roda tersebut tak berputar, rangkaian roda bukannya menggelinding di landasan tetapi skidding atau meluncur tanpa putaran. Akibatnya terjadi getaran kuat yang menjalar ke fuselage atau badan pesawat dan terloncat-loncat.

Karena roda pesawat terloncat kembali di udara, yang berakibat tak ada fungsi mengerem, pesawat terbang terhambat pengeremannya. Dengan perkataan lain, nyelonong atau overshoot keluar landasan. Sedangkan ketika roda-roda skidding atau macet tergelincir, menjadikan gundul atau cacatnya permukaan ban, yang memang sering terjadi. Karena permukaan karet di ban-ban tersebut meleleh akibat suhu tinggi gesekan peluncuran tanpa penggelindingan.

Bahkan seorang instruktur penerbangan yang punya banyak pengalaman terbang pun mengalami kejutan ketika pada suatu malam terpaksa melakukan pendaratan dengan cara overbreaking (suatu incident). Ia mengerem secara berlebihan dengan maksud mencegah kedekatan jarak dengan pesawat lain yang menggunakan landasan. Apa yang terjadi?

Ketika ia menaksikan pesawatnya ke apron bandara, ia mengamati warna merah menyala di sistem rem di roda pesawat yang baru didaratkan. Rupanya logam-logam di roda serentak menyala kemerahan karena overheating. Ia tidak mengira sepanas itu akibat dari pengereman yang berlebihan. Ia bayangkan kalau terjadi di siang hari, banyak penerbang tidak sempat mengamati fenomena itu.

Kita renungkan proses pemanasan berlebihan pada logam roda pesawat yang sebenarnya merupakan proses terbakar. Kondisi itu sudah dikategorikan emergency atau kedaruratan. Apa jadinya kalau kita juga memperhatikan bagian pesawat apa saja di dekat roda-roda pendaratan itu? Tangki bahan bakar! Isinya zat kimia cair yang rentan dilalap api!

Kalau pilot tak menyadari dan terus melakukan overbreaking, ban-ban di roda akan meledak karena memuai terkena panas berlebihan atau terbakar. Bahkan alat pemadam kebakaran ukuran kecil di kabin pesawat tak mampu berbuat apa pun.

Penulis adalah Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan, pernah bekerjasebagai Flight Safety Manager di perusahaan penerbangan, tinggal di Jakarta

Last modified: 12/3/07


 

Politik Tanpa Moralitas

Oleh Triyono Lukmantoro

Politik tidak identik dengan semua persoalan yang bermuara pada teknik bagaimana mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan. Politik adalah permasalahan yang berujung pangkal pada kemampuan politisi menyejahterakan masyarakat.

Kalangan politisi memiliki kewajiban untuk mendorong terwujudnya keadilan dalam kehidupan sosial. Cara terbaik yang dapat ditempuh adalah merealisasikan integritas moral. Seorang politisi yang tidak mengetahui dan bahkan melakukan tindakan diskriminatif, layak dipertanyakan kepantasan moralnya. Dalam kondisi moralitas semacam itu, sang politisi telah terasing dari masyarakatnya.

Benarlah apa yang dikemukakan Aristoteles (384-322 SM), dalam karyanya yang berjudul Politics, ketika dengan lantang berteriak: “Dia yang tidak mampu hidup dalam masyarakat, atau dia yang tidak membutuhkan sama sekali masyarakat karena merasa mampu mencukupi dirinya sendiri seharusnya menjadi binatang buas atau Tuhan!”

Jika pernyataan Aristoteles itu dikonseptualisasikan dalam kehidupan politik, maka politisi dapat berposisi dalam kedudukan yang ekstrem. Yakni, pada satu sisi mampu menjadi binatang buas yang memangsa sesamanya, atau dalam sisi yang lain, sang politisi dapat berlaku layaknya Tuhan yang bijaksana.

Hanya saja, jika merujuk pada kondisi perpolitikan di Indonesia, peluang pertama yang mungkin dapat diwujudkan. Sementara itu, peluang kedua mustahil dimanifestasikan, bahkan sekadar diimpikan pun menjadi tidak layak sama sekali. Perpolitikan di Indonesia selalu diwarnai berbagai perilaku diskriminatif dan jauh dari kepantasan moral. Setidaknya, fenomena relasi antara politik dan moralitas itu dapat dilihat pada dua kasus yang menonjol.

Pertama, desakan yang muncul dari sejumlah komponen masyarakat untuk membubarkan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR). Wacana pembubaran BK DPR dipicu oleh tindakan diskriminatif. BK DPR menghentikan penyelidikan terhadap Agung Laksono, Ketua DPR, yang diduga menyalahgunakan kewenangannya.

Kasusnya adalah dalam acara bertajuk Safari Ramadan pada 2006, Agung Laksono membagi-bagikan voucher dana pendidikan yang dititipkan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam aksi karitatif itu, Agung menggunakan fasilitas DPR, seperti kendaraan karyawan. Selain itu, Agung juga diduga masih berstatus sebagai komisaris AdamAir sampai pada Maret 2006.

Kedua, kasus pelaporan balik terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki yang dijalankan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra atas dugaan penunjukan langsung pengadaan alat penyadap. Langkah itu dijalankan Yusril hanya beberapa saat seusai diperiksa KPK terkait dengan penunjukan langsung dalam pengadaan sistem identifikasi sidik jari otomatis pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kejadian itu memberikan kesan kuat Yusril tidak sudi diperiksa KPK. Padahal, bukankah hukum harus diterapkan kepada siapa saja, tidak terkecuali kepada seorang menteri?

Diwarnai Ketidakadilan

Kasus Agung Laksono dan kasus Yusril Ihza Mahendra adalah pembuktian bahwa menjalankan tindakan dalam dunia politik selalu diwarnai ketidakadilan dan ketidakpantasan. Bergulirnya ketidakadilan dalam perpolitikan akibat adanya pihak yang diperlakukan secara diskriminatif hanya karena kalah besar dalam soal dukungan kekuasaan.

Sedangkan munculnya gejala ketidakpantasan moral dapat berlangsung ketika ada pihak yang menggugat integritas moral orang lain, ironisnya, pihak yang mengemukakan gugatan itu ternyata terlibat dalam praktik immoralitas itu sendiri. Semua peristiwa itu dapat terjadi karena ada pihak yang merasa memiliki privilese yang tidak boleh ditanyakan.

Harus ditegaskan, sebagaimana dikemukakan James Rachels (dalam Filsafat Moral, 2004: 38-40), moralitas meliputi gagasan untuk tidak menjalankan keberpihakan. Gagasan dasarnya adalah setiap kepentingan individual memiliki kepentingan yang sama. Atau, dengan rumusan lebih tegas, dalam perspektif moral, tidak ada satu pihak pun yang boleh diistimewakan.

Konsekuensinya adalah tuntutan untuk tidak berpihak pada prinsipnya merupakan suatu penolakan terhadap sikap sewenang-wenang dalam perlakuan terhadap sesama. Kesemua itu memberikan penegasan bahwa di hadapan evaluasi etis seharusnya kita tidak memedulikan status dan jabatan seseorang.

Apalagi, dalam setiap lingkup jabatan politik tertentu, biasanya terdapat kode etik. Standar moralitas jabatan politik telah diregulasikan secara eksplisit dalam sebentuk tata aturan yang terurai dengan sistematis dalam bab, pasal, maupun ayat. Namun, keberadaan kode etik dalam jabatan politik bukan berarti menyingkirkan nilai-nilai baru etika yang terdapat dalam masyarakat. Itulah sebabnya kode etik harus selalu direvisi sesuai dengan tuntutan historis dan sosiologis yang melingkupinya. Sebab, kode etik hanya mengikat ruang lingkup komunitas moral secara khusus, misalnya anggota DPR atau jabatan politik kenegaraan yang lain.

Memang benar, kode etik telah mengatur domain preskriptif (apa yang boleh dan seharusnya dijalankan) dan wilayah proskriptif (apa yang tidak pantas serta tidak boleh dijalankan). Namun, kode etik tidak selamanya bersifat eksklusif, karena setiap anggota masyarakat pun diperbolehkan mengaksesnya.

Pemberlakukan secara eksklusif hanya berlangsung dalam level penindakan terhadap politisi yang dianggap melanggar standar-standar moralitas yang tertulis dalam kode etik. Pihak yang boleh mengambil tindakan itu adalah komisi etik, yang dalam lingkup politik diberi label beraneka rupa, seperti dewan kehormatan, badan kehormatan, dan sebagainya.

Kode etik juga bersifat inklusif yang berarti melibatkan seluruh masyarakat di luar komunitas moral politik. Hal itu dimaksudkan supaya setiap anggota masyarakat mampu menilai dan memperdebatkan perilaku dan tindakan politisi. Melalui kode etik itu pula, masyarakat dan kalangan politisi dapat mengukur tujuan-tujuan ideal politik yang harus dicapai dan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan dalam kualifikasi etis.

Selayaknya kalangan politisi, baik yang berstatus sebagai wakil rakyat, aktivis partai politik, maupun pejabat pemerintahan, menengok kembali makna awal kata politik itu sendiri. Politik berasal dari bahasa Yunani, politikos yang bermakna menyangkut warga negara, polites yang berarti seorang warga negara, polis yang memiliki pengertian sebagai kota atau negara, dan politeia yang memuat pengertian kewargaan. Jadi, sedari awalnya politik tidak berkaitan sama sekali dengan kekuasaan.

Politik tidak lain adalah upaya meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Politik tidak memberikan keistimewaan sedikit pun bagi kalangan elite yang sedang berkuasa.

Bahkan lebih dari itu, Aristoteles berpendapat politik merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok. Manusia adalah makhluk-makhluk polis (negara-kota). Kecenderungan alamiah dari manusia adalah membentuk kelompok, bertindak dalam kelompok, dan bertindak sebagai kelompok.

Maksud politik sama dengan tujuan etika dan sama dengan tujuan kehidupan manusia pada umumnya, yakni mencapai eudaimonia, kesejahteraan yang sangat penting bagi setiap orang (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 1996: 857).

Namun, adakah kesadaran dalam diri para politisi bahwa politik adalah sarana untuk mendapatkan kesejahteraan dalam suasana kewargaan? Apabila kalangan politisi masih tidak tahu, dan bersikap masa bodoh, mengenai politik yang bertujuan mewujudkan kesejah- teraan warga, itulah kondisi yang disebut politik tanpa moralitas.

Penulis adalah pengajar filsafat pada FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Last modified: 13/3/07


 

Pentingnya Solidaritas

Oleh Asep Purnama Bahtiar

Adakah kosa kata yang lebih tepat untuk menyatakan kepedulian dan empati kepada masyarakat Indonesia atau kehidupan kita dewasa ini selain solidaritas? Vokabuler itulah, hemat penulis, yang relevan menjadi kata kunci bagi elite dan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari sekarang. Solidaritas itu bukan saja menjadi keniscayaan untuk disadari, tetapi juga harus meningkat menjadi tindakan dan program aktual yang bisa meringankan kesulitan hidup masyarakat kebanyakan.

Keniscayaan dan kemendesakan gerakan solidaritas tersebut, baik pada tingkat kesadaran maupun pada tingkat tindakan yang sistemik dan terencana, adalah karena masih banyak masyarakat di negeri ini yang ditimpa bencana alam dan kecelakaan sarana transportasi yang menelan ratusan jiwa. Bencana alam masih menyisakan pekerjaan rumah untuk pemulihannya.

Di samping bencana alam, rakyat di negeri ini juga dibebani kebijakan pemerintah yang kemudian menimbulkan ekses dan dampak negatif dalam kehidupan sosial- ekonominya. Kenaikan harga BBM lebih dari seratus persen, menciptakan efek domino dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok serta harga barang dan jasa lainnya. Pemberian kompensasi kenaikan BBM seratus ribu rupiah per keluarga, selain tidak bisa menutupi pengeluaran biaya hidup, juga kemudian melahirkan kisah pahit.

Ironisnya, di tengah-tengah penderitaan rakyat itu anggota DPR dan DPRD menikmati kenaikan tunjangan operasional dan komunikasi puluhan juta rupiah dan pelesiran ke luar negeri. Pejabat dan pengelola negara pun asyik menaikkan gaji dan tunjangan.

Petaka sosial-ekonomi bangsa sekarang ini tidak berbeda dengan bencana alam dalam hal dampak negatif dan tragedi kemanusiaannya. Karena itu, dengan melihat akibat buruk dan eksesnya pada aspek- aspek kehidupan yang lain, sangat beralasan jika rententan bencana dan petaka itu semestinya menyadarkan kembali kita mampu hidup tanpa membutuhkan kehadiran orang lain dalam sistem sosial dan orde kehidupan yang dijalani bersama secara bermakna.

Bencana sosial-ekonomi tersebut sesungguhnya perlu juga dipahami sebagai pancingan bagi kita untuk memberikan perhatian dan bantuan kepada masyarakat yang sedang ditimpa musibah bencana alam dan korban kebijakan pemerintah yang tidak bijak itu. Berbagai jenis bencana dan petaka tersebut seolah-olah memendarkan sinyal “SOS” agar orang-orang yang selamat, serbakecukupan, dan punya kekuasaan segera memberikan perhatian dan mengulurkan tangan. Dalam hal ini, kecaman dari kaum cendekiawan yang peduli nasib rakyat serta kritik dari kalangan akademisi yang masih punya hati nurani terhadap kebijakan pemerintah itu, juga bisa dimaknai sebagai sinyal solidaritas dimaksud.

Bentuk solidaritas dalam kasus bencana sosial-ekonomi itu tampaknya tidak berbeda dengan respons serupa kalau terjadi bencana alam. Kita masih ingat, ketika terjadi gempa bumi dan tsunami yang melanda wilayah NAD dan Sumatera Utara dua tahun lalu, respons dan kepedulian masyarakat berbagai lapisan dan golongan segera terbentuk. Mutatis mutandis dengan kejadian bencana alam, solidaritas bagi korban petaka kenaikan BBM dan keputusan-keputusan pemerintah yang merugikan kepentingan publik pun sekarang harus terorganisir dan terbangun secara partisipatif dari berbagai pihak dan masyarakat.

Secara leksikal, solidaritas merupakan gabungan dan kesepakatan dari seluruh elemen atau individu, sebagai satu kelompok; kesatuan yang lengkap, seperti dari opini, tujuan, kepentingan, perasaan, dan sebagainya (lihat: Webster’s New World Dictionary, 1998). Dalam bentuk dan cakupannya, solidaritas dimaksud lazim diistilahkan solidaritas sosial. Menurut David Jary dan Julia Jary (1991), solidaritas sosial adalah suatu integrasi, dan derajat atau tipe integrasi tersebut dimanifestasikan oleh masyarakat atau kelompok.

Daya dan fungsi solidaritas sosial terbangun karena di dalamnya terjalin integrasi, kesatuan dan kepaduan dari pelbagai sumber daya untuk berempati dan bergerak bersama guna menolong orang yang kesusahan atau untuk kepentingan rakyat yang membutuhkan. Hal seperti itulah yang mesti terdapat dalam pikiran, sikap, dan tindakan elite di negeri kita; dan juga dalam pandangan hidup dan perilaku masyarakat untuk saling membantu dan meringankan beban sosial-ekonomi.

Kondisi bangsa yang menyesakkan dan memprihatinkan seperti sekarang ini harus membangunkan kembali rasa kesetiakawanan, kebersamaan, dan kepedulian pada diri bangsa setelah sekian lama asyik dengan konflik dan pertikaian memperebutkan kepentingan sendiri dan partainya. Respons dan fenomena positif dari kohesi sosial masyarakat yang bisa terbangun untuk membuktikan kepedulian dan kebersamaan dalam menanggung beban sosial-ekonomi itu -meminjam istilah Emile Durkheim– termasuk bentuk solidaritas mekanis. Menurut Durkheim, solidaritas itu dibangun atas dasar common roots dari identitas dan similaritas.

Dalam konteks Indonesia, keanekaragaman suku, budaya, bahasa, agama, dan perbedaan-perbedaan artifisial lainnya sesungguhnya telah dipadukan oleh identitas kebangsaan dan kesamaan sebagai sesama makhluk Tuhan. Meskipun majemuk dan berbeda-beda, tetapi sense of humanity dan kesamaan atensi secara psikologis untuk membantu masyarakat yang tertimpa musibah dan menjaga kemaslahatan bersama bisa menjadi asas bagi terbentuknya solidaritas.

Menjaga Solidaritas

Bangunan solidaritas mekanis tersebut memiliki kriteria fundamental, yakni kemampuannya memobilisasi seluruh masyarakat yang berpengaruh sangat kuat bagi terbentuknya kesadaran umum atas kepercayaan dan praktik sosial. Karena derajat proliferasi nilai dan kepercayaan bersama itu memperluas seluruh masyarakat, kohesi sosial menjadi intens dan ikatan individu terhadap masyarakat menjadi kuat dan disatukan (Ken Morrison, 1997).

Solidaritas tadi memiliki dasar pijakan yang kokoh dan arah tujuan yang jelas: kemanusiaan dan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang terkena musibah bencana alam atau menjadi korban kebijakan pemerintah dan perilaku elite yang tidak peka dengan nasib rakyat. Solidaritas yang terjaga oleh kehidupan bangsa yang memprihatinkan itu tentu saja bisa menjadi kekayaan budaya bangsa yang berharga, sehingga memerlukan penyikapan dan tindak lanjut yang signifikan mengejawantahkannya.

Sebab, jika solidaritas itu hanya menjadi momentum sesaat -karena ada bencana alam atau kebijakan penguasa yang tidak memihak rakyat misalnya- pada akhirnya akan menjadi artifisial. Solidaritas yang artifisial sangat rentan bagi terjadinya manipulasi dan deviasi untuk kepentingan tertentu; mengharap dukungan politik di balik bantuan. Sangat tidak elok bila bangunan solidaritas membantu korban bencana alam, menolong kaum mustadh’afin dan masyarakat yang termarjinalkan itu ditempeli rencana-rencana dan tujuan-tujuan tersembunyi, seperti untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Ibarat rumah indah dan kokoh, dicemari grafiti yang norak dan tidak senonoh.

Semua pihak harus menyadari solidaritas untuk masyarakat dan kemasalahatan bersama itu harus terus dijaga dan dipertahankan. Untuk kepentingan kemanusiaan dan dalam jangka panjang, solidaritas yang dijaga bukan saja akan menjadi dorongan moril dan materiil bagi korban untuk bertahan hidup wajar, tetapi juga memberikan energi dan modal sosial untuk membenahi sikap dan pandangan hidup yang lebih sehat dan tegar.

Karena itu, solidaritas dimaksud tidak hanya dalam bentuk tekanan publik dan mosi tidak percaya dari cendekiawan dan pemuka agama yang berpihak kepada masyarakat bawah, tetapi juga dengan mengelola potensi dan kesadaran kemanusiaan bersama untuk berempati dan bertindak konkret bagi kepentingan orang banyak. Karena itu, solidaritas harus bertransformasi dari suatu kesadaran menjadi tindakan.

Kesadaran dan tindakan dalam bingkai solidaritas itu menjadi sesuatu yang urgen dalam tata sosial dan orde kehidupan kita agar lebih beradab dan bermartabat. Solidaritas yang tergugah kembali itu harus menjadi nilai tambah dalam menyikapi peristiwa bencana dan petaka, khususnya dalam kehidupan masyarakat kita. Sebagai makhluk beragama dan homo socius, solidaritas (dari kesadaran ke tindakan) itu juga harus menjadi daya hidup dan autentisitas iman agar hidup semakin bermakna dan maslahat.

Penulis adalah dosen di Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta

Last modified: 14/3/07


 

Bencana dan Introspeksi Diri

Andreas A Yewangoe

Negeri kita tidak henti-hentinya dirundung malang. Malapetaka demi malapetaka terus menimpa, baik yang murni disebabkan alam, maupun karena keteledoran manusia.

Betapa tidak. Kita belum selesai dengan lumpur Lapindo, yang sejak sembilan bulan lalu menyembur tanpa dapat dicegah dan menutupi desa-desa di Sidoarjo, kita menghadapi lagi berbagai bencana baru.

Air bah yang menutupi 70 persen Kota Jakarta, sehingga memudarkan kewibawaannya sebagai Ibukota Negara, sampai sekarang masih terus melekat dalam ingatan kita.

Sementara kita berusaha memulihkan kembali kehidupan di Ibukota, kita ditimpa lagi berbagai malapetaka lain, tanah longsor di Manggarai (NTT), gempa di Solok dan sekitarnya (Sumatera Barat), angin puting beliung di Yogyakarta, dan malapetaka-malapetaka lainnya.

Kita pun masih termangu- mangu dengan kecelakaan beruntun lalu-lintas: pesawat Adam Air yang sampai sekarang belum diketahui rimbanya, kecelakaan KM Senopati Nusantara yang sebagian besar penumpangnya belum ditemukan, berkali-kali kereta api anjlok, dan seterusnya.

Sebelum mampu mencerna itu semua, tiba-tiba kita dikejutkan la-gi dengan terbakarnya Ro-Ro Levina I di Teluk Jakarta dan pesawat Garuda di Bandara Adi Sutjipto-Yogyakarta.

Levina I malah masih meminta korban lagi justru ketika sedang diteliti orang-orang yang mestinya mampu menyelamatkan diri. Sedangkan kecelakaan Garuda juga sangat “aneh”, karena terjadi di pagi cerah yang indah ketika para awak berada pada puncak kesegaran setelah istirahat malam sebelumnya.

Semua itu membuat kita gundah. Wajarlah apabila di tengah kegundahan itu kita bertanya, ada apa sesungguhnya dengan bangsa kita? Mengapa bencana datang silih berganti? Mengapa kita tidak diberikan waktu menuntaskan dulu akibat bencana-bencana sebelumnya, sudah disusul lagi bencana-bencana lainnya?

Tidak Disiplin

Serangkaian pertanyaan “mengapa” ini sulit dijawab secara memuaskan. Mengenai bencana alam yang murni disebabkan oleh alam, tentu “mudah” kita menjawabnya.

Dengan mudah kita mencari dalih, itulah “alam”, kita tidak mampu memprediksinya. Dalih itu pun tidak sungguh-sungguh kuat, sebab oleh kemajuan iptek sekarang bukannya tidak dapat sama sekali kita mengantisipasi berbagai bencana alam serta berbagai dampaknya.

Akan halnya musibah yang disebabkan oleh manusia, kita hanya dengan mengurut dada mengacu kepada ketidakdisiplinan kita. Bangsa kita memang terkenal sebagai bangsa yang tidak disiplin pada segala lini. Gambarannya bisa dilihat dengan sangat mudah di mana-mana. Dalam berlalu lintas di jalan raya, misalnya, kita cenderung gemar bercanda dengan maut.

Mau lihat lagi contoh di mana percandaan dengan maut dilakoni? Tengoklah di pompa bensin. Tiba- tiba saja ada orang yang merokok tanpa merasa bersalah sedikit pun. Atau tidak mematikan mesin mobil ketika sedang mengisi bensin, sementara kita tahu betul percikan api sedikit saja akan menghanguskan segala sesuatu.

Hebatnya bah Jakarta yang senantiasa berulang itu, bukan saja disebabkan oleh alam, tetapi oleh ketidakmampuan kita memelihara saluran-saluran air pembuangan. Secara mudah kita membuang sampah ke dalamnya. Ketika disiplin diremehkan, maka malapetaka, besar atau kecil, sudah menanti untuk mencelakakan kita.

Di tengah berbagai kegalauan itu, kalau ada seruan untuk melakukan introspeksi diri, akan terdengar sangat wajar. Telah terlalu lama kita sibuk dengan berbagai kesibukan, sehingga tidak tersisa waktu sedikit pun untuk melakukan pe- renungan.

Introspeksi pada hakikatnya adalah upaya untuk meneropong ke dalam kedalaman diri kita secara jujur dan rendah hati. Seakan-akan kita memperoranglainkan diri kita dan menyiasati apa yang telah kita lakukan, lakoni, dan kerjakan dalam berbagai relasi kita yang ber- sisi tiga.

Sebagai orang beragama, kita mengakui relasi kita dengan Allah. Sebagai makhluk sosial, kita menjalin relasi dengan sesama. Sebagai insan yang hidup kita tidak saja dikondisikan oleh alam, tetapi juga berelasi dengannya dalam rantai ekologis yang tidak putus-putusnya. Relasi- relasi itulah yang dijaga keharmonisan dan ke- seimbangannya.

Sekali keharmonisan dan keseimbangannya terganggu, bencana akan melanda kita. Tidak berlebihan kalau dikatakan, berbagai bencana yang kita alami selama ini di- sebabkan terganggunya relasi bersisi tiga itu.

Tobat Sosial

Maka seruan untuk berintrospeksi dapat juga diinterpretasikan sebagai sikap pertobatan, tidak sekadar dalam arti ritual tetapi juga secara sosial, bahkan kehidupan. Tobat ritual adalah pertobatan yang dilakukan melalui cara-cara ritual di dalam gedung-gedung ibadah.

Di dalamnya kita dapat berdoa sangat khusyuk, berzikir sangat mendalam, menyerukan Nama Allah dengan penuh kesedihan, bahkan dengan uraian air mata.

Secara psikologis, kita pun merasa terbebas dari berbagai beban yang selama ini menekan. Apakah semua ini berguna? Tentu saja, tetapi tidak cukup. Tobat ritual yang hanya berhenti di situ cenderung mengarah ke masa lampau, kepada perbuatan-perbuatan dosa yang telah dilakukan. Ia masih harus dilanjutkan melalui tobat sosial, yang mengarah ke masa depan, yaitu bagaimana mengubah keadaan yang tadinya buruk menjadi baik.

Adakah hubungan dengan sesama selama ini buruk misalnya karena perbuatan KKN yang merugikan semua pihak? Berhentilah dari berbuat KKN. Lebih elok lagi kalau hasil KKN dikembalikan untuk dipergunakan bagi kepentingan bersama.

Apakah merasa tidak senang apabila melihat orang lain berbeda, misalnya karena perbedaan agama yang dianut? Ubahlah sikap itu. Janganlah menyimpan rasa tidak senang itu, misalnya dengan mempersulit orang melakukan ibadahnya.

Apakah cenderung main hakim sendiri? Taatilah hukum, dan serahkanlah pengurusannya kepada yang berwenang untuk itu. Sebagai pejabat Anda cenderung memperjualbelikan hukum bagi kepentingan diri? Stop melakukan itu.

Sebagai anggota DPR Anda hanya prihatin dengan kepentingan diri? Maka kembalilah kepada rel yang benar sebagai wakil rakyat. Sebagai politisi Anda hanya cenderung menghitung-hitung hari kapan kemungkinan berkuasa lagi? Maka jadilah politisi yang benar- benar mengorientasikan diri kepada kesejahteraan bersama, yang mempergunakan kekuasaan bagi kemaslahatan bersama. Dan se- terusnya.

Terhadap alam yang selama ini secara semena-mena kita “perkosa”, berhentilah dari melakukan itu. Tidakkah kita sadar, ketika secara serampangan menggunduli hutan-hutan, kita sesungguhnya sedang memperkosa Ibu Pertiwi yang selama ini mengayomi kita dengan kehidupan?

Ketika kita secara sewenang- wenang mengotori sumber-sumber air, kita sebenarnya sedang mengkhianati Sang Pemberi kesejukan? Maka herankah kita kalau alam berbalik menyerang? Ketika alam dihalang-halangi untuk mencapai keseimbangannya, alam mencari keseimbangannya sendiri, kalau perlu dengan membinasakan kita.

Merenungkan semua itu, kita, dengan demikian bukan saja melakukan tobat sosial tetapi juga tobat kehidupan. Masa ketika segala sesuatu berorientasi kepada manusia (man-oriented) telah lewat.

Sekarang mesti digantikan dengan orientasi kepada kehidupan (life-oriented). Sebagai manusia yang diberi akal-budi oleh Sang Pencipta, kita diminta sungguh-sungguh memelihara dan melaksanakan disiplin di dalam segala bidang kehidupan.

Tentu kita senang karena Pe- merintah menyerukan introspeksi diri. Itulah kewajibannya. Tetapi, akan jauh lebih mendasar dan mengakar apabila sikap introspeksi diri itu bersumber dari kesadaran diri kita yang paling dalam.

Penulis adalah rohaniawan; Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Last modified: 14/3/07


 

Misteri Bunuh Diri Keluarga

Oleh Endah Sulistyowati

Modus pembunuhan empat orang anak oleh ibu kandungnya di Kota Malang, Jawa Timur, merupakan manifestasi sakitnya jiwa bangsa ini. Akar penyebab bunuh diri keluarga tidak semata-mata karena impitan ekonomi, namun sudah menyangkut betapa rapuh kesehatan jiwa keluarga di negeri ini. Bunuh diri keluarga yang merenggut nyawa anak-anak yang tidak berdosa berpangkal dari persoalan orangtuanya.

Pada saat ini kondisi orangtua yang mengidap sakit jiwa atau mengalami gangguan kejiwaan namun tidak dipahami lingkungannya dan tidak pula mendapatkan penanganan medis, jumlahnya tidak sedikit. Sehingga merupakan efek bola salju sosial yang terus menggelinding dan menimbulkan penderitaan anak-anak yang amat dalam.

Kasus pembunuhan terhadap tiga anak di Kota Bandung oleh ibu kandungnya beberapa waktu lalu dan kasus di Malang tersebut, semakin menyadarkan kita untuk segera mencari bentuk perlindungan anak yang benar-benar efektif. Duka nestapa anak tidak hanya dialami mereka yang berkeliaran di jalanan, ternyata juga dialami mereka yang bernaung di rumah sendiri dengan orangtua berpendidikan cukup.

Betapa sarat penderitaan anak-anak yang orangtuanya menderita sakit jiwa. Sementara, pranata sosial dan lembaga yang ada belum mampu mengentaskan derita anak tersebut karena berbagai faktor. Risiko anak yang tinggal satu atap dengan orangtua yang menderita sakit jiwa begitu tinggi dan sangat membahayakan kehidupannya. Mulai dari pertumbuhan jiwa dan raga yang abnormal, hingga harus meregang maut dibunuh orangtuanya.

Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) beserta lembaga terkait belum mampu mencari solusi yang tepat bagi anak-anak yang mengalami kondisi nestapa tersebut. Begitu pula UU Kesehatan juga belum memberikan solusi konkret bagi keluarga pengidap sakit jiwa agar tidak berdampak fatal.

Jika seorang ayah mengidap gangguan kejiwaan, anak dan istrinya seperti hidup di neraka jahanam. Dan bila seorang ibu yang mengidap, sang anak dan suami bagaikan menghadapi musuh dalam selimut yang setiap saat tanpa terduga bisa menimbulkan hal-hal yang fatal.

Pada umumnya ada ketertutupan jika ada anggota keluarga yang mengidap sakit jiwa. Akibatnya, orang luar cenderung sulit mengenali tanda-tanda gangguan kejiwaan yang menimpa seorang keluarga secara dini. Bahkan dalam kasus Aniek Qoriah di Bandung yang membunuh ketiga anaknya, kabarnya sang suami juga tidak menyadari kalau istrinya sedang mengidap sakit jiwa serius.

Suatu kondisi yang sangat ironis, karena mereka berpendidikan tinggi, lulusan ITB. Padahal jika suaminya tanggap, perawatan secara dini bisa dilakukan sehingga mengurangi risiko fatal. Namun, jika suaminya sejak awal mengetahui istrinya mengidap sakit jiwa serius tetapi membiarkan saja atau hanya merawat ala kadarnya sehingga tidak sesuai secara medis, sang suami sebetulnya bisa dijerat secara hukum.

Faktor utama yang menjadi pencetus gangguan jiwa adalah faktor genetik (internal). Sementara faktor eksternal atau lingkungan lebih disebabkan oleh makin beratnya beban kehidupan atau ekonomi di masa sekarang. Selain itu masih banyak faktor psikososial yang dapat menjadi predisposisi atau presipitasi gangguan jiwa.

Gangguan Jiwa Meningkat

Pada saat ini ada kecenderungan penderita gangguan jiwa jumlahnya meningkat. Data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan Litbang Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya terdapat 264 dari 1.000 anggota rumah tangga yang menderita gangguan kesehatan jiwa dalam berbagai tingkatan.

Data tersebut dapat dipastikan meningkat dengan kondisi sosial-ekonomi sekarang ini yang semakin amburadul. Begitu juga akibat seringnya terjadi bencana alam. Sejalan dengan survei tersebut, Bank Dunia juga melakukan studi komprehensif di beberapa negara termasuk Indonesia.

Studi tersebut mengatakan, penduduk negara-negara tersebut telah mengalami Disability Adjusted Life Years (DALY’s ) atau kehilangan hari-hari produktif sebesar 8,1 persen per tahun akibat merebaknya penyakit kejiwaan.

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dampak yang disebabkan penyakit tuberkulosis (7,2 persen), kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen) dan malaria (2,6 persen). Tingginya masalah tersebut menunjukkan masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah serius kesehatan masyarakat.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan definisi kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Atas dasar definisi tersebut, kesehatan warga bangsa harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari tiga unsur, yakni organobiologik (tubuh), psiko-edukatif (jiwa), dan sosio-kultural (sosial).

Dengan demikian aspek kesehatan jiwa klop dengan definisinya, yakni suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang, dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.

Berbagai kasus serius juga telah menimpa anak Indonesia. Dari kasus maraknya penyiksaan dan pembunuhan, busung lapar, wabah penyakit, hingga perampasan hak-hak anak. Sehubungan dengan kondisi ini, sangatlah tepat jika UNICEF mengeluarkan peringkat keterbelakangan bagi bangsa Indonesia. Mencuatnya kasus-kasus tersebut juga merupakan indikator betapa lemah mekanisme perlindungan anak di In- donesia saat ini.

Banyak anak yang secara sistemik dirongrong hak-haknya. Di sisi lain, UUPA hanya menjadi formalitas semu dan sebatas agenda seremonial bagi pejabat. Maraknya kasus penyiksaan anak, gizi buruk, dan terampasnya hak-hak anak Indonesia semakin melempar- kan anak Indonesia ke jurang kehancuran.

Ironisnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI ) justru terlihat tumpul dan sering mati langkah dalam menghadapi berbagai kasus yang menimpa anak-anak.

Komisi yang mendapatkan anggaran dari APBN ditambah berbagai bantuan yang cukup itu pada kenyataannya sering kedodoran menghadapi segudang persoalan. Kondisi KPAI yang keanggotaanya mewakili unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha terlihat tidak optimal.

Bertolak belakang dengan amanat dari UUPA. Tugas KPAI berdasarkan UUPA adalah menyosialisasikan pasal-pasal perlindungan anak, memantau implementasi hak anak pada yang bertanggung jawab seperti keluarga, masyarakat, dan negara.

Namun apa daya, cakupan persoalan anak di Tanah Air ini begitu luas. Akibatnya, sang anak yang oleh Kahlil Gibran diibaratkan sebagai anak panah itu tidak bisa melesat mengikuti perkembangan zaman, tetapi justru patah akibat kekejaman orangtuanya sendiri.

Penulis adalah pemerhati masalah psikososial dan lingkungan

Last modified: 15/3/07


 

Teknologi dan Tanggung Jawab Moral

Kasdin Sihotang

Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia zaman sekarang. Bahkan dapat dikatakan, seluruh aspek kehidupan seperti bidang sosial, politik, dan ekonomi, telah bersentuhan dengan teknologi. Dalam bidang sosial, teknologi telah mempercepat terjadinya komunikasi dan mampu mempererat hubungan manusia dari berbagai belahan dunia. Jadi, isolasi sosial adalah kata yang dilawan oleh teknologi komunikasi dan teknologi transportasi dewasa ini.

Dalam bidang politik, peran teknologi juga tidak bisa diabaikan. Para penguasa telah berlomba menempatkan kecanggihan senjata untuk mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh, sekaligus menunjukkan identitas dirinya. Tidak hanya dalam mempertahankan wilayah dan menunjukkan identitas diri, teknologi juga sering dipakai penguasa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Hal itu sudah terlihat dengan jelas sejak zaman dahulu kala. Nicollo Machiavelli adalah seorang pemikir yang sudah lama mengamini hal itu, karena memang pada zamannya ia menyaksikan langsung bagaimana hal itu berlangsung dalam sejarah dunia Barat pada zamannya.

Dalam bidang ekonomi, kehadiran teknologi tampaknya semacam keharusan di zaman sekarang. Lewat sarana teknologi, khususnya alat transportasi yang serbacanggih hasil-hasil pertanian dan barang- barang produksi dari satu negara dengan cepat dapat dikonsumsi oleh negara lain. Konsekuensi ekonomis lebih lanjut adalah semakin terwujudnya kesejahteraan masyarakat di sejumlah negara. Singkatnya, teknologi di era modern telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia.

Menurut Hans Jonas sebagaimana digambarkannya dalam buku The Imperative Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (1984: London), ada dua argumen mendasar mendasari keterkaitan teknologi dengan eksistensi manusia. Argumen pertama adalah posisi sentral manusia. Berbeda dengan Abad Pertengahan, di era modern eksistensi manusia menjadi pusat (antroposentris). Konsep bahwa manusia adalah subjek bagi dirinya sendiri diajarkan sebagai pandangan universal. Konsekuensi pemahaman itu ialah bahwa manusia menjadi penguasa atas dirinya dan alam semesta.

Paradigma antroposentris di atas menjadi pendorong bagi manusia modern untuk melakukan perubahan dalam segala aspek kehidupannya. Perubahan itu tidak saja berkaitan dengan paradigma berpikir, melainkan juga bersangkut-paut dengan pola hidup keseharian. Argumen kedua adalah kemajuan. Kemajuan merupakan ideologi manusia modern. Karena ideologi itu, manusia modern selalu berusaha untuk melawan status quo. Status quo dipandang sebagai musuh yang paling berbahaya karena menghambat kemajuan itu sendiri.

Dalam rangka mewujudkan kemajuan, teknologi memiliki peran penting. Jonas bahkan lebih jauh memperlihatkan bahwa teknologi sendiri merupakan simbol kemajuan yang paling dominan di era modern. Simbol-simbol itu terungkap dalam sarana-sarana yang digunakan. Ia bahkan melihat teknologi telah pula meningkatkan produktivitas yang sangat tinggi dalam bidang ekonomi global. Bagi konsumen teknologi telah membawa mimpi-mimpi baru, yakni mimpi untuk menikmati kehidupan yang lebih menyenangkan.

Masalah Moral

Tetapi ideologi kemajuan tidak terlepas dari masalah moral. Sekurang-kurangnya tiga masalah moral mendasar yang muncul dalam ideologi ini. Pertama, ketidakadilan sosial. Tidak semua orang bisa dan mampu bersentuhan langsung dengan teknologi canggih. Dengan kata lain, hanya segelintir orang yang mampu menggunakan teknologi.

Dampaknya, hasil-hasil teknologi juga hanya dapat dinikmati segelintir orang. Lebih lagi orang-orang seperti itu sering kali menggunakan teknologi sebagai alat untuk menguasai kelompok yang tidak memiliki akses terhadap teknologi. Dampaknya, jurang antara orang yang memiliki akses dengan teknologi dan orang yang sama sekali tidak memiliki akses, sangat dalam. Di sini justru terjadi ketidakadilan sosial. Dengan demikian teknologi berperan pula menimbulkan kesenjangan sosial.

Kedua, bangkitnya sifat utopis. Ide kemajuan yang digaungkan teknologi telah menyebar ke seluruh dunia. Tetapi bagi sebagian besar manusia di belahan dunia ini, khususnya di negara-negara yang berkembang, ide kemajuan itu hanyalah utopia, sebuah angan-angan belaka. Mereka bahkan dikondisikan oleh teknologi untuk mengingkari realitas hidup yang sebenarnya.

Ketiga, potensi deviasi fungsi teknologi. Seperti dikatakan di atas, di satu sisi teknologi telah memperbaiki kehidupan manusia modern, pada sisi lain teknologi memungkinkan tindakan kejahatan semakin cepat dan meluas. Melalui penyalahgunaan teknologi hal itu sangat dimungkinkan. Dan fakta sejarah telah memperlihatkan itu. Kita ingat serangan 11 September 2001. Peristiwa terbaru adalah apa yang menimpa Wakapoldawiltabes Semarang, Lilik Poerwanto. Ia telah menjadi korban dari penyalahgunaan teknologi (baca: senjata).

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana meminimalkan dampak negatif dari teknologi sendiri? Menjawab pertanyaan ini kata yang paling tepat adalah bangkitnya tanggung jawab moral dalam pengunaan teknologi. Ranah kebangkitan tanggung jawab moral ini dimungkinkan oleh tiga hal.

Pertama, kesadaran yang terus-menerus akan sifat dan ciri teknologi itu sendiri. Teknologi hanyalah alat, bukan menjadi tuan bagi manusia. Sebagai alat ia memiliki keterbatasan. Justru karena keterbatasan itulah kepedulian terhadapnya sangat diperlukan. Kesadaran yang besar di kalangan orang-orang yang dekat dan bersentuhan dengan penggunaan teknologi akan mampu mengurangi dampak destruktif dari teknologi bagi keselamatan manusia yang menggunakannya.

Menurut hemat penulis, tuntutan itu terutama sangat diharapkan terealisasi dalam penggunaan sarana- sarana transportasi, karena bidang ini sangat terkait dengan kepentingan publik. Sebagai instrumen kepentingan publik, ia bersentuhan dengan jumlah manusia yang tidak sedikit. Nyawa manusia pengguna transportasi hanya bisa dijamin kalau pihak-pihak yang terkait langsung dengan teknologi entah sebagai penyedia jasa atau teknisi menyadari keterbatasan teknologi itu sendiri.

Kedua, terkait dengan butir di atas, tanggung jawab moral juga terungkap dalam hal maksimalisasi hasil pekerjaan. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mampu bekerja secara maksimal dan konsisten dengan aturan yang sudah ditetapkan. Dalam penggunaan teknologi, hal ini juga berlaku. Apalagi dalam penggunaan teknologi, aturan sangatlah penting. Pelanggaran terhadap peraturan justru akan menempatkan teknologi sebagai sarana pembunuh bagi manusia. Ini harus dihindari.

Ketiga, dampak dalam penggunaan teknologi. Tanggung jawab moral dalam penggunaan teknologi tidak saja pada perawatan terus- menerus dan maksimalisasi kegunaannya, tetapi juga pada dampak negatif yang diakibatkan dalam penggunaannya. Itu berarti ketika teknologi menyebabkan kecelakaan bagi penggunanya, maka di situ dituntut tanggung jawab, yakni keberanian untuk menanggung seluruh akibat negatif yang ditimbulkan terhadap korban.

Sikap saling menyalahkan atau mengeluarkan pernyataan apologetik dalam menyikapi kejadian adalah cermin dari sikap orang yang tidak bertanggung jawab. Tiga hal di atas sangat diperlukan untuk meminimalkan angka kecelakaan alat transportasi yang semakin marak belakangan ini.

Penulis adalah dosen Filsafat dan Staf Inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta

Last modified: 17/3/07


 

Rekonsiliasi Jakarta-Papua

Oleh Neles Tebay

Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) telah menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak mempunyai payung hukum, sekalipun gubernurnya dipilih secara langsung oleh rakyat dan dilantik secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masalah landasan hukum dari Irjabar hingga kini belum dituntaskan.

Guna mencari jalan penyelesaian atas masalah hukum itu, Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Irjabar Abraham O Ataruri, sudah mengambil inisiatif menempuh jalan rekonsiliasi. Kedua gubernur itu bertemu di Pulau Mansinam, Manokwari, 20 Februari 2007, dan menandatangani delapan butir kesepakatan, termasuk pemberian dana otonomi khusus (Otsus) kepada Provinsi Irjabar.

Mereka juga bersepakat bertemu kembali di Jayapura sebelum 31 Maret. Pertemuan itu, menurut kesepakatan kedua gubernur, akan dihadiri pula Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Irjabar, serta Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun belum ada jaminan pemimpin MRP dan kedua pemimpin DPR provinsi hadir.

Pertemuan kedua gubernur di Manokwari dan rencana pertemuan berikut di Jayapura, menyampaikan suatu pesan yang jelas, jalan rekonsiliasi masih bisa ditempuh untuk menyelesaikan masalah status hukum Irjabar. Hal itu perlu didukung semua pihak yang berkepentingan.

Mendukung inisiatif kedua gubernur itu, hal pertama yang perlu ditegaskan dari awal adalah bahwa rekonsiliasi menuntut keterlibatan secara penuh kedua belah pihak yang bermusuhan. Sebab itu aktor-aktor yang bertikai, yang menyebabkan Irjabar tidak memiliki payung hukum, mesti diidentifikasi secara jelas. Aktor-aktor itu, harus terlibat dalam proses rekonsiliasi.

Pertanyaannya: Siapakah aktor-aktor yang bertikai sehingga Provinsi Irjabar masih tidak memiliki payung hukum? Pertanyaan itu, menurut penulis, dapat dijawab dengan melihat kembali proses lahirnya Irjabar.

Proses pembentukan Provinsi Irjabar dimulai oleh pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagai presiden waktu itu, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2003 tentang percepatan pengaktifan kembali Provinsi Irian Jaya Tengah (Irjateng) dan Irjabar. Pembentukan Provinsi Irjateng ditunda oleh pemerintah pusat karena terjadi saling bunuh sesama orang Papua yang mendukung dan menolak deklarasi provinsi tersebut di Timika. Sementara Provinsi Irjabar dipertahankan karena tidak terjadi pertikaian sesama orang Papua di Manokwari.

Sekalipun menghadapi penolakan oleh berbagai elemen masyarakat di Tanah Papua, pemerintah pusat terus bersikeras mempertahankan Provinsi Irjabar hingga kini. Karena dasar hukum pendiriannya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah pusat kini berpegang pada alasan kehadiran Irjabar secara de facto. Atas dasar itu, pemerintah membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Irjabar, dan mengizinkan pemilihan gubernur tersendiri.

Akhirnya Presiden Yudhoyono, melalui Menteri Dalam Negeri M Ma’ruf, melantik Ataruri sebagai gubernur definitif untuk Provinsi Irjabar. Tetapi pelantikan gubernur sama sekali tidak menyelesaikan persoalan hukum Irjabar. Buktinya, sekalipun pemerintah pusat memaksakan keberadaan Irjabar, hingga kini provinsi tersebut tidak mempunyai payung hukum.

Karena pembentukan Provinsi Irjabar itu dinilai tidak mengikuti proses yang diamanatkan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka rakyat Papua melalui DPRP dan MRP menolak inisiatif Jakarta yang memaksakan pendirian provinsi tersebut. Hingga kini, DPRP dan MRP masih belum mau memberikan persetujuan atas pembentukan provinsi Irjabar.

Pemerintah pusat tidak bisa mengeluarkan undang-undang pendirian Provinsi Irjabar karena, seperti diamanatkan UU Otsus Papua, pendirian provinsi baru dapat dilaksanakan dengan adanya persetujuan dari DPRP dan MRP. Akibatnya, Irjabar tetap tidak akan memiliki payung hukum atas keberadaannya, kecuali kalau DPRP dan MRP mengubah pendirian mereka.

Jelaslah kini, aktor-aktor yang bertikai atas persoalan status hukum keberadaan Irjabar adalah Jakarta dan Papua. Pihak Jakarta diwakili oleh pemerintah pusat, sementara pihak Papua diwakili bukan oleh Gubernur Papua yang adalah representasi pemerintah pusat di Papua, tapi DPRP dan MRP.

Maka rekonsiliasi mesti terjadi bukan antara kedua gubernur, bukan pula antara orang-orang Papua, melainkan antara pemerintah pusat, di satu pihak, dan Papua (DPRP dan MRP) di pihak lain. Tanpa keterlibatan aktor-aktor yang sebenarnya, proses rekonsiliasi yang sudah dimulai kedua gubernur itu tidak akan menyelesaikan masalah Irjabar.

Identifikasi Sumber Konflik

Rekonsiliasi, dalam pengertian sebenarnya, mesti menyentuh dan menyelesaikan penyebab utama konflik. Maka sumber konflik pun mesti diidentifikasi, diberi nama, dan diakui secara terbuka. Sumber tersebut perlu diatasi, bila perlu dengan bantuan pihak-pihak lain, untuk tidak menimbulkan konflik baru di masa mendatang.

Apabila penyebab konfliknya tidak diakui dan diatasi, tujuan dari rekonsiliasi, yakni untuk memperbaharui hubungan yang retak kedua pihak yang bertikai, akan gagal dicapai. Demikianlah, rekonsiliasi antara Jakarta dan Papua mesti menyentuh penyebab utama dari konflik antarmereka. Kedua belah pihak mesti diberikan kesempatan dan ruang untuk membuka kepada khalayak alasan-alasan yang mendasari posisi dan sikap mereka.

Kejujuran dan keterbukaan sangat dituntut dari kedua belah pihak yang bertikai. Pemerintah pusat mesti menjelaskan secara jujur kepada DPRP dan MRP tentang motivasi dasar dan tujuan utama pembentukan Provinsi Irjabar.

Pemerintah mesti berani menyampaikan secara terbuka hal-hal yang dikhawatirkan dan ditakuti apabila seluruh wilayah eks-Provinsi Irian Jaya dibiarkan berada dalam satu provinsi saja. Artinya, pemerintah mesti membeberkan alasan yang sesungguhnya mengapa pemerintah pusat, secara sadar, tahu dan mau, bertekad melanggar UU Otsus Papua yang adalah produknya sendiri, guna mendirikan, mempertahankan, serta bahkan memaksakan keberadaan Provinsi Irjabar.

Kejujuran dan keterbukaan pemerintah pusat akan dimengerti oleh orang Papua sebagai tanda kesungguhannya untuk rekonsiliasi dengan Papua. Pemerintah pusat secara tidak langsung memperlihatkan komitmen untuk tidak mengulangi lagi membuat kebijakan serupa di masa depan. Hal itu, pada gilirannya, akan memperkokoh kepercayaan orang Papua terhadap pemerintah pusat.

Sebaliknya, sikap pemerintah yang tidak berterus terang dan jujur dalam membeberkan posisinya akan dimengerti sebagai suatu tanda bahwa kebijakan yang sama seperti pendirian Irjabar akan diulangi lagi kapan saja di masa depan. Akibatnya, sikap saling mencurigai dan ketidakpercayaan antara Jakarta dan Papua akan terus berlangsung.

DPRP dan MRP, sebagai wakil dari Papua, mesti menjelaskan kepada publik tentang alasan penolakan pembentukan Irjabar. Mereka mesti mampu merumuskan dan menyampaikan secara jujur dan terbuka segala kekhawatiran dan ketakutan yang mendasari posisinya yakni menolak pemaksaan pembentukan provinsi baru yang prosedurnya bertentangan dengan amanat UU Otsus Papua.

Untuk membangun sikap saling mempercayai antara pemerintah pusat dan orang Papua yang diwakili DPRP dan MRP, proses rekonsiliasi perlu difasilitasi pihak ketiga yang netral dan dipercayai kedua belah pihak yang bertikai. Tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai fasilitator, dikhawatirkan proses rekonsiliasi akan didominasi pihak yang lebih kuat. Pihak yang lemah akan dikorbankan.

Setelah memungkinkan kedua belah pihak mengungkapkan hal-hal yang mendasari posisinya, fasilitator dapat mengantar mereka membahas dan menetapkan sejumlah ketetapan yang membantu mengatasi sumber konflik yang menyebabkan tidak adanya payung hukum untuk Provinsi Irjabar.

Sebagai komitmen untuk tidak akan mengulangi pertikaian serupa di masa depan, pemerintah pusat dan orang Papua mesti merumuskan dan menyepakati sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang melanggar kesepakatan bersama. Hal itu penting untuk memperkokoh sikap saling percaya dan agar kedua belah pihak terikat dan setia melaksanakan kesepakatan bersama.

Penulis adalah dosen STFT Fajar Timur di Abepura, Jayapura


 

“Negatrend”, Sisi Kelam “Megatrend”

Thoby Mutis

Bicara mengenai megatrend dalam globalisasi, bisa menarik bisa tidak, bergantung pada sudut pandang mana orang melihatnya. Bergantung pada persepsi orang yang mengamatinya. Misalnya, globalisasi dalam bentuk pengembangan bibit padi dan jagung yang selama ini ditiru dari riset negara maju.

Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pengembangan teknologi pertanian yang tentunya mempunyai nilai tambah tersendiri.

Atas nama efisiensi skala besar dalam lingkup megatrend global, orang menggunakan bibit padi dan jagung dari luar tanpa memperhatikan pengembangan bibit padi atau jagung dari dalam. Ada pula yang mengatakan bahwa kebijakan globalisasi tersebut telah menggusur bibit padi dan jagung lokal yang memiliki kekhususan lokal, bahkan di daerah tertentu mencerminkan selera dan karakteristik lokal yang tak tergantikan.

Ada juga dampak negatif dari bisnis pupuk dalam lingkup megatrend global di mana para petani diarahkan pada masa lampau memakai pupuk kimia pabrik. Petani kurang memacu pupuk organik yang diajar oleh nenek moyang kita di masa lampau. Syukur saat kini, dengan jiwa dan semangat kearifan lokal yang telah terintegrasi sejak masa lampau, para petani mulai kembali disemangati menggunakan pupuk organik secara ekstensif dan intensif.

Sama halnya seperti pengembangan tekstil. Aneka pabrik tekstil lokal harus gulung tikar karena kebijakan impor tekstil tanpa tebang pilih dan di luar batas kewajaran. Tak ada proteksi (affirmative action) terhadap produk lokal untuk kuat di pasar setempat.

Juga ketika Coca Cola dan Pepsi Cola masuk dan merajai pasar minuman ringan dalam negeri sekaligus mematikan pabrik-pabrik lemonade lokal. Untungnya di Indonesia masih ada teh botol yang bisa mencegah dominasi Coca Cola dan Pepsi Cola. Contoh lainnya, munculnya hypermarket di mana-mana yang mendominasi pasar-pasar kecil sehingga para pedagang kecil di sektor formal dan informal terpinggirkan.

Penghilangan Aspek Positif

Aneka gejala seperti digambarkan di atas disebut negatrend atau disappearing of good scheme. Negatrend dapat dipahami sebagai penghilangan aspek- aspek positif yang terjadi dalam satu negara atau lokalitas tertentu sebagai akibat dari megatrend dalam globalisasi arus pasar (market stream).

Bila tak dibuat rambu-rambu atau katup pengaman, megatrend globalisasi bisa menggusur potensi dan sumber daya lokal akibat mekanisme pasar yang terlalu terbuka alias telanjang. Mekanisme pasar seperti ini kerap mematikan yang kecil karena di sini berlaku ungkapan “siapa yang kuat dia yang menang”.

Karena itu perlu kebijakan publik untuk melindungi para pengusaha dan pekerja lokal. Kalau semua berbasis pada kompetensi global, maka unskilled labor yang merupakan mayoritas pekerja di Indonesia mau dikemanakan? Mereka perlu diarahkan agar tak kena dampak negatif dari globalisasi. Mereka perlu mengisi sektor riil antara lain di bidang pertanian, industri, maupun jasa, baik dalam lingkup formal maupun informal. Jadi, tak bisa diserahkan pada hiruk-pikuk market mechanism semata; perlu ada upaya-upaya afirmatif tertentu.

Dibutuhkan peran aneka pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk pemerintah untuk membuat aneka kebijakan publik yang dapat mengkoordinasi pasar sehingga tidak terjadi negatrend. Dalam koordinasi, ada mekanisme tebang pilih; ada perlindungan terhadap produk tertentu yang memiliki nilai dan efek ekonomis lokal. Misalnya Jepang, yang melindungi produk-produk pertanian lokal seperti ubi-ubian, sayur, dan beras yang tak bisa diimpor seenaknya dari luar.

Jepang mengenakan tarif masuk sekitar 100 sampai 10.000 persen terhadap aneka produk pertanian untuk melindungi kepentingan 8 juta petani Jepang dari arus megatrend globalisasi yang tanpa arah.

Perlindungan terhadap usaha-usaha lokal sungguh penting karena dalam pasar global yang mengandalkan mekanisme pasar sering terjadi tipu muslihat soal harga. Sebab pada kenyataannya harga pasar belum tentu mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya karena ada subsidi, pembebasan pajak, ataupun mekanisme dumping serta selundupan yang tak terhindarkan. Hal itu serentak menunjukkan tak ada fair competition.

Dalam megatrend globalisasi, ada disappearing process yang tidak sehat. Misalnya soal beras, sampai sekarang sulit dipahami mengapa kita masih mau impor beras. Kebijakan itu kurang memihak kesejahteraan petani, sebab harga beras dalam negeri sepertinya harus tetap murah. Memurahkan harga beras lebih tepat dilakukan melalui diversifikasi pangan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi jagung, ubi-ubian, pisang yang bisa dikombinasikan untuk substitusi beras, bukan dengan melulu mengimpor beras dari luar negeri. Dalam kondisi impor beras, petani masuk dalam lingkup negatrend; ada penghilangan terhadap potensi dan kesempatan bagi petani yang sebetulnya masih bisa dipacu secara lokal seraya memacu kekuatan pengimbang terhadap pengusaha atau importir yang bermain dalam megatrend global.

Masalah negatrend inilah yang membuat negara-negara Amerika Latin seperti Brasil, Kolumbia, Peru, Bolivia, dan lain-lain mulai berpaling dari Amerika Serikat.

Mereka tak mau menggunakan standar dari luar; mereka mau menggunakan standar sendiri. Sebab kalau menggunakan standar Amerika Serikat, hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar. Saat kini gemuruh untuk nasionalisasi perusahaan minyak semakin santer dibicarakan. Sebab mereka tidak puas dengan riak megatrend global yang berproses.

Prancis merupakan salah satu negara yang concern melindungi usaha-usaha kecil serta produk dan pasar dalam negeri sebagai upaya mencegah terjadinya negatrend. Karena itu Prancis tidak terlampau berorientasi pada pasar global.

Menurut laporan Majalah The Economist edisi 10-16 Februari 2007, keikutsertaan Prancis di pasar global untuk barang-barang manufaktur mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir. Selama tahun 1995 hingga 2004 mengalami penurunan menjadi 5,1 persen.

Fenomena Prancis

Prancis sungguh-sungguh menjaga local market dan pengusaha serta pekerja lokal. Kendati ada beberapa perusahaan Prancis dalam pasar global yang sangat kuat seperti AXA, Bouygues, Carrefour, Saint Gobain, Renault, PSA Peugeot Citroen dan Sanofi Aventis, tetapi dunia bisnis Prancis secara keseluruhan enggan untuk masuk dalam dunia ekonomi global, lebih suka merawat local market.

Kebijakan perdagangan internasional (global) dilakukan seperlunya sembari secara bertahap memacu aneka kebijakan publik guna melindungi local market dan pengusaha serta pekerja lokal.

Upaya-upaya perlindungan dan pengembangan terhadap usaha-usaha kecil dan pasar domestik ditingkatkan. Karena itu, sejak 2005, di bawah tokoh seperti Laurence Parisot, Prancis melakukan aneka lobi guna mengurangi penetrasi asing dalam pasar domestik Prancis seraya memacu affirmative action untuk usaha kecil secara terarah, serentak menghilangkan sisi kelam dari megatrend global.

Menurut mereka, usaha kecil merupakan tulang punggung ekonomi Prancis. Sebab dunia usaha Prancis 99 persen merupakan usaha kecil dan mampu menciptakan 70 persen lapangan pekerjaan. Kecuali itu, rata-rata operating margin-nya 7,8 persen dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar yang rata-rata 9,2 persen.

Kalangan pemangku kepentingan di Prancis memperhatikan secara tajam dan berkesinambungan pemberdayaan usaha kecil yang saat ini jumlahnya mencapai satu juta unit usaha dan separuh darinya adalah usaha perorangan.

Selama ini kita kurang mendiskusikan negatrend. Kita terlalu terpukau pada megatrend globalisasi. Akibatnya, banyak kearifan lokal dan kesempatan bisnis lokal yang hilang karena kita terlampau memacu kearifan global yang sebenarnya tidak sesuai dengan konteks lokal. Misalnya, hilangnya kearifan lokal untuk memecahkan masalah ekonomi setempat karena semuanya berpijak pada ukuran global.

Jadi, saat kini perlu dibahas secara tajam negatrend, di mana terjadi penghilangan peluang atau hal-hal positif dalam konteks lokal. Aneka negatrend yang berproses di sekitar kita perlu ditilik secara seksama agar kita tidak lagi jatuh dalam arus megatrend global yang liar dan tak terkendalikan.

Penulis adalah Rektor Universitas Trisakti

Last modified: 28/2/07


 

Pelanggaran Serius dalam Pembangunan Jakarta

Ibukota Jakarta ini tidak akan terperangkap masalah kemacetan harian dan banjir tahunan jika pemerintah tunduk pada master plan yang pernah dibuat. Ratusan tahun lalu, penjajah Belanda mendesain kota Batavia ini sedemikian rupa karena menyadari kontur tanah dan kondisi faktual lain yang tidak menguntungkan.

Demikian juga sesudah kita merdeka. Namun, sejak Orde Baru berkuasa, tidak sedikit peraturan pemerintah dikeluarkan atas nama pembangunan, akan tetapi justru menjadikan Ibukota seperti saat ini: macet dan banjir. Lalu untuk apa konsep metropolitan yang belum selesai dipertanggungjawabkan itu diganti dengan konsep megapolitan, jika kondisi Jakarta tetap seperti saat ini? Untuk itu di dalam pembahasan undang-undang pemerintahan Ibukota Jakarta sebelum disahkan di DPR perlu terlebih dahulu dikaji di masyarakat atau disosialisasikan. Juga dijelaskan pengertian istilah-istilah megapolitan kepada masyarakat.

Hal itu disebabkan dahulu juga sudah ada wilayah Jabotabek dengan konsep Metropolitan, yang didukung Keppres No 79/1985, yang menetapkan daerah Puncak dan Bogor sebagai daerah resapan air. Belum lagi UU Tata Ruang No 14/1912, yang pada saat pengesahan di DPR memakan waktu lama, karena departemen-departemen berebut siapa yang mengendalikan UU itu.

Penulis berpendapat, menyelesaikan masalah Jakarta tidaklah semudah mengganti konsep pembangunan. Jakarta berubah seperti saat ini karena telah terjadi banyak pelanggaran, terutama penyimpangan dari master plan pertama yang dibuat pemerintah pada tahun 1960-an.

Meneruskan tulisan Saudara Christianto Wibisono (Suara Pembaruan, Senin, 12/2), tentang Politik Banjir Megapolitan, penulis ingin memulai wacana ini dari penyimpangan atas master plan.

Dalam hemat penulis, pelanggaran serius di antaranya terjadi di daerah Kebayoran Baru hingga Dukuh Atas, yang sudah ditetapkan Presiden Soekarno sebagai daerah terbuka, dan daerah Semanggi sebagai jalur “lintas cepat”, hanya boleh dibangun gedung yang bersifat emergensi dan monumental seperti Markas Polda Metro Jaya, RS Jakarta sebelum dipindahkan, Gedung Veteran, dan Kompleks Stadion Utama Senayan, dan tidak diperbolehkan membangun gedung yang bersifat komersial seperti sekarang ini sudah banyak terdapat di sekitar Semanggi.

Namun, fakta yang terjadi kemudian, di jalur yang disebut lintas cepat itu justru dibangun pusat-pusat berkumpulnya ribuan manusia seperti gedung perkantoran GKBI, Artha Graha, pusat perbelanjaan Plaza Semanggi, Plaza Senayan, Hotel Hilton (kini menjadi Hotel Sultan) dan lainnya.

Dalam satu titik itu saja, setiap jam terjadi arus perputaran ribuan kendaraan sehingga pasti terjadi kemacetan luar biasa setiap saat. Itu sudah tidak sesuai dengan konsep transportasi dalam kota dan melanggar tata ruang.

Khusus pembangunan Hotel Hilton, penulis masih ingat, saat itu terjadi perdebataan panjang karena juga menghalangi pemandangan bangunan monumental Istora Senayan.

Dengan berbagai alasan komersial, akhirnya hotel dibangun juga dengan posisi tidak langsung menghadap jalan raya, agak miring, sehingga Istora tetap tampak dari arah Semanggi. Izin pembangunan ini turun dengan kompensasi Pemda DKI dibangunkan Balai Sidang di tempat yang sama.

Pelanggaran lainnya terjadi di sekitar Bundaran Hotel Indonesia. Di lokasi itu juga sekarang didirikan berbagai pusat perbelanjaan yang luar biasa besarnya dan hotel yang nantinya menyebabkan arus kendaraan hanya berputar-putar di sekitar tempat tersebut.

Hal itu juga terjadi di Cililitan, Jakarta Timur. Dulu, pemerintah memindahkan Terminal Cililitan ke Kampung Rambutan dengan maksud agar di lintasan itu potensi macetnya berkurang. Namun, setelah terminal dipindahkan, justru dibangun Pusat Grosir Cililitan (PGC) sehingga kemacetan menjadi-jadi dan melahirkan titik-titik kemacetan baru.

Kawasan Kuning

Selain pembangunan yang penulis sebutkan di atas, pemerintah juga dinilai terlalu mudah memberi izin kepada developer untuk menggunakan lahan di Jakarta. Izin pembangunan gedung-gedung komersial itu jelas tidak sinkron dengan kebijakan tata ruang kota dan terindikasi ada unsur kepentingan pribadi.

Sejumlah area yang semula merupakan tempat terbuka, daerah resapan dan tangkapan air seperti di Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk dan lainnya, kini menjadi perumahan yang tidak dilengkapi sistem drainase yang memadai. Akibatnya, air sering merendam Jakarta bahkan sebelum sungai yang selalu dikambinghitamkan itu meluap.

Inilah kondisi terakhir Jakarta yang membuat penulis teringat Ali Sadikin dan salah satu stafnya, almarhum Ir Rio Tambunan, konseptor pembangunan kota Jakarta melalui Master Plan (rencana induk tata ruang) periode 1965-1985. Ir Rio yang diangkat menjadi Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta (1971-1975) dan penulis sendiri hingga tahun 1988 menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Sarana dan Prasarana Kota, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, bersama-sama pernah menyatakan kekecewaan atas sejumlah pelanggaran tata ruang yang dilegalkan oleh mereka yang menjabat setelah 1985 itu.

Sebagai catatan bersama, sejak 20 tahun terakhir pelanggaran atas rencana induk itu berlangsung terus-menerus. Sudah ribuan hektare lahan di beberapa kawasan yang sebelumnya berwarna hijau dalam Master Plan 1965-1985, berubah menjadi kawasan kuning dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005.

Lebih mengejutkan lagi, dalam Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK), site plan, atau Rencana Terinci Kota (RTK), daerah kuning ditetapkan semakin meluas dan meniadakan hektaran daerah hijau.

Dalam peta tata ruang, warna hijau berarti kawasan itu sama sekali tidak boleh dibangun karena menjadi daerah resapan air, tangkapan air, atau ruang terbuka hijau. Sedangkan warna kuning berarti kawasan yang boleh dibangun perumahan atau bangunan. Daerah kuning dan hijau saat ini tidak dapat dibandingkan lagi karena sebagian besar kawasan Jakarta sudah tertutup warna kuning.

Yang meresahkan, pelanggaran master plan itu dilakukan dengan cara legal melalui peraturan baru yang sama sekali tidak mengindahkan semua aspek penting dalam planologi. Daerah terbuka dan kawasan lintasan cepat yang dulu dirancang sebagai penyelamat Jakarta yang ringkih, saat ini disesaki bangunan komersial.

Sebagai bangsa, malu rasanya melihat Ibukota seperti itu. Kota ini sering ditertawakan orang asing atas cara pengaturan tata ruang yang sangat amburadul. Sebagai contoh, arus keluar masuknya kendaraan ke Plaza Semanggi yang pada saat Bung Karno di daerah itu hanya boleh dibangun gedung yang bersifat monumental yaitu Gedung Veteran, sekarang tidak lagi memenuhi logika paling sederhana sekalipun dalam disiplin ilmu planologi, apalagi dari segi estetika. Lebih memalukan lagi, setiap tahun Ibukota terendam, lembaga negara justru hanya berebut “proyek” penanganan musibahnya.

Tidak Dirugikan

Dalam penjajahan Belanda, atas bantuan beberapa tokoh suku Tionghoa dari Betawi, banjir bisa diantisipasi dengan membangun kanal barat dari Jalan Harmoni membelah daerah Molenvliet (kini Jalan Hayam Wuruk) ke laut.

Kenapa kita tidak bisa? Bahkan kanal itu akhirnya dijadikan sodetan Sungai Ciliwung yang melewati daerah Pejambon, Noordwijk (Jalan Juanda), dan Rijstwijk (Jalan Veteran) pada 1648.

Sementara, rencana pembangunan kanal timur yang sudah digambar Belanda sejak tahun 1933 hingga hari ini juga baru berupa niat yang tertunda karena Pemda DKI takut menguras Rp 5 triliun untuk mewujudkannya. Bandingkan, sekali banjir tempo hari menurut Kepala Bappenas Paskah Suzetta, kerugian negara tercatat Rp 4,5 triliun.

Niat baik mereka yang ingin Jakarta sehat dan kuat tentu tetap harus dihargai, tetapi yang jauh lebih penting adalah realisasinya. Kita sudah mendapat pelajaran berharga bahwa kebijakan yang menyalahi aturan alam itu kini menyulitkan kita sendiri.

Tinggal sekarang dengan kondisi fisik Jakarta sekarang ini, apakah ada kemampuan kita dapat mengatasinya dengan mengajak penduduk untuk mau berkorban. Berkorban tetapi tidak dirugikan, dengan pengertian berkorban meninggalkan lokasi tempat tinggal pindah ke lokasi baru karena di lokasi itu akan dibuat danau-danau buatan atau peresapan air hujan.

Tidak dirugikan artinya dengan memberikan ganti rugi dan lokasi baru sebagai tempat tinggal yang terjamin yang dilakukan pemerintah kepada penduduk yang dipindahkan.

Penulis adalah mantan Kasubdit Sarana dan Prasarana Kota, Ditjen Pembangunan Daerah, Depdagri(1988), dan Mantan Anggota DPR (1988-2004)

Last modified: 2/3/07


 

CATATAN JAKARTA

Kenapa Indonesia Mengalami Kemandekan?

Sabam Siagian

Organisasi Indonesian Council on World Affairs (Dewan Indonesia tentang Masalah Dunia) aktif dalam menyelenggarakan diskusi bulanan tentang berbagai permasalahan. Dewan ini terutama terdiri dari sejumlah mantan diplomat, para eksekutif swasta, dan pemuka masyarakat.

Rabu (28/2) lalu, Bung Jakob Oetama (Pemimpin Umum Harian Kompas dan Grup Gramedia) diundang sebagai pembicara. Dia memang dikenal sebagai seorang pemikir dan pembicara yang menguraikan masalah-masalah besar secara tulus. Dalam undangan yang diedarkan, seperti biasa, judul uraiannya dirumuskan secara formal: “Pengembangan Budaya dan SDM Indonesia dalam Era Globalisasi”.

Namun, cara penyampaian Bung Jakob sama sekali tidak formal. Benar, pada awal uraiannya sesuai dengan latar belakang akademisnya, maka beberapa karya dan contoh klasik dikutip tentang bangsa-bangsa yang berhasil mengangkat diri mereka ke taraf modern, sehingga tidak tercecer dalam kompetisi global yang serba sengit. Dengan sendirinya, karya terkenal seorang ahli sosiologi Jerman pada awal abad ke-20, Max Weber (terjemahan bahasa Inggris: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism – Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme) dikutip.

Profesor Weber menekankan pentingnya nilai-nilai seperti kerja keras dan jangan lepas puas sendiri sebelum mencapai hasil maksimal, menghormati faktor waktu, hemat dalam pengeluaran pribadi, serta mampu mempertahankan gaya hidup serba sederhana namun mencukupi, pupuk kebiasaan menabung untuk masa depan.

Weber menganggap nilai-nilai pokok ini sebagai formula penting untuk meningkatkan daya mampunya menuju modernisasi. Tentunya ada juga contoh mencolok dalam sejarah dunia tentang bangsa-bangsa yang tanpa memeluk agama Kristen Protestan namun berhasil dalam usaha modernisasinya.

Jepang dengan periode Restorasi Meiji pada tahap akhir abad ke-19 dan tahap awal abad ke-20 mentransformasi dirinya dari masyarakat pertanian-feodal ke negara industri modern. Dan Bung Jakob tidak lupa mengutip ahli ekonomi Swedia Gunnar Myrdal yang mempelajari gejala kemiskinan dan proses pembangunan. Ia terkenal dengan karyanya, Asian Drama (1968), yang mengkaji secara terperinci negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dan menguraikan faktor-faktor yang menghambat perubahan menuju modernisasi.

Agaknya yang menyentak hadirin yang memenuhi ruang besar di Gedung Caraka Loka, Kompleks Deplu (Kebayoran Jakarta), ketika pembicara menatap pada diri Indonesia, dan prihatin sepertinya bangsa ini sedang mengalami kemandekan.

Bahwa Tiongkok dan India maju pesat secara dramatik, hal itu mau tidak mau kita terima. Namun Vietnam yang hancur sebagai akibat peperangan dahsyat menghadapi Amerika Serikat mampu melancarkan pembangunan pesat (dan tidak terjerat dalam keangkuhan sebagai pihak menang ataupun dalam rasa benci terhadap bekas lawannya) dengan tingkat pertumbuhan mendekati 10 persen, merupakan sentakan bagi Indonesia.

*

Kekhawatiran yang menyelinap dan tampak selama acara diskusi seperti ditekankan sejumlah peserta: Apakah Indonesia mampu memperbaiki daya saingnya sehingga tidak tercecer dalam persaingan globalisasi?

Rentetan kecelakaan angkutan di udara dan di laut mengungkapkan sikap tidak disiplin, pengawasan yang tidak ketat, cara kerja yang asal-asalan.

Ada peserta yang berpendapat bahwa penerapan otonomi daerah telah menghasilkan generasi pemimpin yang sempit jangkauan pandangannya, karena terlalu mementingkan daerahnya sendiri. Ada juga peserta yang merasa tersinggung karena pembicara secara sambil lalu menyebut bahwa Malaysia pun sudah lebih maju dibandingkan Indonesia, karena menurut dia, pertunjukan seni budaya Indonesia jauh lebih menarik.

Bung Jakob Oetama terpaksa menjawab bahwa “kita bicara tentang nilai-nilai budaya yang memungkinkan sebuah bangsa maju bukan tentang produk seni budaya yang dipamerkan”.

Seorang peserta menduga karena mayoritas bangsa Indonesia berasal dari Jawa, maka mungkin nilai-nilai neofeodalisme Jawa merupakan hambatan bagi bangsa Indonesia untuk bersikap modern tentang faktor waktu dan kekuasaan (“tugas seorang pejabat negara adalah melayani dan bukan merasa berhak untuk dilayani”, demikian Jakob Oetama). Hal itu segera dibantah, karena di kalangan birokrat yang “dari seberang” juga sudah menunjukkan gejala “ke-Jawa-jawaan”.

*

Kebetulan penulis kolom ini diminta sebagai pemandu diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesian Council on World Affairs itu. Agak lama saya renungkan pokok-pokok dalam uraian Bung Jakob Oetama dan apa yang dikemukakan sejumlah peserta. Semuanya itu sebenarnya pencerminan dari “mood” di sementara masyarakat di Ibukota ini. Yakni, suatu pesimisme bahwa sebagai bangsa kita mandek, dan tidak menunjukkan gairah ingin maju.

Sebenarnya hal ini agak aneh juga. Karena Pemilu 2004 yang secara langsung memilih presiden dan wakil presiden (yang dipuji oleh dunia internasional sebagai eksperimen demokrasi yang amat berhasil) menurut logika politik diperkirakan akan menghasilkan gairah semangat kerja dan daya mampu inovasi sehingga tingkat kemajuan yang dicapai Indonesia nyata di semua bidang.

Apakah kepemimpinan yang tidak mantap dan tidak tegas merupakan penyebab, kenapa produktivitas bangsa Indonesia tidak optimal dan berkualitas, seperti disinggung oleh seorang peserta? Namun, apakah fair untuk menyalahkan “pimpinan” saja? Demokrasi berasumsi bahwa kekuasaan itu tidak tergumpal di satu tangan. Itu berarti juga bahwa prakarsa dapat timbul dari mana-mana tanpa tergantung perintah dari atas.

Mungkin saja kita tidak memiliki gambaran lengkap dan akurat tentang dinamika sosial yang sedang berlangsung dalam masyarakat Indonesia. Siapa tahu, apa yang disebut seorang rekan sebagai “model Italia” sedang terjadi di Indonesia. Yakni, peranan pemerintah dan birokrasi tidak begitu penting lagi, dan daya inovasi masyarakat mencari jalurnya sendiri.

Namun demikian, kita tidak boleh bosan mengingatkan mereka yang memperoleh kekuasaan menjalankan pemerintahan melalui jalur demokrasi, bahwa tanggung jawab mereka adalah memperjuangkan kesejahteraan bangsa.

Penulis adalah pengamatperkembangan nasional dan internasional

Last modified: 3/3/07


 

The Global Nexus

Budiono-Wen Jiabao dan Demokrasi

Christianto Wibisono

Pidato pengukuhan guru besar Prof DR Budiono mengingatkan korelasi sistem politik dan kinerja ekonomi bahwa demokrasi berkelanjutan akan tercapai bila pendapatan per ka- pita penduduk US$ 6.600. Sedang Indonesia menurut Purchasing power parity (PPP) baru berada pada US$ 4.400 atau 2/3 dari pra kondisi demokrasi yang mantap.

PM Wen Jiabao dalam pidato pembukaan Kongres Rakyat Nasional RRT hari Senin ini (5/3) menyatakan bahwa RRT belum siap untuk berdemokrasi dengan oposisi dan alternatif pergantian kekuasaan model Barat dengan pilpres terbuka langsung. Barangkali perlu 100 tahun lagi karena RRT akan tetap mengupayakan suksesnya pembangunan sosialisme.

Walaupun dalam praktek telah menggunakan sistem ekonomi pasar bebas dan kaum kapitalis sudah diterima menjadi anggota PKT (Partai Komunis Tiongkok). Suksesi politik masih diatur melalui regenerasi internal politburo PKT.

Sabam Siagian, moderator acara Indonesian Council of World Affairs mengulas refleksi Jakob Oetama tentang kemandekan Indonesia dalam kolom Sabtu (3/3). Malam harinya Nono Makarim di depan reuni Angkatan 66 sekaligus ulang tahun ke-66 Sofyan Wanandi mengingatkan supaya mempertahankan demokrasi dan jangan mundur ke belakang seperti menolak amandemen UUD.

Nono juga mengingatkan jebakan retorik kaum populis nasionalis yang mengeksploitir emosi massa dengan teriakan histeris anti establishment tapi tidak jelas dan tidak mampu men “deliver” seperti rezim Marxis/Leninis di Uni Soviet dan RRT. Setelah Nono, Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa AS berstandar ganda dalam kampanye pro demokrasi global.

Kepada Paul Wolfowitz, Kalla mengatakan AS berdalih ingin membangun demokrasi di Irak dengan biaya ratusan miliar dolar AS. Tapi Indonesia yang “demokratis” setelah Soeharto lengser, menerima bantuan dan investasi lebih kecil dari RRT.

Kepada Arab Saudi Jusuf Kalla menanyakan kenapa investasi negara penghasil minyak itu tidak diarahkan ke sesama negara Muslim seperti Indonesia. Kenapa petrodollar malah diputarkan di Wall Street dan pasar global dan hanya sedikit yang ditanam ke Asia Selatan atau Indonesia.

Kalla juga menyatakan bahwa Indonesia sekarang ini belum perlu meminjam karena banyak dana yang disimpan sebagai SBI atau obligasi negara.

Mengutip laporan Bank Indonesia, pertumbuhan kredit tahun 2006 sebesar 14,1 persen atau Rp 102,8 triliun. Tapi masih ada Rp 166 triliun kredit yang belum diserap. Sementara dana pihak ketiga sudah mencapai Rp 1.287 triliun dan SBI diperkirakan naik jadi Rp 300 triliun akhir tahun ini.

Pihak perbankan menyalahkan kondisi makro ekonomi, iklim investasi, perburuhan dan perpajakan yang tidak merangsang investor. Tarif pajak tertinggi di Hongkong dan Singapura sudah menuju 15 persen sedang Indonesia 30 persen.

Benang Merah

Benang merah dari semua pidato sejak Budiono sampai Nono Makarim ialah debat panjang dan pendekatan dikotomis antara keadilan politik dan kemakmuran ekonomi.

Jika orang berbicara tentang pertumbuhan kue ekonomi dulu baru kemudian memetik buah keadilan pemerataan, bahayanya ialah kelas yang berkuasa tidak rela melepaskan dan membagi kenikmatan. Kelas penguasa bercokol tidak peduli berideologi teokrasi, fasis atau Marxis selalu tidak akan rela kehilangan privilege.

Akan terjadi suatu “rotasi rezim despot ” dengan keterpurukan rakyat sepanjang zaman sekalipun secara “nation state” sudah merdeka ratusan tahun seperti Amerika Latin. Atau melaksanakan demokrasi seperti AS dan Eropa Barat yang berhasil menciptakan kelas menengah seperti benchmark Budiono dengan penghasilan di atas US$ 6.600 per kapita.

RRT sekarang sedang menerapkan apa yang dipertahankan oleh Soeharto selama 32 tahun dan Wen Jiabao minta waktu 100 tahun sebelum bisa berdemokrasi seperti AS.

Sebetulnya jika orang berbicara tentang keberhasilan RRT maka itu tidak lepas dari globalisasi pasar karena RRT dapat menjual barangnya ke pasar terbesar AS walaupun 60 persen dari perusahaan yang mengekspor itu adalah patungan dengan asing. Jadi dunia dan RRT bisa tumbuh pesat, karena pasar terbesar AS terpercaya berkat sistem demokrasinya terbuka lebar.

RRT dan Arab Saudi juga lebih percaya menaruh dana surplusnya dalam sistem ekonomi global dan menjadi “kreditor” dan depositor untuk AS yang mengalami defisit neraca perdagangan yang perlu ditutup dengan arus dana dari luar.

Konflik abadi antara mazhab yang mempertentangkan keadilan dan kemakmuran dengan mazhab yang mampu membangun ekonomi paralel dengan demokrasi politik, supremasi hukum, Trias Politika dan penghormatan HAM, property dan meritokrasi adalah rahasia keunggulan dan sebab kenapa AS dan Eropa Barat bisa mencapai posisi seperti sekarang.

Keterpurukan

Politik balas dendam dan pembantaian lawan politik serta penjarahan asset nasional oleh regim otoriter pelbagai jubah (teokrasi, fasisme, Marisme dan bendera populis nasionalis radikal) adalah sebab keterpurukan Dunia Ketiga.

AS dan Barat membangun dengan etika dan moral bahwa keadilan harus ditegakkan agar seluruh masyarakat gairah membangun dan meningkatkan kesejahteraan berkelanjutan.

Dunia Ketiga dan rezim Marxis, gagal mengentaskan masyarakat dari kemelaratan karena semua rezim politik yang berkuasa hanya memeras asset nation state untuk kenikmatan hidup 7 turunan elite yang kemudian saling membantai dalam kudeta berantai.

Penguasa nominal berganti bahkan ideologi diganti dari “meta teokrasi ke fasisme lalu ke Marxisme dan balik lagi ke “meta teokrasi” tapi assets nation state yang bersangkutan tidak bertumbuh dan rakyat tetap melarat dan mencari nafkah ke Eropa dan AS.

Meta teokrasi ialah rezim yang mengklaim berkuasa mewakili Tuhan, tapi dalam praktek menjadi algojo terhadap rakyatnya sendiri. Dunia Ketiga kropos dari dalam, tidak pernah mampu membangun seperti AS dan Eropa Barat karena yang terjadi ialah “sustainable political vendetta” antar elite yang tidak mengembangkan assets nasional secara kumulatif.

Tapi dunia Barat juga sedang mengalami krisis sistim nilai karena pengaruh guilty complex , rasa berdosa pernah menjadi kolonialis dan imperialis. Sehingga Barat kurang yakin terhadap sistem nilai yang menjadi rahasia keberhasilan mereka mengentaskan bagian terbesar rakyat menjadi kelas menengah.

Sebagian elemen elite Barat juga mengidap penyakit populis nasionalis dan tidak puas dengan kemapanan. Mereka mengemas ideologi pasca demo- krasi, transnasional progresif (transzi) yang laku keras di Eropa dan AS. Mazhab transzi akan membuat keduanya merosot jadi Dunia Ketiga.

Sedang Dunia Ketiga dengan teori Wen Jiabao akan menciptakan rezim Soehartois global untuk 100 tahun lagi. Namun kalau AS sudah keburu bangkrut jadi Dunia Ketiga , kepada siapa RRT akan menjual barang dan jasanya untuk melanjutkan keajaiban ekonominya?

Bisakah RRT jadi superpower sendirian karena AS terpuruk dalam sistem nilai Dunia Ketiga? Kalau Eropa jadi Eurabia apa tetap bisa menjadi tujuan imigran, atau malah jadi Timur Tengah kedua yang terbenam dalam suksesi primitif abad ketujuh?

Penulis adalah pengamat masalah internasional

Last modified: 5/3/07


 

 

Analisis Kebijakan Pencukupan Beras

Oleh DE Sianturi

Indonesia sebagai negara agraris bukan sesuatu yang kebetulan. Melihat sumber daya alamnya, dan letak geografisnya di khatulistiwa, tidak dapat di sangkal, saat ini dan mungkin hingga beberapa dasawarsa ke depan Indonesia masih disebut negara agraris.
Sebab lain, lebih dari 70 persen penduduk masih hidup dari dan dalam kegiatan usaha tani atau petani, walau kebanyakan masih sebagai petani gurem dengan luas areal sawah kurang dari satu hektare per keluarga petani.

Dalam pelaksanaan berbagai program pembangunan pertanian tanaman pangan seperti petani padi, pemberian subsidi terkesan seragam saja antarlokasi atau wilayah desa-desa pertanian. Sudah waktunya membedakan wilayah kerja khususnya pertanian tanaman pangan (baca: padi) dilihat dari aspek biofisik, infrastruktur, dan kondisi sosial-ekonominya.

Kelihatan saat ini dampak dari keberhasilan pembangunan dan pengembangan pertanian sangat beragam. Akibatnya, lahir dua kelompok desa pertanian, yaitu kelompok desa progresif (desa maju) dan kelompok desa stagnan (desa tertinggal).

Ironisnya, desa stagnan lebih besar jumlahnya daripada desa maju, dan terlihat desa maju menjadi semakin maju sementara desa stagnan sangat sulit berkembang. Tiap kelompok desa itu menunjukkan perbedaan mencolok. Desa progresif memiliki tingkat produktivitas padi dan indeks pertanaman padi jauh lebih tinggi daripada desa stagnan.

Keadaan seperti itu tidak boleh dibiarkan, tetapi harus segera dibenahi dengan pendekatan yang benar, terarah, dan konsisten. Reorientasi perlu dilakukan pada proyek-proyek pengembangan pertanian tanaman pangan, terkait dengan pemberian subsidi atau bantuan sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan lainnya.

Hal itu dimaksudkan untuk mencapai sasaran peningkatan produksi optimal. Penulis melihat pemberdayaan petani selama ini belum “menyentuh”, dan tidak jarang hanya sebatas pemanis bibir. Padahal, memberdayakan petani dan pertanian tanaman pangan sangat mengait erat dengan pencukupan beras, jangka pendek maupun jangka panjang.

Lebih dari itu, sekaligus menyejahterakan petani itu sendiri. Pemberdayaan petani bukan hanya dengan melalui-jaminan harga dasar gabah (HDG), atau dengan pupuk bersubsidi seperti selama ini dilakukan pemerintah, tetapi lebih jauh, yaitu mengembalikan pengembangan pertanian dengan fokus pada petani dan usaha taninya dalam arti luas. Bukan seperti sekarang ini, impor beras dan stok Bulog menipis lebih sering mengemuka.

Hanya dengan memfokuskan perhatian kepada petanilah wajah kecukupan beras dan pangan akan terwujud segera. Caranya, mengawal teknologi pertanian dan pendampingan oleh penyuluh agar produksi padi optimal. Pada gilirannya akan membawa petani (dan keluarganya) mencapai tujuan dan cita-cita Kemerdekaan Negara RI, yaitu masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera sesuai UUD 1945 dan Pancasila.

Memperbarui Komitmen

Pertanyaannya, berapa banyak pemimpin, baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah hingga tingkat kecamatan yang mengerti, menghayati, dan siap melakukan visi dan misi itu? Dibutuhkan kemauan baru, kuat, dan sungguh-sungguh dari pejabat di pemerintahan, pemuka agama dan tokoh masyarakat, untuk memihak dan memfokuskan perhatian kepada petani.

Juga legislatif dan petinggi partai politik perlu memperbarui komitmen untuk membangun pertanian dan memfokuskan perhatian kepada petani guna mencapai kecukupan beras. Kalau perlu, jadi pengekspor dalam waktu tidak terlalu lama.

Penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta jiwa, dan 70 persennya petani yang hidup dari dan dalam usaha tani, dan sekarang masih miskin. Luas areal panen padi setiap tahun sekitar 11 juta ha dan tahun ini menurut sumber di Deptan bahkan akan naik menjadi sekitar 12 juta ha areal panen padi.

Dengan tingkat produksi 5 ton per ha dengan areal panen 11 juta ha, akan dihasilkan 55 juta ton gabah. Dengan rendemen 60 persen, produksi akan setara dengan 33 juta ton beras. Hanya dengan memfokuskan perhatian kepada petani dan masuk lebih dalam pada proses usaha tani, tingkat produksi dan penyediaan pangan akan dicapai dengan stabil.

Kebutuhan konsumsi penduduk yang selalu diasumsikan 135 kg/kapita/tahun, memerlukan beras 29,7 juta ton per tahun. Kalau dipukul rata setiap orang sama, padahal konsumsi beras tidak sama untuk tiap orang, maka dapat dibagi menurut strata umur penduduk, seperti tampak pada tabel. (Lihat Tabel).

Dalam tabel di atas juga disebutkan masyarakat yang mengkonsumsi nonberas. Jika jumlahnya sekitar 10 persen untuk sekitar empat bulan tiap tahun, akan mengurangi penyediaan sekitar 0,9 juta ton. Kemudian ada juga cadangan diperkirakan 20 persen antisipasi gagal panen sekitar 4,994 juta ton.

Dari data di atas kebutuhan mutlak untuk konsumsi adalah 24,970 juta ton. Bila dikurangi dengan yang tidak makan beras dan ditambahkan lagi dengan cadangan 4,994 juta ton, kebutuhan total 28,974 juta ton.

Jumlah itu masih di bawah dari asumsi bila semua dipukul rata sama 135 kg/kapita/tahun yaitu sebesar 29,7 juta ton. Yang pasti semua itu dapat dihasilkan dari lahan usaha tani kita sendiri dan tidak harus impor.

Penulis mengajak semuanya mencoba merenungkan ketika petani mulai menanam padi dan menghasilkan jutaan ton gabah yang melebihi kebutuhan konsumsi riil mereka. Apa yang terbayang di depan mata? Apa tidak layak dikatakan petanilah yang menyubsidi penduduk nontani.

Mereka menyubsidi dengan harga rendah yang diterima saat panen. Karena itu, kini saatnya pejabat dan unit kerja terkait dengan upaya kecukupan pangan (baca beras), dari produksi sendiri membekali diri dengan pemahaman yang mendalam bahwa petani harus ditolong, dibela, dan menjadi fokus perhatian.

Analisis kebijakan dan kecukupan beras perlu dipertajam dan lebih difokuskan kepada petani. Apa perlu belajar lagi dari pengalaman pemerintah 40 tahun lalu dengan sistem Bimas (bimbingan massal) di bidang pertanian dengan penerapan “Panca Usaha Tani” yang membawa Indonesia swasembada beras tahun 1988? Yang lebih mengherankan, akhir-akhir ini para pejabat dan pengambil keputusan cenderung saling menyalahkan pupuk bersubsidi tidak sampai pada konsumen tepat waktu dan tepat jumlah beberapa musim tanam lalu. Bahkan Kepala Bulog berani mengatakan “meragukan kesahihan data BPS” mengenai produksi padi dan luas lahan panen padi.

Apa Kepala Bulog, Ka BPS, Mentan, Memperdag, dan Mendagri sebagai pemegang kebijakan jarang duduk bareng untuk menyamakan dan up-dating data masing-masing? Tak mengherankan pembahasan tentang beras hanya berkutat sekitar impor-mengimpor dan bukan cara menaikkan produksi dengan memberdayakan petani dan pertanian sebagai sokoguru dan basis pembangunan.

Sudah saatnya analisis kebijakan yang dilakukan di tingkat pusat secepatnya turun ke provinsi dan terus ke kabupaten, kecamatan, dan desa-desa di sentra produksi padi. Di lain pihak analisis teknis menjadi input dijemput dari desa ke kecamatan, kabupaten dan provinsi hingga pusat. Apalagi di era teknologi sekarang ini komunikasi sudah canggih?

Program Revitalisasi

Cukup segar dalam ingatan kita, Presiden Yudhoyono di penghujung 2005 mencanangkan Program Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan.

Apa yang sudah dilakukan dan direvitalisasi, sementara impor beras dan produk pertanian lainnya masih tinggi? Deptan saat itu langsung merespons dengan menyusun “Road Map” Pengembangan 17 Komoditas Unggulan Agribisnis dan Rencana Aksi Ketahanan Pangan yang programnya diserahkan juga kepada DPR. Sampai di mana status program itu sekarang?

Akhirnya penulis ingin urun rembuk dan mengajak berbagai kalangan untuk ambil bagian secara aktif mendukung setiap upaya kecukupan beras/padi ini dengan berkontribusi sekecil apa pun. Ajar dan ajak masyarakat untuk tidak cepat panik atau takut kelaparan kalau beras kurang. Di sekitar kita ada substitusi pangan lain yang kaya karbohidrat, seperti ubi, talas, jagung, kacang-kacangan, gadung, sagu, dan lainnya.

Lupakan pola pikir impor dalam mengatasi setiap merasa kekurangan beras. Lebih penting memperbaiki manajemen produksi padi dan membangun kemandirian untuk menjadi raksasa penghasil beras terbesar di Asia Tenggara atau bahkan untuk Asia.

Potensi sumber daya alam dan sumber saya manusia tersedia, yang diperlukan sekarang adalah komitmen untuk maju, motivasi, kesungguhan, dan kejujuran untuk memajukan pertanian Indonesia.

Penulis adalah pemerhati pembangunan pertanian, tinggal di Bogor

Last modified: 5/3/07


 

Kekeringan, Longsor, dan Kelaparan

Gatot Irianto

Seminggu ini, Manggarai, kabupaten di Nusa Tenggara Timur, menjadi sangat populer di Tanah Air. Beberapa desa di kabupaten itu tertimpa musibah tanah longsor yang merenggut banyak korban jiwa. Sekitar dua minggu sebelum musibah longsor terjadi, wilayah yang sama melaporkan terjadinya kekeringan yang menyebabkan tanaman jagung puso dan tidak terselamatkan, karena prakiraan hujan akan turun, ternyata mengalami pergeseran.

Ada tiga fenomena menarik yang perlu dicermati berkaitan dengan terjadinya kekeringan dan longsor ini. Pertama, naiknya peringkat longsor menjadi bencana alam penting. Kedua, adanya perambatan (propagation) waktu dan perubahan jenis bencana. Ketiga, terkonsentrasinya dua jenis bencana dalam suatu wilayah secara berurutan.

Naiknya peringkat longsor itu harus diwaspadai dan diantisipasi, karena berdasarkan pemantauan di beberapa wilayah rawan longsor, ada kecenderungan (trend) wilayah tidak rawan longsor bergeser statusnya menjadi rawan longsor.

Pemetaan rawan longsor dengan skala operasional minimal 1:25 000, yang menampilkan besaran longsor, baik luas areal, posisi, dan faktor penyebabnya, sehingga pemangku kepentingan dapat menetapkan model penanggulangannya. Bahkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dapat berkonsentrasi untuk memperbaiki wilayah yang sudah rawan dan yang berpeluang berge- ser menjadi rawan longsor.

Terjadinya propagasi waktu terjadinya bencana dan pergantian jenis bencana dari kekeringan ke longsor mengindikasikan bahwa tanah dan vegetasi sebagai regulator sudah tidak berfungsi lagi. Setiap butir air hujan yang jatuh langsung dialirkan sebagai aliran permukaan.

Artinya terjadi penurunan kualitas daerah tangkapan air yang sangat signifikan dari kritis (critical) menjadi berisiko tinggi (high risk). Hasil pemantauan di lapangan menunjukkan, program pemerintah belum mampu menurunkan jumlah bencana, tetapi baru menurunkan kualitas bencana terutama pada wilayah yang kondisinya belum parah.

Terkonsentrasinya dua jenis bencana pada suatu tempat menunjukkan bahwa secara alamiah terjadi penambahan jenis bencana kalau tidak ada campur tangan pemerintah yang signifikan yang didukung kesadaran masyarakat. Peringkat bencana itu akan menjadi semakin dahsyat apabila diikuti dengan rawan pangan dan kelaparan, karena biaya dan pemulihannya sangat lama dan mahal.

Argumennya, pascalongsor, lapisan tanah atas (top soil) yang subur sudah terangkut, sehingga yang tersisa tinggal lapisan bawah tanah yang padat, miskin bahan organik dan tidak subur.

Apabila tidak ada usaha serius, bencana berikutnya dipastikan akan muncul dalam bentuk lain, yaitu kelaparan, karena produktivitas lahan rendah, kebutuhan masukan pertanian tinggi, tetapi risiko gagal panen besar. Pembiaran masyarakat miskin terkena bencana berarti memosisikan mereka untuk melakukan natural survival and struggling dalam menghadapi maut.

Mengapa Longsor?

Secara fisik longsor dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: mekanisme Hortonian (excess infiltration) dan mekanisme permukaan jenuh (saturated overland flow) yang dikemukakan Beven dan Kirby. Mekanisme Horton terjadi apabila intensitas curah hujan yang jatuh melebihi laju infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga sisanya akan langsung mengalir menjadi limpasan.

Limpasan yang besar akan mengikis tanah dan menjadikan erosi permukaan meningkat menjadi erosi alur, kemudian berkembang menjadi erosi parit dan akhirnya menjadi erosi jurang. Pada tanah yang stabilitas agregatnya lemah, aliran air akan mengangkut masa tanah dalam jumlah besar, sehingga terjadilah longsor yang besar.

Sementara mekanisme kedua terjadi apabila permukaan tanah mengalami penjenuhan, akibat hujan dengan intensitas rendah tetapi terjadi pada waktu yang lama. Umumnya awal penjenuhan dimulai dari bibir sungai atau alur parit, bergerak ke tengah sejalan dengan meningkatnya curah hujan yang membasahi permukaan tanah.

Kedua mekanisme itu terjadi pada kejadian longsor di NTT, karena secara historis tanahnya mengalami penjenuhan awal akibat hujan dengan intensitas rendah dengan durasi lama, kemudian minggu terakhir digempur dengan curah hujan dengan intensitas tinggi dengan waktu yang lama. Itulah sebabnya longsor yang terjadi di Mangga- rai kali ini sangat besar dan dahsyat.

Lebih mengerikan lagi karena longsor kali ini terjadi pada lahan berlereng terjal, tanpa vegetasi, dan di lapisan bawah tanah (sub soil) ada papan luncurnya, sehingga gerakan masa tanah dan volume tanah yang diangkut sangat besar.

Fenomena itu akan semakin banyak ditemukan di daerah lain, karena faktanya masyarakat miskin semakin bertambah. Mereka umumnya tidak memiliki tanah, sehingga “terpaksa harus bermukim di wilayah konservasi” yang merupakan tanah negara, sekalipun harus menghadapi risiko tinggi.

Anehnya, meski masalah kekeringan, longsor, rawan pangan dan kelaparan terus mengemuka bahkan cenderung meningkat, semangat untuk pemekaran wilayah tidak kunjung padam bahkan sebaliknya. Distruksi lingkungan terus berjalan, sementara rehabilitasinya cenderung jalan di tempat. Nettonya, lebih banyak kerusakan dibandingkan pemulihannya.

Itulah sebabnya mengapa data luas lahan dan hutan kritis tidak pernah berkurang, bahkan sebaliknya, sekalipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah Tingkat I dan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah Tingkat II, dana Dekonsentrasi, dana Alokasi Khusus (DAK), serta dana tugas pembantuan terus meningkat. Pertanyaannya, ke mana dan untuk apa saja dana yang demikian besar? Adakah perasaan bersalah aparat dengan kejadian longsor yang memakan nyawa tidak bersalah itu?

Berkaitan

Ada dua hal yang dapat dilakukan berkaitan dengan minimalisasi risiko longsor yang makin mencemaskan itu, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi dilakukan dengan menanam tanaman di lahan berlereng terjal dengan perakaran dalam tetapi berat/massa tanamannya ringan, anakannya banyak, seperti sonokeling. Pendekatan itu memungkinkan tanaman mengikat tanah dan memasukkan air ke dalam tanah yang lebih dalam, sehingga terjadinya kekeringan dan risiko longsor dapat diminimalkan.

Pada kondisi kelerengan yang ekstrem, direkomendasikan hanya tanaman rumput dan ternak, agar beban tanah dapat diminimalkan, sehingga terjadinya longsor dapat direduksi. Jika wilayah memang sangat rawan longsor, alternatif terakhirnya pemerintah harus melakukan realokasi ke tempat yang lebih aman.

Penanganan longsor secara business as usual harus dihentikan. Selain menghabiskan tenaga, waktu, dan dana, hasilnya juga tidak akan efektif. Apala- gi berdasarkan pemantauan lapangan, wilayah tersebut umumnya rawan kekeringan dan produksi pangan sering kali mengalami gagal panen.

Jadi, selain rawan longsor dan kekeringan, wilayah tersebut juga sangat rawan pangan. Pemerintah harus mengambil sikap yang tegas, dengan tidak membiarkan masyarakat miskin bermukim di wilayah yang berisiko tinggi, karena dengan begitu sama saja memperta- ruhkan nyawa mereka dengan bencana.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian sudah menginisiasi pengembangan usaha tani konservasi pada wilayah kritis maupun berisiko tinggi agar selain dapat mengkonservasi lahan dan air secara berkelanjutan, mereka juga mendapat penghasilan untuk kehidupan.

Masalahnya, respons dan partisipasi masyarakat masih relatif rendah, karena mereka umumnya miskin, sehingga lebih mementingkan bekerja hari ini untuk makan hari ini, daripada melakukan konservasi untuk nanti.

Masalah sosial itu harus ditangani terlebih dahulu, jika pemerintah akan melakukan rehabilitasi wilayah rawan longsor maupun yang berisiko tinggi terhadap longsor.

Penulis adalah doktor di bidang hidrologi; Direktur Pengelolaan Air, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian

Last modified: 6/3/07


 

Vonis Tanpa Nurani Membuat Hukum Beku

Oleh Sarluhut Napitupulu

Saya bersama rakyat akan terus berjuang sampai titik darah terakhir mempertahankan tanah adat kami ini.” Pernyataan itu disampaikan Haji Raja Manimpo Hasibuhan, Pemangku Adat Luhat (wilayah) Simangambat, Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Sumut, kepada Tim Pengacara DL Sitorus, yang berkunjung ke Padang Lawas, Sabtu (24/02).

Sikap senada, disampaikan Raja Asli Hasibuhan, Pemangku Adat Luhat Ujung Batu, Padang Lawas. Raja Manimpo dan Raja Asli adalah generasi ketujuh pemangku dua Luhat itu dengan jumlah rakyat sekitar 12.000 jiwa, komunitas DL Sitorus.

Sikap siap mati itu mencuat menyusul Mahkamah Agung (MA), Senin (12/02) membatalkan putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi (PT) DKI 11 Oktober 2006 atas terdakwa DL Sitorus. Majelis MA menghidupkan putusan PN Jakarta Pusat 28 Juli 2006, yakni menghukum Sitorus delapan tahun penjara, denda Rp 5 miliar subsider enam bulan kurungan.

Sitorus dinyatakan terbukti melanggar tindak pidana kehutanan (PP 28/1985 tentang Perlindungan Hutan dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan). Tuduhan JPU bahwa Sitorus korupsi, di- patahkan majelis PN, PT, maupun MA.

Sudah tepatkah putusan MA itu? Untuk mengujinya, Pasal 263 KUHAP memberikan kesempatan terakhir kepada Sitorus. Yakni Peninjauan Kembali (PK) dilakukan atas dasar terdapat novum atau bukti baru. Permintaan PK tidak dibatasi jangka waktu.

Tapi, tidak menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan yang dilakukan oleh jaksa. Namun, jika putusan pengadilan menetapkan barang bukti dirampas untuk negara, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara.

Kekecewan terhadap penanganan kasus Sitorus, mulai dari penangkapan sampai putusan MA, tidak hanya dirasakan komunitas DL Sitorus di Padang Lawas, Tapanuli Selatan, tapi juga pemerhati hukum di negeri ini.

Mereka muak dan frustrasi mengingat perkara dengan dakwaan yang dijeratkan kepada Sitorus baru pernah ada dalam sejarah Indonesia. Wilayah masalah adalah perdata, tapi dipaksakan pidana. Kasus Sitorus diperiksa tanpa nurani sehingga hukum jadi beku. Terjadi kekeliruan penerapan hukum.

Ketentuan hukum acara dilanggar. Misalnya, merujuk Pasal 84 KUHAP mestinya Sitorus diadili di PN Padang Sidimpuan, karena locus-delicti-nya Padang Lawas. Tapi, hanya dengan asumsi, sidang dipindahkan ke PN Jakarta Pusat. Penegakan hukum yang terjadi hanya sekadar formal legalistik, tidak bersubstansi kepada keadilan material.

Latar belakang psiko-sosial kultural tak diindahkan. Ketokohan Sitorus direndahkan, bahkan terancam dihabisi. Padahal, motif tunggal Sitorus mengusahakan (bukan menguasai dan menduduki seperti dituduhkan pengadilan) lahan Padang Lawas yang diserahkan masyarakat adat untuk dikelola adalah demi lepasnya belitan kemiskinan yang terus- menerus melilit masyarakat adat tersebut dan memberi pemasukan devisa kepada negara.

Lahan yang “diserahkan” masyarakat adat itu telantar bagaikan padang prairie sejauh mata memandang. Melalui musyawarah adat, Raja Asli dan Raja Manimpo, didampingi komunitas adatnya, melakukan upacara pelepasan hubungan magis sosio-psikologis kultural antara tanah dan nurani batin masyarakatnya, melalui ritual budaya lokal yang disebut pago-pago, Agustus 1998. Setelah proses itu dilalui Sitorus dengan baik dan benar, mulailah rangkaian peristiwa ekonomis yang lazim di dalam dunia industri perkebunan kelapa sawit.

Dinyatakan Bersalah

Dalam peristiwa ekonomis tersebut, Sitorus berfungsi hanya sebagai bapak angkat dan penyandang dana. Pengelolaan lahan dengan pola PIR, diserahkan kepada Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan bersama-sama dengan masyarakat lokal. Sarana prasarana terbangun dengan baik.

Aksi sharing itu akhirnya membuat puluhan ribu masyarakat adat yang tadinya kerap menggigil akibat dililit kemiskinan, bernapas lega. Mereka kini mampu menganalisis peristiwa kawin, cerai, selingkuh, para selebritis dari televisi melalui pemancar parabola yang bertengger di depan rumah.

Sampai di situ, perbuatan jahatkah yang dilakukan Sitorus? Departemen Kehutanan, menyatakan yang dilakukan Sitorus jahat karena lahan yang dikelola adalah tanah negara yang diperuntukkan hutan produksi terbatas.

Sitorus pun divonis, dinyatakan bersalah menguasai dan menduduki secara sengaja kawasan hutan negara tanpa izin. Ironinya, mengapa setelah dikelola hampir sembilan tahun, dan puluhan ribu masyarakat adat di sana telah hidup sejahtera, baru dikatakan perbuatan jahat?

Tuduhan Dephut itu tak pantas. KPKS memang belum memiliki izin bersifat permanen. Tapi, Menhut melalui Suratnya Nomor 1680/Menhut-III/2020 tanggal 26 September 2002, memberikan izin prinsip bagi KPKS untuk mengelola lahan tersebut. Izin prinsip itu seterusnya menjadi dasar untuk mengurus izin permanen.

Namun, dua tahun kemudian, setelah KPKS berinvestasi hampir Rp 1 triliun, Menhut yang sama, melalui Suratnya No 3.419/Menhut-II/2004 Tanggal 13 Oktober 2004, mencabut Surat Menhut No 1680 tersebut.

Inkonsistensi Dephut itu digugat KPKS ke PTUN. Pada 12 Juli 2006 gugatan itu dikabulkan. Majelis PTUN menyatakan batal Surat Menhut tanggal 13 Oktober 2004 mencabut izin prinsip dan menyatakan berlaku Surat Menhut No 1680 sebagai izin prinsip bagi KPKS mengelola lahan Padang Lawas. Namun, putusan itu belum bisa dilaksanakan, karena dalam proses banding.

Bertolak dari belum tuntasnya perselisihan/persengketaan hak atas areal yang menjadi objek perkara Sitorus itu antara KPKS dan Dephut, PT DKI Jakarta dalam putusan banding 11 Oktober 2006, membatalkan putusan PN Jakarta Pusat 28 Juli 2006. PT DKI menyatakan Sitorus bebas demi hukum dan diperintahkan keluar dari tahanan. PT DKI menyatakan dakwaan Jasman Panjaitan prematur karena status hukum Padang Lawas masih dalam sengketa pradilan tata usaha negara.

Ironinya, kekuatan hukum Dephut menyatakan Padang Lawas hutan negara, ternyata baru sebatas Penunjukan, melalui Surat Keputusan Menhut No 44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005. Padahal, berdasarkan Pasal 15 UU No 41/1999, pengukuhan Padang Lawas berkepastian hukum dilakukan melalui empat tahapan, yaitu penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan dengan tunduk kepada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).

Jika empat tahapan ini sudah dilakukan, barulah status hukum Padang Lawas sah sebagai hutan negara. Dan jika dikelola benarlah harus seizin Menteri Kehutanan.

Diskriminatif

Sementara, posisi hukum Padang Lawas milik masyarakat adat sangat kuat. Mereka sudah menguasai lahan Padang Lawas tersebut selama tujuh generasi (bahkan sebelum Indonesia berdiri). BPN Tapsel bahkan telah menerbitkan 1.820 Sertifikat Hak Milik di dalam kawasan Padang Lawas dengan luasan 3.640 ha terhadap ribuan masyarakat adat tersebut.

Bahkan BPN Pusat telah menerbitkan empat sertifikat HGU kepada empat perusahaan pengelola Padang Lawas. Konon, keempat pemegang sertifikat HGU tersebut disebut-sebut sampai kini belum membayar kompensasi karena tidak tersedia areal pengganti atas areal yang dilepas untuk budidaya perkebunan.

Tapi putusan PT DKI membebaskan Sitorus itu bak gone with the win. Karena tak satu detik pun Sitorus sempat menghirup udara bebas. Rupanya, seiring JPU melaksanakan putusan PT DKI pada 13 Oktober 2006, saat bersamaan terbit surat dari Wakil Ketua MA memperpanjang masa penahanan Sitorus selama 50 hari. Alasan karena JPU kasasi.

Dari fakta itu, terlihat suatu tahapan proses yang terjadi sangat luar biasa, mulai dari proses pemberitahuan putusan, penetapan pelaksanaan eksekusi, sampai penetapan kembali penahanan, dilakukan dalam sehari, walau sampai dini hari.

Dalam sejarah pidana di Indonesia, baru ini suatu tindakan dilakukan institusi kejaksaan sedemikian cepat untuk menyatakan kasasi sampai dengan meminta penetapan penahanan MA untuk memperpanjang masa penahanan. Rekor baru ini agaknya layak dicatat MURI.

Gaya Dephut menegakkan hukum di Padang Lawas pun diskriminatif. Yang diadili hanya Si- torus. Padahal, sudah rahasia umum, lahan Padang Lawas seluas 178.508 ha saat ini dikelola 43 perusahaan, yayasan, koperasi, BUMN dan PMA, dan masyarakat perorangan.

Mestinya Dephut konsisten menangkap dan mengadili 43 elemen yang menduduki dan menguasai lahan Padang Lawas. Bahkan juga mengadili pejabat Dephut, dan aparat lainnya yang bertanggung jawab. Faktanya hanya Sitorus yang diadili.

Vonis terhadap dua perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 ha dinyatakan dirampas untuk negara cq Departemen Kehutanan juga kontroversi dan baru pertama kali terjadi dalam sejarah pidana di negeri ini.

Biasanya, barang bukti dirampas dari seorang terdakwa koruptor atau pengusaha, jika terdapat unsur kerugian negara, atau dipakainya uang negara tapi tak mampu mengembalikan. Maka terjadi perampasan. Dalam kasus Sitorus, kerugian negara tak terdapat, tuduhan itu sudah dipatahkan majelis PN, PT, dan MA.

Muncul pertanyaan, apakah perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 ha adalah barang bukti kejahatan? Dalam ketentuan pidana di PP 28/1985 dan UU No 41/1999 yang dijeratkan kepada Sitorus, tak tertulis perkebunan kelapa sawit adalah barang bukti kejahatan yang dapat dirampas untuk negara.

Benda yang dapat dirampas, sesuai Pasal 9 ayat 91) PP 28/1985 adalah alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang dan membelah pohon. Dalam UU 41/1999 yang dapat dirampas adalah alat angkut, seperti kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu, helikopter dan lain-lain.

Usulan Solusi

Sebagai ilustrasi, posisi Sitorus, bapak angkat dan penyandang dana dengan KPKS dan Masyarakat Adat Padang Lawas adalah ibarat “suami istri”. Namun, “perkawinan” mereka hanya diakui secara adat. Negara memang sempat mengakui “perkawinan” itu dengan mengeluarkan izin prinsip, tapi belakangan izin di- cabut.

Walau hanya diakui adat, benih-benih hubungan intim “suami istri” antara Sitorus dengan KPKS dan Masyarakat Adat telah berbuah dengan tumbuhnya perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 ha. Nah, apakah “benih-benih” yang tumbuh dari perkawinan adat itu hasil kejahatan? Bukankah negara sempat mengakui “perkawinan” itu? Mengapa “perkawinan” itu tidak disahkan saja oleh negara? Mengapa negara justru, membuyarkan “perkawinan” adat itu, mengadili “pengantin prianya”, dan memusnahkan “benih-benih” yang tumbuh dari perkawinan itu.

Dan mengapa hanya “perkawinan” Sitorus saja yang dibuyarkan. Bukankah di Padang Lawas itu ada 43 pasang “suami istri” yang bermasalah? Bahkan ada “kumpul kebo” tak diakui adat maupun negara. Mengapa?

Kesemrawutan Padang Lawas, tak bisa dimungkiri selama bertahun-tahun menimbulkan guncangan sosial berkepanjangan di tengah masyarakat Sumatera Utara. Untuk mengakhiri guncangan itulah, Gubernur Sumut Rudolph Pardede, 19 Januari 2007 mengirim surat kepada Menhut MS Kaban. Isinya, usulan solusi kebijakan penanganan kesemrawutan Padang Lawas.

Pertama, atas areal kawasan yang kini diusahai badan usaha, masyarakat, dan sudah ditanami, diusulkan untuk pelepasan dari Menhut dengan cara kompensasi areal pengganti.

Kedua, apabila saran pertama tidak dapat dilaksanakan maka disarankan diberikan izin penggunaan kawasan satu daur tanam (35 tahun) dengan jenis tanaman yang ada dan kewajiban menghutankan kembali.

Solusi yang ditawarkan Gubernur Sumut ini jika direnungkan secara mendalam, cukup realistis dan dapat menjadi novum untuk PK. Semoga.

Penulis adalah pemerhati hukum lingkungan

Last modified: 8/3/07


 

Prospek Demokrasi Dunia Islam

Oleh Bawono Kumoro

Dalam salah satu studinya yang sangat berpengaruh, The Third Wave: Democratization in the Last Twentieth Century, Samuel P Huntington memaparkan data menarik.

Dari 30 negara yang bertransisi menuju demokrasi dalam rentang waktu 1974 sampai 1990, sekitar tiga per empat didominasi negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, mulai dari Portugal, Spanyol, Polandia, Filipina, dan negara-negara Amerika Latin.

Pemuka gereja dan elemen- elemen civil society bersatu melawan rezim otoriter, sembari ikut mengkonsolidasikan diri menuju era demokratis. Di Cile misalnya, dengan membentuk kelompok- kelompok advokasi, gereja-gereja Katolik menjadi garda terdepan dalam melancarkan perlawanan terhadap kediktatoran Pinochet yang berkuasa sejak mengkudeta Salvador Allende pada 1973.

Fenomena tentang keterlibatan aktif gereja-gereja Katolik dalam melawan rezim-rezim otoriter tersebut merupakan akibat dari berkembangnya doktrin teologi pembebasan yang mengubah orientasi elite gereja, dari oligarki elite menjadi komunitas yang memiliki preferensi utama pada keadilan sosial kaum tak berpunya. Di samping itu, faktor lain yang tak kalah penting ialah pengaruh kuat Vatikan, yang ketika itu mulai memandang positif demokrasi.

Sejak awal 1970-an, ketika gelombang ketiga demokrasi merambah berbagai belahan dunia -mulai dari Asia, Afrika, Amerika Latin, sampai Eropa- Timur Tengah yang menjadi jantung utama dunia Islam malah tidak tersentuh sama sekali. Hal itu tentu melahirkan beberapa pertanyaan mendasar.

Mengapa gelombang ketiga demokrasi yang begitu masif di berbagai belahan dunia dan meruntuhkan tembok-tembok otoritarianisme kekuasaan, tidak hadir di dunia Islam? Apakah ini pertanda awal bergemanya lonceng kematian demokrasi di dunia Islam? Atau apakah karena tidak adanya otoritas sentral keagamaan pada Islam seperti pada Katolik?

Tiga Faktor

Jika ya, mengapa Protestan yang juga tidak memiliki otoritas keagamaan sejak awal dapat mengakomodasi demokrasi sebagai sistem politik modern. Apa yang salah dengan Islam dan umat muslim dalam hubungannya dengan demokrasi?

Dalam membahas masalah mengenai relasi Islam dan demokrasi, selama ini kita sering kali disuguhi penjelasan-penjelasan yang terlampau idealis dan apologetik. Penjelasan-penjelasan tersebut hanya bertumpu pada upaya pencarian kesesuaian-kesesuaian normatif antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi semata, seperti musyawarah (syurâ), persamaan (al-musâwah), dan toleransi (al-tasâmuh).

Namun, satu hal yang seharusnya lebih kita perhatikan ialah sejauh mana nilai-nilai Islam tersebut terimplementasikan dalam perilaku dan kultur politik umat Islam sehari-hari?

Jika nilai-nilai Islam yang mulia dan berjiwa demokratis tersebut tidak mengalami internalisasi dan eksternalisasi pada diri umat Islam, nilai-nilai tersebut hanya akan menjadi teks mati di atas kertas yang tak membekas dalam peradaban dunia modern. Dan itulah yang selama ini terjadi.

Penulis berpendapat, ada beberapa faktor yang menyebabkan absennya demokrasi di dunia Islam, khususnya pada negara-negara Timur Tengah. Pertama, masih kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran politik Islam klasik. Jika kita menoleh pada khazanah pemikiran politik Islam klasik, dua hal yang menjadi fokus utama dari sarjana-sarjana muslim ketika itu ialah ketertiban dan kepatuhan kepada penguasa.

Mayoritas langgam pemikiran politik yang dihasilkan sarjana muslim ketika itu selalu bertolak dari pemberian legitimasi pada pemerintahan yang sedang berjalan. Ibnu Taimiyah misalnya, mengatakan penguasa merupakan bayangan Tuhan di muka bumi. Konsekuensinya, rakyat wajib hukumnya mematuhi kehendak penguasa tanpa terkecuali.

Tradisi politik Islam klasik yang berwatak akomodatif, kompromistik, dan cenderung pro-status quo yang diwariskan ratusan tahun, mempengaruhi mindset dan perilaku umat Islam dalam berpolitik dewasa ini.

Sehingga menyebabkan lemah dan mandulnya elemen-elemen civil society, padahal civil society yang kuat merupakan condition sine qua non dalam membangun demokrasi modern.

Kedua, absennya gelombang demokrasi di dunia Islam juga disebabkan tidak adanya political will dari rezim-rezim yang berkuasa untuk mengakomodasi dan menjalankan demokrasi secara sungguh-sungguh. Rezim yang berkuasa menjelma menjadi rezim yang fobia terhadap gelombang demokrasi. Hal itu tak lain didasarkan pada kekhawatiran gemuruh reformasi politik akan menelanjangi segala penyimpangan yang terjadi selama mereka berkuasa.

Ketiga, faktor yang paling ironis adalah persetujuan diam-diam dunia Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), terhadap eksistensi rezim diktator di dunia Islam. Sudah menjadi rahasia umum AS tidak terlalu peduli apakah rezim- rezim di Timur Tengah berwatak demokratis atau tidak. Perhatian AS lebih pada sejauh mana rezim- rezim tersebut dapat mengamankan dan memperlancar segala kepentingan imperialisme ekonomi AS.

Titik Temu

Melimpahnya sumber-sumber minyak di Timur Tengah menjadi titik temu dari “perselingkuhan busuk” rezim-rezim tersebut dengan AS. Dalam konteks itu pula kita dapat menggugat alasan resmi AS di balik invasinya ke Irak, yang Maret ini memasuki tahun keempat.

Invasi tersebut bukan atas dasar melucuti senjata pemusnah massal, tetapi lebih pada kepentingan terhadap aliran minyak yang berlimpah ruah di Irak. Watak hipokrit dan kebijakan double standard tersebut merupakan bukti nyata AS sudah tidak layak lagi menjadi kiblat dan teladan dalam berdemokrasi.

Satu hal yang sangat menggembirakan ialah, fenomena absennya demokrasi di negara- negara Timur Tengah tidak serta-merta juga melanda negara-negara muslim non-Timur Tengah, seperti Indonesia. Runtuhnya rezim Orde Baru serta suksesnya pelaksanaan pemilu 1999 dan 2004 menjadi barometer awal bagi kebangkitan gelombang demokratisasi. Terlebih, status Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

Pada titik itu, Indonesia layak dijadikan contoh sekaligus bukti nyata dari kesesuaian Islam dan demokrasi. Ulama besar Yusuf Qardhawi pun mengakui hal tersebut ketika berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Karena itu, mutlak diperlukan sikap terbuka dan adaptif dari umat Islam di berbagai belahan dunia terhadap ide-ide progresif, khususnya dalam ranah agama dan politik, sebagaimana ditunjukkan umat Islam Indonesia. Selama umat Islam menutup diri terhadap ide-ide progresif, selama itu pula prospek demokrasi dunia Islam secara keseluruhan akan semakin suram.
Penulis adalah Peneliti Laboratorium Politik Islam dan Editor Jurnal Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Last modified: 9/3/07


 

CATATAN YOGYAKARTA

Alm Prof Koesnadi:

Untuk Merah-Putih Tanpa Pamrih

Sabam Siagian

Kamis siang (8/3) itu langit agak mendung tapi cukup cerah. Halaman Balairung Universitas Gadjah Mada, gedung utama dalam kompleks perguruan tinggi yang lahir selama tahun- tahun revolusi, telah dipenuhi oleh masyarakat dari berbagai kalangan.

Nampak juga Barisan Kehormatan Militer. Di ruang besar Balairung, disemayamkan jenazah Prof Koesnadi Hardjasoemantri (umur 80 tahun) mantan Rektor UGM. Ia tewas dalam kecelakaan pesawat Garuda Rabu pagi. Jenazahnya yang hangus terbakar baru dapat diidentifikasi Rabu menjelang tengah malam berdasarkan foto rontgen giginya. Kenapa Bung Koes harus meninggal dalam kondisi yang begitu mengerikan? Kenapa dia tidak sempat menyelamatkan diri seperti sejumlah penumpang lainnya? Pertanyaan itu terus mengganggu pikiran saya dalam penerbangan Garuda Kamis pagi antara Jakarta-Yogyakarta.

Ruang besar itu penuh dengan Civitas Academica UGM, tokoh- tokoh pemerintahan dan militer, serta handai taulan almarhum. Nampak Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Ratu Hemas. Doa dipanjatkan: “… Ya Tuhan, terimalah orang baik ini disisiMu.” Ketika jenazah diusung keluar, angin sepoi-sepoi menghembus dan Sang Saka Merah Putih yang dipasang setengah tiang berkibar penuh.

Tidak begitu banyak “orang baik” warga Indonesia yang bekerja seumur hidup sejak menjadi dewasa untuk Merah Putih tanpa pamrih seperti Bung Koesnadi. Ismid Hadad yang lama berkiprah bersama almarhum di bidang pelestarian lingkungan hidup (dan datang khusus dari Jakarta menghadiri upacara pemakaman) kebetulan berdiri dekat saya. “Bung, teman kita ini memang pantas dimakamkan dengan upacara kebesaran secara khidmat, ” saya bisikkan. Dia sependapat.

*

Agaknya pada pertengahan 1950’an saya mulai berkenalan dengan Koesnadi. Dia aktivis Dewan Mahasiswa UGM dan kemudian menjadi Ketua. Dia sering datang ke Jakarta, kalau ada peristiwa penting di dunia kemahasiswaan, umpamanya, Kongres Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) atau persiapan menuju Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika tahun 1956. Biasanya dia tampil dengan celana pendek dan penuh humor. Dia banyak bercerita yang lucu-lucu.

Namun Koesnadi produktif sekali dengan ide-ide yang konstruktif. Pada tahun-tahun itu buku- buku yang dianjurkan para dosen sulit diperoleh. Koesnadi mengusahakan koperasi mahasiswa menerbitkan stensilan kuliah- kuliah. Dia ikut merintis konsep Pusat Kesehatan Mahasiswa. Tapi Koesnadi menjadi dikenal luas di kalangan perguruan tinggi, karena mencetuskan Program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM).

Setelah mencatat bahwa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di luar pulau Jawa, apalagi di daerah- daerah, yang agak terpencil menghadapi kesulitan kurangnya tenaga pengajar, Koesnadi mengkonsepkan program tersebut. Para mahasiswa (pada tahun 1950’an masih terbatas jumlahnya dan berpusat di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogya dan Surabaya) yang telah lulus tingkat propadense diberi kesempatan menjadi tenaga pengajar SLTA di luar Jawa se- lama 2 atau 3 tahun.

Setelah masa pengabdian itu selesai, yang bersangkutan boleh melanjutkan studinya dengan beasiswa khusus dari pemerintah. Setelah tamat, ia mendapat prioritas untuk diberikan pekerjaan. Bahwa Koesnadi dapat meyakinkan kalangan pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyetujui dan mendukung Program tersebut merupakan prestasi pribadi yang mengesankan. Mungkin karena dia veteran Tentara Pelajar, maka komunikasi dengan pe-jabat menjadi lebih lancar.

Setelah lama tidak berhubungan, dalam suatu kunjungan ke negeri Belanda sebagai wartawan Sinar Harapan pada tahun 1979, saya jumpai Koesnadi yang bertugas sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Karena jumlah mahasiswa Indonesia yang cukup besar di Belanda dan ada beberapa program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Belanda di bidang pendidikan dan kebudayaan, maka cakupan tugas Bung Koesnadi luas sekali. Namun ia masih sempat memperdalam studinya di bidang ilmu hukum, dengan spesialisasi di bidang hukum lingkungan hidup, di Universitas Leiden yang ter- kenal itu. Kami bercakap-cakap seperti “tempo doeloe” saja: informal dan serba lepas.

Sudah logis ketika Emil Salim menjadi Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, dia minta Koesnadi bekerja di departemen yang dipimpinnya. Mereka berdua saling kenal sejak SMA dan kemudian saling bantu-membantu ketika masing-masing menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UGM dan Dewan Mahasiswa UI. Pengetahuannya tentang Hukum Lingkungan Hidup dan hubungannya dengan sejumlah LSM amat membantu efektivitas dari Departemen PPLH.

Koesnadi bekerja sebagai Sekretaris Jenderal departemen tersebut mulai 1 Oktober 1980. Namun puncak karir dan realisasi cita- citanya tercapai pada pertengahan 1990’an ketika dia menjadi Rektor UGM. Dia memperoleh gelar Sarjana Hukum setelah menjadi mahasiswa selama lebih dari 10 tahun. Selama periode itu dia melibatkan diri pada serangkaian kegiatan yang menyangkut hidup seorang mahasiswa. Karena itu selama menjadi Rektor, ia secara sadar dan penuh dedikasi membangun suatu Civitas Academica yang meningkatkan kualitas UGM.

Pada awal 2000 Wisaksono Noeradi mengumpulkan beberapa teman untuk mempersiapkan buku menyambut ulang tahun Emil Salim ke-70. Ia minta Koesnadi, Alwi Dahlan, Kismadi dan saya menjadi anggota tim redaksi. Dalam rapat-rapat tim itulah, kadang-kadang di rumah Koesnadi di kompleks Departemen Dikbud di Pejaten, saya tambah kenal tentang watak Koesnadi.

Kalau kita bicarakan situasi tanah air, dia ungkapkan keprihatinannya tentang berbagai ketimpangan sosial dan kecuekan tingkah laku para pejabat yang berkuasa. Tapi dia tetap menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi di bidang lingkungan hidup. Dan terus memberikan kuliah tentang Hukum Lingkungan Hidup di berbagai universitas sehingga jumlah “jam terbang”nya tinggi sekali.

*

Apakah yang mengangkat profil almarhum Profesor Dr Koesnadi Hardjasumantri SH sebagai tokoh yang dicintai kalangan yang luas sekali? Agaknya karena ciri pribadinya yang serba stabil, jabatan penting apapun yang diembannya. Dia tetap manusia biasa yang bersikap biasa dan sama sekali tidak menampilkan dirinya sebagai seorang santri. Meskipun sudah berumur 80 tahun dan dipensiunkan entah berapa kali dari berbagai jabatan, dia sama sekali tidak bersikap sebagai seorang pensiunan.

Terakhir kami jumpa pada awal Februari di rumah Drs Djoko Sukarjo, mantan pejabat senior Departemen Keuangan yang menjadi Sekretaris Umum PPMI pada tahun-tahun 1950’an. Bung Djoko yang mulai pulih dari serangan “stroke” mengumpulkan beberapa teman lama para aktivis organisasi mahasiswa. John Sapiie, mantan Rektor ITB dan mantan Perhimpunan Mahasiswa Bandung (populer pada tahun 1950’an karena pesta dansa tahunan yang diselenggarakan di Hotel Homan) juga datang dari Bandung.

Tapi Bung Koesnadi minta diri lebih dulu, karena harus ke Bandara Soekarno-Hatta. Ia sudah dijadwalkan memberikan kuliah di Medan. Entah kenapa, saya antar dia ke mobil. “Bung tidak capek terbang kesana kemari memberikan kuliah?” Dia berhenti sejenak dan berkata secara serius bahwa dia ingin mempersiapkan satu generasi ahli hukum yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. Dan dalam bahasa Belanda: “supaya negeri kita ini jangan hancur berantakan karena keserakahan”.

Ketika jenazah lewat dengan iringan militer menuju pemakaman keluarga besar UGM di daerah Sleman, diam-diam saya sampaikan ucapan Selamat Jalan dari teman-teman Bung Koes di Jakarta dan Bandung.

Terlintas di pemikiran saya pada saat itu, Koesnadi agaknya menyampaikan pesan dalam tindak tanduknya tanpa pamrih sampai ajal menghentikannya, bahwa ketimbang mengeluh dan jengkel tentang berbagai hal di Indonesia ini, lebih baik kita terus berkarya menyumbangkan kebolehan masing-masing.

Bagi almarhum Koesnadi, Merah Putih bukanlah simbol abstrak tapi dinyatakan dalam manusia Indonesia yang berhak diberdayakan menjadi warga negara terhormat.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional

Last modified: 10/3/07


 

THE GLOBAL NEXUS

Agenda Jibril vs Agenda Manusia

Christianto Wibisono

Agenda Presiden Yudhoyono yang biasanya dirancang sebulan di muka batal karena musibah Garuda dan bencana alam Sumbar dan Manggarai. H Rosihan Anwar menulis dalam Kompas (10/2) bahwa alm Prof Koesnadi mengatakan rapat Akademi Jakarta berikutnya akan diadakan 23 Maret 2007.

Ternyata Ketua Akademi Jakarta itu terbang dalam pesawat naas Garuda 200, dan berhubung faktor usia tidak bisa melompat seperti rekan sederetan, Ketua Umum PP Muhamadiyah Dr Din Syamsuddin. Di Jakarta, ibu mertua Din Syamsuddin meninggal dunia pada hari putranya lolos dari maut di Bandara Yogjakarta. Men proposes, God disposes.

Agenda Jibril sebagai penjemput manusia yang meninggal dunia terkadang memang penuh misteri dan di luar kekuasaan manusia dan bisa membuyarkan agenda siapa pun, betapa pun berkuasanya orang tersebut.

Presiden John Kennedy tertembak mati begitu pula adiknya, Robert Kennedy. Pembunuhnya Sirhan Bishara Sirhan malah masih segar-bugar hingga detik ini, karena hanya dijatuhi hukuman seumur hidup. Putra John Kennedy John Jr tewas mengenaskan hilang dalam pesawat terbang pribadi.

Mahatma Gandhi dibunuh oleh fanatis Hindu, begitu pula PM Yitzhak Rabin mati di tangan ekstremis Yahudi. Anwar Sadar diberondong oleh pasukan pengawalnya sendiri. Begitu pula PM Indira Gadhi. Sedang putranya Rajiv Gandhi tewas oleh bom bunuh diri wanita gerilyawan Sri Lanka.

Almarhum PM Swedia Olof Palme terbunuh dan sampai hari ini pembunuhnya belum diketemukan. Daftar panjang penguasa politik yang terbunuh secara mendadak akan menemukan ribuan termasuk yang meninggal karena penyakit.

Waperdam Malaysia Tun Dr Ismail dalam memoir-nya yang baru diterbitkan menyatakan seluruh riwayat hidupnya adalah agenda yang “dibatalkan” secara mendadak oleh peristiwa atau kejadian force majeur di luar kekuasaannya. Tun Dr Ismail dipersiapkan oleh Tun Abdul Razak, PM kedua Malaysia pengganti Tengku Abdurahhman untuk menggantinya. Tun Razak menderita kanker, tapi ternyata Tun Dr Ismail yang juga menderita kanker, malah wafat lebih dahulu. Karena itu pengganti Tun Abdul Razak ialah Datuk Huseinn Onn, putra salah satu pendiri UMNO Datuk Onn.

*

Sementara di Singapura, PM Lee Hsien Loong sembuh secara “ajaib” dari kanker getah bening dan survive jadi PM menggantikan ayahnya, pendiri Singapura, Lee Kuan Yew. Pendiri Matari Advertising, Ken Sudarto tidak tahan menghadapi serangan penyakit yang sama dan wafat tahun 2005.

Pada saatnya meninggal pula Cak Nur, Pendeta Eka Darmaputra, mantan Dubes Eki Syahrudin, mantan Menko Dr Radius Prawiro dan banyak lagi tokoh yang tidak semua saya ketahui.

Jadi agenda Jibril sama sekali berada di luar kekuasaan manusia, kekayaan, dan kekuatan politik. Karena dokter juga tidak berdaya menghadapi penyakit tertentu, sedang manusia juga terkadang memberi respons berbeda atas penyakit yang sama.

Agenda Jibril untuk kelompok manusia, masyarakat, bangsa dan negara, juga terkadang misterius dan sulit dimengerti. Misalnya mengapa bisa terjadi genosida di pelbagai penjuru dunia. Rwanda, Bosnia, Kosovo, penculikan di Argentina, perang narkotika di Amerika Latin, yang juga mengobarkan terorisme perang telah merupakan bagian dari “peradaban”, atau lebih tepat “kebiadaban” manusia terhadap sesamanya.

Misteri perang dan teror itu tidak akan terpecahkan secara tuntas karena keterbatasan rasio manusia, sedang rencana Tuhan bersifat infinit, tidak terbatas.

Polemik tentang bencana dan musibah serta “zikir nasional” mencuat setelah Presiden dan menteri kabinet melangsungkan zikir nasional di Masjid Istiqlal, Jumat, 9 Maret. Pro dan kontra segera bermunculan.

Memang terjadi suatu kontradiksi antara ritual dan tingkah laku. Sebab di satu pihak ada pemberian kontrak Rp 1,3 triliun kepada grup perusahaan Bakrie yang harus mempertanggungjawabkan tragedi lumpur Lapindo sekitar Rp 3,9 triliun. Di satu pihak Jaksa Agung sibuk mensomasi dan mencegah menguapnya dana milik Tommy Soeharto, tapi di lain pihak Dephukam malah meloloskan dana tersebut melalui rekening pemerintah.

Kontradiksi seperti itu mungkin bisa ditutupi atau dimanipulasi oleh sesama elite yang terlibat. Tapi bagi Jibril, yang paling mengetahui lubuk terdalam hati nurani dan iktikad manusia, tentu tidak akan mudah “memaafkan” atau menolerir perbuatan yang jelas tidak memenuhi rasa kepatutan, kelayakan moral dan etika. Orang bersalah patut dihukum, tidak boleh dibebaskan dengan alasan apa pun, apalagi yang bersifat subjektif atas dasar diskriminasi kedudukan, politik, pangkat, jabatan, dan kekuasaan uang untuk membengkokkan dan memanipulasi secara tidak etis.

u

Indonesia banyak berbicara soal anti-KKN dan memberantas money politics, tapi faktanya money politics menjadi menu sehari-hari di mana saja dari pilkades sampai pilgub dan pilpres. Jadi kata kunci dari kegagalan Indonesia dan bangsa Dunia Ketiga ialah kemunafikan, tidak satunya kata dan perbuatan.

Celakanya mayoritas elite dan massa seperti kata sindiran Joyoboyo justru menganut paham tersebut. Hanya sedikit manusia langka, termasuk Prof Koesnadi bisa mempertahankan karakter eling lan waspada.

Saya kenal beliau sejak 1968 ketika bersama Nono Anwar Makarim menjadi anggota delegasi RI ke Konferensi Menteri Pendidikan Asia Tenggara V di bawah ketua Menteri P dan K Mashuri. Indonesia memasukkan wacana pembangunan karakter paralel dengan pendidikan teknis keterampilan.

Sayang, dalam masalah ini pun kita mungkin lebih pandai berwacana, tapi secara melembaga, secara menyeluruh, bangsa Indonesia kurang dapat menampilkan watak dan karakter yang diidamkan dan dipidatokan. Prof Koesnadi menurut Sabam Siagian Sabtu lalu di harian ini, walaupun frustrasi tetap melaksanakan kerjanya sehari-hari mendidik dan mengajar.

Selamat jalan, PakKoesnadi. Agenda Jibril terkadang memang tidak sesuai dengan agenda manusia yang dirancang mungkin dengan motif terselubung atau kemunafikan. Yang paling mengetahui tentu Sang Omnipoten Tuhan YMK.

Kita semua akan mempertanggungjawabkan agenda kita bila berlawanan dengan agenda Jibril. Kadang-kadang Jibril juga mengubah agenda manusia, untuk kepentingan yang hanya diketahui dalam jangka panjang setelah masa perenungan yang panjang.

Indonesia yang berkarakter, bermartabat dan bermoral adalah cita-cita pendiri dan elite yang sadar. Barangkali sekarang sebagian elite justru tidak menyadari atau memahami, tapi tidak mampu memberikan keteladanan dan menjadi panutan dalam karakter, moral dan etika.

Semua tenggelam dalam arus besar money politics, KKN dan machiavelisme yang sulit berjalan paralel dengan kenegarawanan berbobot dan bermartabat.

Mudah-mudahan ritual zikir nasional yang kontroversial itu benar-benar diterapkan dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari dan kepemimpinan yang bijaksana dan tegas menegakkan supermasi hukum dan menjunjung moral dan etika.

Penulis adalah pengamat masalah internasional

Last modified: 12/3/07


 

Keharusan Reformasi Birokrasi

Jeffrie Geovanie

Gerakan reformasi yang gegap gempita telah membawa dampak luar biasa dalam berbagai lini kehidupan, terutama dalam tatanan politik.

Semua lembaga negara berupaya mereformasi diri, termasuk lembaga kepresidenan dan TNI, yang pada era Orde Baru menjadi dua lembaga yang untouchable.

Lembaga kepresidenan tak lagi sakral, begitu pun TNI. Kapan saja bisa dikritik, dikoreksi, atau bahkan dikecam siapa saja, termasuk rakyat biasa. Untuk menghindari kritik dan kecaman, presiden dan wakil presiden terus berupaya memperbaiki tata kelola istana negara dan istana wapres.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan pernah menegaskan pemberantasan korupsi yang kini digalakkan pemerintah harus dimulai dari istana. Suatu penegasan yang tak mungkin terjadi pada era kepresidenan Soeharto.

Begitu pun TNI, sejak era kepresidenan Abdurrahman Wahid, terjadi reformasi besar-besaran. Anggota TNI, termasuk perwiranya, tak lagi seenaknya memasuki bidang di luar kemiliteran.

Untuk terjun di bidang politik misalnya, ada persyaratan yang mesti dipenuhi, minimal harus keluar terlebih dahulu dari dinas kemiliteran. Padahal, pada era Soeharto, tentara kita terkenal dengan pemeo sarkastis: “apa pun bisa dikerjakan secara profesional oleh tentara, kecuali bidang ke- militeran.”

Di kampus-kampus, di tubuh partai politik, di kepolisian, dan di lembaga-lem- baga keuangan juga telah terjadi reformasi dengan kadar dan kualitasnya masing-masing. Tetapi, ada satu hal yang hingga saat ini belum menampakkan tanda-tanda terjadinya reformasi, yakni di ranah birokrasi. Di setiap departemen, pejabatnya boleh berganti, tapi watak birokrasinya tetap seperti dulu.

Di badan-badan usaha milik negara (BUMN-BUMN) direktur boleh berganti-ganti, tetapi birokrasinya tetap saja. Adagium yang berlaku, “kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat?”; “kalau bisa di-mark-up, mengapa harus dipaskan?” Itulah wajah bobrok birokrasi kita.

Memakan Korban

Bobroknya birokrasi sangat merugikan. Kerugiannya terasa sekali terutama pada saat kita mengurus persyaratan-persyaratan administratif seperti KTP, SIM, akta kelahiran, paspor, SIUP, hingga tetek-bengek yang dibutuhkan dalam proses pernikahan.

Semua serba berbelit-belit dan memakan waktu yang tidak seharusnya. Ongkosnya membeng-kak, belum lagi ongkos non-materi seperti membuang-buang wak- tu dan terkadang stres karena terlalu lama menunggu atau ka- rena dipingpong petugas admi- nistrasi.

Selain itu, birokrasi yang bobrok juga bisa memakan korban orang-orang yang berintegritas dan punya kemauan keras memperbaiki birokrasi. Karena kebobrokan birokrasi yang sudah terlalu akut, orang-orang berintegritas itu pun terpental, atau bahkan jatuh menjadi korban kebobrokan birokrasi.

Meskipun mungkin kurang tepat benar, dalam proses pergantian direksi Jamsostek dan Telkom baru-baru ini ada indikasi karena korban kebobrokan birokrasi.

Berbeda dengan Bupati Banyuwangi yang nyaris tidak selamat dari ancaman birokrat di bawahnya karena didukung kekuatan politik tertentu, direktur kedua BUMN itu tak ada dukungan po- litik yang bisa mem-back-up me-reka sehingga begitu mudah tergusur.

Kepala daerah yang tidak didukung kekuatan partai politik, seperti Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) atau sejumlah bupati di NAD yang non-partisan, juga sangat mungkin akan dihambat kebobrokan birokrasi.

Contoh yang paling menonjol adalah yang kini dialami Menteri Perhubungan. Dalam sejumlah survei yang mengevaluasi kinerja pemerintah akhir tahun lalu, Menhub termasuk menteri yang kinerjanya lumayan bagus.

Pekerja keras dan cara berkomunikasinya juga bagus. Tetapi, karena ia berada di lingkungan birokrasi yang bobrok, posisinya terancam.

Bobroknya pengelolaan BUMN terutama PT Kereta Api, PT Pelindo, dan PT Angkasa Pura membuat posisi Menhub kian terjepit. Keinginan Menhub mengganti aparat birokrasi yang berkaitan langsung dengan pengelolaan transportasi, dan upaya mengaudit perusahaan-perusahaan pengelola bisnis transportasi, mendapat tantangan hebat terutama dari elite politik yang punya kepentingan baik merebut posisi Menhub maupun untuk mencari keuntungan di bisnis transportasi.

Lihat saja dalam beberapa hari ini, jika tidak di-back-up kekuatan politik yang memadai, kemungkinan besar Menhub akan men- jadi korban.

Harus Direformasi

Birokrasi menjadi ujung tombak aktivitas dari setiap institusi yang melayani kepentingan publik. Reformasi apa pun yang di- lakukan setiap institusi tak akan memberi manfaat besar tanpa dibarengi mereformasi birokra- sinya.

Masyarakat banyak akan senantiasa dirugikan karena dalam kehidupan sehari-hari tak lepas dari jebakan kebobrokan birokrasi. Masyarakat harus membayar mahal akibat birokrasi yang tidak profesional.

Birokrasi punya kewajib- an mendahulukan kepentingan umum, mengutamakan urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada setiap orang. Sayangnya, kewajiban-kewajiban itu tak mampu dipenuhi. Untuk itu, re-formasi birokrasi merupakan keharusan.

Karena tingkat kebobrokannya demikian akut, reformasi ini bisa dilakukan bertahap, misalnya dengan memperbaiki pola perekrutan aparat birokrasi, menempatkan aparat sesuai dengan kompetensinya, rasionalisasi jumlah aparat, peningkatan kesejah-teraan (gaji dan tunjangan), dan yang paling penting adalah penegakan disiplin. Pemberian sanksi yang tegas kepada setiap aparat yang melanggar aturan main akan memberi efek jera kepada aparat yang lain.

Yang juga penting dalam memperbaiki kinerja birokrasi adalah dengan cara menghindari intervensi partai politik. Masuknya kepentingan partai politik akan membuat birokrasi terpolarisasi dalam kepentingan golongan- golongan.

Dalam departemen “x” misalnya, karena ada kepentingan partai “a” maka setiap anggota partai “a” yang berurusan dengan departemen “x” itu akan dipermudah seraya mengabaikan kepenting- an warga masyarakat lain yang bukan dari partai “a”.

Karena itu, usulan pelarangan rangkap jabatan pimpinan partai dengan jabatan eksekutif perlu direspons positif.

Partai-partai yang selama ini mengklaim sebagai barisan reformis seperti PAN harus mendukung usulan konstruktif itu. Tanpa dukungan positif partai politik, reformasi birokrasi akan terus tersendat.

Caranya, minimal, kepentingan partai-partai tidak memasuki ranah birokrasi kecuali untuk mengawasi dan memperbaikinya dengan mengacu pada kepentingan umum dan untuk memajuan bangsa.

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute


Last modified: 13/3/07

 

Pasir untuk Anak-Cucu Riau

Victor PH Nikijuluw

Tanah air Indo- nesia bukanlah warisan nenek-moyang untuk generasi sekarang. Wilayah yang terdiri atas tanah, pasir, batu. air, hutan, pulau-pulau kecil, flora dan fauna, mineral dan minyak yang terkandung di perut bumi, karena itu bukan untuk dihabiskan generasi sekarang.

Generasi yang akan datang berhak atas manfaat sumber da- ya alam itu. Bila menghabiskan, merusak, melenyapkan sumber daya alam itu sekarang ini, generasi akan datang, anak cucu kita, akan menanggung akibat lebih besar serta lebih menderita ka- renanya.

Kita sudah lama membangun ekonomi negara ini dengan menjual dan merusak tanah dan air. Sementara di sisi lain kita men-ciptakan externality diseconomies yang terpaksa dipikul dan diba-yar anak cucu kita sendiri. Ex- ternality diseconomies itu kadang begitu besar, melebihi manfaat yang kita terima. Kita sendiri menjadi sengsara, dan bahkan mewariskan kesengsaraan itu kepada anak cucu.

Tanah air Indonesia adalah tempat di muka bumi ini di mana eksistensi kita sebagai manusia dihargai dan diakui. Sebagai habitat, tanah air tempat kita hidup, harus dipelihara. Bagaimana nanti hidup bila tanah air sengaja dirusak, dieksploitasi, dan dikuras habis demi devisa yang tidak seberapa?

Dalam konteks itu, sangat tepat kebijakan pemerintah melarang total ekspor seluruh jenis bahan galian, tanah, pasir, dan batuan ke Singapura.

Sangat tepat, bila pulau dan daratan di Riau diselamatkan dari kehancuran. Pelarangan seperti itu memang pernah ada dan sementara sifatnya. Seyogianya pelarangan kembali yang mulai berlaku pada tanggal 6 Februari 2007 itu kekal sifatnya karena kerusakan alam akibat eksploitasi seperti itu tidak akan ada gantinya.

Berapa pun kompensasi yang diberikan, tidak sebanding dengan nilai kerugian akibat kerusakan. Berapa pun devisa yang dihasilkan tidak akan sanggup mengembalikan kondisi alam yang rusak ke bentuk aslinya.

Besar Dampaknya

Pengiriman pasir ke Singapura dari daerah Riau berlangsung sejak 1976. Selain ekspor resmi, terjadi pengiriman tidak resmi, alias penyelundupan.

Cara yang kedua itu diduga lebih banyak volumenya. Sebuah artikel berjudul Singapore’s Shifting Sands di http://www.wildsingapore.com mengatakan rata-rata dalam satu malam, penyelundup pasir mengangkut lebih dari 10.000 meter kubik pasir ke Singapura.

Pasir digunakan terutama untuk reklamasi pantai menjadi daratan baru yang menjorok ke arah Indonesia. Dalam jumlah lebih kecil, pasir dipakai untuk pembangunan gedung baru.

Daratan Singapura bertambah dari 581,1 km persegi pada 1960 menjadi 650 km persegi saat ini. Ditargetkan daratan Singapura menjadi 750 km persegi pada 2030. Pemerintah Singapura menambah luas daratannya sebagai keharusan dan kebijakan strategi jangka panjang.

Negara itu hanya bisa bertumbuh secara ekonomi hanya jika semakin luas secara geografis. Karena itu, impor pasir, tanah dan batu dengan cara apa pun harus berlanjut.

Dengan kebijakan jangka panjang seperti itu, pulau dan daratan Riau terancam rusak dan tenggelam. Kerusakan pulau dan daratan Riau akan semakin cepat ter- jadi bila penyelundupan tidak dihentikan.

Rayuan permintaan pasir Singapura yang begitu banyak bisa membuat penyelundupan semakin subur. Kebijakan penghentian ekspor yang sudah berlaku itu bisa mandul bila inkonsistensi di pihak pejabat dan penegak hukum di lapangan, seperti sinyalamen Singapura selama ini, tidak dihentikan.

Dengan bertambahnya daratan Singapura, perairan selat kedua negara menyempit. Permukaan pulau dan daratan Riau menjadi lebih rendah dan tanpa pelindung alamiah.

Dengan begitu, gelombang dan arus yang awalnya tidak memiliki daya rusak, bisa menjadi sangat berbahaya. Kondisi itu akan semakin parah dengan adanya pemanasan global hingga 30 tahun mendatang, yang membuat permukaan laut semakin tinggi.

Tanpa pengambilan pasir, tanah, dan batu, sebagian pulau kecil di Riau terancam tenggelam karena pemanasan global, apalagi akumulasi kedua hal itu secara bersama. Sebagian daratan dan pulau Riau akan lenyap dari peta dunia.

Konsistensi Kebijakan

Anak cucu Riau akan tidak memiliki habitat yang dapat menopang kehidupan secara layak. Sementara di seberang lautan, menjulang kokoh gedung pencakar langit di atas daratan buatan.

Karena itu Pemerintah Indo-nesia harus betul-betul konsis- ten dengan kebijakan pelarang- an ekspor. Isu pelarangan itu jangan dialihkan ke isu politik dan ekonomi.

Jangan jadikan pasir dan pulau titipan anak cucu Riau itu menjadi trade-off untuk penye- lesaian perjanjian ekstradisi dan batas kedua negara.

Demikian pula, janganlah jan-ji manis Singapura membangun Batam, Bintan dan Karimun (BBK) dijadikan dalih membuka kembali keran ekspor pasir ke negara itu.

Janji itu masih jauh untuk ditepati Singapura. Biarlah proses pembangunan BBK berjalan alamiah, dengan kebijakan nasional yang ada sejauh ini. Percayalah, pada akhirnya, dengan kawasan terbatas, Singapura suatu saat nanti, akan realokasi industri ke pulau-pulau di sekitarnya.

Dengan kata lain, sekali memutuskan pelarangan ekspor demi lingkungan, sumber daya alam serta kehidupan anak cucu Riau di masa mendatang, biarlah itu selamanya merupakan alasan.

Tetapi, di negeri sendiri pun kita harus tetap berbenah. Adolf Huala di The Jakarta Post me- ngemukakan akar masalah ekspor pasir Indonesia ke Singapura ada di dalam negeri, bukan di Singapura.

Artinya kalau mau ekspor dihentikan, bisa berhenti. Kalau menilai ekspor pasir itu merugikan anak cucu, meskipun ada rayuan permintaan pasar Singapura yang begitu besar, kita tidak akan tergoda.

Kita tidak bisa mengharapkan Singapura berinisiatif menghentikan impor pasir, baik legal maupun ilegal.

Peter Yang, penduduk Singapura, berkomentar di The Jakarta Post, aparat Singapura tidak pernah gagal mendeteksi dan menghalau perahu-perahu kayu kecil milik orang Indonesia yang menyeberang secara sengaja atau tidak sengaja ke Singapura.

Ironis mereka tidak berhasil mendeteksi dan menghalau kapal-kapal besi ukuran besar yang mengangkut ribuan ton pasir ilegal dari Indonesia ke negaranya. Terhadap hal itu, respons Singapura, bukan masalah negaranya, tetapi masalah Indonesia.

Jadi sangat jelas kebijakan Singapura, apa pun caranya yang terpenting bisa mendapatkan pasir. Akhirnya, ekspor pasir ke Singapura sangat bergantung pada pemerintah dan elite lokal di Riau.

Bila pemerintah lokal mengikuti arus kebijakan short-life subsistence strategy, kebijakan jangka pendek untuk mendapat PAD secara mudah dan mempekerjakan buruh kasar dengan membayar seadanya, eksploitasi pasir tetap dilakukan.

Bila mengikuti arus kebijakan jangka panjang yang berbasis pada keberlanjutan sumber daya alam, eksploitasi pasir dapat dihentikan.

Strategi apa yang dipilih? Karena Riau adalah provinsi pesisir dan kepulauan, tidak ada pilihan bagi pemerintah dan elite lokal Riau kecuali berhenti mengeksploitasi pasir dan melindungi kepentingan anak cucu di waktu mendatang.

Penulis adalah PhD dalam Resource Economics; Sesditjen Pengolahan dan PemasaranDKP-RI

Last modified: 14/3/07


 

Presiden dalam Lintasan Sejarah

Salahuddin Wahid

Buya Syafi’i Maarif membandingkan politisi sekarang dengan politisi era 1950-an dan menyimpulkan politisi era itu lebih baik. Menurutnya, politisi sekarang menganggap politik sebagai pencaharian bukan bidang pengabdian.

Apakah pemimpin negara kita pada era lalu juga lebih baik daripada pemimpin negara era sekarang?

Pertanyaan semacam itu juga dipunyai rakyat di berbagai negara. Di AS yang sering dipakai sebagai bench-mark ialah Franklin Delano Roosevelt (FDR), salah seorang presiden terbesar AS.

FDR berhasil membawa AS mengatasi depresi ekonomi tahun 1930-an. Ada sebuah buku, Di Bawah Bayang-bayang FDR (1993) yang menguraikan presiden AS setelah FDR tetap berada di bawah bayang-bayangnya.

Di Inggris, tokoh yang sering dipakai sebagai bench-mark ialah Winston Churchill, PM yang memimpin Inggris saat menghadapi Jerman dalam Perang Dunia II. Saat itu banyak politisi Inggris cenderung bersahabat dengan Jerman.

Tetapi, dengan keyakinan penuh, Churchill berhasil meyakinkan rakyat Inggris untuk bersama-sama Sekutu melawan Jerman. Akhirnya Sekutu berhasil menang.

Tony Blair mengalahkan oposisi dari dalam partainya sendiri untuk masuk ke dalam perang di Irak dengan memenangkan debat di Parlemen pada malam menjelang perang dimulai.

Seorang sejarawan terkemuka dari AS, Martin Gilbert, mempunyai pendapat berbeda dengan apa yang diyakini masyarakat seperti di atas. Menurutnya, beberapa presiden AS belakangan ini tidak seperti “bumi dan langit” dibanding FDR. FDR harus menghadapi oposisi yang tegas dari Kongres untuk bisa masuk ke dalam perang melawan Hitler.

FDR menggunakan segala cara untuk menghindari ketentuan netralitas AS dan membantu Inggris dengan perlengkapan perang yang penting. Bush menyerbu Irak dengan dukungan Kongres.

Kalau ada kultus besar oleh para pemuja FDR, jutaan orang Amerika lain mengumpatnya karena melecehkan lembaga-lembaga terhormat seperti Mahkamah Agung dan menjerumuskan AS ke dalam peperangan yang menelan jiwa banyak orang muda.

Untuk menilai sehebat apa prestasi seorang presiden, harus dilakukan setelah cukup jauh jarak waktunya dari saat dia berkuasa sehingga bisa lebih objektif.

Bung Karno-Bung Hatta

Bung Karno dan Bung Hatta diakui sebagai Bapak Bangsa. Pancasila adalah formulasi dari upaya penggalian Bung Karno terhadap masyarakat bangsa In- donesia.

Itu adalah sumbangsih besar bagi bangsa Indonesia walaupun pernah ada upaya menutupinya. Bung Karno juga berhasil menanamkan rasa kebangsaan di dalam diri kita yang pernah merasakan kepemimpinan beliau.

Tetapi, kita tidak boleh menutup ma- ta terhadap berbagai langkah dan kebijakan BK yang negatif seperti penahanan tanpa dasar hukum yang jelas terhadap sejumlah tokoh nasional seperti Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, Buya Hamka, Imron Rosyadi, dan lain-lain.

Juga pelarangan terhadap beredarnya tulisan dari sejumlah tokoh termasuk Bung Hatta. Hal itu menunjukkan pengingkaran terhadap nilai demokrasi.

Salah satu masalah terpenting bagi suatu bangsa ialah kemajuan ekonomi. Pemikir utama dari sistem ekonomi yang diamanatkan oleh Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 adalah Bung Hatta, penganjur utama gerakan koperasi di Indonesia.

Salah satu pemikiran BK yang mendasar dalam masalah ekonomi ialah sikap negatifnya terhadap modal asing. Menurut Bung Karno (BK), SDA Indonesia tidak akan diolah sebelum Indonesia mempunyai tenaga ahli dan modal yang mencukupi.

BK memperkenalkan istilah nekolim (neo-kolonialisme dan neo-imperialisme), suatu penjajahan gaya baru, yaitu penjajahan ekonomi seperti yang kita alami saat ini.

Sayang sekali gagasan BK itu sama sekali ditinggalkan dan pemerintahan Orde Baru melakukan politik ekonomi yang bertolak belakang dengan gagasan BK ini. Kita memang tidak bisa menolak modal asing dan tidak bisa menutup diri terhadap dinamika perkembangan ekonomi dunia.

Tetapi kita tidak bisa membiarkan ekonomi kita sepenuhnya terbuka dan dikuasai pihak asing. Kita tidak bisa membiarkan manusia Indonesia menjadi kuli di negeri sendiri.

Generasi sekarang tentu akan bertanya mengapa BK yang punya pemikiran dan konsep tentang pembangunan bangsa begitu cemerlang harus lengser secara tragis?

Politik ekonomi yang diamanatkan UUD sungguh ideal, tetapi di dalam kenyataannya sistem ekonomi kita sejak awal kemerdekaan adalah sistem ekonomi kapitalis. Saat itu sudah banyak modal asing beroperasi di Indonesia, khususnya dari Belanda.

Selain perilaku politik yang tidak demokratis, BK juga melaksanakan politik dengan konsep nasakom yang berakhir dengan konflik berdarah antarwarga bangsa. Yang lebih parah ialah politik ekonomi yang mengabaikan prinsip-prinsip ilmu ekonomi sehingga mengakibatkan inflasi 650 persen per tahun (1965).

Gagasan besar BK tidak di- dukung oleh kekuatan kita di bidang ekonomi sehingga akhirnya BK kehilangan kekuatan pendukungnya.

Kepemimpinan Pak Harto

Pak Harto adalah sosok yang sama sekali berbeda dengan BK. Pada awal Orde Baru Pak Harto adalah pemimpin yang dicintai sebagian besar rakyatnya, rendah hati, dan tidak banyak bicara. Sungguh sosok ideal. Kehidupan ekonomi dengan cepat diperbaiki sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu ekonomi.

Pembangunan yang didukung Bank Dunia dan negara-negara Barat dengan cepat menunjukkan hasilnya secara nyata di dalam kehidupan.

Kekuasaan terpusat yang otoriter dan represif tampaknya pada tahun-tahun awal Orde Baru masih bisa ditolerir sebagian besar rakyat karena mampu menjamin stabilitas yang memberi peluang berjalannya pembangunan. Tetapi tahun 1988 sudah banyak yang tidak lagi menerima Pak Harto sebagai pemimpin.

Pelanggaran HAM, ketimpangan pembangunan, utang LN yang makin menumpuk dan korupsi yang merajalela, sudah membuat sebagian besar rakyat menghendaki pergantian kepemimpinan.

Tetapi, masih perlu waktu dan tekanan politik yang kuat untuk membuat Pak Harto bersedia mundur dari gelanggang politik.

Pak Harto harus mundur se- telah terjadi krisis moneter yang lalu berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis politik yang diikuti dengan kerusuhan massa di Jakarta.

Krisis multidimensi itu membuat bangsa dan negara kita terpuruk hingga saat ini. Kehidupan ekonomi rakyat makin sulit dan beban keuangan pemerintah semakin berat.

Lengsernya Pak Harto menyebabkan terjadinya reformasi kehidupan bangsa Indonesia teruta- ma di bidang politik dan pemerin- tahan.

Partai baru diperbolehkan berdiri dan segera muncul sistem multipartai, tetapi ternyata kehadirannya tidak mampu memperbaiki kehidupan bangsa. Birokrasi pemerintah yang sudah telanjur korup dan menyulitkan masyarakat, sulit diperbaiki.

Era Reformasi

Dua presiden pertama era Reformasi hanya bekerja tidak sampai dua tahun karena itu tidak berhasil menunjukkan kinerja yang memuaskan.

BJ Habibie (BJH) mampu menurunkan nilai 1 US$ dari Rp 15.000 menjadi Rp 6.500. Tetapi, prestasi itu tidak cukup untuk membuat MPR memberi kepercayaan kepadanya untuk memimpin lagi Indonesia.

Gus Dur (GD) memberi harapan besar akan mampu mewujudkan Indonesia Baru yang demokratis, berkeadilan, bebas dari korupsi, menghormati HAM dan sejahtera.

GD berhasil mengurangi peran militer di dalam kehidupan politik. Tetapi kepemimpinan GD tidak berjalan lama karena GD tidak mampu menjaga kekompakan dan kebersamaan dari partai pendukung.

GD mengabaikan kekuatan parpol di dalam DPR/MPR, padahal sistem pemerintahan menurut UUD 1945 bukanlah sepenuhnya presidensial, tetapi DPR melalui MPR dapat melakukan impeachment terhadap presiden.

Megawati yang didukung “wong-cilik” ternyata tidak memberi perhatian memadai kepada pemilihnya. Kasus 27 Juli 1996 diabaikannya dengan mendukung Sutiyoso menjadi Gubernur DKI. Politik ekonominya juga sama dengan Orde Baru.

Maka dalam Pemilu 2004 PDI-P merosot pemilihnya lebih dari 15 juta. Dalam Pilpres Mega-Hasyim kalah telak oleh SBY-JK. SBY muncul sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemenangannya amat meyakinkan.

Tetapi kebalikan dari GD, SBY terlalu khawatir tidak mendapat dukungan dari parpol di DPR sehingga pemerintahannya terkesan tidak sepenuhnya bersifat presidensial.

Kesalahan yang fatal ialah menaikkan BBM terlalu tinggi (lebih dari 120 persen) yang membuat kehidupan masyarakat amat berat. Masyarakat miskin bertambah dalam jumlah besar. Kenaikan harga beras yang parah makin membuat rakyat sengsara.

Harapan rakyat terhadap SBY untuk memimpin sendiri perang melawan korupsi terasa hanya retorika belaka karena tidak ada hasil nyata. Tidak heran, banyak warga masyarakat merindukan Pak Harto lagi. Mereka tidak paham kepemimpinan Pak Harto-lah yang membawa Indonesia ke jurang kehancuran.

Presiden pasca-Soeharto tidak membuat kebijakan ekonomi berbeda, tetap dengan neo-liberalisme yang memihak kepentingan pemodal. Juga belum ada perbaikan birokrasi dan lembaga penegak hukum.

Apakah betul presiden era Reformasi tidak sebanding dengan pendahulunya? Seandainya yang memimpin Indonesia sekarang ialah Bung Karno atau Pak Harto, apakah tokoh itu akan mampu mengatasi keadaan?

Apakah Bung Karno yang menjadi konseptor ekonomi Berdikari akan mampu menerapkan konsep yang kini diterapkan Chavez dan Morales?

Sungguh amat sulit menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Yang jelas, kebijakan ekonomi neo-liberal harus dikaji kembali, karena terbukti tidak bisa memberi kesejahteraan secara merata kepada rakyat. Juga membuat kita menjadi kuli di negeri sendiri.

Ekonomi Berdikari yang tidak memperhatikan dinamika ekonomi global tidak mungkin sepenuhnya diterapkan. Perlu dicari solusi jalan tengah supaya kita bisa mengolah SDA kita bekerja sama dengan modal asing tetapi dengan memberi manfaat yang besar bagi rakyat. Membasmi korupsi yang seperti kanker adalah conditio sine qua non kalau kita ingin membangun Indonesia.

Andai BK yang menjadi presiden, belum tentu beliau mampu membawa Indonesia ke kehidupan yang lebih baik dengan menerapkan sepenuhnya konsep Ekonomi Berdikari, karena kekuatan ekonomi kita yang lemah amat sulit mendukung kebijakan seperti itu. Pak Harto jelas tidak mungkin memecahkan segunung masalah yang justru sebagian besar adalah warisannya.

SBY layak diberi kesempatan sampai 2009. Biarkan rakyat menilai sendiri apakah keberhasilan yang telah dilaksanakan seperti klaim presiden beberapa waktu la-lu lebih besar maknanya dibanding meningkatnya harga beras, dan bertambahnya jumlah warga miskin. Reformasi agraria jelas merupakan angin surga, tetapi sejauh mana wacana itu bisa diterapkan di dalam praktik?

Kalau ternyata rakyat menilai SBY berprestasi dan dipilih kembali, kita harus menghormati pilihan itu. Artinya, suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa di mata rakyat aspek positifnya lebih banyak dibanding negatifnya.

Seandainya prestasi SBY biasa-biasa saja atau mengecewakan di mata sebagian besar rakyat, saya yakin ada tokoh yang akan muncul sebagai pengganti SBY.

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

Last modified: 14/3/07


 

THE GLOBAL NEXUS

“Skenario Teheran” untuk Jakarta

Christianto Wibisono

Kolumnis Paul Krugman mengamati dengan cermat korelasi pergeseran pengaruh partai politik dengan pelebaran kesenjangan ekonomi di AS. Krugman menyatakan, 1-5 persen pembayar pajak terbesar AS adalah kaum Republiken, sedang kelompok 80 persen masyarakat bawah ialah kaum Demokrat.

Hingga tahun 1930, kesenjangan pendapatan merupakan fenomena di AS, yang akan dikoreksi dengan pertumbuhan organisasi serikat buruh dan kebijakan New Deal Presiden Roosevelt. Sehingga sejak 1946 akan mulai tercipta kelas menengah yang selama 30 tahun akan menjadi dasar stabilitas ekonomi politik AS.

Setelah 30 tahun, kelas menengah berkurang dan bergeser ke kelas ekonomi bawah. Walaupun sangat kritis dan berbau kiri, Paul Krugman menekankan ia tidak ingin kebijakan berubah ke Marxisme model Kuba. Krugman hanya mendesak agar kebijakan publik diarahkan pada upaya pemulihan kelas menengah di AS.

Kesenjangan antara CEO dan manajemen sektor bisnis dengan pendapatan dosen dan profesor serta akademisi AS, merupakan salah satu faktor yang harus diatasi. Perubahan politik di AS selalu didahului dengan wacana serius tentang akar masalah. Kemudian, diterjemahkan dalam tindakan dan kebijakan parpol serta capres yang pandai berselancar dengan arus perubahan zaman.

*

Jika Krugman berbicara tentang dikotomi Republik Demokrat dengan kanan kiri, Indonesia masih terisap dalam dikotomi religius nasionalis, yang berakar sejak konflik antara penganjur Pancasila dan penganut negara syariah. Walaupun banyak parpol dengan aneka ideologi, tapi akhirnya akan mengerucut pada dikotomi atau koalisi primordial. Yang selalu harus diperhitungkan dalam pilbup, pilgub, maupun pilpres.

Dalam pilpres pertama yang bebas dan langsung, selalu ada nuansa dikotomi. SBY adalah nasionalis dan Jusuf Kalla dari HMI dianggap mewakili nuansa religius. Megawati harus bermitra dengan Hasyim Muzadi walaupun mungkin lebih tepat dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Wiranto harus melamar Salahuddin Wahid dan Amien Rais harus bermitra dengan Siswono Yudho Husodo, sedang Hamzah Haz mesti menggandeng Agum Gumelar. Semua memakai pola dikotomi nasionalis-religius.

Hampir 62 tahun merdeka, dikotomi itu, terus menjadi trauma yang tidak tertuntaskan. Sebetulnya, yang paling ideal adalah meleburkan dikotomi itu dalam koalisi yang lebih program oriented.

Tapi, dikotomi Krugman juga mengandung nuansa pertentangan kelas model Marxisme. Bedanya di Barat dan AS, terjadi akomodasi atas dasar mutual benefit untuk tidak menghancurkan satu sama lain dalam konfrontasi ala Leninisme Stalinisme Maoisme, yang akhirnya toh gagal menciptakan surga komunisme. Para serikat buruh di Eropa Barat dan AS serta para industrialis berhasil mencapai konsensus untuk saling menghidupi, saling bergantung, dan saling membutuhkan dengan pakta penciptaan kelas menengah yang kuat sebagai landasan stabilitas pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Dikotomi nasionalis-religius dalam konteks global perang peradaban tidak terlepas dari percaturan geopolitik. Yang harus dicermati oleh elite Indonesia ialah variasi dari kubu religius dalam kubu syariah global. Walaupun Presiden Iran Ahmedinejad sudah berangkulan dengan raja Abdullah dari Saudi Arabia, tapi konflik antara Sunni dan Syiah tetap merupakan warisan bebuyutan yang sulit dihapus dalam satu adegan peluk cium di Bandara Abdul Azis.

Di dalam negeri Iran sendiri juga terjadi dikotomi dan oposisi internal antara kelompok yang disebut agak reformis dipimpin mantan Presiden Hashemi Rafsanjani dan kelompok mullah ayatollah Ali Khamenei dan Presiden Ahmedinejad.

Pada Juni 2006, ketika Ahmedinejad berkunjung ke Indonesia dan ternyata lebih populer ketimbang tuan rumah di kalangan mahasiswa, pers, dan aktivis, maka orang berbicara tentang skenario Teheran untuk pilgub DKI. PKS akan memanfaatkan arus besar popularitas Ahmedinejad sebagai model untuk pilgub, karena PKS adalah tiga besar parpol pemenang pemilu legislatif DKI.

*

Kelompok nasionalis dan masyarakat awam masih melihat pilgub sebagai masalah lokal. Padahal, sudah jelas Gubernur DKI punya posisi strategis dalam memenangkan atau mengalahkan capres. Dengan skenario Teheran I, malah Gubernur DKI itu sendiri punya potensi bisa menjadi capres mengikuti pola Ahmedinejad.

Pada Maret 2007, situasi internasional berubah. AS sudah bersedia duduk satu meja dengan Iran dan Suriah pada konferensi Baghdad tentang masa depan Irak. Terdapat indikasi akan terjadi kompromi dalam konflik nuklir AS-Iran mengikuti pola solusi dengan Korea Utara yang sudah tercapai. Sementara dalam pemilihan DPRD Teheran, kubu reformis pimpinan Wali Kota Mohamad Qalibaf menggusur pendukung Ahmedinejad di DPRD Teheran. Jadi dalam skenario Teheran II, kaum reformis mengadang dan menciutkan kubu ortodoks konservatif Ahmedinejad.

Di Jakarta, yang disebut elite nasionalis sedang sibuk ingin menggalang koalisi untuk mengadang PKS. Kelompok nasionalis merasa sebagai mayoritas 60 persen akan bisa mengalahkan kelompok religius 40 persen. Tapi bagi yang jeli menelusuri, akan merasa bahwa kelompok nasionalis tidak solid dan nyaris tidak punya ideologi kuat yang mengakar dan lebih mudah terjerat oleh gizi dan money politics pragmatis. Sehingga bisa terjadi perpecahan dalam kelompok “mayoritas nasionalis”, yang malah membawa kelompok religius bisa merebut kursi Gubernur DKI dengan mayoritas sederhana 40 persen vs 30-30 persen.

Pengumuman koalisi tiga partai besar yakni Golkar, Demokrat, dan PDI-P mengusung Fauzi Bowo merupakan kewaspadaan kelompok nasionalis terhadap skenario Teheran I. Tapi, memang lucu Golkar yang “kecil di DKI” malah menjadi leader dalam pencalonan Fauzi. Manuver Jusuf Kalla itu membuat baik Presiden Yudhoyono maupun Megawati tidak berkutik dan malah menjadi mitra junior langkah catur saudagar Bugis yang cekatan itu. Koalisi nasionalis untuk menghadang “calon Ahmedinejad Jakarta” langsung ingin merebut kemenangan dalam satu putaran.

Tokoh yang dijagokan dianggap aman untuk tidak akan maju jadi penantang dan pesaing dalam pilpres 2009. Bagaimana bila calon kubu religius justru akan menang tipis karena kecenderungan kemuakan pemilih pada koalisi kemapanan? Koalisi nasionalis ingin melompat langsung ke skenario Teheran II di mana Muhamad Qalibaf “mengebiri” kubu Presiden Ahmedinejad?

Kubu religius PKS sekarang memang harus defensif, karena Ahmedinejad sendiri sadar akan kemerosotan citranya. Ia bahkan sowan ke Arab Saudi dan bersedia duduk semeja dengan AS dalam konferensi Baghdad. Rakyat adalah political animal yang aneh, justru karena itu pilgub atau pilpres yang bebas bisa menghasilkan surprise, bahkan untuk sutradara kawakan seperti Jusuf Kalla. Seandainya Sarwono bisa muncul sebagai calon independen seperti Aceh, mungkin masih ada pilihan di luar poker nasionalis vs religius.

Apa boleh buat, rakyat Indonesia bernasib jelek, setelah “dijajah” 32 tahun oleh Orde Baru sekarang terbelenggu rezim parpol. Barangkali rakyat Indonesia mesti berunding dengan DPR Senayan, didukung mediator berhati nurani agar bisa menikmati kemerdekaan sejati seperti rakyat Aceh dalam memilih pemimpin, gubernur maupun presiden, dan tidak terbajak oleh “kleptokrasi parpol”.

Penulis adalah pengamat masalah internasional

Last modified: 15/3/07


 

CATATAN JAKARTA

Pujian kepada Prof Widjojo Nitisastro

Sabam Siagian

Akhir-akhir ini Profesor Doktor Widjojo Nitisastro yang hampir berumur 80 tahun, mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan mantan Menteri Koordinator untuk bidang-bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri sekaligus merangkap Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dihujani pujian. Kata-kata pujian yang bertubi-tubi itu datang baik dari bekas rekannya yang pernah bekerja sama dengan Pak Widjojo maupun dari para ekonom generasi muda.

Kejadian unik ini (apakah ada di negara berkembang -bukan Barat- lainnya seorang pakar ilmu ekonomi dipuji secara meluas seperti Prof Widjojo Nitisastro?) dicetuskan oleh peluncuran buku-buku: “Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro” (55 penyumbang, 528 halaman) dan dalam bahasa Inggris “Tributes for Widjojo Nitisastro from 27 Foreign Countries” (71 penyumbang, 382 halaman). Di antara para penyumbang dari luar negari adalah Dr Manmohan Singh (sekarang Perdana Mentari India ) yang sebagai menteri keuangan pernah khusus menjumpai Pak Widjojo untuk menampung ide-ide tentang membangun ekonomi yang berorientasi pasar secara bertahap.

Sebenarnya aneh, buku-buku yang direncanakan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada bulan September 1997, bertepatan dengan ulang tahun Pak Widjojo ke-70, baru diterbitkan sekarang. Dan yang lebih aneh lagi, praktis tidak ada yang mempertanyakan secara analitik, kenapa baru sekarang? Apakah untuk menghindarkan suatu kecurigaan ingin mempopulerkan diri sedangkan Presiden Soeharto pada waktu itu masih berkuasa?

Patut dicatat juga, sudah terbit dalam dua jilid pada awal 1998 buku “Widjojo Nitisastro 70 tahun – Pengembangunan Nasional; Teori, Kebijakan, dan Pelaksanaan”. Penerbitnya adalah Fakultas Ekonmi UI. Kata pengantarnya ditulis oleh para penyunting M Arsjad Anwar, Aris Ananta, dan Ari Kuncoro, tertanggal Depok, Desember 1997. Dari perumusan judulnya nampak bahwa buku 2 jilid itu memuat kumpulan esai tentang berbagai aspek ilmu ekonomi yang cenderung teoritis sifatnya.

Jasa Prof Dr Widjojo Nitisastro yang amat mengesankan ialah mendorong pertumbuhan ilmu ekonomi di Indonesia, setelah dirintis oleh Dr Sumitro, Dekan pertama FE UI. Pak Widjojo malahan pernah menjadi mahasiswa Prof Sumitro. Buku-buku yang disebut di atas menunjukkan bahwa ilmu ekonomi di Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara tetangga umpamanya, jauh lebih maju dan lebih tinggi kualitasnya. Padahal, ilmu ekonomi relatif masih muda umurnya di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda agaknya dengan sengaja tidak membuka perguruan tinggi ilmu ekonomi, karena khawatir akan mendorong kelompok intelektual Indonesia menjadi lebih kritis tentang kolonialisme dan ingin cepat merdeka.

*

Apa yang dikenang dan diulang-ulang dalam berbagai wawancara dan dalam sejumlah sambutan ketika buku-buku terbitan Kompas itu diluncurkan Selasa (13/3) lalu adalah peranan gemilang yang digelar oleh Dr Widjojo dan para rekannya (Moh Sadli, Ali Wardhana, Saleh Afiff, Rachmat Saleh, Subroto, Emil Salim) sejak awal Orde Baru pada tahun 1966 ketika Jenderal Soeharto mulai berperan. Bagaimana memulihkan ekonomi yang berantakan dan secepatnya membantu masyarakat Indonesia yang menderita, termasuk kelas menengahnya, adalah jasa Widjojo dan kawan-kawan yang bekerja keras tanpa terlalu banyak berteori. Namun tetap menerapkan dalil-dalil pokok ekonomi yang dikesampingkan sama sekali oleh rezim Presiden Sukarno.

Seperti digambarkan oleh Prijono Tjiptoherijanto, pernah staf pengajar di FE UI, dalam tulisan untuk “Widjojo Nitisastro 70 tahun”, prestasi tim Widjojo tampak benar pada peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi selama jangka 25 tahun, “Pembangunan Jangka Panjang Pertama (1968-1993). Pendapatan masyarakat dari rata-rata sebesar US$ 70, memasuki awal tahun 1970-an menjadi US$ 1.280 pada akhir tahun 1996. Pertumbuhan ekonomi juga meningkat menjadi sekitar 6-8 persen per tahun. Kemudian dapat diurutkan angka-angka tentang peningkatan melek huruf, fasilitas kesehatan dan pendidikan, perbaikan infrastruktur yang juga memperlancar mobilitas fisik dan arus informasi.

Kerja sama para teknokrat ekonomi dengan militer yang dipimpin oleh Presiden/Jenderal Soeharto memang ada logika politiknya. Tanpa stabilitas sosial politik, sulit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan kerja sama ini juga tidak terjadi secara kebetulan. Para teknokrat ekonom pernah menjadi dosen di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung. Mereka ikut dalam diskusi-diskusi bersama. Dan mulai memikirkan penanganan sosial ekonomi Indonesia setelah post-Sukarno.

Sukses yang dicapai setelah pembangunan jangka panjang pertama itu telah menimbulkan persoalan di bidang pembangunan politik. Tampaknya tidak disadari sepenuhnya bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan seiring dengan munculnya generasi muda menimbulkan desakan untuk beropini secara lebih bebas, bahkan tuntutan untuk ikut dalam proses mengambil keputusan. Pembangunan ekonomi yang sedari mulanya tidak dikaitkan dengan pembangunan politik atau peningkatan demokrasi pasti menimbulkan ketegangan.

Sedangkan seorang Soeharto yang tambah tua dengan pede tinggi karena berhasil mengatasi berbagai krisis dan beruntung karena ketiban rezeki harga minyak tinggi sampai dua kali tidak merasa urgensi untuk secara bertahap mendorong proses demokratisasi. Apalagi memikirkan suksesi kepemimpinan secara normal.

Dan para teknokrat ekonomi agaknya tidak merasa sebagai urgensi untuk ikut mendorong proses demokratisasi, mungkin karena menganggap itu bukan tugasnya. Atau tidak sadar sepenuhnya akan kaitan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan politik. Kecuali Dr Emil Salim yang sejak 1993 sudah disingkirkan.

*

Mengikuti hujan pujian yang ditujukan kepada Prof Widjojo Nitisastro akhir-akhir ini saya jadi teringat pada ucapan seorang penulis modern Tiongkok, Han Suyin. Ketika ia sedang mempersiapkan sebuah biografi tentang Zhou Enlai, Perdana Menteri dan Menlu RRT (1898-1976), ia diwawanca- rai oleh wartawan The New York Times. Wartawan menanyakan mengapa ia ingin menulis biografi yang nadanya kritis tapi masih menghargai jasa Zhou Enlai sebagai negarawan dan diplomat yang tetap memperjuangkan kepentingan RRT, meskipun dipermainkan oleh Mau Zedung. Han Suyin menjawab; In order for history to be correct, he should be a man and not a legend”. (Supaya sejarah itu benar, maka tokoh yang bersangkutan harus digambarkan sebagai manusia dan bukan sebuah legenda).

Pada waktunya kita harapkan muncul suatu karya serba seimbang yang tetap memuji prestasi Widjojo Nitisastro (dan para rekannya), tapi secara realistik menempatkannya dalam kerangka kepemimpinan Jenderal Soeharto yang tambah otoriter sambil membiarkan terjadinya perapuhan politik dan korupsi keluarganya.

Penulis adalah pengamat perkembangan nasional

Last modified: 17/3/07

 


THE GLOBAL NEXUS

Anatomi Empiris Kabinet Indonesia

Christianto Wibisono

Perdebatan tentang RUU Kementerian Negara memperlihatkan perebutan kekuasaan antara DPR dan Presiden tentang hak prerogatif.

Memang suatu ironi bahwa negara berkembang dan penganut sistem parlementer mempunyai jumlah menteri yang berlipat ganda dibanding superpower AS yang hanya memiliki 15 menteri kabinet. Di Indonesia tampaknya baik Presiden maupun DPR/parpol ingin punya banyak menteri untuk “politicking“.

Karena itu muncul istilah yang aneh-aneh tentang menteri utama, menteri biasa, dan menteri khusus sambil mencabut istilah menteri koordinator. Orang menyindir dengan istilah menteri VVIP, VIP, dan penggembira. Menteri penggembira ini pasti akan diberi jabatan dan urusan tetek bengek yang tidak keruan misi dan juntrungannya, sekadar memberi prestise politik, gaji, dan fasilitas protokoler. Anggota DPR banyak mengincar jabatan seperti itu untuk melengkapi biodata, pernah jadi menteri kabinet RI.

Kabinet Malaysia termasuk yang membengkak bahkan lebih besar dari RI bila jabatan Parliamentary Secretary dimasukkan dalam anggota kabinet. Malaysia ingin mengakomodasikan perwakilan kelompok etnis dalam kabinet. Karena itu banyak diangkat semacam deputi menteri dari etnis yang berbeda dari menteri yang menjabat di departemen tertentu.

Palestina baru saja mengumumkan jumlah 25 menteri dalam kabinet koalisi Hamas Fatah. Indonesia di zaman Bung Karno mencapai rekor 100 menteri kabinet yang layak masuk Guiness Book of World Records. Sejak zaman liberal bahkan ketika masa perang kemerdekaan melawan Belanda, politisi dan partai politik telah melakukan dagang sapi untuk berebut menjadi menteri.

Karena itu ada jabatan menteri muda dan jumlah kabinet juga menciut membesar mirip akordeon, sesuai dengan selera DPRS (DPR Sementara). DPRS akan menguasai parlemen dan kabinet sampai tahun 1955 ketika pemilu bebas dilakukan dan menghasilkan 4 besar partai PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Tapi DPR hasil pemilu ini akan dibubarkan pada tahun 1960 dan diganti dengan DPR GR yang diangkat oleh Presiden Sukarno.

Setelah itu Sukarno menghapuskan Trias Politika dan bahkan Ketua Mahkamah Agung dan ketua DPR dijadikan anggota kabinet dengan pangkat Menko.

Kabinet memang diciutkan drastis dengan menurunkan menteri yang sebetulnya cuma mengurusi pekerjaan dirjen, dikembalikan pangkatnya jadi dirjen. Belakangan Soeharto juga gemar mengangkat dan membongkar pasang departemen sesuai selera politik untuk membagi rezeki, membungkam lawan politik, atau menyingkirkan orang yang tidak disukai.

Soeharto walaupun kuat, gemar melakukan langkah adu domba dan perimbangan kekuatan. Karena itu ada jabatan yang tumpang tindih antara Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Inspektur Jenderal Pembangunan, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Cerita ini bagaikan kisah klasik yang masih dipertontonkan hingga kini. Konflik dan persaingan dalam jajaran incumbent seperti konflik Yusril – KPK tidak memberi prospek cerah bagi tegaknya supremasi hukum, trias politika, dan kekalahan hukum oleh politik sebagai panglima.

Kabinet Ramping

Superpower AS hanya mempunyai 15 menteri kabinet yang secara kronologis dibentuk dan didirikan menurut kebutuhan perkembangan zaman. Departemen Luar Negeri, Keuangan dan Pertahanan dibentuk pada 1789. Dalam Negeri 1849, Pertanian 1869, Jaksa Agung 1870, Perdagangan 1903, Perburuhan 1913, Kesehatan dan Jasa Kemanusiaan. 1953. Pada waktu itu disebut HEW, Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan.

Pada 1965 dibentuk Departemen HUD, Housing and Urban Development disusul pada 1966 Departemen Perhubungan. Tahun 1977 dibentuk Departemen Energi. Pada 1979 Departemen HEW dipecah dua menjadi Department of Education dan Department of Health and Human Services. Tahun 1989 dibentuk Departemen urusan Veteran. Terakhir, Departemen Keamanan Nasional (Homeland Security) dibentuk menyusul perang global melawan teror.

Kabinet Jerman dan Jepang juga ramping serta mengalami merger mirip konsolidasi perbankan Jepang. Kata kunci nya ialah pemerintah yang efisien, sufficient karena semakin banyak menteri dan jabatan serta ruang lingkup kerja yang tumpang tindih semakin tidak ada yang dikerjakan secara konkret. Karena masing-masing menteri barangkali mengira suatu masalah berada di luar tanggung jawabnya karena ada menteri lain yang serupa tapi tak sama.

Efisiensi kabinet dan birokrasi hanya terjamin bila ada perimbangan yang kuat antara legislatif dan eksekutif yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau parpol yang sempit. Kalau Presiden ingin punya prerogatif bisa membentuk dan membongkar pasang departemen seperti zaman Sukarno atau Soeharto, maka itu tidak akan efisien. Begitu pula kalau DPR ingin menikmati jatah dan jabatan menteri tetek bengek, dan memaksakan jumlah menteri yang lebih banyak dari kabinet Jepang dan AS.

Tentu merupakan vested interest yang memboroskan uang rakyat dan tidak menjamin efektivitas pemerintahan. Jadi menyikapi konflik RUU Kementerian Negara mungkin kita hanya bisa menghela napas dan mengelus dada untuk bersabar. Karena kedua kubu, Presiden dan DPR, serta barangkali juga sector civil society (LSM) berkepentingan untuk memaksimalkan jumlah kursi menteri agar masing-masing bisa kebagian kursi.

Presiden bisa mengangkat teman atau mengkooptasi lawan politik, DPR bisa menikmati jatah menteri, dan pihak LSM juga sudah capai berdemo terus dan kepengen juga duduk di kursi menteri. Semuanya itu tentu akan dibiayai dari saku Anda, dari setoran pajak Anda. Karena itu kolom ini juga tidak terlalu berharap bisa mempengaruhi politisi. Hanya memberi sentuhan rasa kepatutan dan kelayakan . Semoga bisa menggugah pendapat umum untuk kembali ke pikiran sehat dan hati nurani yang beretika.

Penulis adalah pengamat masalah internasional

Last modified: 19/3/07


 

Rakyat Papua Butuh Kebijakan yang Konsisten

Oleh Neles Tebay

Masyarakat Papua di Tanah Papua mendengar berita melalui koran, pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang percepatan pembangunan di Papua dan Irian Jaya Barat (IJB).

Sebagaimana diberitakan koran lokal Cenderawasih Pos (17 Februari 2007), persoalan mendasar yang dihadapi Papua dan IJB adalah lambannya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kelambanan itu disebabkan oleh otonomi khusus (Otsus) yang belum terimplementasi dengan baik, kapasitas pemerintah yang terbatas, infrastruktur yang jauh dari yang memadai, dan investasi yang belum berkembang. Sebab itu, hendak dilakukan percepatan pembangunan di Papua dan IJB. Percepatan pembangunan tersebut dituangkan dalam Instruksi Presiden.

Pelaksana utama dari Inpres itu adalah Pemerintah Daerah sendiri, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pemerintah pusat berada pada posisi mendukung dan membantu agar program-program itu dapat dilaksanakan. Sasaran dari percepatan pembangunan tersebut ditetapkan oleh Papua dan IJB.

Pemerintah pusat pun akan menambahkan beberapa sasaran khusus. Sasaran tambahannya adalah kecukupan pangan, pendidikan dasar termasuk pendidikan keterampilan. Infrastruktur perhubungan juga akan menjadi prioritas.

Sebab tanpa infrastruktur perhubungan, ekonomi lokal tidak akan bergerak.

Presiden Yudhoyono juga mengumumkan bahwa pemerintah akan memberlakukan apa yang disebut affirmative action bagi penduduk asli Papua dalam bidang pendidikan-pendidikan tertentu dan juga dalam jabat-an-jabatan tertentu di pemerintahan.

Menimbulkan Pertanyaan

Terlepas dari segala maksud baik dari penerbitan Inpres itu, pengumuman Presiden itu menimbulkan pertanyaan terhadap kebijakan pemerintah yang lain, yakni tentang rencana pemerintah untuk merevisi Undang- Undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) untuk Provinsi Papua. Kalau Jakarta mau mengeluarkan Inpres II, bagaimana dengan nasib dari rencana pemerintah pusat untuk merevisi UU Otsus Provinsi Papua?

Pertanyaan itu muncul, karena dalam bulan Juli 2006, setelah atas nama Presiden Yudhoyono melantik Abraham O Ataruri sebagai gubernur di Provinsi IJB, satu-satunya Provinsi di Indonesia yang didirikan tanpa payung hukum, Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf mengumumkan Pemerintah Pusat akan membuat revisi atas UU Otsus Provinsi Papua (Suara Pembaruan, 24 Juli 2006). Proses revisi UU tersebut, kata Mendagri, akan dimulai awal Januari 2007.

Sekalipun sudah diumumkan demikian, hingga akhir Januari 2007, tidak ada berita dari Jakarta tentang proses revisi UU tersebut. Dalam bulan Februari, Presiden Yudhoyono malah mengumumkan kebijakan baru untuk Papua, tetapi bukan tentang revisi UU Otsus Papua, namun tentang Inpres percepatan pembangunan di Papua dan IJB.

Inpres yang akan dikeluarkan tahun 2007 ini, akan menjadi Inpres kedua untuk Papua setelah Inpres I yang dikeluarkan tahun 2001 oleh Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pengumuman Presiden tentang Inpres II itu, menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar di kalangan orang Papua.

Apa maunya Pemerintah Pusat? Apakah Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono masih bertekad untuk merevisi UU Otsus Papua? Atau apakah Inpres II ini merupakan bentuk akhir atau nama lain dari UU Otsus Papua yang sudah direvisi? Atau apakah pemerintah pusat akan membatalkan rencana revisi UU ini karena Inpres II akan atau bahkan sudah diterbitkan? Apakah pemerintah akan merevisi UU Otsus Papua, sekalipun Inpres II sudah diterbitkan?

Masyarakat Papua ingin mendengar langsung dari Presiden Yudhoyono tentang kebijakan apa yang hendak dilaksanakan Pemerintah Indonesia secara konsisten, penuh, dan efektif untuk Provinsi Papua.

Presiden ditantang untuk menjelaskan pilihan pemerintah yang sebenarnya: apakah pemerintah memilih melaksanakan UU Otsus Papua secara konsisten? Atau pemerintah berkomitmen untuk merevisi UU Otsus? Atau pemerintah terus memperbanyak Inpres untuk Provinsi Papua?

Dari ketiga pilihan itu, kebijakan mana yang dipilih oleh Pemerintah Pusat? Apakah pemerintah akan menerapkan ketiga kebijakan itu pada waktu yang bersamaan? Atau apakah pemerintah akan memilih hanya satu atau dua dari ketiga kebijakan ini?

Penjelasan Presiden Yudhoyono tentang kebijakan yang dipilih Pemerintah Pusat sangat membantu orang Papua. Sebab, hanya dengan mengetahui secara pasti tentang kebijakan yang hendak dijalankan secara konsisten oleh Jakarta, orang Papua bisa memulai diskusi tentang partisipasi mereka dalam menyukseskan kebijakan tersebut dengan memperjelas dan mempertegas sumbangan khususnya, peranannya yang akan dimainkan, dan cara mengawasi implementasi kebijakan tersebut.

Evaluasi Otsus

Salah satu alasan yang mendorong Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono untuk mengeluarkan Inpres II adalah Otonomi Khusus (Otsus) yang belum terimplementasi dengan baik. Hal itu memberikan kesan UU Otsus Papua tidak dapat diimplementasikan dengan baik tanpa adanya Inpres.

Maka, semakin banyak Inpres tentang Papua, semakin lancar dan baik UU Otsus akan dilaksanakan. Sehingga, setiap empat tahun atau setiap presiden terpilih dapat mengeluarkan Inpres baru untuk Papua.

Belajar dari pengalaman Inpres I, penerbitan Inpres untuk Papua tidak memberikan jaminan atas implementasi UU Otsus Papua secara konsisten. Malah sebaliknya, Inpres I sangat bertentangan dengan UU Otsus Papua dan menyebabkan konflik horizontal (antara orang Papua) dan vertikal (antara Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat). Kalau tidak berhati-hati, penerbitan Inpres II pun dapat menimbulkan konflik horizontal dan vertikal.

Kalau memang Pemerintah Pusat melihat bahwa UU Otsus tidak dilaksanakan dengan baik di Provinsi Papua, pemerintah perlu mengambil tiga pendekatan seperti yang diimbau oleh Presiden Yudhoyono pada Perayaan Natal Nasional 2005, yakni pendekatan demokrasi, damai, dan kasih.

Tiga pendekatan itu, menurut Presiden, perlu diutamakan dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan keamanan.

Maka tiga pendekatan itu pun perlu dilaksanakan dalam mencari solusi atas kelambatan implementasi UU Otsus Papua. Kalau Pemerintah Pusat setia melaksanakan ketiga pendekatan itu, Presiden Yudhoyono tidak perlu mengedepankan pendekatan instruktif. Karena, terlepas dari luhurnya motivasi dan bagusnya isi dari suatu Inpres, pendekatan itu bertentangan dengan ketiga pendekatan yang disarankan Presiden Yudhoyono.

Dengan mengedepankan ketiga pendekatan tersebut, Pemerintah Pusat mesti mengambil inisiatif untuk melakukan evaluasi atas implementasi UU Otsus Papua. Evaluasi itu tidak perlu dilakukan hanya oleh Pemerintah Pusat, atau oleh Pemerintah Pusat dengan Gubernur Papua.

Setiap dan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders), terutama pemerintah dan orang Papua, mesti dilibatkan untuk berpartisipasi secara aktif tidak hanya dalam proses evaluasi tetapi juga dalam implementasinya setelah evaluasi diadakan.

Hal itu penting agar bukan hanya pemerintah tapi masyarakat Papua juga mempunyai perasaan memiliki UU Otsus itu dan merasa bertanggung jawab atas implementasinya. Agar evaluasi implementasi UU Otsus Papua itu dapat dilaksanakan atas dasar demokrasi, damai, dan kasih, maka suatu kerangka acuan (terms of reference/ToR) mesti disusun oleh Pemerintah Pusat dan orang Papua.

Kerangka acuan tersebut memuat tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, target-target yang hendak dicapai, pendanaan, tempat, proses dan tahapan evaluasi, peserta, peninjau (kalau diperlukan), biaya, peran dari pihak ketiga yang netral, serta semua peraturan permainannya. Kerangka acuan itu akan membantu masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat agar dapat mempunyai pemahaman yang sama atas evaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua.

Untuk itu, Pemerintah Pusat dapat membentuk sebuah tim, sebut saja, “Tim Jakarta” yang terdiri dari pihak eksekutif, legislatif (DPR RI), dan militer. Tim itu bertugas untuk mempersiapkan ToR versi Jakarta. Sementara itu, Pemerintah Pusat perlu memberikan kesempatan kepada DPR Papua dan MRP juga membentuk sebuah tim, sebut saja, “Tim Papua” yang bertugas untuk menyusun ToR versi Papua.

Kemudian, kedua tim itu dapat bertemu atau sebaiknya dipertemukan oleh pihak ketiga yang netral untuk membahas dan menetapkan sebuah ToR untuk evaluasi UU Otsus Papua. Selanjutnya, proses evaluasi UU Otsus dapat dilaksanakan atas dasar dan mengikuti kerangka acuan yang sudah disetujui bersama.

Proses evaluasi yang demokratis itu akan mengikat Pemerintah Pusat dan orang Papua untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Otsus Papua. Hal itu pada gilirannya akan menjawab sejumlah persoalan mendasar orang Papua dan mengangkat citra Pemerintah Indonesia di hadapan komunitas internasional.

Penulis adalah dosen pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi di Abepura, Jayapura

Last modified: 28/2/07


 

Memformat Ulang Lembaga Pemasyarakatan

Oleh Reza Indragiri Amriel

Langkah Kapolri yang tidak memenjarakan Suyitno Landung di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang agar tidak menjadi korban kebrutalan para narapidana, mempertegas rahasia umum tentang masih jauhnya keselarasan antara tujuan dibangunnya LP dengan kenyataan yang berlangsung di lapangan.

LP dan seluruh kegiatan di dalamnya diadakan dalam rangka menciptakan sekat yang memisahkan para tahanan dengan publik, di samping antara masa lalu dengan masa depan para tahanan.

LP idealnya menjadi wahana bagi para kriminal untuk mentransformasi diri dari individu berwatak keji menjadi anggota masyarakat yang lebih mulia, melalui tiga prinsip manajemen koreksional (Meier, 1989).

Pertama, penangkalan. LP menegakkan sebuah aturan yang mengontrol tindak-tanduk tahanan secara ketat, sehingga setiap tahanan menyadari setiap tingkah laku yang tidak benar akan dikenakan sanksi.

Kedua, incapacitation. Tindakan memenjarakan para tahanan harus melumpuhkan kemampuan mereka sehingga tidak mengulangi aksi kejahatan di waktu mendatang, termasuk memutus mata rantai kejahatan antara tahanan dan kelompok-kelompok kriminal di luar penjara.

Ketiga, rehabilitasi. LP menggi- atkan program bagi para tahanan agar memiliki kemampuan baru sehingga dapat bersosialisasi kembali di tengah masyarakat kelak. Namun, kenyataannya, LP tidak hanya cenderung mengeksploitasi benih-benih kejahatan menjadi lebih manifes, namun sekaligus secara ironis menempatkan para penjahat ke dalam posisi sebagai pihak yang “dikorbankan” oleh tidak adekuatnya program rehabilitasi yang diterapkan oleh otoritas berwenang.

Ini artinya tidak hanya proses pemanusiaan para tahanan saja yang gagal. Pada saat yang sama, negara juga gagal menjadi institusi yang ditugasi untuk menciptakan ketertiban, karena negara melalui LP justru telah mempraktikkan perilaku kekerasan ter- hadap para narapidana.

Faktor yang Memperumit

Dari sekian banyak faktor yang menambah rumitnya upa-ya memperbaiki kondisi LP, McCord (1999) menyimpulkan dari berbagai penelitian, salah satu yang paling mendasar adalah kesulitan meyakinkan otoritas terkait bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai guna memahami serta menangani lika-liku aksi kejahatan termasuk para pelakunya.

Temuan-temuan relevan di bidang psikologi, sebagai misal, kendati sangat banyak namun tidak diaplikasikan untuk menghasilkan program koreksional yang efektif.

Sebaliknya, penempatan tahanan di dalam LP tampaknya hanya didasarkan pada perspektif legal, bahwa para narapidana adalah mereka yang telah terbukti melanggar hukum dan diputuskan oleh pengadilan untuk menjalani hukuman di dalam LP.

Jenis vonis yang diputuskan peradilan mungkin berbeda satu sama lain, namun perbedaan tersebut tidak berimplikasi apa pun terhadap langkah-langkah koreksional yang semestinya diterapkan oleh LP.

Tanpa memedulikan aspek-aspek individual yang ada pada diri masing-masing narapidana, mereka ditempatkan pada tempat yang sama dan diberikan metode perlakuan yang juga tidak berbeda.

Implementasi program koreksional, alhasil, disandarkan pada dua kekeliruan yang acap terjadi dalam taksiran kejahatan. Pertama, false positive, yaitu pelanggaran yang tergolong ringan dianggap sama dengan kejahatan berat. Atau bisa jadi, kedua, false negative, penjahat kelas kakap disetarakan dengan tahanan kelas teri.

Tindakan-tindakan pengecualian, seperti kerap diungkap dalam berbagai media massa, justru dipraktikkan otoritas LP dengan motif instrumental, ya- itu popularitas dan kekayaan sebagai dua hal yang “dipertimbangkan” oleh petugas LP terhadap setiap narapidana.

Buruknya manajemen LP, terlebih jika keburukan-keburukan tersebut terekspos ke masyarakat, dapat menghilang- kan efek penangkalan (detterent effect) yang sejatinya merupakan energi utama yang dimiliki oleh setiap lembaga penegakan hukum. Efek penangkalan bekerja sebagai fungsi dua komponen penegakan hukum: kepastian (certainty) dan kekerasan (severity) hukum.

Penelitian-penelitian masa lalu membuktikan bahwa frekuensi tindak kriminalitas akan menurun sebanding dengan semakin tingginya tingkat kepastian hukum dan semakin beratnya hukuman yang dikenakan kepada pelanggar hukum. Riset-riset berikutnya ternyata menemukan hasil berbeda.

Dinyatakan bahwa tingginya tingkat kepastian hukum memang berpengaruh kuat terhadap rendahnya kriminalitas, sedangkan beratnya hukuman terbukti tidak menjadi ancaman yang ampuh untuk menurunkan kasus-kasus kriminal.

Di Indonesia, pudarnya daya penangkalan lebih potensial lagi. Pasalnya, di satu sisi tingkat kepastian hukum masih rendah, sementara di lain sisi lamanya ancaman kurungan juga tidak cukup aversif bagi para pelaku dan calon pelaku kejahatan.

Mereka tidak lagi mempersepsikan LP sebagai sebuah institusi yang benar-benar menjalankan fungsi penghukuman (dalam konteks legal) maupun sebagai sanksi sosial yang menorehkan aib (dalam konteks psikososial).

Padahal, merujuk penelitian Bandura (1986), persepsi akan adanya sanksi sosial bisa menjadi sangat aversif sehingga lebih efektif dalam menekan para (calon) kriminal agar tidak melakukan tindakan yang berisiko pada pemenjaraan.

Lebih luas lagi, alih-alih sebagai lembaga rehabilitasi, lingkungan LP merefleksikan sejumlah variabel yang setali tiga uang dengan lingkungan di luar penjara.

Variabel-variabel tersebut mencakup insentif yang tinggi, target yang mudah diraih, risiko yang rendah, dan sumber daya terkait -rivalitas antarsuku, proyek dari narapidana yang kaya, pasokan senjata tajam, dan lain-lain- yang tersedia (Bandura, 1986).

Penghukum atau Pendidik

Empat variabel itu memfa- silitasi narapidana untuk kembali menampilkan tindak kri- minalnya di dalam lingkungan penjara.

Predisposisi untuk menjadi residivis, dengan demikian, diperkuat, karena peluang bagi berlangsungnya perilaku melanggar hukum aktualnya telah ada pada saat seorang kriminal justru tengah menjalani masa hukumannya.

Literatur-literatur Barat memilah pandangan tentang penghukuman ke dalam dua kategori. Pertama, “just deserts”, yakni hukuman dijatuhkan berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan seorang individu.

Kedua, republican, kebutuhan kriminogenik (criminogenic needs) individu menjadi dasar dalam menentukan jenis hukuman (tepatnya, perlakuan) bagi pelaku kejahatan.

Kebutuhan kriminogenik merupakan karakteristik individual yang apabila secara optimal dikenai intervensi koreksional akan menurunkan kemungkinan individu menjadi residivis. Dua perspektif itu relevan ketika publik dan otoritas berwenang berencana untuk menyusun program perlakuan tertentu yang akan diterapkan terhadap para narapidana.

Berbeda dengan “just deserts” yang menyiratkan nuansa balas dendam, pandangan republican tampak lebih manusiawi karena membantu para kriminal untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan mereka tatkala harus berperilaku lebih adaptif dan memenuhi standar kepa- tutan.

Dikaitkan dengan kesimpulan mutakhir tentang efek penangkalan seperti diuraikan di atas, perspektif republican lebih tepat untuk diejawantahkan.

Dari kacamata republican, dijatuhkannya hukuman penjara tidak ditafsirkan sebagai balasan setimpal atas kelakuan si pelanggar hukum, melainkan dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa masa kurungan adalah rentang waktu yang memadai bagi otoritas penjara untuk memodifikasi perilaku narapidana.

Visi pemenjaraan semacam itu lebih mengarah kepada psikologi masyarakat sebagai pendidik daripada semata-mata sebagai penghukum.

Jadi, kehidupan LP macam apa yang sepatutnya dibentuk di Tanah Air? Tidak mudah dijawab, karena lagi-lagi ketidakkonsistenan yang terlihat. Berbagai tingkah laku agresif, misalnya amarah massa yang dibuncahkan dengan membakar pelaku kriminal, potensial untuk dimanifestasikan secara sublimatif oleh otoritas hukum ke dalam bangunan hukum yang bercirikan “just desert”.

Meskipun alasan itu cukup masuk di akal, hukum balas dendam seperti ini seolah menafikan realita bahwa situasi aktual yang penuh dengan kesulitan saat ini disebabkan oleh buruknya manajemen vertikal dalam pengelolaan kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, jika dipraktikkan, “just desert” tak lebih sebagai media cuci tangan pihak pemegang otoritas.

Tetapi, pada kenyataannya, kerinduan masyarakat akan adanya sanksi berat bagi para kriminal juga tidak kunjung terpenuhi.

Bersamaan dengan itu, upaya menciptakan kehidupan penjara yang sesuai dengan perspektif republican tampaknya tidak hanya terlalu kompleks, namun juga tidak didukung oleh latar psikis publik yang saat ini masih kental dengan dorongan retaliasi.

Wallahualam.

Penulis adalah alumnus Psikologi Forensik dari University of Melbourne, staf pengajar Kajian Ilmu Kepolisian UI

Last modified: 2/3/07


 

Tak Perlu Alergi Wamil

Oleh A Riawan Amin

Tiga hari berturut-turut, 26-28 Februari, harian ini memberitakan RUU Komponen Cadangan yang salah satunya berisi konsep wajib militer (wamil). Sekretaris Jenderal Dephan, Sjafrie Sjamsoeddin, berharap lolosnya RUU ini akan memaksimalkan potensi komponen cadangan dan memobilisasi mereka untuk pertahanan negara.

Namun, ide wamil itu mendapat tantangan keras dari berbagai kalangan. Ketua Majelis Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Hendardi berpendapat, RUU Komponen Cadangan harus dibatalkan. “Negara mana sih yang menyerang negara kita?” ucapnya (Suara Pembaruan, 26 Februari). Sementara pakar politik UI, Arbi Sanit, menandaskan ide wamil hanya normatif, tidak mempunyai landasan empirik (Suara Pembaruan, 28 Februari).

Lepas dari alasan-alasan yang disampaikan para penentang wamil, penulis berpendapat kita tidak perlu alergi yang berlebihan terhadap RUU Komponen Cadangan, meski dengan beberapa catatan.

Pertama, bangsa ini disadari atau tidak, tengah menuju pelemahan dan degradasi kualitas yang parah. Di akhir Presiden Soekarno memimpin, tentara Indonesia dianggap sebagai armada terkuat kedua di kawasan regional. Namun sekarang, berbagai konflik etnik, disintegrasi, bahkan perkelahian antardesa terjadi di mana-mana. Sebuah cermin menguatnya primordialisme sempit dan mulai lunturnya semangat nasionalisme.

Kedua, penyimpangan konsep dwifungsi ABRI yang masih dirasakan. Sipil seolah-olah setingkat di bawah mereka yang berseragam. Seakan-akan mereka yang pernah duduk dalam hierarki komando lebih superior. Penulis berpendapat tak ada salahnya TNI menduduki jabatan sipil. Yang salah adalah, ketika fungsi mereka sebagai kekuatan pertahanan yang harus melindungi rakyat melemah dan berbalik menjadi pembela penguasa.

Bila Jenderal Abdul Haris Nasution masih di tengah kita, barangkali mata beliau akan terus sembab. Sebagai konseptor dwifungsi ABRI, ia meyakini kekuatan TNI yang amat terbatas akan kesulitan mengamankan teritorial RI yang begitu luas. Namun, tugas mustahil itu bisa terlaksana bila mereka mendapatkan dukungan rakyat, sebagaimana yang kemudian ia tulis dalam memoarnya, Strategy of Guerrilla Warfare. Adalah paradoks bila kemudian TNI yang eksis karena dukungan rakyat, ketika ia berada di panggung kekuasaan (jabatan) berbalik menjadi killing machine dan penindas rakyat yang notabene menjadi pendukung utama mereka.

Ketiga, negara-negara yang menerapkan wamil seperti Singapura, Taiwan, Swiss, dan Israel, karakter warga negaranya juga terbentuk: disiplin, keras, dan tidak cengeng. Boleh dikata disiplin dan patriotisme yang tertanam kuat itu juga menginspirasikan etos kerja tinggi. Ujung-ujungnya, daya kompetitifnya juga tinggi. Negaranya makmur, pertahanan dan keamanannya kuat.

Singapura yang menerapkan wamil sejak 1967, telah menjelma menjadi negara kuat, baik secara militer maupun ekonomi. Meski hanya sepertiga Pulau Bali, Singapura akan sangat sulit dikalahkan oleh negara-negara tetangganya, karena armada udara yang tangguh. Dengan memiliki 139 buah pesawat tempur F-16, mereka bisa dengan mudah menjangkau kantong-kantong militer lawan dan melumpuhkannya.

Selain itu, data tahun 1993 menunjukkan mereka memiliki tentara aktif sebanyak 70.000 (2,31 persen dari seluruh populasi) dan 263.800 tentara cadangan yang sebelumnya mengikuti wamil. Setiap tahunnya, kurang lebih ada 24.000 pria yang usianya memasuki wajib militer (18 tahun).

Dwifungsi Sipil

Dwifungsi ABRI semestinya tidak menjadi momok bila logikanya dibalik, yakni dengan memberi peluang dwifungsi sipil. Sederhananya, semua warga negara sipil bisa “menduduki” jabatan-jabatan tertentu dalam jenjang kemiliteran, asalkan mereka memang memenuhi persyaratan.

Dengan kata lain, saat mereka memenuhi persyaratan, mereka berhak atas kepangkatan yang berlaku dalam jenjang karier tentara. Sewaktu-waktu ada perang, posisi mereka jelas: mereka bisa menjadi jenderal lapangan atau kopral sesuai dengan persyaratan yang telah mereka sandang.

Dwifungsi sipil ini akan meningkatkan supremasi sipil, tanpa melemahkan ABRI. Konsep itu akan meningkatkan militansi semua warga negara dan menggugah kesadaran mereka bahwa tanggung jawab pertahanan dan keamanan bukan hanya di pundak ABRI semata. Konsep itu praktis juga akan meningkatkan intelektualitas ABRI karena bergabungnya sipil dengan berbagai latar belakang pendidikan. ABRI yang intelek sangat penting, karena sangat berbahaya memiliki tentara yang militan tapi matanya ditutup (karena kurang wawasan atau tidak intelek). Sejarah menulis, Jenderal Sudirman adalah jenderal sipil yang sebelum merintis karier militer adalah pendidik.

Dephan melalui RUU Komponen Cadangan menargetkan wajib bela negara paling tidak 300 orang profesional (bukan penganggur) dari tiap provinsi dengan masa dinas lima tahun, tidak dengan konsep dwifungsi sipil. Sebab, konsep itu bisa menjangkau bahkan jutaan rakyat Indonesia. Biaya opersionalisasinya juga murah, karena diintegrasikan dengan tingkat pendidikan. Misalnya, dengan mewajibkan kurikulum pendidikan bela diri. Setiap jenjang pendidikan naik, tingkatan bela diri yang harus dikuasai pun juga naik.

Selintas konsep itu terlihat sederhana. Namun, hemat penulis, justru di sinilah uniknya. Sebab, berbeda dengan Singapura, satu-satunya kelebihan kita adalah melimpahnya sumber daya manusia (dan sumber daya alam tentunya). Karena itu, aspek pertahanan dioptimalkan sesuai dengan sumber daya manusia yang kita miliki. Kita akan kesulitan bila harus meniru cara bermain Singapura dengan memperkuat armada udara. Untuk membeli empat buah Sukhoi 27 seharga 40 juta dolar saja, kita sudah belepotan karena cekaknya biaya.

Dengan cara sederhana itu, pembinaan fisik dan mental berjalan seiring. Bila warga negara menguasai bela diri, akan timbul respek satu sama lain. Warga negara tidak mudah diintimidasi. Tak perlu lagi tentara (atau polisi) menjadi “centeng” atau beking bisnis, karena warga sipil tak lagi penakut. Para penjahat, pencopet, perampok, juga tak mudah mengancam atau main gertak. Hasilnya, tingkat kriminal bisa turun. Sipil juga tak lagi minder bila harus berkompetisi dengan mereka yang berseragam.

Praktis, dwifungsi sipil akan menguatkan status sipil dan negara. Bila sipil kuat, maka bangsa ini diharapkan juga memenangkan “pertempuran” global. Bukan hanya memenangkan pertahanan dan keamanan, tapi juga memenangkan ekonomi. Jenderal Douglas MacArthur pernah mengatakan, “It is fatal to enter any war without the will to win it.” Kita sudah memasuki perang global. Tidak ada pilihan, selain menang.

Penulis adalah Dewan Pakar ICMI

Last modified: 3/3/07


 

Cina, Tionghoa, dan Tiongkok

Oleh Benny G Setiono

Dalam pidato sambutan ketika menghadiri Perayaan Imlek Nasional yang diselenggarakan Matakin pada 24 Februari di JCC, dan ketika menghadiri perayaan 50 Tahun Kerja Sama Kebudayaan Indonesia-RRT pada 28 Februari 2007 di PRJ Kemayoran, Presiden Yu- dhoyono dengan tegas menggunakan kata Tiongkok dan Tionghoa sebagai pengganti kata Cina.

Sebelumnya Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati dalam berbagai pidato juga menggunakan kata Tiongkok dan Tionghoa. Suara Pembaruan sejak beberapa hari ini kelihatannya dengan resmi mengganti kata China dan Cina dengan Tiongkok dan Tionghoa dalam setiap penerbitannya.

Kata Cina dan Tionghoa selama ini menjadi kontroversi yang tiada habis-habisnya, terutama di kalangan masyarakat Tionghoa. Dalam acara “Padamu Negeri” yang diselenggarakan Metro TV dan diikuti cluster-cluster INTI, Senat Mahasiswa Tarumanegara dan Binus, serta Jaringan Muda Tionghoa beberapa minggu lalu, masalah itu juga dijadikan bahan polling (terbatas peserta). Hasilnya INTI menolak penggunaaan kata Cina, demikian juga pemuda Jaringan Muda Tionghoa.

Namun, yang menarik, sebagian besar mahasiswa tidak berkeberatan dan tidak merasa terganggu dengan penggunaan kata Cina sebagai pengganti kata Tionghoa. Itu menunjukkan telah terjadi dinamika dalam pandangan sosial dan politik di antara generasi masyarakat Tionghoa sesuai dengan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia.

Yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah Surat Edaran Presidium Kabinet RI No SE-06/PresKab/6/1967 Tanggal 20 Juni 1967 yang berisi instruksi mengganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan orang Tionghoa menjadi Republik Rakyat Cina dan orang Cina. Surat Edaran itu sebagai tindak lanjut hasil Seminar Angkatan Darat II di Seskoad, Lembang, pada 25-31 Agustus 1966.

Alasan penggantian istilah tersebut, “… untuk menghilangkan perasaan inferior pada orang kita dan di lain pihak menghapus perasaan superior pada golongan yang bersangkutan dalam negara kita, maka adalah tepat untuk melapor bahwa seminar memutuskan untuk menggunakan lagi sebagai sebutan untuk Republik Rakyat Tiongkok dan warganya Republik Rakyat Cina dan warga Negara Cina. Hal ini dapat dibenarkan dari segi historis dan sosiologi.”

Jadi sebenarnya penggantian itu ditujukan kepada Pemerintah RRT dan warga negaranya dalam konteks memburuknya hubungan kedua negara pada masa itu. Namun, dalam praktiknya semua orang Tionghoa disebut Cina dan kata Cina itu mempunyai latar belakang sejarah yang berkonotasi penghinaan atau merendahkan, seperti sebutan inlander bagi orang-orang pribumi di masa kolonial, atau Niger bagi orang-orang Afro-Amerika.

Akibatnya, dengan serentak seluruh instansi dan media massa menggunakan sebutan Cina dan Republik Rakyat Cina menggantikan Tionghoa dan Republik Rakyat Tiongkok, yang kemudian mendorong lahirnya Surat Edaran Presidium Kabinet ter-sebut.

Setelah terjadi aksi kekerasan anti-Tionghoa di Jakarta pada 22 April 1967, Mochtar Lubis yang sedang berada di Bangkok menulis surat kepada harian Kompas yang menyatakan keprihatinan akan adanya tanda-tanda kecenderungan rasialisme di Indonesia, yang dapat merusak nama baik Orde Baru di luar negeri dan menggoyahkan kesetiaan WNI keturunan Tionghoa.

Ia mengatakan, penggunaan sebutan Cina yang meluas sejak seminar itu, merupakan penghinaan yang tidak pantas kepada WNI keturunan Tionghoa, dan harus segera dihapuskan. Itulah sebabnya harian Indonesia Raya yang dipimpinnya yang ditutup penguasa Orde Baru, tidak pernah menggunakan sebutan Cina dalam penerbitannya.

Kenyataannya, memang kata Cina selama masa Orde Baru berhasil membuat orang-orang Tionghoa menjadi “sangat tidak berdaya” terutama apabila ada masalah antara orang Tionghoa dan non-Tionghoa. Apa sebenarnya yang menyebabkan sebutan atau kata Cina dianggap penghinaan, terutama oleh generasi yang lebih tua?

Membaur

Merunut sejarah, komunitas Tionghoa telah berada di pesisir utara Pulau Jawa, pesisir selatan Sumatera, dan pesisir barat Kalimantan lebih dari seribu tahun lalu. Umumnya mereka datang untuk berdagang atau mencari kehidupan baru karena di daratan Tiongkok pada masa itu terjadi banyak bencana alam dan perang saudara. Mereka kebanyakan berasal dari Provinsi Hokkian/Fujian di bagian timur daratan Tiongkok. Mereka menamakan diri Tenglang atau orang dari Dinasti Tong dalam dialek Hokkian.

Mereka hidup membaur dengan mengawini perempuan setempat. Keturunannya disebut peranakan, yang tidak dapat lagi berbahasa Hokkian. Pada masa itu bahasa Mandarin yang berasal dari Tiongkok Utara (sebutan orang Barat untuk bahasa di zaman Dinasti Ching atau Manchu) atau bahasa Cia Im (sebutan peranakan Tionghoa sebelum PD II) belum dikenal di Hindia Belanda.

Sejak pertengahan abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19 hubungan mereka dengan daratan Tiongkok boleh dikatakan nyaris terputus. Kaisar Dinasti Ching mengeluarkan peraturan yang melarang orang Tionghoa berlayar ke selatan karena jung-jung mereka sering dirompak bajak laut.

Orang-orang Belanda menyebut mereka Chineesen dan Negeri Tiongkok disebut Chi’na, konon berasal dari kata Dinasti Chin. Penduduk setempat menyebut mereka orang Cina, dari kata Belanda Chi’na, dan orang Jawa menyebut Cino atau Cinten.

Adakah konotasi penghinaan dalam sebutan ini pada masa itu? Tidak ada sama sekali, karena orang-orang Tionghoa sendiri kadang-kadang menamakan dirinya Cina, sampai kedatangan orang Tionghoa dari daratan Tiongkok secara besar-besaran mulai pertengahan abad ke-19.

Mereka umumnya berasal dari Provinsi Kwangtung dan Hokkian, didatangkan Pemerintah Hindia Belanda selaras berkembangnya paham liberalisme dan tumbuhnya kapitalisme di Eropa untuk memenuhi kebutuhan pemilik perkebunan dan pertambangan di negara jajahan, termasuk di Hindia Belanda.

Mereka membutuhkan tenaga kerja yang murah, loyal, dan efisien. Di samping itu banyak juga imigran yang datang untuk memulai hidup baru di tanah harapan di Nan Yang (kepulauan selatan), seiring dicabutnya larangan kaisar berlayar ke selatan.

Orang-orang Tionghoa yang baru datang itu berusaha secepatnya membaur dengan mempelajari bahasa setempat. Namun, karena lafal yang cadel, dan suara yang keras, mereka menjadi bahan tertawaan. Kuncirnya jadi bahan ejekan.

Mereka disebut Cina baru atau singkeh. Karena berasal dari keluarga-keluarga miskin yang terpaksa hidup di perantauan, pola hidup mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, cenderung kikir.

Hal itu yang sampai saat ini masih sering dijadikan mitos atau stereotipe orang Cina pelit dan egois. Sejak saat itu, kata Cina mengandung konotasi untuk menghina atau merendahkan dan menjadi bahan ejekan.

Membingungkan

Pada awal 1900, terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok yang dipimpin Kang Yu Wei dan Liang Chi Chao, di Jakarta beberapa tokoh Tionghoa dipimpin Phoa Keng Hek mendirikan perkumpulan Tionghoa Hwe Koan.

Tujuannya, antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa.

Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Dr Sun Yat Sen untuk meruntuhkan Dinasti Ching dan menggantinya dengan Chung Hwa Ming Kuo atau Republik Tiongkok. Sejak saat itu mereka menyebut dirinya orang Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan menolak disebut Cina.

Pada 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa “berutang budi” kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan tersebut, sepakat mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia Belanda dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman.

Itu sebabnya, dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru.

Ketika pada awal 1990-an terjadi perundingan membuka kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), terjadi hambatan soal sebutan. Pemerintah RI ingin mempertahankan sebutan Republik Rakyat Cina, sebaliknya pemerintah RRT ingin menyebut dirinya Republik Rakyat Tiongkok.

Setelah terjadi perundingan cukup alot, dicapai kesepakatan menggunakan kata China, sehingga sebutannya menjadi Republik Rakyat China, dengan singkatan tetap RRC. Sebutan itu sungguh membingungkan, sehingga masyarakat Indonesia tetap saja menyebutnya Cina, bukan China dengan lafal Inggris.

Kini setelah berakhirnya Perang Dingin dan berlangsungnya reformasi serta jatuhnya pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan politik, baik internasional maupun dalam negeri. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok memasuki tahapan baru dan mencapai puncaknya ketika Presiden Yudhoyono bersama Presiden Hu Chin Dao pada 2005 menandatangani Perjanjian Kemitraan antara RI dan RRT.

Hampir seluruh orang Tionghoa di Indonesia menjadi warga negara Indonesia. Undang- undang Kewarganegaraan No 12/2006 dengan tegas menyatakan hanya ada WNI dan WNA, tidak ada lagi penggolongan pribumi dan nonpribumi.

Sudah selayaknya pemerintah secara resmi mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet RI No SE-06/PresKab/6/1967, yang ketika dikeluarkan bertujuan merendahkan Pemerintah RRT dan warga negaranya, namun yang merasakan akibatnya seluruh orang Tionghoa di In- donesia.

Demi persatuan seluruh bangsa Indonesia, semoga kontroversi sebutan Cina-Tionghoa bisa segera diakhiri dan seluruh komponen bangsa Indonesia bisa mengonsentrasikan diri dalam pembangunan bangsa dan negara.

Penulis adalah seorang pengamat sosial dan politik

Last modified: 5/3/07


 

Sengketa Batas Maritim Indonesia-Singapura dari Sisi Teknis

Oleh I Made Andi Arsana

Tampaknya hubungan Indonesia dan Singapura kembali terganggu dan cenderung tegang belakangan ini. Pasalnya, isu batas maritim kembali mengemuka, sebuah topik yang sesungguhnya sama sekali tidak baru bagi kedua negara. Salah satu isu terkait yang menyita perhatian adalah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura. Apakah benar seperti kekhawatiran banyak orang reklamasi itu akan mempengaruhi klaim maritim Singapura dan batas maritim antara Indonesia dan Singapura?

Mari kita lihat sejenak prinsip-prinsip delimitasi batas maritim internasional sebelum lebih jauh melihat ketegangan kedua negara. Delimitasi batas maritim diatur dalam hukum laut internasional yang dalam hal ini diejawantahkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut. UNCLOS 1982 adalah konvensi termutakhir yang dewasa ini diratifikasi sebagian besar negara pantai di seluruh dunia termasuk Indonesia dan Singapura. Dalam menyelesaikan batas maritimnya, kedua negara sudah sepantasnya mengacu kepada UNCLOS 1982.

UNCLOS menjelaskan secara terperinci beberapa hal terkait yurisdiksi maritim negara pantai. Hal yang diatur adalah garis pangkal sebagai acuan dalam mengukur lebar zona maritim yang bisa diklaim oleh negara pantai; jenis zona maritim, dimensi dan karakter masing- masing zona maritim; serta delimitasi batas maritim antarnegara jika terjadi tumpang-tindih klaim.

Zona maritim yang dimaksud adalah laut teritorial (12 mil laut, ML), zona tambahan (24 ML), zona ekonomi eksklusif – ZEE (200 ML), dan landas kontinen (hingga 350 ML atau lebih berdasarkan kriteria tertentu yang diatur dalam Pasal 76 UNCLOS). Mil laut (ML) merupakan satuan yang digunakan dalam lingkungan maritim terkait hukum laut, yang dalam hal ini 1 ML sama dengan 1.852 meter.

Sesungguhnya zona maritim bisa diklaim secara unilateral tanpa berurusan dengan negara lain sepanjang klaim tersebut tidak melanggar atau mengganggu klaim negara lain (tetangga). Meski demikian, pada kasus Indonesia dan Singapura, tampaknya tidak mungkin bagi Indonesia mengklaim semua jenis zona maritim (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen) tanpa mengganggu klaim Singapura, demikian pula sebaliknya. Mengingat lokasinya yang sangat berdekatan satu sama lain, Indonesia dan Singapura bahkan perlu melakukan delimitasi untuk laut teritorial mengingat jaraknya yang kurang dari dua kali 12 ML.

Penandatanganan Perjanjian

Perlu dicatat, Indonesia dan Singapura sudah menyepakati batas maritim internasional di Selat Singapura. Kedua negara itu menandatangani perjanjian batas laut territorial pada 25 Mei 1973, yang menetapkan enam titik batas sebagai titik belok garis batas. Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut pada 3 Desember 1973, sedangkan Singapura meratifikasi perjanjian tersebut kira-kira setahun kemudian, 29 Agustus 1974 (The Geographer, 1974). Sejak kedua negara meratifikasi, perjanjian tersebut secara resmi berlaku dan mengikat secara hukum.

Lepas dari dicapainya kesepakatan antara Indonesia dan Singapura di awal tahun 70an, penting untuk diketahui bahwa kedua negara belum menyelesaikan delimitasi batas maritim untuk keseluruhan kawasan maritim yang seharusnya didelimitasi. Masih ada segmen di sebelah barat dan timur yang harus diselesaikan. Perundingan untuk ini sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2005 dalam rangka menyelesaikan perjanjian batas maritim 1973. Sejumlah perundingan telah dilakukan baik di Indonesia maupun Singapura, yang sayang sekali belum menghasilkan kesepakatan final antara kedua negara.

Sementara itu, Singapura sendiri sangat aktif melakukan reklamasi dan konstruksi pelabuhan, yang berakibat pada perubahan bentuk pantainya. Reklamasi itu secara signifikan menggeser garis pantai Singapura ke arah selatan. Pertanyaannya kemudian, “apakah perubahan garis pantai berpengaruh bagi klaim maritim Singapura?” Lebih jauh lagi, “akankah perubahan itu mempengaruhi perjanjian batas maritim antara Indonesia dan Singapura?” Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa mengacu pada UNCLOS, yang dalam hal ini telah diratifikasi kedua negara.

Menurut hukum internasional, klaim maritim atau yurisdiksi maritim diukur dari garis pangkal. Garis pangkal bisa berupa garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik tertentu di tepi daratan atau garis pangkal normal yang merupakan representasi dari garis pantai ketika air surut terendah.

Pertanyaan penting selanjutnya, akankah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura dapat mengubah garis pangkalnya? Mungkin tidak mudah untuk segera menjawab ini, tapi kita memiliki UNCLOS yang bisa membantu. Pasal 11 dalam UNCLOS menyebutkan, “Untuk tujuan delimitasi laut territorial, bagian terluar instalasi pelabuhan yang merupakan bagian integral dari pelabuhan dapat diperlakukan sebagai bagian dari pantai.”

Pasal itu juga dijelaskan lebih jauh secara teknis dalam Pe- tunjuk Aspek Teknis UNCLOS (TALOS) yang menyatakan instalasi pelabuhan itu meliputi struktur permanen buatan manusia di sepanjang pantai dan merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan seperti pelindung pantai, dermaga, fasilitas pelabuhan lain, terminal pantai, dinding laut. Instalasi pelabuhan semacam itu bisa digunakan sebagai bagian dari garis pangkal untuk delimitasi laut territorial dan yurisdiksi maritim lainnya.

Seandainya reklamasi pantai yang dilakukan Singapura bertujuan untuk membangun struktur seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UNCLOS, jelas instalasi semacam itu bisa digunakan sebagai garis pangkal. Akibatnya, garis pangkal yang berubah berpotensi mengubah klaim maritim Singapura menjadi lebih ke selatan mendekati Indonesia.

Meski demikian, perubahan garis pangkal semacam itu tidak akan bisa mengubah perjanjian batas maritim yang sudah disepakati sebelumnya. Artinya, batas laut territorial 1973 antara kedua negara tidak akan berubah karena reklamasi itu, kecuali keduanya menghendaki dengan kesepakatan baru, teta-pi tidak serta-merta karena rek- lamasi.

Perubahan garis pangkal hanya mungkin berpengaruh pada klaim maritim dan batas yang belum disepakati. Dalam rangka menyelesaikan perjanjian 1973, semestinya diantisipasi bahwa ada kemungkinan Singapura akan mengusulkan pengguna- an garis pangkal baru pascareklamasi.

Meski demikian, kekhawatiran itu tentunya tidak akan menjadi isu seandainya kemudian dibuktikan bahwa reklamasi tersebut tidak untuk membangun struktur yang merupakan bagian integral dari pantai seperti diisyaratkan Pasal 11. Tentunya hal itu memerlukan investigasi teknis dan legal yang sangat cermat. Penulis percaya, orang- orang yang terlibat dalam negosiasi, terutama dari Indonesia, memahami hal itu dengan baik.

Referensi Geodesi

Lepas dari adanya kemungkinan perubahan garis pangkal Singapura, ada satu isu penting lain terkait batas maritim Indonesia-Singapura, yaitu tidak disebutkannya datum geodesi (referensi geodesi) secara eksplisit. Harus dipahami, koordinat lintang bujur tanpa datum geodesi yang jelas sesungguhnya tidak menginformasikan apa-apa.

Koordinat semacam itu tidak mengacu pada posisi tertentu di permukaan bumi, yang berarti titik atau garis batas yang diwakili koordinat tersebut tidak ada di lapangan. Secara teoretis titik-titik batas semacam itu tidak bisa ditentukan posisinya di permukaan bumi.

Adalah tidak mungkin, secara teoretis, mengatakan adanya pelanggaran batas tanpa adanya datum geodesi yang jelas. Sebagai contoh, bagaimana seorang petugas menentukan seberapa jauh sebuah kapal telah melewati batas, sedangkan batasnya sendiri tidak bisa ditemukan posisinya di lapangan?

Dalam kasus seperti itu, penggunaan alat navigasi modern seperti global positioning system (GPS) tidak akan membantu karena GPS memiliki datum tertentu sedangkan koordinat titik batas tidak jelas datum geodesinya. Hal itu merupakan tanggung jawab pakar teknis (dalam hal ini surveyor geodesi) untuk menghindari kesalahan yang sama dalam delimitasi batas maritim selanjutnya.

Akhir kata, penetapan batas maritim antara Indonesia dan Singapura seharusnya diperlakukan sebagai sesuatu yang urgen. Kolaborasi antara pakar teknis, hukum dan politis, tentunya mutlak dilakukan untuk mencapai hasil yang adil bagi kedua belah pihak.

Penulis pribadi percaya, Indonesia dalam hal ini telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik dalam rangka mencapai solusi yang tidak merugikan bangsa sendiri sekaligus bermartabat di mata dunia internasional. Mari kita tunggu.

Penulis adalah dosen di Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM dan peneliti di Pusat Kajian Batas Wilayah FT UGM-Bakosurtanal; (madeandi@ugm.ac.id)

Last modified: 5/3/07


 

Kemiskinan dan Kualitas Hidup Perempuan

Oleh Razali Ritonga

Pada tahun lalu, Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, diperingati dengan berbagai aksi damai di berbagai daerah, mengusung tema di seputar kualitas hidup perempuan yang masih tergolong rendah.

Di Jakarta, misalnya, tema yang diangkat adalah pembangunan dan kemiskinan. Di Makassar, topik yang digelar menyangkut masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kesulitan hidup.

Meski aksi itu telah berlalu setahun, tampaknya belum membuahkan hasil seperti diharapkan. Bahkan keadaannya memburuk. Keadaan itu terindikasi dari meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Angka kemiskinan, misalnya, bertambah dari 15,97 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006. Sementara angka pengangguran meningkat dari 10,26 persen pada Februari 2005 menjadi 10,84 persen pada Oktober 2005 (BPS, 2006).

Maka, untuk memperingati hari perempuan internasional pada tahun ini, tampaknya tema kemiskinan itu masih relevan diangkat ke permukaan. Sebab, secara umum kemiskinan merupakan pangkal persoalan dari rendahnya kesejahteraan perempuan. Celakanya, ketika kemiskinan kian meningkat, derajat kesejahteraan perempuan turun secara dramatis.

Hal itu disebabkan karena prevalensi memburuknya kualitas hidup pada kelompok perempuan lebih tinggi dibanding kelompok laki-laki. Kondisi demikian tercipta diperkirakan erat kaitannya dengan masih belum pupusnya budaya yang lebih mengutamakan laki-laki dibanding perempuan.

Masalah inti dari ketidaksejahteraan perempuan yang perlu segera ditangani adalah yang terkait dengan pemenuhan hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Lebih jauh, hak dasar pendidikan dan kesehatan itu jika ditambah kemampuan daya beli merupakan dimensi pokok dalam kualitas hidup yang sekaligus sebagai substansi pembangunan manusia.

Untuk mengetahui seberapa besar persoalan kualitas hidup perempuan di Tanah Air, barangkali cukup dibandingkan dengan kondisi perempuan di kawasan terdekat, yaitu negara-negara ASEAN. Diharapkan dengan mengetahui persoalan yang dihadapi kita dapat menentukan langkah strategis untuk mengatasinya.

Kualitas Hidup Rendah

Secara umum ada tiga faktor yang mempengaruhi kualitas hidup perempuan, yang dapat disederhanakan menjadi “tiga B”, yaitu brain, body, dan behavior. Brain melambangkan tingkat pendidikan yang dicapai. Body mencerminkan aspek kesehatan, dan behavior mengindikasikan perilaku.

Dari aspek brain, salah satu indikator yang dapat digunakan adalah rata-rata lama sekolah (mean years schooling). Berdasarkan indikator itu, diketahui pada tahun 2005 misalnya, rata-rata lama sekolah yang dijalani perempuan usia 15 tahun ke atas di Tanah Air adalah 6,8 tahun (BPS, 2006).

Itu berarti, secara rata-rata pendidikan yang dimiliki perempuan usia 15 tahun ke atas di Indonesia belum mencapai kelas satu sekolah menengah pertama (SMP), atau hanya sebatas tamat sekolah dasar (SD).

Sungguh memprihatinkan. Namun, yang lebih memprihatinkan lagi dari aspek pendidikan perempuan pada kelompok usia 15 tahun ke atas itu adalah masih tingginya angka buta huruf di antara mereka.

Tercatat, sekitar 12,5 persen perempuan usia 15 tahun ke atas di Indonesia menyandang buta huruf pada 2005. Itu berarti dari setiap 100 perempuan usia 15 tahun ke atas, antara 12 atau 13 orang di antaranya tidak bisa membaca dan menulis.

Di lingkungan negara-negara ASEAN, berdasarkan catatan Sekretariat ASEAN (2005), angka buta huruf perempuan hanya 4,3 persen di Filipina, 0,7 persen di Brunei Darussalam, 2,2 persen di Thailand, 8,0 persen di Singapura, 9,5 persen di Vietnam, dan 6,8 persen di Malaysia dan Myanmar.

Keadaan buta huruf perempuan di Indonesia lebih baik hanya pada dua negara, yaitu Laos 25,3 persen dan Kamboja 40,9 persen.

Selanjutnya menyangkut soal body, yang dalam pengertian di sini tidak berurusan dengan bentuk dan ukuran, tetapi terkait dengan soal lama hidup dan sehat.

Indikator yang digunakan adalah angka umur harapan hidup (life expectancy), yaitu perkiraan rata-rata lamanya hidup yang dijalani seseorang. Tercatat, pada 2005, angka harapan hidup perempuan di Indonesia adalah 70,2 tahun.

Di lingkungan negara-negara ASEAN, posisi Indonesia lebih buruk dibandingkan dengan Singapura 81,3 tahun, Malaysia 76,2 tahun, dan Filipina 72,8 tahun (masing-masing keadaan tahun 2004), serta Brunei Darussalam 79,0 tahun, Thailand 75 tahun, dan Vietnam 72 tahun (masing-masing keadaan tahun 2003).

Dalam hal itu, posisi Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (keadaan tahun 2004), serta Laos 56,0 tahun dan Myanmar 60,0 tahun (masing-masing keadaan tahun 2003).

Ketidakcukupan gizi, kurangnya pemeliharaan kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan rendahnya angka umur harapan hidup.

Secara ekstrem, kondisi demikian berpengaruh buruk terhadap kematian ibu. Tercatat pada 2002-2003, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia sebesar 307, yang berarti terjadi 307 kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup, karena sebab-sebab maternal.

Angka sebesar itu menempatkan Indonesia lebih buruk dibandingkan dengan Thailand 13 pada 2001, Singapura 20 pada 2000, Brunei Darussalam 27 pada 1997, Malaysia 30 pada 2001, Vietnam 95 pada 2000, Filipina 172 dan Myanmar 180 pada tahun 1999. Posisi Indonesia lebih baik dibandingkan Kamboja 437 pada 2000 dan Laos 530 pada tahun 2000.

Terancam Memburuk

Kurangnya pemahaman atas hak-hak yang sepatutnya dimiliki, acap kali menyebabkan perempuan membisu sehingga tidak terdengar suaranya. Aspek itu menyangkut faktor ketiga dari “tiga B”, yaitu behavior.

Perempuan sering kali menerima perlakuan yang kurang adil terutama yang terkait dengan aspek pendidikan dan kesehatan.

Sehingga tertinggalnya kualitas hidup perempuan dibanding laki-laki, khususnya pa- da aspek pendidikan dan kesehatan, erat kaitannya dengan kurang terdengarnya suara mereka.

Adanya sikap seperti itu kadang memberikan citra buruk bagi laki-laki untuk berbuat kurang pada tempatnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, kasus KDRT keadaannya kian mem-buruk.

Pada 2004, misalnya, kasus KDRT tercatat sebanyak 14.020 dan meningkat menjadi 20.391 tahun 2005.

Gambaran yang diungkap dari “tiga B” tadi, sudah cukup memberikan pemahaman atas kita, betapa rendahnya kualitas hidup perempuan di Tanah Air. Bahkan kualitas hidup itu ter-ancam memburuk seiring dengan meningkatnya angka kemiskinan.

Hal itu bisa terjadi karena hadirnya kemiskinan akan menyebabkan porsi pengeluaran terkonsentarasi pada pangan, sehingga pengeluaran untuk nonpangan seperti pendidikan dan kesehatan memperoleh porsi yang kecil atau tidak sama sekali.

Membiarkan kualitas hidup perempuan dalam kondisi demikian dapat dimaknai sebagai tindakan yang tidak manusiawi (inhuman). Sebab hal itu akan melahirkan “tiga B” lainnya, yaitu bodoh, bantet (kondisi fisik stagnan), dan bisu, yang merupakan komplemen dari brain, body, dan behavior.

Perempuan dengan kondisi demikian akan berpotensi melahirkan generasi yang kurang berkualitas sehingga sulit bersaing dengan generasi dari bangsa-bangsa lain yang telah mengalami kemajuan.

Maka atas dasar itu, berbagai upaya perlu segera dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, yang juga akan berdampak pada peningkatan kualitas generasi mendatang.

Penulis adalah Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik BPS

Last modified: 6/3/07


 

Sertifikasi Guru vs Kehormatan Seorang Pendidik

Oleh Etiwati

Masalah uji sertifikasi untuk memberikan tunjangan profesi bagi guru, rasanya menghentak hati nurani penulis sebagai guru. Sakit hati dan malu rasanya, karena predikat sebagai guru selalu “diobok-obok” dengan berbagai istilah yang membuat guru tidak nyaman berdiri di depan kelas menghadapi siswa-siswi yang menjadi peserta didik.

Guru sebutan terhormat untuk mereka yang bertugas mendidik dan mengajar para siswa, akhir-akhir ini menjadi topik hangat untuk dijadikan bahan polemik. Bagaimana tidak? Guru, dalam paradigma pendidikan modern, adalah sebagai salah satu nara sumber dan menjadi fasilitator untuk para siswa.

Sampai saat ini, sosok guru secara umum masih mendapat kehormatan dan penghargaan dari siswa. Akan tetapi, dengan berbagai pemberitaan yang menyoroti guru-guru Indonesia sebagian besar dianggap tidak profesional atau tidak becus, sehingga mereka dianggap tidak berkompeten, tidak berkualitas, dengan mudah dapat dibaca oleh setiap warga negara Indonesia.

Berita-berita seperti itu pun menjadi konsumsi bacaan siswa. Masihkah guru dapat menegakkan kepala ketika di dalam kelas siswa bertanya, “Bu, saya membaca di surat kabar, katanya guru-guru di Indonesia itu tidak profesional ya?”

Pemberitaan gencar tentang polemik profesionalisme dan sertifikasi guru lambat tapi pasti akan menjadi bumerang dalam dunia pendidikan kita sendiri. Saat ini saja, banyak putra-putri Indonesia pergi menuntut ilmu di negeri orang.

Hampir 62 tahun negara republik tercinta ini berdiri, tak terhitung anak bangsa yang telah diajar dan dididik bapak dan ibu guru yang telah mendedikasikan hidupnya, sehingga saat ini mereka sudah ada yang menjadi “orang”, baik dalam pemerintahan ataupun swasta.

Sebagai warga negara Indonesia, bukankah seharusnya kita bangga atas pengabdian mereka? Di tengah deru pembangunan bangsa, keberadaan guru masih memberikan warna, walaupun cacian dan cibiran diterima oleh mereka sementara kelayakan hidup dan kesejahteraan masih menjadi impian.

Harusnya, semua pihak patut melihat dengan kacamata jernih, bahwa guru juga mempunyai keinginan dan kerinduan untuk berkarya mendidik dan mengajar putra-putri bangsa. Guru yang diberikan kepercayaan oleh para orang tua untuk mendidik putra-putri mereka, adalah guru yang juga mempunyai tanggung jawab moral mencerdaskan anak bangsa.

Hal itu jelas, tidak perlu diseminarkan atau dilokakaryakan yang hanya akan menghabiskan biaya. Guru-guru di republik ini masih mempunyai hati nurani mengajar dan mendidik dengan benar siswa-siswinya.

Uji Sertifikasi

Sebagai guru, sudah puluhan kali penulis membaca berbagai tudingan miring bahwa guru dianggap kurang atau bahkan tidak profesional.

Dengan semena-mena, tanpa memikirkan harga diri seorang guru di hadapan siswanya, secara bebas media mengutip pendapat mereka yang menganggap diri ahli untuk memojokkan dan mendiskreditkan guru.

Jika proses pendidikan yang saat ini dilaksanakan oleh para guru di sekolah-sekolah dianggap tidak profesional, serta kurang tepat, mengapa tidak dievaluasi bersama sejak awal? Secara umum, semua menyadari guru mempunyai tanggung jawab berat untuk memajukan bangsa.

Karena itu, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan uji sertifikasi bagi lembaga pendidikan yang mendidik calon-calon guru. Demikian juga lembaga pendidikan harus berani selektif dalam menerima calon guru atau mahasiswanya.

Kalau hal itu sudah berproses dengan benar, uji sertifikasi seorang guru harus sudah dimulai sejak mereka masih menjadi mahasiswa. Dengan demikian, profesi guru bukan hanya menjadi profesi alternatif karena gagal pada pilihan utamanya.

Mencermati permasalahan uji sertifikasi yang bertujuan memberikan legitimasi atau pengakuan keprofesionalan seorang guru, sehingga mereka akhirnya layak atau tidak mendapatkan tunjangan, apakah hal itu memang sesuai dengan apa yang diamanatkan undang-undang?

Hal itu pun membuat penulis sejenak termenung. Seandainya uji sertifikasi itu tidak dikaitkan dengan pemberian tunjangan, apakah mekanisme pelaksanaannya akan seheboh dan serumit ini? Lalu, kalau memang uji sertifikasi harus dilakukan, lembaga mana yang benar-benar dapat melaksanakan dengan objektif dan profesional? Siapa yang akan memberikan legitimasi bahwa mereka memang layak untuk melakukan pengujian?

Pertanyaan lebih menukik adalah apa yang menjadi ukuran konkret sehingga seorang guru dianggap sudah profesional di bidangnya. Apakah dilihat dari administrasinya, cara mengajarnya, proses belajar mengajarnya, ataukah hasil didikannya?

Perlu Penjelasan

Banyak tulisan yang sudah membahas hal itu. Akan tetapi, hal itu tidak cukup hanya sampai pada teori. Perlu penjelasan lebih lanjut bagi guru, sehingga para guru tidak hanya sibuk memikirkan tugas-tugas administratif yang sering kali berganti-ganti.

Adalah sah-sah saja kapan pun pemerintah melakukan uji sertifikasi sepanjang mekanisme dan aturan mainnya jelas. Guru pun ingin terus berkembang untuk menjadi manusia-manusia pem-belajar.

Tanggung jawab mendidik dan mengajar tidak akan ditinggalkan walaupun “tidak dianggap”. Sebaliknya, semua kalangan juga harus introspeksi diri, karena kualitas pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia, tidak semata-mata berada di pundak guru. Apa dan siapa pun kita, mempunyai andil dan peran di dalamnya.

Untuk itu, harapan penulis sebagai guru, berikan arti dan jangan menggerogoti harga diri guru. Guru-guru tetap ingin menegakkan kepala di hadapan siswa dalam menyongsong globalisasi. Tak sepantasnya mengerdilkan guru dengan segala hal yang membuat guru rendah diri.

Jika pemerintah memang menuntut untuk tetap melakukan uji sertifikasi, seyogianya melakukan tanpa pilih-pilih, apakah guru negeri atau guru swasta. Semua guru bertekad sama, mencerdaskan anak negeri.

Penulis adalah guru SMAK 4 BPK Penabur Jakarta

Last modified: 9/3/07


 

Karakter Khusus Gempa Bumi Sumbar

Oleh I Putu Pudja

Daerah Sumatera Barat, Selasa 6 Maret 2007, kembali diguncang gempa bumi tektonik. Guncangan gempa bumi itu dirasakan pada areal yang luas, meliputi hampir seluruh Sumatera Barat, Pekanbaru, Jambi, hingga Singapura dan Semenanjung Malaka.

Gempa bumi itu meluluhlantakkan bangunan di daerah Sumatera Barat, khususnya di Solok, Batusangkar, Bukit Tinggi, Padang Panjang dan sekitarnya. Hingga sehari setelah kejadian, ditemukan 71 korban jiwa meninggal dan ratusan luka-luka. Tanah longsor di beberapa daerah menyertai gempa bumi itu, sebagai karakteristik gempa darat yang terjadi di Sumatera.

Hasil analisis BMG menunjukkan gempa itu merupakan jenis gempa yang didahului gempa pendahuluan, yang berjarak sangat pendek dengan gempa utamanya. Gempa itu diikuti banyak gempa susulan yang berkekuatan relatif sama dengan gempa utamanya.

Hasil analis BMG menunjukkan, gempa utama dari gempa bumi Sumatera Barat itu menunjukkan gempa terjadi pada pukul 12:49:29 WIB, dengan magnitudo mb = 6,0 SR (skala richter). Posisi pusat gempa itu sekitar 10 km barat laut Batusangkar. Gempa itu didahului gempa yang hampir sama kuatnya pada pukul 10:48:30:28 WIB, dengan pusat gempa tidak jauh dari gempa utamanya, dengan kekuatan mb = 5,8 SR.

Keduanya bila dipetakan terletak pada sesar Semangko (banyak pula yang menyebutnya sesar Sumatera), sesar teraktif dan terpanjang di Indonesia. Panjangnya sekitar 1.650 km, membelah Sumatera dari Teluk Semangko Lampung hingga daerah NAD.

Fokal mekanisme dari gempa bumi yang baru saja terjadi menunjukkan aktivitas sesar mendatar. Gempa bumi dengan pergerakan sesar mendatar memang merupakan gempa yang cenderung merusak, sedangkan gerakan mendatar merupakan ciri pergerakan aktivitas sesar Semangko.

Tingginya tingkat kerusakan yang terjadi diakibatkan rusaknya struktur setempat yang sudah beberapa kali diguncang getaran gempa kuat, seperti gempa susulan dari gempa Nias, gempa Aceh, maupun gempa yang terkait dengan gempa Mandailing Natal, 18 Januari 2007. Proses itulah yang diduga mempunyai andil terbesar tingginya kerusakan serta seringnya terjadi tanah longsor menyertai gempa bumi.

Gempa Sumatera Barat merupakan perulangan kejadian gempa merusak yang terjadi sebelumnya, sehingga semakin menunjukkan eksistensi daerah Sumatera Barat yang merupakan daerah aktif gempa dan rawan gempa merusak.

Gempa di Sumbar

Gempa bumi merusak sebelumnya pernah terjadi di Sumatera Barat. Gempa Padang, 26 Agustus 1835, merupakan gempa bumi dengan intensitas maksimum mencapai VIII MMI (Modified Mercalli Intencity), mengguncang Padang dan mengakibatkan kerusakan pada bangunan.

Gempa 28 Juni 1926, dikenal dengan gempa Singkarak. Gempa itu merusakkan sekitar Danau Singkarak, Sijunjung, Muara Bungo, dan Alahan Panjang. Intensitas gempa bumi mencapai IX MMI.

Gempa Pasaman, 8 Maret 1977, kekuatannya 5,5 SR serta intensitas mencapai VIII MMI. Gempa merusakkan lebih dari 1.000 bangunan penduduk di daerah Si- nurut, Talu. Gempa juga menyebabkan tanah terbelah di beberapa tempat.

Gempa Padang Panjang, 16 Februari 2004, dengan kekuatan 5,6 SR, intensitas mencapai V MMI, mengakibatkan lima orang meninggal dunia, tujuh luka-luka, lebih dari 100 rumah penduduk rusak. Gempa Padang, 22 Februari 2004, berkekuatan 6,0 SR, serta intensitas V MMI, mengakibatkan korban satu orang meninggal, empat rumah rusak berat di daerah pesisir selatan. Getaran gempa dirasakan sampai di Singapura.

Dari data tersebut dan data gempa bumi yang baru saja terjadi, terlihat daerah Sumatera Barat, merupakan daerah aktif gempa, yang merupakan daerah yang diapit Zona Subduksi di selatan sebagai pertemuan mega lempeng Erasia dan Indo-Australia, dan di utara adalah sesar Semangko. Keduanya seakan mengapit Sumatera Barat.

Gempa bumi Sumatera Barat, baik yang terjadi di darat maupun di laut, mempunyai kharakter khusus. Getarannya mampu mengguncangkan daerah cukup luas, seperti ditunjukkan gempa 6 Maret 2007 maupun gempa 22 Februari 2004.

Aktivitas gempa yang tinggi diduga mampu menurunkan kekuatan struktur tanah maupun bangunan di daerah itu, sehingga pada saat terjadi gempa, terlebih terjadi di sesar Semangko dengan gerakan mendatar, walau berkekuatan relatif kecil, telah mampu menyebabkan kerusakan bangunan maupun tanah longsor.

Untuk menjaga kemungkinan korban lebih banyak lagi di kemudian hari akibat gempa, pemerintah daerah sebaiknya memikirkan mengadakan penelitian rutin terhadap kerusakan struktur yang terjadi akibat getaran atau guncangan gempa yang sering terjadi di daerah itu.

Penulis aktif di Badan Meteorologi dan Geofisika

Last modified: 12/3/07


 

Bencana Indonesia, Sebuah Sinyal?

Sampurno

Bencana yang bertubi-tubi menimpa Indonesia ak-hir-akhir ini tergolong luar biasa. Belum kering air mata duka kita menangisi tragedi tsunami di Aceh, Yogya diguncang gempa yang hebat.

Belum selesai puing-puing rumah di Yogya dibersihkan, kita dikejutkan semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo yang merenggut sumber penghidupan rakyat dan menyebabkan mereka tiba-tiba menjadi fakir, hidup di pengungsian yang sangat menderita.

Dera bencana tidak juga kunjung berhenti karena ternyata tsunami yang lain menggulung pantai Pangandaran. Selain itu tanah longsor terjadi di mana-mana, mengubur hidup-hidup manusia yang sedang tidur lelap. Bencana tanah longsor terakhir terjadi dalam waktu hampir bersamaan di Manggarai NTT dan di Sumatera Barat yang menelan korban jiwa cukup banyak.

Di penghujung tahun 2006 kita semua dihentakkan oleh musibah tenggelamnya kapal KM Senopati Nusantara yang memuat penumpang lebih 600 orang dan menewaskan (hilang) lebih dari 400 jiwa. Belum selesai menangani musibah itu, pesawat Adam Air dengan 102 penumpang dan awak pesawatnya raib dalam penerbangan Surabaya – Manado.

Rentetan musibah ternyata belum berhenti sampai di situ. Pesawat Adam Air kembali mengalami musibah di Surabaya, mendarat keras sehingga badan pesawat patah dan tidak mungkin diperbaiki lagi.

Dalam waktu hampir bersamaan Kapal Ro-Ro Levina I terbakar di dekat Teluk Jakarta yang menewaskan lebih dari 40 penumpang. Wartawan TV dan petugas Puslabfor Polri juga tewas ketika kapal itu sudah disandarkan dan tenggelam sewaktu diinvestigasi.

Belum reda kesedihan itu, kita dikagetkan musibah pesawat Garuda GA 200 rute Jakarta – Yogyakarta yang terbakar habis di luar ujung landasan Bandara Adi Sutjipto. Ada apa di balik semua musibah itu?

Lalim?

Ada elite kita yang menganggap berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini fenomena alam semata. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan hal-hal yang sifatnya mistik. Tetapi, banyak kalangan yang meyakini bencana dan musibah yang beruntun menimpa negeri ini bukan sekadar fenomena alam yang bebas nilai. Ada “tangan” dan kehendak Tuhan di balik semua ini.

Belajar dari sejarah umat manusia yang terekam dalam teks-teks kitab suci, bencana-bencana besar di zaman dahulu ternyata selalu terkait dengan kelaliman dan dosa-dosa manusia yang melewati batas.

Umat Nabi Nuh berlaku kufur, mengingkari, dan bahkan mencemooh risalah kebenaran Tuhan. Demikian juga umat Nabi Lut digulung badai gurun karena perilaku maksiat yang merajalela. Pertanyaannya, apakah hukum Tuhan di zaman itu berkaitan dengan kedurjanaan manusia masih berlaku di zaman kita ini?

Tidak perlu menunggu jawaban. Sebaiknya kita sebagai bangsa mawas diri – apakah kita memang telah melakukan perbuatan lalim, tidak adil, dan berbagai kekejian yang menjauhkan kita dari rahmat, kasih sayang, dan perlindungan Tuhan?

Bangsa ini dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun. Tetapi, dalam perjalanannya sungguh mengherankan mengapa tiba-tiba bangsa ini menjadi beringas dan garang.

Aura bangsa ini terasa sangar dan jauh dari suasana rukun dan damai. Politisi di parlemen selalu gaduh dan bertikai sepanjang waktu, tentang apa saja bahkan untuk hal-hal sepele.

Pertikaian elite politik kita ini menimbulkan contagion effect dan menyebarkan virus kedengkian sampai pada akar rumput rakyat.

Pernahkah merenungkan, ketika DOM diberlakukan banyak kuburan massal yang tidak dapat dikenali lagi jasad siapa yang terkalang tanah di situ?

Hidup dan nyawa mereka direnggut paksa, banyak wanita menjadi janda papa dan anak-anak menjadi yatim tanpa masa depan. Kita juga masih ingat betapa dahsyat dan memilukan ledakan bom Bali, Marriott, dan Kedutaan Australia. Ratusan manusia yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa, menjadi korban, tewas, dan tercabik-cabik tubuhnya.

Kita menyaksikan “penilep” BLBI ratusan triliun rupiah masih bebas menikmati hasil jarahannya, sementara jutaan buruh tani di pedesaan jatuh miskin tergencet kehidupan sengsara. Beranikah nurani kita berkata kita telah berlaku adil dengan melindungi si miskin yang papa dan menghukum berat mereka yang menyengsarakan rakyat?

Kita masih ingat beberapa waktu lalu seorang menteri menuduh anggota DPR menjadi calo pemondokan haji? Tuduhan itu sekaligus menghukumnya secara keji, karena dia tidak hanya dipecat sebagai anggota DPR tetapi dibuka aibnya di depan publik secara luas.

Yang wirang dan dipermalukan tidak hanya anggota DPR secara pribadi, tetapi juga anak istrinya dan jemaah yang diimaminya. Padahal, belum serupiah pun yang dia ambil dari bisnis pemondokan haji.

Apakah suatu kebetulan, jika beberapa bulan berikutnya terjadi kasus menggemparkan; 200 ribu jemaah haji Indonesia kelaparan pada waktu wukuf. Bukankah itu suatu pelajaran dari Tuhan agar kita tidak berlaku lalim kepada siapa pun?

Kita mesti menyadari, banyak tingkah dan perilaku kita yang tidak terpuji. Sebagai bangsa, kita gemar menyakiti diri sendiri, saling hujat, gemar membuka aib, saling memfitnah di antara sesama warga bangsa. Lihatlah acara infotainment TV, isinya menggunjing dan membuka aib seolah tanpa batas. Tidakkah semua itu harus dihentikan?

Kita harus memiliki kesadaran kolektif untuk kembali ke fitrah sebagai bangsa yang santun dan memiliki kebajikan yang mulia lagi beradab.

Aura Indonesia mesti bening dan lembut, bukan beringas dan garang. Kita tidak bisa membangun negeri ini dengan keberingasan, saling hujat, dan fitnah. Itu akan menjauhkan bangsa ini dari kasih sayang, cinta, dan perlindungan Tuhan.

Penulis adalahDirector of Center for Strategic Management Studies di Jakarta

Last modified: 13/3/07


 

Reformasi atau Re-formasi Sektor Keamanan?

Budi Gunawan

“There is no security on this earth, there is only opportunity.”

Pernyataan tersebut meluncur dari bibir seorang jenderal legendaris. Orang pun terhenyak, mengerutkan kening, mencoba menafsirkan apa yang ingin dikatakan Douglas MacArthur. Tak ada keamanan, yang ada hanya kesempatan, memang terdengar aneh. Apalagi bila mengalir dari seorang yang telah melewati berlusin pertempuran.

Namun, bagi mereka yang mengenal MacArthur, pernyataan tersebut semakin meneguhkan sisi humanitas dan kejujuran sang legenda. Pengalaman panjangnya justru membuatnya lebih banyak melihat. Dan ia ingin menyibak tirai yang selama ini tersingkap. Tak ada keamanan, yang ada hanya kesempatan.

Gemuruh pun lantas saling bersahutan. Kata “keamanan” memang sering kali digunakan sebagai alasan mengemas “kesempatan” yang ingin diraih. Penafsiran itu mungkin tak sepenuhnya benar, namun juga tak seutuhnya keliru.

Data statistik menunjukkan, lebih banyak pertempuran dipicu kepentingan lain, bukan karena alasan keamanan sebagaimana didengungkan.

Sebuah kata atau semantik memang hanya sebuah simbol dan kitalah yang menghidupkannya dengan memberi roh bernama penafsiran. Namun, tak jarang sebuah semantik baku dicoba diberi napas baru, kendati terasa pengap karena tak pas. Tak jauh dari premis MacArthur, semantik yang dicoba diberi roh baru itu adalah “keamanan”, tepatnya keamanan nasional.

Konsep Keamanan Nasional itu sejatinya tidak tercantum dalam konstitusi negara kita, namun sekadar upaya memberi napas baru bagi konsep keamanan yang telah baku. UUD 1945 hasil amendemen sendiri memisahkan konsep pertahanan dan keamanan negara.

Esensi dari perubahan itu adalah kesepakatan bahwa pertahanan dan keamanan adalah dua substansi berbeda, kendati saling berhubungan. Dengan demikian masalah pertahanan dan keamanan tidak dapat dicampuradukkan seperti pada era Orba.

Sebagai aktor utama dalam masalah keamanan, Polri telah dengan baik menerjemahkan hasil amandemen tersebut yang berakar pada semangat reformasi. Ada dua kata kunci keamanan yang diemban Polri, yakni keamanan dalam negeri serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Keduanya dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih bersifat persuasif, sesuai amanat re- formasi dan demokratisasi yang hendak dibentangkan.

Setiap potensi gangguan keamanan diproyeksikan dalam ti-ga bentuk ancaman. Yakni, akar permasalahan atau faktor kore- latif kriminogen, kerawanan atau police hazard, dan bentuk gang- guan yang nyata atau ancaman faktual. Dengan pendekatan reformis itu, setiap persoalan keamanan dipilah sesuai skala dan derajat ancamannya, tidak digeneralisir dan ditinjau dari satu pendekatan saja. Bagaimanapun, pendekatan keamanan semata hanya akan membuat masyarakat menjadi paranoid.

Pola Lama

Strategi dan pola penanggulangan ketiga ancaman tersebut dalam pelaksanaannya pun tidak dilakukan sendiri oleh Polri, namun melibatkan potensi masyarakat dan institusi terkait. Dengan pola itu, semua gangguan Kamtibmas dalam berbagai bentuk kejahatan, pelanggaran hukum, kerusuhan massal, bencana alam dan gerombolan bersenjata, dapat ditanggulangi Polri secara efektif.

Di tengah keefektifan pola serta strategi baru yang dikembangkan Polri di bawah paradima baru Perpolisian Masyarakat, tiba-tiba saja sebuah gagasan baru muncul di bawah tajuk Reformasi Sektor Keamanan dengan maskot bernama RUU Keamanan Nasional. Sebagaimana kasus MacArthur di atas, insinuasi pun bertebaran. Kejengahan masyarakat tentu dapat dipahami.

Pertama, konsep keamanan yang diemban Polri saat ini adalah hasil reformasi sektor keamanan itu sendiri. Jadi tentu terasa aneh, bila hasil reformasi yang berjalan efektif justru ingin direformasi kembali.

Kedua, reformasi yang dilakukan dengan melahirkan RUU Keamanan Nasional justru membawa surut kembali ke pola lama, di mana pertahanan dan keamanan digabungkan kembali di bawah payung semantik yang diberi roh baru dan bernama keamanan nasional. Padahal, berbagai UU produk Reformasi telah membagi habis fungsi pertahanan negara dan keamanan negara ke dalam fung-si TNI, Polri (termasuk Polsus, PPNS), departemen-departemen dan LPND, sesuai bidang tugas masing-masing.

Kaji ulang atas sejumlah peraturan perundang-undangan memang merupakan keniscayaan, sepanjang hal tersebut sesuai kebutuhan dan dilandasi dasar pertimbangan matang, serta substansi yang konsisten terhadap tujuan perubahan tersebut.

Namun, RUU Keamanan Nasional ini justru mengarah pada perombakan total penataan keamanan yang diamanatkan UUD 1945 serta paradigma yang dipancangkan pada era reformasi ini.

Tak aneh bila banyak pertanyaan menyelinap, apakah RUU Keamanan Nasional ini reformasi atau re-formasi sektor keamanan? Keduanya memang berbeda. Yang satu format ulang untuk menatap masa depan, dan satunya lagi kembali ke format semula.

Reformasi seharusnya bertujuan memformat kembali, namun tak sedikit yang mengartikannya kembali ke format semula. Mungkin kita memang membutuhkan kearifan seorang MacArthur.

Penulis adalah pemerhati kebijakan publik

Last modified: 14/3/07


 

Bengkel Pesawat ala Kaki Lima Menuai Hasil

Oleh Agus Pambagio

Bengkel pesawat udara ka- ki lima? Yang bener aja! Emang ada? Gila aja kalau ada. Pantesan kecelakan pesawat-pesawat udara yang merenggut ratusan nyawa di Republik tercinta ini tak kunjung henti.

Kalimat tersebut muncul saat penulis berdiskusi bebas dengan teman-teman, tak lama setelah pesawat Adam Air hilang dari radar dan sampai hari ini belum ketahuan berada di mana.

Kok bisa ya? Masak pesawat disamakan dengan metro mini dan bemo? Legalkah bengkel-bengkel tersebut? Kesimpulan sementara dari obrolan tersebut (tanpa mendahului KNKT): “Pantesan pesawat kita banyak yang bermasalah dan celaka”, karena diperbaiki di bengkel kaki lima.

Pesawat udara merupakan alat transportasi yang paling aman di dunia, bahkan lebih aman daripada naik sepeda. Asalkan, semua perawatan dan pengoperasiannya sesuai dengan aturan yang dibuat oleh ICAO (International Civil Aviation Organization).

Untuk keselamatan, semua operator pesawat udara harus mengikuti seluruh prosedur yang tercantum dalam Annex 13 dari ICAO. Sedangkan untuk bengkel perawatan dan perbaikan pesawat atau yang lazim disebut Approved Maintenance Organization (AMO) harus mengikuti dengan ketat yang diatur dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 145. Materi CASR diadopsi dari beberapa regulasi internasional lainnya, seperti FAA, JAA, dan sebagainya.

Di Indonesia ternyata sampai saat ini ada 57 AMO yang melayani kurang lebih 630 pesawat penerbangan sipil, ditambah kurang lebih 170 pesawat militer.

Jadi tidak heran bisnis AMO terus berkembang seiring dengan berkembangnya bisnis penerbangan saat ini. Namun, dari 57 AMO yang tersebar di Jakarta (Cengkareng, Bogor, Halim, Pondok Cabe), Bandung, Malang, dan Jayapura; hanya ada tiga – empat AMO yang secara ketat melaksanakan CASR 145, seperti Garuda Maintenan- ce Facility (GMF), AMO milik Merpati Nusantara, AMO milik Pelita Air Service, dan AMO milik PT DI.

Sisanya tidak mengikuti CASR 145, tetapi hanya di-approved oleh Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU), Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Belum lagi kalau kita bicara soal sumber daya manusia yang ada di AMO. Dari 57 AMO dengan kurang lebih 5.000 tenaga kerja, ternyata tidak semua tenaga kerja yang ada bersertifikat sebagai teknisi pesawat udara (baik mesin, struktur maupun elektronika).

Ironisnya tidak ada langkah-langkah penertiban yang konkret dari DSKU selaku regulator dan sekaligus inspektor atau auditor.

Aneh tapi Nyata

Patut diduga, lemahnya penegakan hukum oleh regulator terjadi karena aparat DSKU ternyata juga operator dan bahkan pemilik AMO. Bisa dibayangkan betapa hancurnya dunia penerbangan kita karena semua pihak yang bertanggung jawab telah mengabaikan Annex 13 ICAO hanya demi “rupiah” tetapi mengorbankan 30 juta konsumen dan industri penerbangan nasional.

Sebuah AMO yang bertanggung jawab harus menerapkan quality system dalam manajemennya, dan dalam melakukan inspeksi dan perbaikan pesawat menerapkan tarif yang tinggi. Tarif yang tinggi ini umumnya dikeluhkan oleh maskapai penerbangan baru yang sering disebut maskapai bertarif murah.

Maka dari itu munculah AMO-AMO ala kadarnya alias kelas pinggir jalan yang harga dan standar pengerjaannya bisa dinegosiasi.

Sebagai contoh pada saat sebuah pesawat terbang B 737 200 milik sebuah maskapai penerbangan dikenakan pengecekan standar atau rutin setelah 4.000 jam terbang (biasa disebut C Check), ternyata ditemukan adanya kebocoran tangki bahan bakar yang ditambal sementara dengan sabun, layaknya tangki motor yang bocor.

Namun maskapai penerbangan pemilik pesawat tersebut hanya ingin membayar biaya pengecekan rutin saja, tidak mau membayar biaya perbaikan tangki yang bocor.

Kalau AMO-nya approved dan mengikuti CASR 145, maka AMO tersebut tidak mungkin akan menandatangani release document pesawat tersebut. Untuk itu oleh pemiliknya, pesawat tersebut dipindahkan ke AMO pinggir jalan ala kadarnya dan meskipun kerusakan tidak diperbaiki, release documentnya keluar dan oleh DSKU diberikan COA atau sertifikat laik terbang. Aneh memang tapi nyata.

Akhir kata jangan heran jika saat ini 30 juta penumpang atau konsumen pesawat udara harus ikut arisan celaka akibat buruknya pelaksanaan regulasi, khususnya yang terkait dengan keselamatan dan keamanan penerbangan. Siapa yang menarik arisan, maka dialah yang akan menjadi korban. Bisa para pembaca sekalian atau penulis ataupun teman dan saudara kita semua.

Untuk itu pemerintah harus mau merestrukturisasi total DSKU karena kunci keselamatan penerbangan dan kelangsungan bisnis penerbangan di Indonesia ada di tangan mereka. Menteri Perhubungan tidak perlu mundur jika berani merombak dan menata ulang DSKU.

Selamat bekerja Pak Menteri Perhubungan.

Penulis adalah pemerhati kebijakan publik dan konsumen

Last modified: 15/3/07


 

REFLEKSI

“Becik Ketitik Olo Ketoro”

Agus Wiyanto

Salah satu konsep filosofi Jawa adalah “becik ketitik olo ketoro”. Berbuat baik dan melakukan perilaku kebajikan akan dilihat orang, tapi berbuat jelek atau melakukan tindak kejahatan akan diingat orang selamanya. Itu adalah salah satu konsep penting untuk diterapkan dalam mengarungi kehidupan dewasa ini.

Kita menjadi orang baik, yang menyebarkan aroma kebajikan dalam seluruh denyut kehidupan melalui tutur kata yang teranyam erat dalam perilaku hidup kita, baik di rumah, di pekerjaan, maupun di tengah masyarakat.

Atau, menjadi orang yang melakukan tindak kejahatan, yang demi kenikmatan sesaat yang direguknya mendapat keuntungan material duniawi, tapi hasilnya menuai stigma negatif dari masyarakat. Suatu perilaku yang mendapat cibiran bibir selamanya, bahkan sulit dilupakan orang. Hilang semua respek kepercayaan ke- pada kita!

Pilihan ada di tangan kita. Karena kita aktor sekaligus sutradara yang menuliskan naskah untuk kita pentaskan dalam panggung kehidupan ini. Siapa kita, dan mau jadi apa kita dalam melakoni peran kehidupan yang seharusnya kita jalankan. Pertanyaan reflektif itu patut diajukan, sebelum mengambil pilihan.

Ada orang baik, jujur, dan idealis, setelah masuk dalam kerasnya arus kehidupan dunia, berubah perilakunya menjadi orang yang brengsek dan menyebalkan. Sebaliknya, ada juga orang yang jahat perilakunya, kemudian hari menjadi insaf dan mau bertobat seratus delapan puluh derajat.

Pilihan dari orang yang baik menjadi brengsek, tentu bukan ukuran yang paling ideal, maka jangan pernah dilakukan! Sebaliknya dari orang brengsek menjadi bertobat, juga baru ukuran minimal yang dicapainya, membutuhkan perjuangan kuat dan tekad keras untuk dapat mencapai yang terbaik yang dapat diraih.

Ukuran standarnya, adalah bagaimana di tengah kehidupan yang tampak belum ideal, kita tidak terpengaruh situasi lingkungan sekitar, bahkan dapat secara terus-menerus, tanpa pernah merasa bosan, aktif menyebarkan aroma kebaikan dan kebajikan. Paulus menandaskan kepada umat beriman pada waktu itu: Jangan kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:21)

Senada dengan harapan Rasul Paulus, kita diingatkan pada nasihat bijak yang selalu didengungkan dan ditanamkan orangtua kepada buah hatinya sepanjang zaman, agar anaknya dapat bertumbuh menjadi orang baik. Selama hidup, tanamlah terus kebaikan dan kebajikan bagi sesama. Nasihat itu tidak pernah luntur dimakan waktu, atau tenggelam di pusaran arus zaman.

Masalahnya sekarang, apakah nasihat orangtua itu berhenti menjadi pepesan kosong bagi seorang anak? Atau sebaliknya akan meresap dan mengkristal menjadi nilai-nilai batin anak, yang kelak akan tumbuh berkembang pada saat anak-anak disiram nilai-nilai moral oleh guru di sekolah?

Nasihat bijak yang ditabur orangtua kepada buah hatinya, akan mendatangkan rasa puas bagi orangtua kalau kita terus- menerus menabur kebajikan. Tidak peduli apakah sekarang ini si anak menjadi selebriti, presiden, menteri, atau pejabat publik, apakah menduduki jabatan direktur perusahaan ternama, atau hanya menjadi orang kecil yang tampil biasa saja, tetapi tak pernah berhenti dan puas menanam kebajikan untuk sesamanya.

Puas Menjadi Orang?

Becik ketitik olo ketoro mengingatkan kita tentang peran yang harus dilakonkan pemimpin kita, ketika berada di garda paling depan. Mereka adalah penggerak gerbong lokomotif yang akan membawa bangsa kita menembus lorong-lorong kemajuan di masa mendatang.

Dengan meninggalkan kekurangan dan keterpurukan masa silam, bangsa kita yang sedang dilanda berbagai tantangan dan persoalan, krisis yang bertubi-tubi, bencana yang tak pernah usai, dapat bangkit kembali menjadi bangsa yang berdiri tegak, sejajar dengan bangsa lain di dunia. Sebagai penggerak kemajuan, apa yang sebenarnya sedang mereka lakonkan dan tampilkan?

Tentu saja, mereka sekarang sudah menjadi “orang”. Bahkan menjadi sosok elite dengan derajat dan pangkat dan kekuasaan yang ada padanya.

Masihkah mereka tanpa bosan menanam kebaikan dan terus menabur kebajikan? Ketika mere- ka berada di garda paling depan dengan orang-orang yang dipimpinnya maju melangkah? Atau ketika mereka berada di lini tengah, bersama-sama rekan-rekan elite lainnya membuat keputusan- keputusan publik? Atau juga ketika berada di belakang layar ber-sama para pendukung yang su-dah menghantarkan ke tampuk kekuasaan?

Becik ketitik olo ketoro menekankan untuk jangan ambigu dalam melangkah dan mengambil keputusan. Jangan pula menampilkan wajah ganda, yang ramah sekaligus bengis dalam suatu lakon, yang bisa dimainkan bersama. Ketika berada di tengah rakyat berbeda seratus delapan puluh derajat saat berada di kursi empuk. Atau, menjadi pemimpin yang mengikuti ke mana angin bertiup, ke situ mereka melangkah pergi, yang mendatangkan rasa aman bagi dirinya.

Mereka akan menjadi pemimpin yang sebenarnya makin ter- alineasi dengan lingkungan hidupnya, dan berada makin berada jauh dari konstituen pemilihnya yang ikut berjasa menghantarkan ke tampuk kekuasaan.

Becik ketitik olo ketoro mengingatkan kita dalam menjalani lakon hidup yang benar dalam bidang apa pun. Hidup adalah suatu pilihan untuk memerankan lakon yang harus dijalankan di panggung kehidupan. Lakon hidup itu adalah pilihan bebas diri kita sendiri.

Tentu saja melakoni hidup secara benar dapat dilakukan siapa saja. Asalkan dia punya tujuan hidup yang konsisten, ditambah mempunyai motivasi murni, tekad kuat, sehingga dalam hidupnya tampil sebagai orang yang dapat hidup dengan rendah hati, jujur, dapat dipercaya dan diandalkan dalam kehidupan ini.

Penulis adalah rohaniwan

Last modified: 17/3/07


 

REFLEKSI

Cerita dari Asrama

Andar Ismail

Apakah babak hidup yang paling memperkaya perkembangan diri saya? Tinggal di asrama. Bukan kos, melainkan betul-betul asrama dengan puluhan penghuni.

Hidup di asrama sangat intensif. Kita tinggal bersama-sama selama 24 jam sehari sepanjang tahun. Tiap penghuni mempunyai perangai dan watak berbeda. Ada yang lembut, ada yang cowong, yaitu berbicara dengan suara berkoar-koar. Ada yang resik, ada yang jorok. Ada yang sopan, ada yang belegug, yaitu kasar dan cuek. Di asrama kita belajar mengenal dan menghadapi sifat orang yang berbeda-beda.

Karena sepanjang hari berada bersama-sama, maka sikap dan perilaku seseorang mudah berdampak pada sesama penghuni asrama. Dampak positif interaksi sosial yang intensif ini adalah saling kenal secara mendalam, keakraban dan kerja sama. Sebaliknya, dampak negatifnya adalah mudah terjadi salah paham, perselisihan, dan pertengkaran. Semua hal itu sudah kenyang saya alami di asrama.

Berapa lama saya tinggal di asrama? Keseluruhan hampir sembilan tahun. Di asrama Malang, saya tinggal selama enam tahun dari usia 17 sampai 23 tahun. Kemudian di asrama Kyoto selama setengah tahun pada usia 39 tahun. Di asrama Seoul selama setahun pada usia 42 tahun. Setelah itu selama setahun di asrama Virginia pada usia 44 tahun.

Pelajaran apakah yang saya peroleh dari pengalaman hidup di asrama? Pelajaran bersikap mendahului. Apakah maksudnya? Mendahului apa? Mendahului dalam saling menghargai dan bertenggang rasa. Kalau mau dihargai orang lain, kitalah yang lebih dulu menghargai dia. Kalau terganggu oleh suara cowong, kita berbicara lembut.

Kalau tidak mau orang lain membuang sampah sembarangan, kitalah yang lebih dulu menyapu sampah. Kalau ingin orang lain bersikap baik, kita lebih dulu bersikap baik kepadanya. Pokoknya, kalau mau diperlakukan dengan respek, kita mendahului bersikap respek kepada dia.

*

Saling mendahului seperti itulah yang dimaksud oleh Rasul Paulus. Tulisnya, “Hendaklah kamu…. saling mendahului dalam memberi hormat” (Rm 12:10). Istilah yang digunakan Paulus adalah prohegoumenoi (=saling mengatasi, saling mendahului; berdasarkan kata kerja prohegeisthai yang berarti menghargai).

Secara harfiah ayat itu berbunyi: Dalam hal hormat, saling menghargai lebih tinggi. Jadi, yang dimaksud dengan “memberi hormat” di sini bukanlah manggut-manggut, melainkan bersikap hidup respek. Jangan menunggu orang lain bersikap respek, kitalah yang terlebih dulu bersikap respek kepadanya.

Itulah maksud Paulus dengan saling mendahului, yaitu saling mendahului dalam hal memperhatikan, menolong, dan menghargai.

Saling mendahului adalah sikap hidup Allah, Jumat Agung dan Paskah adalah simbolisme Allah berkorban dan mengasihi lebih dulu dari kita. Tertulis, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4:19).

Hubungan seperti itu diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di asrama, sebab meskipun kita tinggal bersama puluhan orang, sebenarnya kita sebatang kara karena jauh dari keluarga. Kebutuhan itu sangat terasa jika kita jatuh sakit.

Di asrama Malang saya pernah kena malaria. Selama tiga minggu saya terkapar dengan demam tinggi. Di situ tidak ada termometer dan alat kompres. Kepala saya dibalut handuk yang dicelup air sumur. Makanan dibawakan teman dari kamar makan yang berjarak sekitar seratus meter menaiki bukit. Obat yang diberikan hanya tablet kina. Sekujur tubuh lemas terbaring di ranjang tanpa kasur yang hanya beralas kertas koran dan tikar daun pandan. Tanpa teman mustahil saya bertahan.

*

Di asrama Virginia penyakitnya lain lagi. Pada suatu hari tiba-tiba pinggang saya nyeri sekali. Saraf tulang belakang terjepit. Pinggang terasa sakit hingga sulit bergerak. Asrama itu merupakan co-ed dorm, yaitu pria dan wanita tinggal dalam satu gedung. Hari itu juga tiga teman wanita datang. Mereka menawarkan pertolongan untuk memijit. Mau banget saya! Kapan lagi dipijit oleh nona-nona Amerika?

Apakah sesudah dipijit jadi sembuh? Boro-boro sembuh, malah makin nyeri. Ketiga nona itu memang cantik-cantik dan wangi-wangi, tetapi mana bisa mereka memijit? Untunglah ada seorang teman pria yang pandai memijit. Ia berkebangsaan Samoa. Tubuhnya kekar dan tinggi besar. Telapak tangannya tebal dan lebar.

Dua cerita itu hanya sekelumit dari sekian banyak pengalaman hidup di asrama. Saya merasa beruntung pernah tinggal sekian tahun di asrama dan merasakan interaksi sosial yang multikultural.

Tinggal di asrama meninggalkan banyak hal. Asrama Malang meninggalkan cacat yang sampai hari ini masih saya rasakan yaitu gangguan pendengaran akibat overdosis tablet kina. Sedangkan asrama Virginia meninggalkan kenangan manis dipijit oleh tiga nona Amerika. Biar jelek-jelek begini, saya ini pernah dipijit oleh tiga bintang film Hollywood! Emang bener, mereka mirip Julia Roberts, Jen- nifer Lopez, dan Nicole Kidman!

Penulis adalah pengarang buku-buku renungan “Seri Selamat” BPK Gunung Mulia

Last modified: 30/3/07


 

Kritik terhadap Rancangan Undang-Undang

Pengkhianatan bagi Demokrasi

Thomas Koten

Aancangan perubahan paket undang-undang bidang politik yang mulai diluncurkan ke publik untuk dievaluasi, mencuatkan kontroversi tajam. Mengapa? Karena dalam rancangan paket undang-undang itu tercantum syarat sarjana bagi calon presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD.

Syarat itu naik satu tingkat lagi karena dalam UU No 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tercantum ketentuan seorang presiden, anggota DPR, dan DPRD, cukup berijazah SMA.

Mencuatnya kontroversi itu disebabkan karena materi syarat sarjana itu melahirkan sejumlah persoalan. Pertama, syarat itu muncul di tengah situasi dan kondisi pendidikan nasional yang belum menjamin semua warga negara dapat menikmatinya.

Misalnya, seluruh anak Indonesia usia sekolah telah, sekurang- kurangnya, menikmati pendidikan SD sembilan tahun atau SMA yang murah, bahkan gratis.

Atau, kalau negara melaksanakan pendidikan tinggi yang murah dan terjangkau semua anak bangsa. Bukankah pendidikan perguruan tinggi masih menjadi barang mewah yang sulit dijangkau sebagian besar masyarakat?

Kedua, syarat ijazah tersebut menyuburkan mentalitas formalistik bagi bangsa ini. Syarat itu juga kembali memperlihatkan betapa pikiran tentang kualitas di negeri ini sangat formalistik. Seolah manusia yang berkualitas pemimpin dan memiliki kapasitas intelektual hanyalah jebolan bangku kuliah.

Padahal, banyak manusia berkualitas lahir dan dibesarkan dari dunia pendidikan nonformal. Banyak orang besar mengakui karakter kuat dan integritas moral yang mereka punyai hasil didikan dari pergulatan hidup yang penuh tantangan di luar kampus.

Ketiga, formalisme ijazah merupakan hak asasi warga yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar menegaskan, jabatan presiden, DPR, dan DPRD, terbuka bagi semua orang. Ketika undang-undang mengatur syarat seorang presiden dan anggota legislatif harus sarjana, undang-undang itu telah membelokkan DPR dan presiden dari hakikat sebagai salah satu tonggak institusi demokrasi menjadi institusi akademik. Ini mengkhawatirkan.

Pengkhianatan

Karena itu, undang-undang tersebut, selain memunculkan sejum- lah persoalan di atas, sesungguhnya menodai demokrasi. Bahkan di dalamnya terjadi pengkhianatan serius terhadap konstitusi demokrasi.

Sebab, undang-undang dasar yang menegaskan jabatan presiden termasuk anggota DPR, terbuka bagi semua orang, memiliki korelasi dengan hak setiap warga negara untuk berbicara dan berorganisasi.

Dengan rancangan undang- undang seperti itu pula, ruang kehidupan berbangsa kini tampak mulai terbangun dalam bentuk kotak- kotak dan pagar-pagar “eksklusivisme”, yang di dalamnya sekelompok orang merasa aman, nyaman, secara eksistensial (ontological security), namun menutup diri dari, bahkan, meniadakan pihak-pihak lain.

Ini secara paradoks, meminjam Yasraf Amir Piliang (2006), dapat menciptakan ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang di- bangun oleh prinsip “fundamen- talisme”.

Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of the Others (1999) menjelaskan “fundamentalisme: sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan, prinsip, ambisi pribadi, tujuan-tujuan tertentu yang individual atau kelompok, dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi, eksklusivisme, dan eksistensialisme”.

Dan fundamentalisme itu mencakup fundamentalisme politik, ekonomi, kesukuan, kebudayaan, dan agama. Fundamentalisme yang eksklusivistik-individualistik dan mementingkan kelompok, memang selalu berujung pada konflik dan kekerasan berdarah, minimal melahirkan ketegangan-ketegangan dalam aneka persoalan sosial.

Situasi itu semakin mengkhawatirkan bila demokrasi itu sendiri tidak dikelola dengan baik, atau ruang publik yang demokratis tidak dibangun dengan baik oleh negara.

Dalam konteks proses demokratisasi yang tengah berlangsung, kembali meminjam Pi- liang, dikuasainya setiap diri oleh nafsu amarah dan politik kekerasan menunjukkan ketidakmampuan bangsa ini membangun “ruang publik” demokratis, tempat aneka persoalan bangsa dibicarakan dan benih-benih ketidakadilan, dominasi, dan diskriminasi, dienyahkan.

Sebab, demokrasi sesungguhnya tempat yang di dalamnya setiap orang dapat merasa aman dan nyaman secara eksistensial, khususnya dari ancaman kecemburuan, kedengkian, ketidakadilan, kesewenangan, kekerasan pihak luar, dengan mengembangkan proteksi diri berlebihan.

Jadi, adanya rancangan undang-undang seperti itu, di samping mengkhianati demokrasi, juga melahirkan demokrasi fundamentalis yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Di sinilah demokrasi kita semakin gagal membangun masyarakat berkeadilan, yang di dalamnya setiap warga bangsa dapat mengaktualisasikan potensi diri secara bebas dan nyaman. Bukankah rancangan undang-undang bidang politik itu memunculkan bibit baru yang dapat menghasilkan masyarakat bangsa dan negara yang nondemokratik?

Sebuah Harapan

Perlu diakui, dalam realitas demokrasi di mana keanekaragaman sangat dihargai dan kesetaraan dalam komunitas berbangsa dan bernegara diagungkan dan diapresiasi, kadang kala timbul keinginan- keinginan dari penguasa atau kelompok elite tertentu untuk mencederai dan merepresinya.

Inilah patologi sosial dan politik yang selalu muncul di mana pun, akibat berbagai ketidakpuasan dan timbulnya niat-niat pribadi eksklusivistik. Keinginan pribadi penguasa yang ambisius dan represi minoritas di mana pun kerap dapat menjebol demokrasi meski terkawal seketat apa pun.

Lalu, apa yang mesti dilakukan? Jika ingin tetap dijuluki demokratis, negara harus terus menciptakan ruang demokrasi yang memungkinkan setiap warga bangsa merasa adil dan setara dalam perbedaan. Karena demokrasi juga merupakan proses panjang kebiasaan dan pembiasaan bersama meski berbeda, yang terus-menerus.

Demokrasi hakikatnya adalah kepercayaan akan kebijakan bagi semua orang. Jauh dalam lubuknya, lebih dari sekadar kepercayaannya akan kebebasan sebagai fitrah manusia, demokrasi adalah haluan yang berusaha menempatkan keadilan dan kesetaraan dalam perbedaan segenap manusia yang memiliki keunikan masing-masing di atas segala-galanya.

Di sinilah formalisme ijazah, bukan saja melahirkan mentalitas formalistik, melainkan mengkhianati demokrasi, di samping menumbuhkan demokrasi fundamentalis yang berujung pada lahirnya konflik-konflik dan kekerasan-kekerasan yang bagi negeri ini kerap memunculkan ancaman bagi eksis- tensinya.

Sayang, di saat kita mulai mengakui diri menjadi bagian sah dari kehidupan demokratis dalam disiplin moral politik, akhirnya menjadi kontradiktif ketika masih juga muncul elite negeri yang mencoba mencederai demokrasi dan mengkhianatinya.

Penulis tidak tahu alasan pemunculan rancangan yang bukan merupakan potensi liberatif dan menjadi spirit bagi perkembangan bangsa yang maju dan demokratis ini. Hanya saja kita berharap, kiranya rancangan perubahan paket undang-undang bidang politik itu belum terlambat ditarik kembali. Itu pun seolah terasa mustahil bagi bangsa yang belum tumbuh “budaya mundur”, meski itu hanya berwujud kata-kata.

Penulis adalah Direktur Social Development Center, Jakarta

Last modified: 21/3/07


 


Persenjataan Nuklir sebagai Masalah Moral

K Bertens

Ketika Perang Dingin sedang berlangsung antara Blok Komunis yang bergabung dalam Pakta Warsawa dan Blok Barat yang bersatu dalam NATO, persenjataan nuklir menjadi masalah moral yang besar. Persenjataan baru ini, yang dimungkinkan oleh fisika nuklir sebagai ilmu dan teknologi baru, menimbulkan banyak pertanyaan baru pula.

Senjata nuklir tidak lagi termasuk kategori senjata yang dikenal sampai saat itu. Senjata konvensional dipakai oleh tentara melawan tentara. Tentu saja, sebagai alat yang bertujuan membunuh, setiap senjata adalah barang yang bermasalah. Dan perang yang melibatkan senjata selalu merupakan kejadian yang harus disesalkan. Namun demikian, semua orang akan mengakui, terjadinya perang kadang- kadang tidak dapat dihindarkan. Bila musuh menyerang negara kita, kita berhak membela diri.

Dalam pemikiran etika, sudah lama diterima pengertian “perang yang adil” (just war), artinya perang yang secara moral dapat dibenarkan, meskipun pihak yang terlibat dalam perang itu memakai senjata destruktif. Dalam kondisi seperti itu, senjata dipakai melawan yang mempunyai senjata juga: tentara melawan tentara.

Senjata nuklir sama sekali melampaui kondisi konvensional itu. Senjata nuklir (bersama senjata biologis, kimia, dan sebagainya) termasuk yang sekarang disebut senjata pemusnah massal. Bila senjata serupa itu dipakai, yang terkena bukan saja tentara musuh, melainkan juga dan malah terutama, warga sipil yang tidak ikut dalam perang atau yang dalam bahasa Inggris disebut noncombatants: anak-anak, ibu-ibu, orang berusia lanjut, dan sebagainya. Dengan membabi buta, senjata nuklir membunuh seluruh penduduk suatu kota atau daerah. Banyak etikawan menyimpulkan: pemakaian senjata nuklir tidak pernah dapat dibenarkan. Senjata-senjata itu menurut kodratnya tidak etis.

Untuk memperkuat argumentasi ini, para etikawan menunjuk kepada dua bom atom yang pernah dipakai dalam sejarah, yaitu pada akhir Perang Dunia II. Bom-bom atom itu dipakai terhadap kota-kota Jepang Hiroshima dan Nagasaki, bukan terhadap tentara Jepang.

Ratusan ribu warga sipil menjadi korban pembantaian nuklir ini. Warga yang kena secara langsung “menguap” begitu saja dengan hanya meninggalkan bekas di atas tanah, karena kepanasan yang luar biasa besar. Ratusan ribu warga sipil lain meninggal dalam tahun-tahun kemudian, karena radioaktivitas yang terlepas dalam eksplosi nuklir itu mengakibatkan banyak jenis kanker yang mematikan.

Fenomena terakhir itu menyajikan argumen lain lagi melawan persenjataan nuklir. Senjata nuklir bukan saja dahsyat dalam mengakibatkan banyak korban, dahsyatnya sama besar dalam merusak lingkungan hidup, dengan radioaktivitas yang disebarkan karenanya.

Kalau dipakai pada skala besar, bom atom sanggup menghancurkan seluruh kehidupan di bumi ini. Dan arsenal nuklir yang dikembangkan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat beserta sekutunya memang mempunyai kesanggupan destruktif ini. Dengan demikian menjadi lebih jelas lagi, senjata semacam itu tidak etis. Pembuatannya, pemilikannya, apalagi pemakaiannya, tidak pernah dapat dibenarkan.

Teori “Deterrence”

Walau begitu, saat Perang Dingin dilakukan usaha juga untuk membenarkan sekurang-kurangnya pembuatan dan pemilikan senjata nuklir. Usaha itu cukup berhasil dengan apa yang disebut the deterrence theory. Senjata ini dianggap sebagai the nuclear deterrent.

Ungkapan itu agak sulit untuk diterjemahkan dalam bahasa In- donesia. Dalam pers Indonesia kini sering dibaca terjemahan “daya tangkal nuklir”, tapi terjemahan ini tidak seluruhnya memuaskan. To deter berarti: membuat orang lain takut untuk melakukan sesuatu, sehingga ia tidak akan melakukannya. Persenjataan nuklir tidak mempunyai daya tangkal seperti dimiliki penangkal petir, umpamanya. Daya tangkal yang dimiliki oleh persenjataan nuklir bersifat preventif.

Teori deterrence berpikir sebagai berikut. Karena Blok Komunis dan Blok Barat sama-sama memiliki arsenal destruktif itu, mereka tidak pernah akan memakainya. Seandainya Blok Komunis nekat melakukan serangan nuklir, Blok Barat pasti akan memukul balik dengan serangan lebih hebat lagi. Dengan demikian muncul keadaan paradoksal tapi nyata: pemilikan senjata nuklir oleh dua pihak yang bermusuhan itu menjamin bahwa persenjataan ini tidak pernah akan dipakai.

Perdamaian didasarkan atas keseimbangan kekuatan nuklir. Dalam konteks ini, pada tahun 1970 diadakan Traktat Nonproliferasi Nuklir untuk membatasi jumlah negara yang memiliki senjata nuklir. Kemudian menyusul lagi Strategic Arms Limitation Talks (SALT) dengan maksud membatasi perlombaan persenjataan nuklir. Semua upaya ini bertujuan menjaga keseimbangan kekuatan.

Ketika Uni Soviet runtuh sebagai rezim komunis pada 1991, situasi berubah total. Adanya persenjataan nuklir tidak dirasakan lagi sebagai masalah etis. Memang benar, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis tetap memiliki arsenal nuklirnya, tetapi hal itu tidak la- gi dinilai sebagai ancaman untuk pihak lain.

Ketika India dan Pakistan beberapa tahun kemudian diketahui memiliki senjata nuklir, hal itu dialami sebagai gejolak sebentar, tetapi tidak lama karena keadaan antara dua negara yang sering bertentangan itu tampak tetap terkendali.

Negara Bajingan

Akhir-akhir ini persenjataan nuklir menjadi masalah moral lagi karena ulah Korea Utara dan Iran. Korea Utara diduga sudah melakukan percobaan nuklir dan secara resmi menarik diri dari Traktat Nonproliferasi Nuklir pada 2003. Iran sedang mengembangkan program nuklir untuk membangkit- kan energi, tapi dicurigai mempunyai tujuan lebih jauh membangun sistem senjata nuklir.

Dua negara itu mempunyai pemimpin diktatorial yang tidak dapat diandalkan dalam kerja sama internasional. Di mata banyak negara lain mereka merupakan rogue states atau negara bajingan. Ulah mereka tidak bisa diprediksi. Siapa tahu, satu hari mereka bersedia bekerja sama dengan teroris.

Dengan demikian teori deter-rence dulu tidak lagi berlaku di sini. Jika sekarang ada teroris yang tidak menghargai kehidupan, hingga nekat membunuh diri dengan maksud memukul pihak lain, negara bajingan bisa mempunyai sikap yang sama. Mereka bisa tidak peduli lagi dengan nasib mereka sendiri, asalkan musuh (di mata mereka) dirugikan sebanyak mungkin.

Kini semakin terdengar suara yang menyerukan penyelesaian masalah nuklir secara definitif. Sekarang saatnya -mereka tegaskan- untuk mengadakan perlucutan nuklir total. Dana luar biasa besar yang dihemat dengan itu, lebih baik dipakai memerangi kelaparan dan penyakit yang masih melanda banyak negara miskin. Tentu saja, hal itu hanya bisa dilaksanakan dalam rangka PBB. Jika masih ada satu dua negara yang merasa enggan ikut dalam persetujuan ini, mereka dapat dipaksakan oleh komunitas internasional.

Keamanan dunia hanya mungkin tercapai, bila semua negara ikut. Dari sisi lain, kalau kita jujur, perlu kita akui, keadaan sekarang tidak adil dan tidak logis. Selama masih ada negara yang boleh memiliki senjata nuklir, mengapa negara lain tidak boleh? Bila pemakaian alat perang ini secara etis tidak bisa dipertanggungjawabkan, satu-satunya langkah yang logis adalah perlucutan nuklir total.

Mengapa Indonesia tidak mengambil inisiatif ke arah itu? Tahun 2007 ini Indonesia menduduki kursi di Dewan Keamanan dan dengan demikian ikut bertanggung jawab langsung atas keamanan dunia. Indonesia sendiri -syukurlah!- tidak berambisi memiliki senjata nuklir.

Sudah ada beberapa negara yang secara eksplisit menyatakan tidak mempunyai ambisi itu. Mengapa tidak mengerahkan semua negara yang sependapat? Dengan demikian Indonesia dapat memberikan kontribusi besar kepada perdamaian dunia.

Penulis adalah anggota staf Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya, Jakarta

Last modified: 23/3/07


 

Bulog ke Depan Harus Berkiprah di Kancah Global

Prof Dr Bustanul Arifin

Sebagaimana diketahui, Mustafa Abubakar telah dilantik menjadi Direktur Perum Bulog, menggantikan Widjanarko Puspoyo yang sedang berurusan dengan penegak hukum. Beberapa skeptisme, tantangan dan harapan dibebankan kepada Mantan Pejabat Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam tersebut.

Skeptisme yang berkembang tentu masih seputar ketidakyakinan masyarakat terhadap fenomena interaksi parsial antara negara dan pasar atau antara politik dan bisnis dalam manajemen pangan. Tantangan baru yang harus dihadapi Dirut baru tidak hanya seputar misi besar stabilisasi harga pangan se-bagaimana diamanatkan Inpres 13.2005 yang selama ini sangat tidak jelas, tapi juga temptation dari partai politik yang pasti akan memperjuangkan kepentingannya.

Selain memilih direksi, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) seharusnya juga meletakkan dasar strategi baru dan mempertajam misi besar kebijakan pangan. Bulog perlu menjadi salah satu pelaku ekonomi pangan yang tidak saja melaksanakan fungsi publiknya, tapi juga berorientasi mencari keuntungan, dan berkiprah di tingkat global. Di samping itu, Bulog tetap perlu mewarnai aspek strategis dari keseluruhan kebijakan pangan di tingkat mikro dan tingkat makro.

Sebagai sebuah perusahaan umum, Bulog memiliki tugas publik yang mulia, yaitu menjaga ketahanan pangan nasional. Di tingkat konsep ketahanan itu dapat memiliki perspektif mikro tentang kecukupan pangan dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat, dan juga dapat bermakna sangat makro tentang ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan dalam konteks pasar nasional, regional, dan pasar lokal. Sedangkan, semua orang tahu, mendesain suatu ketahanan pangan di tingkat mikro dan makro sekaligus, bukan pekerjaan mudah, apalagi di tengah era keterbukaan dan ekonomi pasar sekarang ini.

Dengan dukungan anggaran negara, Bulog sebenarnya masih diharapkan sebagai salah satu pengawal stabilisasi harga pangan saat ini. Tetapi, sepanjang empat tahun menyandang status sebagai BUMN, Bulog masih belum mampu memperbaiki ambruknya kredibilitas dan rendahnya kepercayaan masyarakat. Polanya hampir sama, masih sekitar perilaku perburuan rente (rent seeking) dan karakter korup birokrasi dalam menerjemahkan dan melaksa-nakan suatu instrumen kebijakan.

Persoalan klasik kebijakan pangan di Indonesia yang berulang setiap tahun adalah setiap musim panen seperti sekarang ini, harga gabah di tingkat petani anjlok, bahkan sampai di bawah harga dasar. Sementara pada musim tanam atau paceklik pada musim kemarau, harga eceran beras di tingkat konsumen melambung, melebihi tingkat kemampuan daya beli masyarakat miskin, terutama di perkotaan.

Dengan siklus atau pola yang sebenarnya dapat diprediksi tersebut, kebijakan pangan sering kali menjelma menjadi komoditas politik apabila politisi, elite dan perumus kebijakan, tidak mampu mengambil langkah-langkah efektif untuk menjaga dampak ekonomis dan politis yang ditimbulkannya.

Sosok Profesional

Bukti empiris sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang masih belia ini menunjukkan kebijakan pangan dapat menjadi sangat dekat dengan stabilisasi politik dan pemerintahan. Rezim pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru juga dibangun, berkembang dan jatuh karena berhubungan dengan instabilitas atau fluktuasi harga beras dan ketersediaan beras pada harga yang terjangkau masyarakat banyak.

Karena itu, apabila pada zaman modern dan transisi demokrasi saat ini mengulang kesalahan-kesalahan pendahulunya dalam formulasi, organisasi dan implementasi kebijakan pangan, tidak mustahil langkah itu dapat menjadi salah satu stimulator runtuhnya legitimasi dan rezim pemerintah.

Di sinilah diperlukan sosok profesional sebagai pemimpin Bulog pada masa sekarang ini dan sekaligus sebagai manajer dan pengambil keputusan yang tepat pada saat-saat genting yang tentu saja harus menguasai teknis-ekonomis kebijakan pangan, tidak terlalu partisan, dan tidak hanya mementingkan kroni politiknya semata.

Dengan tekanan akuntabilitas dan manajemen operasional, Bulog baru, plus fakta keterbukaan ekonomi dan mekanisme pasar yang harus ditegakkan, tantangan baru kebijakan pangan tingkat makro adalah bagaimana melakukan integrasi agenda tiga kebijakan penting berikut.

Pertama, pemulihan ekonomi dan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang mampu berkelanjutan. Kedua, pengentasan kemiskinan dengan basis ekonomi pedesaan. Ketiga, stabilitas sistem pangan nasional yang menjadi tumpuan ketahanan pangan.

Ketiga agenda itu tentu saja tidak sederhana karena ketiganya sangat berkait erat, apalagi dalam konteks ekonomi pasar, mekanisme, serta perilaku pelaku ekonomi dan masyarakat luas. Pemulihan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi makro tidak akan berarti apa-apa jika tidak berorientasi keadilan sosial dan tidak menyentuh kaum miskin dan marjinal.

Hal yang sangat jelas, ketahanan pangan memerlukan suatu integrasi langkah pemulihan ekonomi atau kebijakan makroekonomi yang dapat menentukan tingkat “kecepatan” dan momentum pertumbuhan ekonomi, kebijakan ekonomi sektoral (jika masih dipercaya ada dan efektif), serta perubahan aransemen kelembagaan atau keputusan politik yang mampu efektif berkeadilan sosial dan terutama mengenai distribusi pangan ke pelosok Tanah Air yang dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Persoalannya, sektor pertanian di Indonesia (dan di negara mana pun di dunia) sukar sekali dapat tumbuh dan berkembang tanpa subsidi dan keputusan politik atau pemihakan dari pemerintah. Ketidakhati-hatian dalam menerjemahkan suatu tantangan baru dan persoalan mendasar sektor pertanian tersebut dapat menimbulkan distorsi kebijakan baru dalam perekonomian, bahkan berupa inefisiensi dan kebocoran anggaran, jika tidak menimbulkan masalah baru dengan dunia internasional.

Karena itu, pemerintah senantiasa ditantang untuk dapat merumuskan suatu kebijakan transformasi struktural yang lebih beradab, terutama langkah-langkah kebijakan yang mampu menyeimbangkan sasaran kesejahteraan petani dan masyarakat luas, efisiensi sektor pertanian, strategi industrialisasi dan ratifikasi perdagangan inter- nasional.

Di sinilah sangat diperlukan suatu setting kebijakan pangan yang lebih menyeluruh, dan Bulog menjadi kekuatan tersendiri dan pelaku tangguh dalam sektor pangan. Kebijakan pangan perlu lebih kompatibel dengan tujuan efisiensi ekonomi jangka panjang, yang dengan dukungan pemihakan yang serius atau secara logika dapat berkontribusi pada keadilan sosial dan bahkan pada upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

Artinya, instabilitas ekonomi makro dan manuver-manuver politik yang tidak perlu dalam manajemen stok bahan pangan (terutama beras) dapat meyebabkan kebijakan pangan yang mungkin tidak kompatibel dengan tujuan efisiensi dan distribusi di atas.

Di dunia internasional, Bulog perlu menempatkan diri sebagai salah satu pelaku state-trading enterprises (STE) andal dan mampu berbicara di kancah global. Tes pertama, mewujudkan suatu rice-estate skala menengah dan besar yang mampu berproduksi secara efisien dan berkelanjutan. Pemerintah perlu mendukungnya mewujudkan strategi pembangunan pertanian menjadi prioritas penting, terutama dalam jangka pendek dan menengah.

Terakhir, Direksi Bulog dituntut kompatibel dengan strategi prioritas pembelaan dan perlindungan bagi petani (terhadap persaingan dengan pasar global) melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi. Bulog juga bervisi lebih ground dalam meningkatkan kecukupan pangan (food adequacy), tidak semata kebijakan pangan murah (cheap food policy). Misi ini memang agak berat. Namun, akan menjadi ringan jika dipikul bersama dengan Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan anggota ka-binet lainnya.

Penulis adalahpengamat ekonomi

Last modified: 22/3/07


 

Quo Vadis Komisi Kebenaran dan Persahabatan?

Tjipta Lesmana

Permasalahan yang timbul pascareferendum Agustus 1999 di Timor Timur hingga sekarang rupanya belum selesai. Permasalahan yang dimaksud lebih diarahkan pada dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, yang antara lain ditandai oleh terbunuhnya sejumlah korban, eksodus puluhan ribu penduduk, dan pembumihangusan banyak gedung/bangunan.

Pertanyaannya: Apakah rentetan kejadian berdarah itu dapat dikategorikan sebagai tindak pelanggaran HAM berat, bahkan gross humanitarian crime? Dan siapa yang harus bertanggung jawab? Setelah lepas dari Indonesia, sejumlah elemen masyarakat Demokratik Rakyat Timor Leste terus mendesak pemerintahnya untuk menuntaskan kasus itu dengan menyeret siapa saja yang diindikasikan bersalah ke meja hijau.

Sasaran yang dituju, terutama, pejabat militer Indonesia. Untuk itu, beberapa komisi sudah dibentuk dan bekerja intensif, antara lain SPSC (Special Panel for Serious Crimes) dan CAVR (Commission of Reception, Truth and Reconciliation). Sekretaris Jenderal PBB sendiri pernah membentuk Experts Commission. Di Indonesia dibentuk KPP-HAM dan Pengadilan ad-hoc HAM. Toh, banyak pihak -baik di Timor Leste maupun di Indonesia- yang tidak puas dengan hasil kerja lembaga/institusi itu.

Sementara itu, para pemimpin RI dan Timor Leste pun terus berdialog mencari solusi, sekaligus menghalau kemungkinan inter- vensi dari pihak ketiga. Tanggal 14 Desember 2004 di Bali, Presiden Yudhoyono dan Presiden Xanana Gusmao, akhirnya mengeluarkan pernyataan bersama yang “sejuk”. Mereka sepakat membentuk Commission of Truth and Friendship, CTF (Komisi Kebenaran dan Persahabatan, KKP) yang akan dioperasionalkan secara bersama.

Dibutuhkan delapan bulan mewujudkan komitmen bersama itu ketika kedua pemimpin pada 11 Agustus 2005 menandatangani naskah pembentukan KKP. Anggota KKP terdiri atas 10 orang, masing-masing lima dari RI dan lima dari Timor Leste. Kecuali itu, ditunjuk juga tiga anggota alternatif pada kedua belah pihak. Sebuah sekretariat didirikan di Denpasar yang didukung staf kedua nega- ra, dipimpin co-directors masing-masing dari RI dan Timor Leste.

Apa sesungguhnya tujuan KKP? Dalam TOR-nya disebutkan secara spesifik tujuannya, “to establish the conclusive truth in regard to the events prior to and immediately after the popular consultation in 1999, with a view to further promoting reconciliation and friendship, and ensuing the non-recurrence of similar events”. Untuk mengungkap kebenaran sejati atas kejadian dan peristiwa baik sebelum maupun segera setelah referendum. (Kata “consultation” sebenarnya bermakna “jajak pendapat” atau “referendum”).

Sejak awal pemimpin kedua bangsa bersepakat KKP bukan dimaksudkan sebagai lembaga judi- cial. Semangat kerjanya adalah per- damaian dan rekonsiliasi, bukan pembalasan. Salah satu prinsip yang digarisbawahi di dalam TOR berbunyi: “….the CTF process will not lead to prosecution and will emphasize institutional responsibilities”.

Ketika penulis beberapa hari lalu bercakap-cakap dengan Syahri Sakidin, Direktur CPF dari pihak Indonesia, prinsip non-prosecutory itu ditekankan juga. “KKP tidak dimaksudkan untuk mendakwa siapa pun. Tapi, kami wajib mengungkap kebenaran di balik kejadian pascareferendum”. Hanya saja, Syahri mengakui, “Jika nanti ada pihak-pihak yang memanfaatkan hasil kerja KKP untuk kepentingan prosecutory, kami tidak bisa berbuat apa-apa!”

Untuk bisa mencapai tujuannya, KKP terutama diberi mandat mengungkap kebenaran sejati seputar hakikat, sebab-musabab, dan keluasan tindak kekerasan yang diduga melanggar HAM yang timbul sebelum maupun setelah berlangsungnya referendum di Timtim. Untuk itu, ke-10 anggota KKP bekerja keras dengan menghimpun dan mempelaja-ri semua berkas yang ada, baik yang berasal dari SPSC, CAVR, KPP HAM, maupun pengadilan ad-hoc HAM di Indonesia. Untuk kepentingan cek dan ricek, KKP juga melakukan dengar pendapat publik.

Dengar pendapat ronde I berlangsung di Bali, 19 hingga 21 Februari lalu. Tokoh kunci yang ditampilkan adalah Ali Alatas, Menteri Luar Negeri RI saat itu. Mantan Presiden BJ Habibie dan mantan Menhankam/ Pangab Jenderal Wiranto tidak hadir, meski menerima undangan resmi.

Tanggal 27 Maret nanti KKP menggelar dengar pendapat ronde II. Kali ini di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Habibie dikabarkan akan hadir; sedang kehadiran Wiranto masih teka-teki. Kehadiran dua tokoh itu amat penting, karena kerusuhan di Timtim pascareferendum tidak bisa dipisahkan dari kebijakan politik pemerintah Habibie yang tiba-tiba memberikan opsi kedua (merdeka) kepada rakyat Timtim. Sedang Wiranto memegang kendali operasi militer tertinggi (setelah Presiden/Panglima Tertinggi), sehingga apa yang dilakukan para pejabat militer di Timtim, pasti, minimal sepengetahuan Wiranto.

Opsi Mengecewakan

Peristiwa berdarah di Timtim pada 1999 tidak bisa dilihat berdiri sendiri, melainkan sebagai klimaks dari rentetan kejadian sebelumnya. Salah satu tonggak sejarah penting yang harus dicermati adalah ketika Habibie -tiada angin, tiada halilintar- mengumumkan opsi kedua pada Januari 1999. Bahkan Menlu Ali Alatas tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, sekaligus, rasa kecewanya. Kebijakan yang begitu krusial diambil tanpa melibatkan Menteri Luar Negeri!

Ketika opsi merdeka dibuka pemerintah Habibie, wajar jika banyak elemen masyarakat di Timtim, termasuk oknum-oknum militer Indonesia, yang kecewa, bahkan marah, lalu melakukan serangkaian tindakan anarkis sebagai bentuk protes keras mereka. Jangan lupa, lebih dari 100.000 personel ABRI tewas di Timtim sejak wilayah itu masuk dalam jurisdiksi RI. Timtim ibarat “gunung berapi” yang meletus dahsyat sekali. Korban memang tidak bisa dihindari. Bisa saja ada sementara oknum aparat yang bertindak sadis. Namun, prinsip cause-and-effect rasanya perlu ditegakkan dalam hal ini.

Kalau mau jujur, kita harus mengatakan Timtim “meledak” karena kebijakan politik yang tergesa-gesa oleh pemerintah kita. Ali Alatas sendiri mengatakan ketika itu kita (tripatit: Portugal, Indonesia, dan PBB) sebenarnya sedang merundingkan “withdrawal” Indonesia secara bertahap selama 10 tahun.

Ramos Horta yang mengklaim “Menteri Luar Negeri Timtim” dalam suatu tulisannya di majalah Far Eastern Review pun mengungkapkan pandangannya mengenai penyelesaian masalah Timtim secara tuntas dalam tempo 10 tahun. Maka, hampir dipastikan kerusuhan takkan meletus jika tidak ada jajak pendapat yang menawarkan dua opsi kepada rakyat Timtim. Apalagi banyak indikasi yang menunjukkan pihak-pihak asing “bermain” dalam referendum untuk memenangkan opsi merdeka.

Para pemimpin Timor Leste -termasuk Ramos Horta- sebetulnya mengakui amat sulit menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan akibat kerusuhan pascareferendum. Habibie sendiri sebenarnya sudah “dihukum” karena kebijakannya yang tidak populer itu, yakni ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat menolak laporan pertanggungjawabannya, sehingga ia otomatis kehilangan legitimasi untuk mengikuti Pemilihan Umum 1999.

Dengan latar belakang itu, kami berpendapat semua pihak harus mendukung kerja KKP; bahkan semua harus ikut menjaga integritas KKP. Untuk itu, mereka yang diundang memberikan keterangan, seyogianya, datang dan bersikap kooperatif. Bukankah sudah ada jaminan dalam kerangka dasar pendiriannya bahwa KKP bukan untuk mengadili, tetapi untuk mengungkap kebenaran?

Kegagalan KKP dalam melaksanakan tugasnya akan membuka peluang bagi pihak ketiga -khususnya asing- untuk kembali mem-blow-up masalah ini dengan kemungkinan membawanya ke forum internasional, termasuk Mahkamah Internasional di Den Haag. Namun, jika kedua pemerintah yang terkait -RI dan Timor Leste- berhasil menyelesaikan masalah ini melalui KKP secara baik, kemungkinan itu mestinya menjadi kecil.

Penulis adalah staf pengajar Universitas Pelita Harapan

Last modified: 22/3/07


 

Meredam Pembusukan Keindonesiaan

Oleh Max Regus, Pr

Korupsi di jantung politik kekuasaan, degradasi ekologis, dan kekerasan di ruang sosial, sedemikian cepat mengorientasikan Indonesia sebagai area kehancuran masif. Perasaan terkungkung dalam pusaran kepengapan tanpa akhir ini, serentak melumpuhkan tumbuhnya optimisme sosial yang sedang bersemi di ruang publik.

Kemalasan politik menyelesaikan sekian banyak tunggakan sosial, politik, ekonomi dan kultural yang membebani ziarah bangsa ini, telah menimbulkan efek mematikan pada sendi-sendi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia menggeliat dengan daya dobrak yang menyedihkan.

Tumpukan keheranan dan pertanyaan sedang memadati ruang publik. Ironi sosial membentang dengan telanjang. Elite sosial politik dan para punggawa kekuasaan intens menyibukkan diri dengan wacana elitik dan target politik kekuasaan belaka. Sekian banyak rancangan hukum yang meluncur di jalur-jalur politik seakan tidak mampu meredam amukan krisis yang tiada henti menggulung keindonesiaan.

Ruang peradaban sosial dipenuhi pertengkaran politik sesama penguasa. Distansiasi para penghuni kekuasaan terhadap kepentingan politik mereka sendiri terasa meragukan. Amat sulit menundukkan kepentingan sempit di hadapan sederet keperluan rakyat. Sistematisasi organisasi pelayanan publik masih membentur dinding egoisme politik. Format politik demokratik tidak mendapatkan landasan spiritualitas dan mentalitas yang memadai.

Indonesia memiliki apa pun yang diperlukan dalam kerangka mendorong perubahan menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Apa yang tidak dimiliki Indonesia sebagai prasyarat menjadi bangsa yang besar dan makmur? Semuanya ada di Indonesia. Yang mencemaskan, ternyata kearifan, kebajikan, kebersamaan, keindonesiaan tidak mengalami evolusi dan transformasi pada level cerdas.

Sebaliknya, kejahatan dan korupsi telah menyentuh sesi-sesi revolusi yang mencengangkan. Keyakinan bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai titik kronis namun sulit membuktikan keberadaan para koruptor merupakan sebuah bukti tidak terbantahkan, betapa kejahatan sosial politik itu telah mencapai puncak revolusi.

Ketika krisis dan kehancuran tidak lagi sekadar mengintip perjalanan Indonesia, namun menampar keseriusan setengah hati, kita pun terburu-buru merogok “kocek kesadaran berbangsa”. Kita melakukannya sembari memeriksa stok energi keindonesiaan yang tersisa. Jika kita jujur, amat nyata sense keindonesiaan kita sudah sangat tipis. Solidaritas dan soliditas sebagai sebuah bangsa beradab mengalami keterancaman begitu konkret.

“The Untouchable”

Apa yang salah? Siapa yang salah? Apa kesalahan kita? Itu semua sederet pertanyaan yang sulit sekali menemukan jawaban yang tepat dan tuntas. Apakah penguasa yang bersalah? Penguasa tidak pernah mau dipersalahkan sedikit pun. Mereka berada pada satu titik di mana imunitas ada pada mereka. Ada komunitas “the untouchable” dalam ruang kenegaraan dan kebangsaan.

Lalu, apakah rakyat yang bersalah? Memang, amat biasa kita dengan mudah memosisikan rakyat secara tidak adil. Itu sesuatu yang lumrah. Kadang, penguasa tidak mau ambil pusing dengan kepusingan rakyat kecil dalam mengurusi rumitnya kehidupan sehari-hari. Penguasa sepertinya tidak secara sungguh-sungguh mengambil bagian secara jujur dalam meringankan penderitaan rakyat yang terkucil pada ruang-ruang kemiskinan dan kemelaratan.

Intuisi sosial dapat menemukan sebuah realitas memedihkan ketika formalisasi sosial politik tidak berjalan dalam wilayah kesadaran, mentalitas dan kultur hidup. Pengarusutamaan demokrasi hanya bersifat material, formalistik dan institusionalistik. Proses-proses itu berada dalam genggaman pemilik kekuasaan. Anonimitas publik terhadap proses-proses demokrasi amat kentara dalam sesi politik saat ini.

Ada sebuah mitos sosial politik. Sesi-sesi demokratisasi dan transformasi politik bertubrukan secara kasar dengan kekejian maniak kekuasaan. Alhasil, performa politik kekuasaan, yang disucikan label demokrasi, hanya bertahan dalam hitungan bulan. Selebihnya, sarat retorika, propaganda, dan konsolidasi kroni politik, menuju perang politik edisi berikut.

Kerinduan sosial politik publik tidak pernah bersandar pada kepastian. Ternyata, lingkaran dalam kekuasaan tidak tersentuh suka cita publik dalam melahirkan kembali Indonesia. Banyak pihak yang merasa tidak perlu melibatkan diri dalam ziarah kultural suci ini. Sedemikian keji, Indonesia tidak lagi menjadi medium peradaban dan entitas sosial politik raksasa yang dapat melabuhkan masyarakat pada kemakmuran dan kesejahteraan. Substansi keindonesiaan tidak pernah ada pada titik itu.

Penggagas dan pendiri Indonesia telah mematok bangsa besar ini sebagai ruang transendensi yang menyediakan spiritualitas kehidupan. Energi rohani yang mendesakkan proses kehidupan secara bermartabat dalam pencaharian tujuan keindonesiaan. Semestinya, berangkat dari kesadaran itu, keindonesiaan niscaya menjadi pijakan kehidupan manusiawi, demokratis, dan adil.

Namun, kelihaian politik mereduksikan keindonesiaan sekadar menjadikannnya benda yang memuaskan dahaga kerakusan amat sering menciptakan kecelakaan paling pedih di kekinian. Sebagian orang telah merobek keindonesiaan dan merendahkan kebangsaan ini sebagai alat yang memuaskan segudang nafsu tak terpuaskan. Bangsa ini menciut menjadi arena pertarungan merebut kesempatan memerkaya diri, memenuhkan lumbung ketamakan, dan mencuci kotoran menjijikkan dengan mekanisme juridis yang bisa dibeli dengan uang.

Ketika kesadaran kita dirampok nafsu, ambisi, misi-misi sesat, perilaku kita pun akan melontarkan kerakusan, korupsi dan kejahatan sosial yang tidak terhentikan. Kesadaran yang sedang tersandera “nilai- nilai kegelapan” (kejahatan) akan memunculkan dan memperkuat sebuah pola laku yang dapat menghabok keseriusan menemukan apa yang benar dan tepat untuk dilaksanakan sebagai bangsa beradab.

Tendensi semacam ini telah kelihatan dalam penampilan budaya politik dalam era “kebebasan yang bablas” ini. Indonesia berjalan tanpa roh. Yang sedang menggerakkan Indonesia adalah bisingnya segudang kepentingan segelintir orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Kerakusan tanpa batas, ketamakan tanpa akhir, kedurjanaan tanpa sesal, memacetkan energi keindonesiaan dalam menyentuh level keadaban manusiawi.

Sungguh tepat jika kita berani menabuh kembali “genderang perang” berhadapan dengan kesesatan budaya kehidupan sekarang ini. Pembangunan budaya tandingan di hadapan kerakusan, ambisi, dan nafsu yang menjebak Indonesia dalam label korupsi merupakan proyek terpenting sekarang ini. Namun, tanpa radikalisasi tindakan dalam kerangka ini budaya alternatif yang men- jamin kelayakan hidup masyara- kat tidak akan merembes ke dalam ruang kekuasaan.

Maka, sebuah pertobatan sosial politik mesti menjadi pilihan kita dalam meredam dan menghentikan proses pengempisan keindonesiaan. Ini niscaya adalah sebuah jalan pulang radikal ketika kehidupan, politik, kekuasaan, ekonomi dan ruang perbincangan sosial setiap hari diterangi kejujuran, kesederhanaan, kesetiakawanan, anti kekerasan, perdamaian dan keadilan.

Penulis adalah rohaniwan, Koordinator Komunitas Studi Mangunwijaya tinggal dan bekerja di Ruteng, Flores, NTT

Last modified: 26/3/07



 

Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan

Victor PH Nikijuluw

Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif. Bahkan keduanya memiliki hubungan kausalitas derajat polinomial. Pada derajat pertama, kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Pada tingkatan polinomial berikutnya, kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Hal sebaliknya berpeluang terjadi, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan pada periode sebelumnya.

Hubungan sebab akibat itu bisa terus berlanjut pada derajat polinomial yang lebih tinggi, membentuk lingkaran setan atau siklus yang tidak berujung. Dalam kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis keadaanya. Bila sudah demikian, status kemiskinan berubah secara tidak linier. Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali. Tren yang sama juga terjadi juga pada kerusakan lingkungan.

Jeffrey Sachs dalam kesimpulan bukunya The End of Poverty menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai peubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut. Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan, namun lingkungan alam bisa dipandang sebagai yang terpenting.

Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut dijadikan target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga periode 2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua variabel itu. Hampir di seluruh daerah, kemiskinan semakin terekspose.

Di saat dan tempat yang sama, kerusakan lingkungan makin terjadi, ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang sudah melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya dukung (carrying capacity) sumber daya alam. Maka terjadilah hubungan lingkaran setan kemiskinan dan kerusakan alam yang sulit dicari ujung pangkalnya.

Sejak ditetapkan pada September 2000 dan diikuti dengan penatapan Milleneium Project pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan oleh Kofi Annan, banyak negara dunia memberikan perhatikan serius pada pencapaian target-target yang ditetapkan. Dalam kaitan dengan pengentasan kemiskinan, tiga target yang disepakati untuk dicapai yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk yang pendapatannya di bawah $1 sehari, mengurangi separuh jumlah penduduk yang kelaparan, serta meningkatkan jumlah ketersediaan pangan bagi orang miskin.

Target yang berkaitan keberlanjutan lingkungan adalah memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan dan program pembangunan setiap negara, meningkatkan jumlah orang yang dapat akses air bersih, serta meningkatkan secara siginifikan kehidupan 100 juta orang yang hidup di daerah kumuh. Target-target itu membuka debat publik secara demokrasi tentang kinerja pemerintah. Partai politik juga menggunakan target-target ini untuk secara terbuka mengevaluasi kebijakan dan program pemerintah.

Presiden Brasilia, Luis Inacio da Silva, misalnya secara ekplisit mengumumkan target-target pada MDGs sebagai platform politiknya dalam pemilu. Tanpa disadari dan tak secara eksplisit diajukan, di Indonesia pun banyak calon gubernur, bupati, dan wali kota menggunakan target-target MDGs sebagai platform politik mereka dalam pilkada.

Langkah-langkah besar dan signifikan sudah dicapai Tiongkok dan Vietnam dalam mengurangi kemiskinan. Dalam kurun 1990-2002, penduduk miskin 32 persen menjadi 13 persen di Tiongkok, serta dari 51 persen menjadi 14 persen di Vietnam. Namun khususnya di Tiongkok, lingkungan alam sebagai habitat dan sumber daya ekonomi mengalami kerusakan cukup serius. Dengan kata lain, pencapaian MDGs tidak dicapai secara holistik, malahan sebaliknya tujuan atau tagetnya saling dipertentangkan.

Situasi yang sama dengan Tiongkok umumnya berlaku juga di negara-negara kawasan Amerika Latin dan Karibia. Pengentasan kemiskinan diprioritaskan sementara target lain kurang diperhatikan. Tetapi kawasan itu juga memperhatikan tiga target penting lainnya, yaitu pengurangan angka kematian bayi, penyediaan air bersih, serta peniadaan diskriminasi gender pada pasar tenaga kerja. Logikanya, kemiskinan bisa dientaskan melalui perbaikan ketiga target ini.

Di Asia Selatan, 40 persen penduduk hidup dengan kurang dari $1 sehari. Namun kemiskinan sudah jauh berkurang di kawasan ini, kecuali di Pakistan. Secara khusus, Bangladesh berhasil meningkatkan pendidikan anak dan pemuda, mengurangi malnutrisi anak, serta mengurangi insidensi HIV/AIDS.

Kawasan dunia yang termiskin, Sub-Sahara Afrika, diprediksi tidak akan berhasil mencapai target MDGs, khususnya pengurangan jumlah orang miskin. Sebaliknya, jumlah orang miskin bertambah dari 314 juta pada 2001 menjadi 366 juta pada 2015. Hanya Uganda, Ghana, dan Kamerun yang baik kinerjanya dalam hal pengentasan kemiskinan.

Tuberkolosis, malaria, dan HIV/ AIDS masih marak dan menurunkan harapan hidup serta tingkat kematian bayi. Untuk kawasan itu, keterisolasian, kerusakan sumber daya alam serta ketiadaan infrastruktur teknologi adalah alasan utama kemiskinan dan keterbelakangan.

“Triple Tracks Plus”

Di Indonesia, strategi pembangunan berbasis Triple Tracks (pro poor, pro job, dan pro growth) bisa dipandang sebagai implementasi MDGs, sudah populer, dan diadopsi oleh instansi pemerintah secara nasional. Namun statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi sejauh mana kinerja strategi triple tracks.

Tidak untuk diperdebatkan, hanya sebagai indikator, pada 2002 jumlah penduduk miskin 36,4 juta (18,1 persen). Pada September 2006, dengan standar $1,55 sehari, jumlahnya menjadi 39,40 juta. Di saat yang sama, dilaporkan 25 persen anak, usia hingga 5 tahun, menderita gizi buruk. Juga, kematian ibu 307 per 100.000 kelahiran, atau tiga kali kematian di Vietnam dan enam kali Malaysia atau Tiongkok. Per tumah tangga, pada Januari 2006 terdapat 17,8 juta, atau 33,4 persen, rumah tangga miskin (RTM). Menurut pidato kenegaraan terakhir, ada 192 juta, atau 36,1 persen RTM. Sementara target RPJM 12,5 persen pada 2006.

Indikator statistik di atas mungkin sudah berubah dalam setahun terakhir setelah adanya bencana alam: banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan gas Lapindo, tsunami, angin pitung beliung, taifun, dan gelombang laut yang menyerang negeri ini, yang membuat masyarakat kehilangan peluang usaha dan peluang bekerja.

Bagi petani, nelayan, dan buruh, sehari tidak bekerja, besar dampaknya bagi pendapatan mereka. Bencana alam seperti yang terus terjadi belakangan ini membuat mereka miskin atau miskin sekali setelah tidak bekerja atau kehilangan aset-aset produktifnya. Dalam kondisi miskin, apalagi sangat miskin, berbagai macam penyakit akan mudah menyerang yang pada akhirnya menurunkan usia harapan hidup.

Memang kejadian alam di luar kontrol manusia. Tetapi bencana alam mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh buatan tangan manusia yang miskin atau yang terlalu serakah. Manusia yang miskin dan serakah merusak alam, dan alam yang rusak memiskinkan manusia.

Celakanya mereka yang merusak alam semakin kaya sementara penduduk lainnya, sebaik dampaknya, menjadi miskin. Tetapi kesalahan itu tidak selamanya ada pada masyarakat dan penduduk. Sangat mungkin, program pemeritah di pusat dan daerah memang tidak menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai aspek penting. Alam dipaksa memberikan pertumbuhan ekonomi dan itu berada di atas daya dukungnya.

Maka bercermin dari banyak negara lain di dunia, yang berhasil dan tidak berhasil mengelola dan memanfaatkan alam bagi pembangunan ekonominya, serta sebagai upaya mengurangi jumlah orang miskin yang terakumulasi akibat bencana alam, sudah saatnya Indonesia mengikuti strategi Triple Track Plus. “Plus” yang dimaksud, sesuai projek MDGs, adalah pro-environment. Dengan be-gitu sejak saat ini, Indonesia mengikuti bukan lagi Triple Tracks tetapi Fourfold Tracks Strategy.

Penulis adalah Doktor Ekonomi Sumber Daya

Last modified: 26/3/07


 

Soal Laptop, Tanya Saja Tukul

Oleh Victor Silaen

Opini saya tentang para politisi dewasa ini yang tidak memahami dan menghayati pekerjaan berpolitik sebagai panggilan (“Menjadikan Politik sebagai Panggilan”, Suara Pembaruan, 21 Februari 2007), rasanya menemukan pembenarannya.

Berita terkini menyebutkan 550 anggota DPR RI akan segera mendapat tambahan fasilitas baru berupa laptop (komputer jinjing) seharga Rp 22 juta. Dengan bantuan perangkat canggih ini, diharapkan kinerja anggota DPR dalam menyuarakan kepentingan rakyat meningkat.

Sebagai wakil rakyat, mendapatkan berbagai fasilitas memang bukan sebuah kesalahan. Seperti juga fasilitas bagi para pejabat negara lain di lingkungan eksekutif maupun yudikatif.

Apalagi pengadaannya sudah dianggarkan sejak lama. Yang menjadi persoalan, pemberian jatah laptop tersebut dilakukan saat situasi negara masih serba sulit dan tengah dirundung masalah di berbagai bidang. Mulai bencana alam, musibah transportasi yang tak kunjung henti, perekonomian yang belum menyentuh sektor riil, masih maraknya korupsi, dan sebagainya.

Dari sisi anggaran, dana negara yang digunakan untuk pengadaan laptop ini relatif besar: Rp 12,1 miliar (550xRp 22 juta). Padahal, disinyalir harga dasar laptop dengan spesifikasi yang diinginkan itu hanya sekitar Rp 17 juta (berarti totalnya hanya Rp 9,35 miliar).

Dengan demikian, terjadi penggelembungan harga sebesar Rp 2,75 miliar. Siapa saja atau pihak mana saja yang akan mendapatkan uang hasil korupsi itu? Tak pelak, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus cepat-cepat melakukan langkah-langkah antisipatif-investigatif untuk kasus itu.

Inilah, antara lain, yang membuat banyak pihak dan kalangan selalu mengkritik kinerja para politisi Indonesia -khususnya yang berada di lembaga legislatif- dewasa ini. Bayangkan, sudah gaji besar, mengusulkan kenaikan gaji pun bisa sesering mungkin. Di luar gaji, mereka masih menerima fasilitas ini-itu dan tunjangan ini-itu, termasuk tunjangan untuk berkomunikasi.

Nah, jika dalam waktu dekat ini mereka akan mendapat laptop (gratis), hmm, betapa enaknya. Hal-hal itulah yang seiring waktu membuat rakyat semakin merasa “berjarak” dengan wakil rakyatnya. Ketiadaan empati, itulah kata kuncinya. Rakyat banyak yang susah, wakil rakyatnya enak-enakan.

Sekaitan proyek bagi-bagi laptop itu, ada beberapa keberatan yang patut dikemukakan sebagai kritik untuk anggota DPR RI. Pertama, dengan pendapatan mereka per bulan yang relatif besar (gaji plus uang rapat/sidang, tunjangan ini- itu, dan lain-lain), bukankah mereka sebenarnya mampu membeli sendiri laptop itu? Mengapa harus “minta dibelikan” oleh negara? Tak punyakah mereka harga diri sedikit saja, yang membuat mereka seharusnya malu mendapatkan laptop gratis itu?

Gagap Teknologi

Kedua, apakah setiap orang dari 550 anggota DPR itu sungguh-sungguh membutuhkan laptop untuk mendukung kelancaran pekerjaan rutin mereka sebagai anggota dewan? Kalau memang membutuhkan, pertanyaan berikutnya: siapakah nanti yang akan menggunakan laptop itu? Anggota dewan itu sendiri atau staf ahlinya atau asistennya?

Pertanyaan ini penting diajukan, karena saya mengetahui sendiri, sejumlah anggota DPR RI dewasa ini yang masih “gaptek” (gagap teknologi), alias tidak bisa mengoperasikan berbagai perangkat teknologi canggih lantaran usianya sudah relatif tua.

Mengapa demikian? Bukan karena bodoh, melainkan karena kemampuan mengoperasikan berbagai perangkat teknologi canggih memang meniscayakan; kesatu, kemauan mempelajari dan melatih perangkat teknologi tersebut terus-menerus sampai akhirnya bisa dan lancar, dan kedua, kemampuan motorik yang tinggi.

Sayangnya, kedua “syarat” itu justru umumnya sudah tidak dimiliki lagi oleh orang-orang yang usianya relatif tua. Nah, coba cermati, bukankah usia dari sebagian anggota DPR periode 2004-2009 ini sudah masuk kategori itu? Yang masih relatif muda pun, ada juga yang tidak pernah menggunakan internet, yang bia- sanya juga tersedia sebagai salah satu fasilitas di dalam laptop yang canggih.

Sungguh, ini pengalaman nyata saya ketika berinteraksi dengan salah satu anggota DPR RI yang pernah saya minta alamat email-nya untuk mengirim tulisan. Padahal, bukankah setiap anggota DPR mendapatkan komputer di ruang kerja masing-masing, dan mestinya pa- da komputer itu tersedia fasilitas internet?

Jadi, poin yang ingin saya sampaikan dalam konteks ini adalah: biarlah setiap anggota DPR RI yang merasa betul-betul membutuhkan laptop saja yang “diberikan” perangkat teknologi canggih itu. Itu pun seharusnya tidak gratis; hanya dibantu saja, misalnya dengan cara mencicil sekian kali kepada negara yang sudah membayar laptop itu di muka kepada pihak penjualnya secara kontan.

Ketiga, apakah ada jaminan jika setiap anggota DPR RI itu mendapatkan laptop kinerjanya akan meningkat? Benarkah ada korelasi positif di antara kedua hal itu? Apa ukuran untuk kinerja yang meningkat itu? Siapa yang layak mengukur kinerja mereka meningkat atau tidak setelah mereka mendapatkan laptop?

Untuk pertanyaan-pertanyaan itu, soal kinerja yang meningkat atau tidak, mestinya yang menilai rakyat. Sebab, menjadi anggota DPR berarti bekerja untuk rakyat bukan? Jadi, biarlah rakyat sendiri yang menilai laptop itu betul-betul telah dijadikan perangkat pendukung oleh setiap anggota DPR yang mendapatkannya, dan bukan untuk “gaya-gayaan” belaka.

Supermahal

Keempat, mengapa laptop yang direncanakan akan dibeli dengan uang negara itu harus yang supermahal seharga Rp 22 juta? Ada banyak jenis laptop canggih dewasa ini, yang dengan harga paling mahal Rp 15 juta sudah sangat bagus dan komplet.

Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Tukul Arwana, pembawa acara “Empat Mata” di salah satu stasiun televisi swasta, yang saat ini tengah melambung namanya. Untuk kelancaran pekerjaannya, Tukul menggunakan sebuah laptop.

Di sanalah tersimpan banyak data penting untuknya dan tertulis semua pertanyaan cerdas dan kocak yang akan diajukannya kepada para tamu yang diundang dalam acaranya itu. Sebuah laptop canggih jelas telah menjadi faktor pendukung sukses Tukul Arwana yang tak rupawan tapi (sekarang) hartawan itu. Karena alat itu pula ia kini diakui sebagai seorang trend-setter dengan kata-katanya yang khas “kembali ke laptop”.

Sekali lagi, tanyalah Tukul Arwana tentang berapa harga sebuah laptop yang dapat membantu kelancaran pekerjaan kita sehari-hari. Saya percaya, pasti di bawah Rp 22 juta. Kalau benar begitu, terlepas dari soal jadi atau tidak mendapatkan laptop gratis dari anggaran negara nantinya, setiap anggota DPR semestinya lebih sering berkontemplasi dan berintrospeksi.

Sudahkah pekerjaan berpolitik menjadi panggilan bagi mereka, bahwa kerja adalah rahmat (sehingga harus bekerja tulus penuh syukur); kerja adalah amanah (sehingga harus bekerja benar penuh tanggung jawab); kerja adalah panggilan (sehingga harus bekerja tuntas penuh panggilan); kerja adalah aktualisasi (sehingga harus bekerja keras penuh semangat); kerja adalah ibadah (sehingga harus bekerja serius penuh kecintaan); kerja adalah seni (sehingga harus bekerja kreatif penuh suka cita); kerja adalah kehormatan (sehingga harus bekerja tekun penuh keunggulan); kerja adalah pelayanan (sehingga harus bekerja sempurna penuh kerendahan hati)?

Penulis adalah dosen Fisipol UKI, Jakarta

Last modified: 28/3/07


 


Membenahi Polisi yang “Sakit”

Trimedya Panjaitan

Kita kerap dikejutkan berbagai kasus penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri. Pertengahan Maret lalu, anggota Polwiltabes Semarang, Jawa Tengah, Briptu Hance Christianto, menembak mati atasannya, Wakil Kapolwiltabes Semarang AKBP Liliek Purwanto. Hance memberondong atasannya setelah bersitegang dengannya karena menolak dimutasi. Hance kemudian ditembak mati anggota satuan Reserse Mobil.

Kejadian serupa terjadi dua tahun silam. Bedanya saat itu korban hanya luka parah, dan si pelaku lalu bunuh diri. Kejadian dimaksud adalah peristiwa penembakan oleh Iptu Sugeng Triono terhadap atasannya AKP Ibrahim Gani yang menjabat Kasat Samapta Polres Jombang, Jawa Timur.

Selanjutnya, dan ini lebih sering terjadi, adalah aksi polisi main tembak terhadap warga sipil. Masih pada bulan Maret, seorang anggota Polres Bangkalan, Madura, Briptu Rifai, menembak mati empat orang, dan kemudian bunuh diri. Korbannya adalah istri, mertua, seseorang yang diduga selingkuhan istri, dan teman selingkuhan istri.

Polisi menembak mati istrinya juga terjadi pada Agustus 2006. Anggota Polresta Bekasi Timur Aipda Sahudin Bachtiar Debataraja Simamora, menembak mati istrinya, Kapten CAJ Adiana Siringgo-Ringgo. Sahudin lalu mencoba bunuh diri, tapi gagal.

Kasus lainnya terjadi pada Januari 2007. Anggota Polbates Medan Iptu Oloan Hutasoit menembak sepasang pengantin baru, Nanda Safriani (23) dan Amrul Fahmi (23), di tengah keramaian pameran, lalu bunuh diri. Diduga Oloan patah hati karena Nanda pujaan hatinya, menikahi pria lain.

Kegagalan Polri

Berbagai kasus di atas menunjukkan buruknya mekanisme penggunaan senjata api oleh polisi. Seharusnya untuk dapat memegang senjata api seorang polisi harus memenuhi persyaratan ketat, termasuk uji psikotes. Sehingga polisi yang diketahui labil, mempunyai masalah pribadi atau keluarga yang berat, apalagi menderita gangguan kejiwaan, tidak diizinkan memegang senjata api.

Selain itu, karena kasus-kasus tersebut terjadi dalam rentang waktu cukup lama, ini menunjukkan ada persoalan lebih serius di institusi Polri. Ini menunjukkan kegagalan Polri dalam pembinaan personel akibat kelemahan dalam sistem perekrutan anggota, sistem pendidikan dan pelatihan, hingga sistem atau proses mutasi, demosi, dan promosi. Jadi, ibarat manusia, institusi Polri sedang sakit.

Namun, sejauh ini, belum terlihat adanya kebijakan yang tepat dan menyeluruh di Polri untuk memperbaiki berbagai kelemahan tersebut. Yang baru dilakukan sebatas tindakan reaktif pascasuatu kejadian.

Menyusul insiden di Polwiltabes Semarang dan Polres Bangkalan, misalnya, jajaran kepolisian segera mengambil berbagai langkah pencegahan. Kapolri Jenderal Polisi Sutanto langsung memerintahkan agar dilakukan evaluasi ulang bagi polisi yang memegang senjata api. Termasuk bagian dari evaluasi ini adalah psikotes ulang.

Perintah Kapolri itu ditindak-lanjuti jajaran Polri. Di wilayah Polda Jawa Timur, misalnya, Polres Blitar dilaporkan menarik senjata api dari empat personelnya yang terlibat perselingkuhan dan dikenal berwatak temperamental. Polres Malang menarik 44 senjata api dari 349 senjata api jenis revolver yang digunakan aparat kepolisian di wilayah itu.

Di wilayah Polda Jawa Tengah, Polres Semarang Selatan menarik 40-an senjata api milik anggotanya yang izinnya akan habis dan milik personel bagian nonoperasional. Pemakainya akan diizinkan kembali menggunakan senjata api jika menunjukkan perilaku baik dan lolos psikotes.

Langkah penertiban itu merupakan salah satu cara mencegah penyalahgunaan senjata api. Tapi kebijakan tes psikologi itu harus dilaksanakan secara periodik dan tidak hanya insidental kalau ada kasus penyalahgunaan senjata api yang menonjol dan menjadi perha-tian publik.

Selanjutnya, yang harus jadi perhatian Polri, adalah pembenahan menyeluruh di bidang sumber daya manusia. Sebab berbagai kasus penyalahgunaan senjata api itu bukan peristiwa yang berdiri sendiri, tapi kerap kali merupakan akibat dari tekanan psikologis karena beban kerja, masalah pribadi atau keluarga, rendahnya pendapatan.

Pertama, menyangkut sumber daya manusia, harus dilakukan perbaikan dalam sistem perekrutan anggota Polri. Selain perekrutan harus dilakukan secara transparan (jangan lagi ada “titipan” atau uang pelicin seperti dirumorkan selama ini, juga harus ada syarat-syarat psikologis tertentu dalam perekrutan polisi. Misalnya harus dicari orang-orang yang secara psikis sehat dan tidak labil, dan mempunyai jiwa altruisme, suka menolong orang).

Kedua, sistem pendidikan Polri harus diperbaiki dengan mengedepankan tujuan untuk menghasilkan polisi profesional, yang punya kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) khusus, yang diperolehnya melalui persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu. Karena itu pola militerisme dalam sistem pendidikan Polri harus dikurangi hingga proporsional.

Output yang diharapkan dari tercapainya profesionalisme Polri adalah peningkatan kualitas penanganan perkara. Ukuran keberhasilan seorang penyidik, dan secara berjenjang ke atas adalah keberhasilan pimpinan Polri dari berbagai level, harus lebih kepada kualitas penanganan perkara, bukan banyaknya perkara yang ditangani.

Ketiga, faktor yang juga berpengaruh adalah pola hubungan atasan-bawahan di tubuh Polri. Berkaca pada kasus Hance di Semarang, yang bersangkutan marah dan menolak dimutasi sehingga menembak atasannya. Karena itu proses mutasi, demosi, dan promosi harus dilakukan berdasarkan prestasi (merit system) dengan mengedepankan reward and punishment, sehingga menghasilkan polisi yang profesional dan berkualitas di semua tingkatan jabatan. Hal itu terlepas dari apakah dalam kasus mutasi Hence itu sesuai prosedur atau tidak.

Dari kasus Hance, atau sebelumnya kasus Sugeng Triono, ada pesan yang dapat dibaca tentang perlunya perbaikan pola hubungan dan interaksi di internal Polri. Polri harus mengubah pola hubungan atasan-bawahan dari pola militeristik menjadi pola hubungan demokratis, atau pola hubungan keluarga layaknya bapak-anak. Kebiasaan-kebiasaan anak buah harus tunduk, tanpa ada kesempatan berdialog, harus ditanggalkan, sebab akan membuat atau menambah tekanan psikologis bagi anak buah.

Keempat, Polri harus berjuang meningkatkan kesejahteraan anggotanya, khususnya di level bawah. Dengan ekonomi yang baik, kembali merujuk kasus Hance, seorang anggota Polri tidak akan merasa kesusahan dimutasi ke mana pun.

DPR RI, melalui Komisi III sebagai pasangan kerja Polri, sudah berupaya menaikkan anggaran Polri. Anggaran Polri Tahun 2007 disetujui sebesar Rp 20,041 triliun atau naik dari sebelumnya Rp 17,421 triliun. Kenaikan itu, walau belum ideal dibanding kebutuhan ideal Polri, tapi secara bertahap dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan Polri, memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihan, melengkapi sarana dan prasarana, dan meningkatkan kesejahteraan anggota Polri.

Reformasi Polri

Dalam tataran lebih luas, persoalan penyalahgunaan senjata api itu tidak dapat dilepaskan dari belum selesainya proses reformasi Polri. Masalah ini merupakan dampak belum selesainya perubahan jati diri Polri dari yang semula cenderung sebagai alat penguasa menjadi pelayan masyarakat. Dari Polri yang semula berkarakter militeristik menjadi polisi berkarakter sipil.

Reformasi Polri menjadi “pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat” ini diwujudkan dengan melakukan perubahan tiga aspek, yaitu struktural, instrumental, dan kultural. Sejauh ini proses reformasi yang sudah berjalan baik baru di bidang struktural (wadah/organisasi), sedangkan perubahan instrumental dan kultural masih tersendat-sendat.

Karena itu, “sakit” yang diderita institusi Polri saat ini harus dianggap sebagai lampu kuning untuk segera membenahi diri, dan menjadi momentum penuntasan proses reformasi Polri.

Penulis adalah Ketua Komisi III DPR RI

Last modified: 29/3/07


 

UU Kementerian Negara untuk Menyandera Presiden?

Benny K Harman

Pada saat ini DPR sedang membicarakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kementerian Negara bersama Presiden yang diwakili Mensesneg. Dalam membahas RUU itu, sikap fraksi-fraksi terbelah dua. Sebagian fraksi menghendaki adanya ketentuan yang dengan tegas membatasi kekuasaan presiden dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian negara dimuat dalam UU ini. Sebagian fraksi menolaknya dengan alasan pengaturan seperti itu hanya akan mereduksi kekuasaan pemerintahan yang menurut UUD 1945 harus dilaksanakan oleh presiden menurut UUD dan bukan menurut UU. Pembatasan seperti itu juga tidak sejalan dengan pilihan politik kita untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial.

Fraksi-fraksi yang menghendaki adanya pembatasan terhadap kekuasaan presiden mengemukakan argumen bahwa di negara-negara modern yang pada saat ini memakai sistem presidensial pelaksanaan kekuasaan presiden tidak bersifat absolut. Kekuasaan untuk membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian negara yang menjadi hak prerogatif presiden harus dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Sebenarnya kebutuhan untuk membuat UU tentang Kementerian Negara merupakan amanat Pasal 17 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan “pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.” Kalau ketentuan Pasal 17 ayat (4) itu dibaca dan dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, jelaslah dengan ketentuan tersebut pembentuk UUD menginginkan adanya UU yang mengatur tentang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara yang merupakan kewenangan presiden dalam rangka menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Namun, tata caranya harus diatur DPR bersama pemerintah dalam UU agar presiden tidak bertindak sewenang-wenang.

Pasal 17 ayat (4) dan tiga ayat lainnya merupakan gugus peraturan yang terpaut erat dengan ketentuan Pasal 4 UUD 1945 yang mencerminkan Cita Negara (Staatsidee) kita mengenai sistem pemerintahan negara yang kita anut. Pasal 4 itu sendiri menyatakan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (ayat 1) dan dalam melakukan kewajibannya ia dibantu satu orang wakil presiden (Pasal 4 ayat 2) dan menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat 1). Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden (ayat 2) dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (ayat 3). Selanjutnya dikatakan dalam ayat 4 pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU.

Pengalaman Empirik

Ditilik dari sejarah kelahirannya, ketentuan Pasal 17 ayat (4) ini adalah penambahan terhadap Pasal 17 lama yang hanya memiliki tiga ayat. Tambahan ayat (4) ini terjadi pada saat ditetapkan perubahan ketiga UUD 1945 Tahun 2002.

Gagasan untuk membatasi kekuasaan presiden itu sendiri muncul saat MPR hasil pemilu membahas perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999. Faktor yang mendorongnya adalah praktik kekuasaan presiden pada era pemerintahan sebelumnya terutama pada masa berlakunya UUD 1945 akibat minimnya kontrol dari lembaga negara lainnya.

Meskipun praktik sistem presidential pada era Orba gagal membangun pemerintahan demokratis, MPR hasil pemilu pada era Reformasi sepakat untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial. Alasannya, karena sistem ini dinilai cocok dengan situasi dan kondisi sosio-kultural masyarakat dan bangsa Indonesia.

Untuk mencegah munculnya kekuasaan presiden menjadi sangat powerful dan otoriter seperti terjadi dalam praktik pemerintahan presidensial orde sebelumnya, disepakati perlunya kekuasaan presiden dibatasi dan dikontrol secara ketat. Dan supaya kontrol dan pembatasan tersebut efektif harus ditetapkan sistemnya dalam UUD.

Selain didorong oleh pengalaman empirik pada era pemerintahan sebelumnya, munculnya Pasal 17 ayat (4) juga dipicu oleh kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999, yang membubarkan departemen sosial dan departemen penerangan. Ternyata kebijakan itu telah membawa implikasi yang sangat luas di masyarakat. Pengalaman pahit itulah yang mendorong MPR hasil Pemilu 1999 merumuskan Pasal 17 ayat (4) agar presiden tidak se-wenang-wenang dalam membubarkan kementerian.

Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial yang disertai pembatasan dan mekanisme kontrol yang sangat ketat terhadap kekuasaan presiden memang tidak hanya tercermin dalam Pasal 17 ayat (4), tetapi ditemukan juga dalam sejumlah pasal UUD 1945 hasil perubahan seperti antara lain Pasal 5 bahwa presiden tidak lagi menjadi pelaku kekuasaan perundang-undangan; ketentuan Pasal 14 ayat (1) bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. Begitu juga dalam memberikan amnesti dan abolisi serta mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 1 dan 2). Dalam UUD 1945 lama kewenangan- kewenangan tersebut sepenuhnya menjadi urusan presiden.

Selain itu ketentuan mengenai jabatan presiden dan wapres yang bersifat fixed term – yaitu memegang masa jabatan untuk lima tahun dan setelahnya hanya bisa dipilih kembali dalam satu kali masa jabatan (Pasal 7) – yang menjadi karakter pokok dari sistem presidensial, dibatasi oleh ketentuan dalam UUD 1945 yang tetap memberi peluang untuk memberhentikan presiden dan atau wapres sebelum masa jabatannya berakhir berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam UUD. Itu semua tercermin dari semangat untuk membatasi dan mengawasi kekuasaan presiden dalam sistem presidensial sehingga praktik penyelenggaraan kekuasaan presiden yang menyimpang dari ketentuan UUD seperti yang terjadi pada era pemerintahan sebelumnya tidak terjadi lagi.

Hal penting yang memerlukan perhatian adalah bahwa RUU Kementerian yang tengah dibahas DPR bersama Pemerintah itu adalah RUU yang dibuat untuk negara kita yang menganut sistem pemerintahan presidensial sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 4. Dengan menegaskan sistem presidensial tetap dipertahankan, suka atau tidak suka sebenarnya kita masih membutuhkan lembaga presiden yang kuat yang karena memimpin pemerintahan sehari-hari, presiden harus diberi kewenangan yang luas. Namun pemberian kewenangan yang luas seperti itu haruslah disertai dengan mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Selain tercermin dalam ketentuan mengenai fixed term untuk jabatan presiden dan wapres, dianutnya sistem presidensial juga tercermin dalam ketentuan mengenai pemilihan presiden dan wapres secara langsung oleh rakyat. Paket pemilihan presiden dan wapres yang menang dalam pemilu mencerminkan program-program yang ditawarkan paket calon presiden dan wapres selama kampanye pemilu berlangsung disukai dan disetujui rakyat, dan paket tersebut dipercaya oleh pemilih mampu menjalankan program-program tersebut sehingga merekalah yang dipilih.

Presiden tidak sendirian dalam menjalankan program-program tersebut. Ia dibantu oleh menteri-menteri. Untuk itu presiden memiliki hak prerogatif yang absolut sifatnya untuk mengangkat orang-orang kepercayaannya sebagai para pembantunya.

Mereka diangkat bukan saja karena dinilai memiliki kemampuan menjalankan tugas yang diberikan tetapi juga karena sangat dipercaya (political trust) untuk melaksanakan program-program yang mereka sampaikan pada saat pemilu.

Di sini hak prerogatif presiden memiliki makna yang luas. Bukan saja hak mengangkat pembantu-pembantunya tetapi juga membentuk departemen atau kementerian dalam rangka menyukseskan program kerjanya. Presiden berhak menentukan jenis maupun jumlah kementerian yang diperlukan dalam rangka melaksanakan program kerjanya.

Penulis adalah anggota Pansus RUU Kementerian Negara, pandangan inimerupakan pandangan pribadi

Last modified: 30/3/07


 

Memahami Konsep Keamanan

Oleh Poltak Partogi Nainggolan

Keamanan, apakah itu dalam konteks individual maupun kolektif, adalah konsep yang lazim dikenal dalam disiplin hubungan internasional. Ada dua konsep dasar keamanan yang perlu dipahami, yakni keamanan individual dan keamanan kolektif.

Konsep keamanan individual merujuk pada kondisi (jaminan) keamanan yang dapat diberikan negara kepada individu agar dapat dengan damai menjalankan kehidupannya sehari-hari, baik dalam bekerja untuk kehidupan yang layak, menikmati kehidupannya dewasa ini dan di masa depan. Konsep itu kelihatan tampak egoistik dan sangat Barat karena lebih menonjolkan peran manusia secara individual atau sebagai an independent human being, dan kontradiktif dengan Timur yang lebih menekankan keamanan bersama dalam konteks masyarakat.

Konsep keamanan kolektif, merujuk pada konsep keamanan bersama dalam arti luas, mencakup beberapa negara dalam suatu kawasan. Konsep keamanan kolektif inilah yang melatarbelakangi tumbuhnya organisasi-organisasi multilateral seperti League of Nations dan United Nations.

Pada masa itu (antara Perang Dunia I dan II), gagasan keamanan kolektif ini tidak dapat dipertahankan. Para pemimpin dunia tidak memiliki rasa saling percaya satu sama lain, setelah adanya berbagai peristiwa pelanggaran terhadap kesepakatan dan perjanjian internasional yang dibuat di antara mereka, seperti yang dilakukan Hitler atas Rusia.

Dengan dipengaruhi paradigma kaum realis yang semakin populer, para pemimpin dunia termotivasi menyatukan diri dalam aliansi politik dan militer, yang mencapai kulminasinya pasca- Perang Dunia II, atau masa Perang Dingin. Bermunculanlah kemudian pakta-pakta pertahanan regional seperti NATO, Pakta Warsawa, dan SEATO, sebagai pendukung keamanan bersama di kawasan, pelindung atas kesamaan aspira-si, ideologi, dan cita-cita bersama negara-negara anggotanya.

Ancaman

Dalam perkembangannya, terutama setelah berakhirnya Perang Dingin, konsep keamanan kolektif menjadi tidak populer lagi, sejalan dengan bermunculannya paradigma baru disiplin hubungan internasional. Aliansi politik dan militer di Timur dan Barat retak, dan bahkan, hancur sama sekali, karena ambruknya komunisme, meningkatnya kompetisi ekonomi di antara negara-negara kapitalis, serta membesarnya kesenjangan Utara-Selatan.

Sebagai konsekuensi dari ambruknya Uni Soviet dan Yugoslavia, keamanan individual di Barat terancam. Hal itu diakibatkan meningkatnya arus pengungsi, imigran, penyelundupan obat bius, dan bahan pembuat senjata strategis nuklir, biologi, dan kimia, serta meningkatnya aksi terorisme dari pembangkang di negara maju dan negara berkembang yang tidak puas.

Sejalan dengan kerusakan lingkungan hidup dunia, baik oleh eksploitasi komersial maupun kemiskinan, keamanan individual masyarakat di Barat, tidak hanya di negara berkembang yang belum menyadari hal itu, pun turut terancam. Karenanya tidak heran, gerakan kesadaran lingkungan yang berangkat dari gerakan individual, bermunculan dan melakukan tekanan terhadap kebijakan pemerintah sendiri maupun negara berkembang, yang mengalami proses degradasi dan destruksi lingkungan hidup secara masif dan cepat.

Keamanan individual di negara maju juga menjadi terancam dewasa ini oleh masalah transnasional terkait dengan penyebaran virus HIV, penyakit AIDS, ebola, penyakit sapi gila, dan sebagainya. Pemerintah masing-masing negara pun dengan ketat memeriksa dan menyeleksi pekerja asing, dan bahkan terhadap wisatawan yang hanya hendak berkunjung singkat. Hal itu menimbulkan tudingan kebijakan yang diskriminatif dan penyebaran sentimen rasialis.

Di samping itu, peredaran obat bius dan narkotika, aksi kriminalitas dan terorisme global, kian meningkatkan ancaman terhadap keamanan individual, yang sekaligus menciptakan rasa tidak aman di negara-negara maju. Ancaman terhadap keamanan individual yang meningkat, yang menciptakan rasa tidak aman, tentu saja berpengaruh terhadap meningkatnya tekanan warga negara terhadap pemerintah masing-masing, sehingga pemerintah mengambil tindakan mengintroduksi kebijakan protektif atas kepentingan warga negara mereka.

Sebaliknya, kebijakan itu sangat menekan, terkesan sensitif dan diskriminatif, terhadap kebijakan negara lain sumber datangnya ketidakamanan tersebut.

Aliansi

Keamanan individual yang terancam dan semakin melebar tingkat keterancamannya di suatu negara, dapat mengganggu keamanan individual di negara lainnya dalam sebuah kawasan, dan pada akhirnya dapat menciptakan ancaman terhadap keamanan kolektif. Dengan demikian, negara yang memiliki keprihatinan dan kepentingan yang sama, merasa perlu mengambil langkah bersama.

Persepsi keamanan kolektif tidak lagi berdimensi militer dan berwujud pakta atau aliansi militer, walau pada prinsipnya tetap pertahanan atau resistensi bersama, namun sudah dalam bentuk keamanan sipil.

Walaupun demikian, transformasi makna keamanan kolektif yang berkembang dari keamanan individual itu, tidak menghilangkan makna keamanan kolektif semula, yakni dalam arti pakta militer atau aliansi pertahanan. Sebab, dalam realitasnya, negara maju, dan bahkan, adikuasa tunggal seperti Amerika Serikat, masih membutuhkan upaya memelihara keamanan kolektif dalam perspektif tersebut. Contohnya dalam pembentukan payung antimisil stra- tegis Tiongkok dan Korea Utara, bersama-sama dengan Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.

Juga di Timur Tengah, bersama-sama dengan Israel, Amerika Serikat berupaya membentuk aliansi pertahanan serupa untuk menghadapi ancaman senjata strategis nuklir, biologi dan kimiawi Iran, yang dalam perspektif subjektif mereka diidentifikasi sebagai rogue states.

Sekalipun tidak ada pakta pertahanan baru seperti NATO, sesungguhnya dasar pemikiran pembentukan strategi pertahanan militer semacam itu juga didasari kebutuhan akan adanya keamanan kolektif seperti di masa lalu.

Di mandala Eropa, negara Eropa yang sangat enggan untuk terus bergantung pada bantuan militer Amerika Serikat di masa depan, telah memikirkan untuk menciptakan pertahanan bersama dari ancaman serangan luar. Tercipta pertahanan antara Inggris dan Prancis, ataupun Prancis dan Jerman. Sementara, kehadiran NATO dengan eksisnya peran dominan Amerika Serikat, juga membuk- tikan konsep keamanan kolektif dalam arti tradisional, masih diterapkan. Hanya bedanya, dewasa ini tidak lagi se-rigid pada masa sebelum Perang Dingin berakhir.

Bahkan, konsep musuh bersama dipersempit, dan sebaliknya, konsep keamanan kolektifnya diperluas, dengan dimasukkannya bekas Uni Soviet, terutama Rusia, sebagai bagian dari aliansi bersama itu. Dasar pemikiran itulah yang berada di balik perluasan pakta pertahanan NATO ke wilayah Eropa Timur, dengan memasukkan negara-negara di wilayah itu sebagai anggota baru, dengan kepentingan dan tujuan yang sama.

Penulis adalah mahasiswa program doktoral Albert-Ludwigs Universitaet Freiburg, Jerman; dapat dihubungi di pptogin@yahoo.com

Last modified: 21/3/07


 

CATATAN JAKARTA

60 Tahun Perjanjian Linggarjati

Sabam Siagian

Enam puluh tahun lalu, pada tanggal 25 Maret 1947, di Jakarta ditandatangani perjanjian pertama yang disepakati antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Dokumen yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Linggarjati ditandatangani di Istana Rijswijk (sekarang disebut Istana Negara) oleh Delegasi RI yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Delegasi Belanda dipimpin mantan PM Willem Schermerhorn, seorang tokoh pemimpin Partai Buruh Belanda.

Sebenarnya sungguh unik peristiwa tersebut dalam sejarah dekolonisasi negeri-negeri terjajah setelah Perang Dunia ke-2 berakhir pada bulan Agustus 1945. Ne-gara RI belum berumur dua tahun, maka sebuah perjanjian ditandatangani dengan negara penjajah yang dimaksud untuk mengakhiri konflik bersenjata antara dua bangsa.

Perjanjian itu mungkin karena baik di Belanda maupun di kalangan RI terdapat keyakinan bahwa jalan damai dan kerja sama jauh lebih baik ketimbang konflik yang berkepanjangan sehingga dapat melemahkan kedua belah pihak. Negeri Belanda telah didu- duki oleh Nazi Jerman selama 5 tahun dan daya mampu ekonominya amat rendah.

Ia mengandalkan hasil ekspor dari jajahannya Indonesia (Hindia Belanda) berupa produk perkebunan (kopi, teh, karet, kina, lada), pertambangan dan minyak bumi untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan bangsa.

Indonesia telah me- ngalami pendudukan militer Jepang selama 3,5 tahun yang menguras kekayaannya untuk mendukung kekuatan militernya dalam menghadapi angkatan perang Amerika Serikat beserta sekutunya di Pasifik dan Birma.

Suatu kesepakatan dengan Belanda untuk mengakhiri konflik politik dan militer dapat mempercepat dimulainya usaha pembangunan di Indonesia, karena baik infrastruktur maupun bidang pertanian, perkebunan dan industri telah berantakan.

Ada faktor lain lagi kenapa kelompok sekitar PM Sutan Sjahrir dengan dukungan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta khawatir akan suatu konflik politik dan militer dengan Belanda berlarut-larut. Selama pendudukan Jepang, pihak militer Jepang telah mengadakan latihan semi militer yang menyeluruh untuk pemuda-pemudi Indonesia dan membentuk organisasi para militer. Semuanya itu untuk memperkuat pertahanannya, terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera dalam menghadapi kemungkinan pendaratan pasukan-pasukan Sekutu.

Namun, kalau semangat militansi yang telah dikobarkan pihak militer Jepang terus berlarut karena konflik bersenjata yang berkepanjangan dengan Belanda, maka kemungkinan besar sikap hidup yang fasis akan meluas di kalangan angkatan muda. Bahaya meluasnya fasisme inilah, suatu sikap hidup yang memuja cara kekerasan, yang terutama dikhawatirkan oleh kelompok sosial-demokrat yang pada tahun 1947 itu dipimpin oleh PM Sutan Sjahrir dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin Harahap.

Karena itulah delegasi RI yang dipimpin oleh PM Sjahrir bersedia memberikan beberapa konsesi, namun dalam hal yang prinsipiil dan penting Sjahril berhasil mendesak Belanda untuk mengakuinya. Patut dicatat, peranan diplomasi Inggris berjasa dalam mendorong Belanda dan RI berunding sampai suatu kesepakatan tercapai.

Inggris bertindak sebagai ten-tara pendudukan sementara di Jawa dan Sumatera atas nama negara-negara Sekutu setelah Jepang mengaku kalah pada 14 Agustus 1945. Pemerintah Inggris di Lon-don telah menugaskan dua diplomat ulung secara berturut-turut ke Jakarta untuk berperan sebagai penengah. Pada tahun 1946 tiba Sir Archibald Clark Kerr yang tidak berhasil menyelesaikan tugasnya. Kemudian tiba Lord Killearn yang tinggi dan besar perawakannya.

Dalam putaran perundingan bulan November 1946 yang diselenggarakan di Linggarjati, tempat peristirahatan di luar kota Cirebon atas undangan Delegasi Indonesia, maka dengan bantuan Lord Killearn dapat diselesaikan dan diterima sebuah naskah persetujuan. Lahirlah sebutan perjanjian Linggarjati.

*

“Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera.” Demikian kalimat pertama dalam Pasal 1 Perjanjian Linggarjati. Perjanjian itu terdiri dari 17 pasal. Pasal terakhir, Pasal 17, mengakui prinsip “arbitrase”. Jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian, maka kedua belah pihak setuju mengundang pihak ketiga untuk menjatuhkan keputusan final.

Pasal 17 itu amat menguntungkan pihak RI. Berdasarkan ketentuan “arbitrase” itulah, maka konflik RI -Belanda berhasil menjadi mata agenda Dewan Keamanan PBB sebagai akibat dari serangan umum Belanda terhadap wilayah RI pada Juli 1947, hanya empat bulan setelah Perjanjian Linggarjati ditandatangani.

*

Dalam mengenang Perjanjian Linggarjati yang berumur 60 tahun pada tanggal 25 Maret 2007, maka yang menonjol adalah visi luas dan keberanian politik yang dimiliki seorang tokoh pemimpin seperti Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Pasal 1 yang dikutip di atas telah menimbulkan kehebohan bukan saja di kalangan radikal kiri yang dikobarkan oleh Tan Malaka. Juga, sebagian dari sayap kanan yang supernasionalistik menganggap Sjahrir dan para pendukungnya telah “menjual” kedaulatan Indonesia Merdeka. Ia dicap sebagai pengkhianat bangsa. Dua hari setelah penandatanganan, di depan suatu rapat umum di halaman Balai Kota di Merdeka Selatan, Sjahrir pidato menguraikan pemikiran dan keyakinan di balik Perjanjian Linggarjati.

Ia terangkan tentang perimbangan kekuatan di panggung internasional setelah Perang Dunia selesai, tentang lokasi kepulauan Indonesia yang berada di radius kekuatan Inggris dan Amerika serta bagaimana memanfaatkan kenyataan itu untuk mengisolasi Belanda, tentang perimbangan politik di Belanda di mana kelompok progresif seperti diwakili oleh mantan PM Willem Schermerhorn tidak merupakan kekuatan mayoritas.

Sjahrir tekankan betapa pentingnya tetap memelihara keyakinan bahwa pada suatu tahap perkembangan, kedaulatan Indonesia Merdeka pasti akan merupakan kenyataan, bahwa menuju sasaran itu secara bertahap memerlukan ketabahan dan keuletan. Secara tidak langsung, ia menetralisir slogan “Merdeka seratus persen atau mati”.

Keberanian mengambil keputusan berdasarkan realisme politik serta gigih mempertahankannya tapi tetap diilhami oleh visi masa depan merupakan karakter Sutan Sjahrir yang mengagumkan. Dan ternyata prinsip-prinsip dalam Perjanjian Linggarjati tetap berpengaruh dalam perkembangan konflik RI – Belanda selanjutnya. Ia berhasil mengangkat konflik tersebut sebagai masalah internasional, sehingga Belanda dapat dipojokkan.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional

Last modified: 23/3/07


 

Kultur Kekerasan di Tubuh Polri

Oleh Paulus Mujiran

Tewasnya AKBP Lilik Purwanto SH MHum di tangan anak buahnya, Briptu Martinus Hance Christijanto, telah mencoreng lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Kematian itu tidak hanya sia-sia, tetapi juga memprihatinkan, karena mencerminkan kultur pembinaan yang kurang berjalan ketika anak buah berani melawan atasannya.

Sebagaimana banyak diulas di berbagai media massa, kejadian tragis di pagi hari berkait kelindan dengan etika kepolisian, perekrutan, kultur kekerasan pendidikan, jenjang karier/mutasi, beban tugas yang berat, sementara kesejahteraan tidak adil. Dalam kasus Briptu Hance, dari sisi sosial ekonomi saja mudah ditebak kesejahteraaan yang bersangkutan jauh dari standar seorang pelayan negara. Bagaimana mungkin seorang yang hidup di bawah standar mampu memberikan pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat?

Pembunuhan terhadap atasan sendiri menjadi potret yang paling mungkin, karena dalam asumsi Hance yang menentukan kesejahteraan sebagai prajurit adalah atasan. Meminjam Novel Ali (2007), tindakan Hance terhadap atasannya mencerminkan pelanggaran etika kepolisian. Pertanyaan Novel sangat menggelitik, apakah etika ini terus-menerus diberikan atau hanya ketika seorang anggota Polri menjalani pendidikan di Secaba atau Akademi Kepolisian? Maka mudah ditebak dengan cepat, idealisme sebagai pelayan publik luntur sejalan dengan ramainya godaan menjadi polisi.

Tindakan Hance yang menghadap atasan tanpa meninggalkan senjata dengan menitipkan kepada teman lain, merupakan pelanggaran etika amat serius. Pelanggaran etika yang berbuah tragedi itu tentu saja merupakan pelanggaran demi pelanggaran yang dibiarkan terus terjadi. Pemimpin mesti peka terhadap perubahan yang dilakukan anak buahnya.

Di samping itu sudah lama santer terdengar proses perekrutan anggota Polri berbau suap puluhan juta rupiah. Meski sulit dibuktikan, namun tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Meski petinggi-petinggi kepolisian selalu berkelit dengan mengatakan perekrutan anggota polisi tidak menggunakan uang, namun selalu saja terdengar, bahkan jumlahnya pun meningkat. Akibat jangka pendek, masuk menjadi polisi adalah investasi atau mengembalikan modal.

Sudah banyak cerita polisi memeras ketika menjalankan tugas. Padahal, masyarakat mengharapkan polisi mampu hadir sebagai pelayan publik yang mengayomi dan melindungi. Pada kasus-kasus seperti narkoba, banyak cerita miring beredar soal harga tertentu yang harus dibayar seorang tersangka kalau ingin hukuman diperingan.

Yang tak kalah miris adalah kultur kekerasan yang masih terus terpelihara dalam pendidikan anggota Polri. Kekerasan taruna terhadap adik kelas di Akpol Semarang mampu menjelaskan adanya kultur kekerasan yang sengaja dipelihara dalam proses pendidikan. Tidak mungkin seorang taruna berani bertindak keras kepada adik kelasnya jika memang sistemnya tidak memberi peluang untuk itu.

Kultur kekerasan itu meminjam terminologi Johan Galtung (2001) akan menjadi kultur kekerasan berantai atau efek domino. Kekerasan yang dilakukan pemimpin kepada anak buah, dengan mudah berantai kepada anak buah yang lebih rendah pangkatnya, bahkan kepada masyarakat yang mestinya dilindungi. Kekerasan yang sudah dilakukan akan terpendam menjadi efek bawah sadar yang sewaktu-waktu bisa diledakkan ketika tekanan atau situasi pahit mendera seseorang. Sebagian masih percaya kultur kekerasan sengaja diciptakan untuk mendisiplinkan seseorang. Padahal, kalangan pendidik justru menentang keras praktik kekerasan karena akan melahirkan efek balas dendam.

Di kalangan kepolisian kenaikan pangkat seseorang ditentukan atasan. Ini pun, konon disertai “setoran” yang harus dibayarkan kepada atasan. Makin besar setoran yang diberikan, jenjang karier atau pangkat akan mulus. Bukan rahasia lagi seorang anggota ditarget memberikan “setoran” dalam jumlah tertentu kepada atasannya.

Kondisi itu ditunjang dengan proses mutasi yang tidak pernah dijelaskan kepada anggotanya. Kenaikan pangkat dan jenjang karier mestinya menganut the right man on the right place dan merit system ketika seseorang dinilai atas dasar kelayakan dan prestasi serta penempatan yang tepat. Sebuah organisasi yang menerapkan kultur siapa dekat pimpinan selalu bernasib baik, pelan namun pasti segera menemui kehancuran.

Organisasi yang sehat ialah ketika mampu memelihara loyalitas bawahan berdasar prestasi. Kultur setoran semacam itu merusak jenjang karier karena anggota yang bekerja keras namun di tempat kering dengan mudah frustrasi karena tidak mampu menyenangkan pemimpin. Sementara anggota di tempat basah dengan cepat kariernya melejit. Persoalan semacam itu mestinya mampu ditangkap pemimpin Polri ketika mereformasi diri menjadi polisi sipil yang mengedepankan kepercayaan masyarakat.

Kesejahteraan

Selain itu kesejahteraan mestinya bukan hanya milik pemimpin. Bukan rahasia lagi banyak anggota Polri dan juga TNI dengan pangkat rendah hingga pensiun belum mempunyai rumah sendiri. Sementara pada sisi lain banyak petinggi Polri, yang masih aktif maupun pensiunan, mampu memiliki rumah mewah dengan kendaraan bagus. Padahal dengan gaji standar tidak mungkin membangun rumah mewah seperti sering kita saksikan selama ini. Ambil contoh Hance dengan rumah petak ukuran 4 X 6 meter di Asrama Polisi Kabluk Semarang yang dihuni 11 keluarga.

Bagaimana mungkin mereka dapat beristirahat di rumah ketika asrama yang ditinggalinya sama sekali tidak layak? Apalagi Hance sebagai pasangan muda mestinya menikmati indahnya hidup berumah tangga? Namun ketika asrama yang dihuni kurang layak memberikan kontribusi yang amat jelas, tekanan hidup itu tidak pernah terselesaikan dengan seksama.

Terakhir, mengaca dari kematian Lilik Purwanto, barangkali tidak bijak kalau selalu menyalahkan bawahan. Bagaimana pembinaan staf dijalankan di tubuh kepolisian? Apakah ada pembinaan berkala yang memungkinkan anggota memperoleh pencerahan dan pengembangan rohani memadai?

Tugas seorang polisi sangat rawan karena bersinggungan dengan masalah-masalah peka yang dihadapi masyarakat. Di samping godaan uang, perempuan, kekuasaan, tugas itu memaksa polisi bekerja standar. Sebagai abdi negara, menegakkan norma yang berlaku. Sementara pada sisi lain kelemahan sebagai manusia membuka kesempatan untuk berbuat curang. Hanya pembinaan yang memadai yang bisa memacu polisi bekerja benar dan jujur.

Pembunuhan Lilik Purwan- to adalah cermin bagi petinggi- petinggi Polri bahkan juga DPR yang tidak memberikan perhatian memadai kesejahteraan pelayan-pelayan masyarakat itu. Kejadian tragis ini selayaknya menjadi bahan introspeksi bagi seluruh petinggi Polri bahwa kejadian serupa bisa terulang jika tidak ada pembenahan yang bersifat mendasar.

Penulis adalah pengamat sosial, anggota Central Java Police Watch

Last modified: 22/3/07


 

Jakarta Masa Depan

Oleh Lukman F Mokoginta

Gonjang-ganjing pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta kian menghangat. Satu pihak mengusulkan pemilihan gubernur dalam satu paket dengan satu wakil gubernur, sementara pihak lain menginginkan hanya pemilihan langsung untuk gubernur dan penetapan oleh presiden empat wakil gubernur sesuai usulan gubernur terpilih.

Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota memiliki dinamika tinggi dan daya tarik kuat sekaligus menyimpan persoalan “spesifik”, baik secara lokal, regional, maupun internasional. Berbagai kekhususan Jakarta meliputi antara lain sebagai pusat pemerintahan nasional, pintu gerbang nasional dan internasional, cerminan wajah Indonesia di mata dunia, dipadati berbagai kegiatan nasional/regional/internasional, ditambah lagi upaya menyejajarkan dengan kota megapolitan lain di dunia.

Pembangunan di Jakarta bergerak cepat dalam segala aspek sehingga diperlukan bentuk organisasi pemerintah yang lebih adaptif melayani dinamika kekhususan Jakarta. Singkatnya, jika ditinjau dari perspektif kepemimpinan, waktu, dan kapasitas, akibat tingginya intensitas kegiatan gubernur dan wakil gubernur (hanya satu) saat ini, kurang menunjang pencapaian pemerintah yang sensitif, transparan, responsif, bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, sehingga dapat dianggap tidak civilized. Kita perlu membangun Pemerintah Jakarta yang lebih dapat menjadi penjaga dan pelaksana nurani rakyat, siap setiap saat melayani kepentingan rakyat, sehingga reformasi dan demokrasi semakin menjadi nyata dan profesional.

Jakarta Kini

Secara langsung maupun tidak langsung, sistem pemerintahan suatu wilayah memiliki efek terhadap kesejahteraan rakyatnya. Suatu sistem dapat menjadi patokan atau batasan apa yang dilakukan seseorang. Jadi jika sistem yang diberlakukan berdampak baik bagi rakyat, hendaknya sistem tersebut dijalankan secara konsisten. Namun jika suatu sistem berdampak buruk, hendaknya sistem tersebut dibenahi atau diganti dengan yang adaptif. Kenyataan saat ini, masih banyak yang perlu dibenahi di Jakarta dari berbagai sudut pandang terutama pelayanan masyarakat.

Kondisi kekhususan Jakarta yang sangat dinamis dan kompleks, ditambah dengan otonomisasi pemerintahan menuju kota megapolitan dan lain-lain, membutuhkan kerja ekstrakeras dari pemerintahnya. Sedangkan susunan pengelolaan Jakarta masih menggunakan undang-undang berbasis “paradigma lama”, yakni UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta.

Tidak dapat disangkal, dalam beberapa dekade terakhir Jakarta telah mengalami perubahan luar biasa. Kondisi fisik dan sosial kota yang semula lebih mengesankan “kampung besar”, kini berubah menjadi metropolitan, bahkan semakin kuat memantulkan citra kota megapolitan.

Kenyataan sekarang, UUD 1945 telah mengalami perubahan, termasuk UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga berbagai penyesuaian khususnya soal “aspek legal” DKI Jakarta sangat mendesak dilaksanakan sesuai dengan tuntutan pelayanan publik terkini dan antisipasi ke depan.

Aspek Legal Pemerintah

Keberadaan pemerintah daerah sebagai hasil pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat terkait dengan Bab VI UUD 1945. Khusus bahasan mengenai Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sangat terkait dua hal. Pertama, Ayat (4) Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi “gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Kedua, Ayat (1) Pasal 18b UUD 1945 yang berbunyi “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Jelas sekali secara normatif sesuai bunyi Ayat (4) Pasal 18 UUD 1945 hanya memperkenalkan istilah gubernur sebagai kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis, dan tidak memperkenalkan istilah wakil gubernur.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah pengaturannya secara eksplisit hanya pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pasal 24 Ayat (3). Karena itu, jika dikaitkan antara Ayat (4) Pasal 18 UUD 1945 dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seolah-olah tidak ada harmonisasi atau sinkronisasi normatif secara vertikal.

Sesuai dengan dinamika dan kompleksitas pembangunan di Jakarta yang bergerak cepat dalam segala aspek, tidaklah mengherankan jika diperlukan bentuk organisasi Pemerintah Jakarta yang dapat lebih adaptif melayani dinamika kekhususan Jakarta. Singkatnya, jika ditinjau dari perspektif kepemimpinan, waktu dan kapasitas, akibat tingginya intensitas kegiatan gubernur dan wakil gubernur (hanya satu) saat ini, dinilai kurang menunjang pencapaian pemerintah yang berpihak kepada rakyatnya. Bahkan Bang Yos pernah mengungkapkan, kehadiran satu wakil gubernur pada saat ini membuat Pemerintah DKI Jakarta terengah-engah menjalankan pemerintahan.

Kerja keras pemerintah menjadi “superekstra” dan hal ini tentu tidak sehat bagi pemimpin maupun yang dipimpin. Siapa pun memahami dan merasakan problem Jakarta besar, berat, dan kompleks. Di salah satu media televisi Bang Yos secara terbuka dengan gurauannya yang khas mengatakan isi Jakarta adalah “binatang buas”, sehingga tentu diperlukan pemimpin yang kuat dan didukung sistem pemerintahan yang kuat pula.

Mengikuti rangkaian keseluruhan alur pikir di atas, apalagi dengan kekhususan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara dengan otonomi tunggal di tingkat provinsi, dimungkinkan Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung. Sedangkan Wakil Gubernur DKI Jakarta diusulkan menjadi sebanyak empat orang yang diangkat dari pegawai negeri sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan dan diusulkan gubernur terpilih kepada presiden untuk ditetapkan melalui Peraturan Presiden.

Wakil-wakil gubernur membidangi pembangunan, sosial kemasyarakatan, pemerintahan, dan perekonomian. Permasalahan banjir yang tak pernah absen merupakan salah satu tugas dari Wakil Gubernur Bidang Pembangunan yang menyinergikan penanganan secara terpadu dengan Jabar dan Banten. Demikian juga, dengan wakil gubernur yang lain akan fokus pada tugas pokok dan fungsinya menuju masyarakat Jakarta yang adil, aman, dan sejahtera. Di sini jelas terlihat profesionalisme politis yang diwakili gubernur, dan profesionalisme teknis, sosial, ekonomi dan administratif diwakili empat wakil gubernur sangat terpenuhi dan sesuai dengan tuntutan pelayanan publik terkini dan antisipasi jauh ke depan.

Sesungguhnya inilah konsep paradigma baru kepemerintahan yang berbasis pada kemitraan, koordinasi sosial, dialog, dan pertumbuhan, demi pencapaian pemerintah yang sensitif, transparan, responsif, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, sehingga dapat dianggap beradab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan aman dan sejahtera. Itulah Jakarta Masa Depan yang didambakan masyarakat Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Penulis adalah Ketua Lembaga Studi Sosial, Lingkungan dan Perkotaan (LS2LP), mantan anggota DPRD DKI Jakarta 1992-1999.

Last modified: 22/3/07



 

RI, Iran, AS, dan DK PBB

THE GLOBAL NEXUS

Christianto Wibisono

Hari Sabtu (24/3) Dewan Keamanan (DK) PBB dengan suara bulat 15-0 memutuskan resolusi penambahan sanksi terhadap Iran. Yang merupakan tamparan psikologis bagi Iran ialah dukungan Qatar, RI, dan Afrika Selatan terhadap resolusi itu. Jumat malam (23/3) Presiden Yudhoyono menelepon Presiden Ahmedinejad agar menerima pengawasan IAEA atas program nuklir Iran. Ahmedinejad merasa keterpojokan Iran dan membatalkan pidato di depan DK PBB.

Wakil Tetap RRT Wang Guangya menyatakan resolusi itu bertujuan menekan Iran agar kembali ke meja perundingan seperti Korea Utara. Sebelumnya, Presiden Bush menelepon Presiden Yudhoyono, minta dukungan Indonesia bagi resolusi DK PBB tersebut.

Bulan Juni 2006 Global Nexus Institute memperoleh hasil kajian dua pakar Harvard University berjudul How Much is a Seat on The US Security Council Worth? Kajian itu mengulas tentang bantuan luar negeri dan makna voting di forum PBB. Bagaimana RI bisa bermain kartu percaturan global secanggih negara lain yang menikmati arus dana ratusan juta atau miliaran dolar? Bagaimana kita mengaktualkan asas quid pro quo dalam diplomasi global kita? The Washington Post sejak Maret 2007 membuat serial sebulan penuh berjudul Lobbyist: Washington Biggest Business. Nilai jasa lobi tahun 2006 US$ 2,5 miliar dibanding US$ 100 juta pada 1975.

Hari Selasa, 10 April 2007, Global Nexus Institute sebagai lembaga lobi pertama di Indonesia, akan menggelar Exclusive Breakfast Roundtable, di Sumba Room Hotel Borobudur. Acara itu menampilkan Mr Paul Miller, Ketua American League of Lobbyist untuk menguraikan seluk-beluk lobi di AS. Pada 26 Januari 2007 dalam diskusi QTV saya merujuk kajian Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa Indonesia akan masuk 10 besar ekonomi pada 2030. Kolom saya Senin, 29 Januari, berjudul “Indonesia, 10 Besar Ekonomi 2030?” Force majeur, banjir membatalkan acara peluncuran Global Nexus Institute 6 Maret menjadi 10 April 2007.

Hari Kamis, 23 Maret, Yayasan Indonesia Forum dipimpin pengusaha Chairul Tanjung didampingi Anthony Salim, meluncurkan Visi Indonesia 2030 sebagai satu dari lima besar ekonomi global di depan Presiden Yudhoyono. Saya salut atas kesigapan Yayasan Indonesia Forum menggelindingkan bola salju visioner dari EIU dan GNI. Tentu saja tetap harus diimbangi kewaspadaan terhadap realita kendala yang masih menghadang di depan kita.

*

Pada diskusi QTV Jumat, 23 Maret, bersama Sugeng Saryadi, T Mulya Lubis, dan Iman Sugema, saya mengusulkan pengendalian dwifungsi penguasa-pengusaha sebagai kendala utama dalam mencapai Visi 2030.

Kendala utama ialah fenomena tumpang tindih elite pengusaha yang merangkap menjadi penguasa politik atau pejabat publik.

Di Indonesia, pengaruh tradisi feodal tidak mengenal wacana konflik kepentingan conflict of interest. Raja dan penguasa kaya merupakan hal yang lumrah wajar dan legitimate. Justru kalau penguasa tidak kaya, rakyat akan menggunjingkan sebagai pudarnya wangsit penguasa.

Di AS konflik kepentingan dikelola dengan pembentukan blind trust management, “pengelola harta independen”. Blind di sini bermakna simbolik, netral, tidak memihak dan tidak berpolitik partisan. Mirip dengan simbol dewi keadilan di Barat yang menutup mata dengan kain agar keadilan berfungsi maksimal dan tidak terpengaruh faktor siapa pelakunya.

Pengusaha yang dilantik menjadi anggota kabinet harus menempatkan aset seperti saham perusahaan yang dikuasainya di bawah perusahaan pengelola aset independen, profesional, dan nonpartisan. Itulah sebabnya dua presiden dari dua partai berbeda, Clinton maupun Bush, sama-sama menaruh asetnya di bawah Peel Rudman.

Di Indonesia, mantan Presiden Soeharto pernah mengeluarkan peraturan penyelenggara negara harus melaporkan kekayaan pribadi. Tapi laporan itu hanya boleh dibaca presiden dan biasanya disimpan di laci, tidak di-tindaklanjuti. Di zaman Reformasi pernah ada Komite Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Biasanya laporan kekayaan itu diumumkan dan para menteri selalu menekankan adanya faktor hibah dalam jumlah kekayaan. Mestinya hibah itu ditelusuri, siapa dan mengapa serta ada kaitan apa bisa terjadi hibah miliaran.

Dalam diskusi QTV terpantau juga akan lebih banyak pengusaha yang menjadi bupati, gubernur, anggota DPR, menteri, bahkan presiden. Sehingga keperluan untuk mengundangkan pengendalian konflik kepentingan dengan mewajibkan pejabat publik eks pengusaha menempatkan aset bisnisnya di bawah pengelola aset independen, semakin mendesak.

*

Elite politik Indonesia mahir melakukan praktik money politics dengan transaksi lintas lembaga Trias Politika. Antara eksekutif, legislatif dan judikatif serta masyarakat bisa terjadi transaksi dana untuk mengamankan kepentingan masing-masing dalam percaturan politik. Tapi Indonesia kurang lincah menuntut quid pro quo atas manuver diplomatik. Pemerintah negara-negara yang memerlukan favor AS biasanya menunjuk lobbying firm untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan mereka tanpa mengurangi peranan kedutaan besar mereka di Washington DC.

India, misalnya, menunjuk perusahaan lobi milik tokoh Demokrat maupun Republik. Pakistan, Arab Saudi, RRT, Korea Selatan, Jepang, Israel, dan Malaysia, termasuk nasabah lukratif. LSM Malaysia menyalurkan dana ke The Heritage Foundation untuk mengatur KTT Mahathir-Bush.

Salah satu lobbyist terkenal ialah Tongsun Park yang di tahun 1970-an berhasil memperjuangkan alokasi bujet AS untuk bantuan ke Korea Selatan. Tongsun Park baru-baru ini terlibat dalam skandal Oil for Food Iraq yang terkait dengan mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Perlu diketahui, peranan Kongres (DPR dan Senat) di AS sangat penting untuk mengesahkan anggaran bantuan dan bisa memveto atau menghalangi langkah presiden, Senator Demokrat Patrick Leahy adalah yang paling keras menolak bantuan militer untuk RI karena stereotype TNI bertradisi pelanggar HAM.

Tapi, dalam percaturan global, pertimbangan HAM bisa dikalahkan oleh faktor geopolitik. Seperti Pakistan memperoleh bantuan miliaran dolar karena posisi sebagai pangkalan untuk invasi ke Afghanistan. India memperoleh miliaran dolar untuk mengimbangi RRT dan kekecewaan terhadap Pakistan yang gagal menumpas Al Qaeda setelah enam tahun.

Dalam masalah lobi ini sebetulnya Indonesia layak memperoleh imbalan setara dengan Pakistan, India, Yordania, dan Mesir dalam perang publik opini.

Suara Indonesia dalam Dewan Keamanan PBB tentang resolusi sanksi terhadap Iran mestinya memperoleh quid pro quo dari AS. Di sini pentingnya lobbyist untuk menggarap tangible benefit dari bobot suatu langkah diplomatik. Sebab “there is no such thing as free lunch in the world. You have to pay for your lunch“. Mengatur quid pro quo ini merupakan profesi rutin bagi lobbyist. Kehadiran Global Nexus Institute adalah untuk bersinergi dengan Pemerintah agar kartu diplomasi bisa dimanfaatkan bagi sebesar besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Penulis adalah pengamat masalah internasional

Last modified: 26/3/07


 

Upaya Mengatasi Masalah Kelaparan dan Kurang Gizi

Oleh Soekirman

Di kantor pusat Badan Pangan Dunia (FAO) di Roma, 26 Februari – 1 Maret 2007, berlangsung sidang ke-34 Panitia Tetap PBB Urusan Gizi (Standing Committee on Nutrition, atau SCN). Sidang itu untuk membicarakan kerja sama yang lebih efektif antarbadan PBB, pemerintah, LSM, dan masyarakat.

Hadir sekitar 400 peserta lebih dari 40 negara maju dan berkembang, semua badan PBB dan bilateral yang mengurusi bidang pangan dan gizi, seperti WFP, FAO, UNICEF, WHO, World Bank, USAID, CIDA dan lain-lain. Selama ini dirasakan berbagai lembaga PBB yang membantu upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi di berbagai negara masih berjalan sendiri-sendiri.

Masalah kelaparan dan kekurangan gizi di Afrika dan Asia yang masih marak mendorong badan-badan itu membentuk inisiatif, untuk secepatnya membantu negara-negara miskin mengakhiri terjadinya kelaparan dan kurang gizi pada anak, atau Ending Child Hunger and Under Nutrition Initiative (ECHUI). Upaya itu juga untuk mendorong tercapainya sasaran Millennium Development Goals (MDGs), antara lain mengurangi separuh penduduk dunia yang kelaparan dan miskin pada 2015.

Sidang SCN tahun ini juga menindaklanjuti hasil sidang ke-33 di Jenewa 2006, yang membahas masalah-masalah teknis menghadapi masalah gizi ganda yang dihadapi negara berkembang dan miskin. Selain masalah kekurangan gizi, mereka juga menghadapi tren makin banyak penduduk kegemukan karena masalah kelebihan gizi di negara kaya dan miskin. Data statistik gizi dari WHO, UNICEF, dan FAO dalam sidang-sidang SCN menunjukkan masalah kegemukan sejak dekade terakhir ini juga menjadi masalah negara miskin.

Fenomena itu makin mendorong lembaga gizi PBB mencari terobosan-terobosan baru dalam mengatasi masalah gizi. Salah satu caranya, menganjurkan negara-negara berkembang lebih konsepsional ilmiah yang bersifat universal dan menggunakan data ilmiah dalam menyusun kebijakan dan program gizi.

Diperlukan kemauan politik yang dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat, khususnya dalam hal keefektifan dana. Hal itu dicapai dengan menyusun program perbaikan gizi yang dilandasi konsep dan data ilmiah yang bersifat universal, yang menjadi bagian integral dari kebijakan dan rencana pembangunan sosial ekonomi jangka pendek dan panjang, nasional maupun daerah. Karena dana pembangunan negara miskin umumnya terbatas, harus dicari program yang berbiaya relatif kecil dengan dampak besar terhadap kesejahteraan rakyat.

Peta Kebijakan

Pentingnya kebiasaan hidup sehat dan pola makan gizi seimbang sehari-hari belum merupakan kebutuhan yang dirasakan sebagian besar masyarakat. Karena itu upaya perbaikan gizi tidak cukup dengan penyediaan sarana tetapi juga perlu upaya perubahan sikap dan perilaku. Masalah gizi, baik masalah gizi kurang dan gizi lebih, disebabkan banyak faktor yang saling terkait. Masalah gizi kurang yang dapat menjadi gizi buruk, misalnya, bukan hanya karena anak kekurangan makanan, tetapi juga karena penyakit.

Pola pengasuhan anak juga sangat menentukan status gizi dan kesehatan anak, demikian juga kualitas pelayanan kesehatan dasar yang berpihak pada orang miskin. Berbagai sebab tadi sangat ditentukan oleh situasi ekonomi rakyat, keamanan, pendidikan, dan lingkungan hidup.

Masalah gizi tidak dapat ditangani dengan kebijakan dan program sepotong-sepotong dan jangka pendek serta sektoral, apalagi hanya ditinjau dari aspek pangan. Dari pengalaman negara berkembang yang berhasil mengatasi masalah gizi secara tuntas dan lestari seperti Thailand, Tiongkok, dan Malaysia, diperlukan peta jalan kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Masing-masing diarahkan memenuhi persediaan pelayanan dan menumbuhkan kebutuhan atau permintaan akan pelayanan.

Untuk itu diperlukan kebijakan pembangunan bidang ekonomi, pangan, kesehatan dan pendidikan, serta keluarga berencana yang saling terkait dan mendukung, yang secara terintegrasi ditujukan untuk mengatasi masalah gizi (kurang dan lebih) dengan meningkatkan status gizi masyarakat (World Bank, 2006).

Kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan meliputi lima hal. Pertama, pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang dilaksanakan tahun 1970-1990an, penimbangan balita di posyandu dengan KMS. Kedua, pemberian suplemen zat gizi mikro seperti pil besi kepada ibu hamil, kapsul vitamin A kepada balita, dan ibu nifas.

Ketiga, bantuan pangan kepada anak gizi kurang dari keluarga miskin. Keempat, fortifikasi bahan pangan seperti fortifikasi garam dengan yodium, fortifikasi terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2. Kelima, biofortifikasi, suatu teknologi budi daya tanaman pangan yang dapat menemukan varietas padi yang mengandung kadar zat besi tinggi dengan nilai biologi tinggi pula sebagai contoh.

Kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan dan kebutuhan masyarakat meliputi enam hal. Yakni, bantuan langsung tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin, kredit mikro untuk pengusaha kecil dan menengah, pemberian suplemen makanan khususnya pada waktu darurat, pemberian suplemen zat gizi mikro khususnya zat besi, vitamin A dan zat yodium, bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin, serta pemberian kartu miskin untuk keperluan berobat dan membeli makanan dengan harga subsidi, seperti beras untuk orang miskin (raskin) dan MP-ASI untuk balita keluarga miskin.

Kebijakan yang menumbuhkan permintaan adalah dengan mendorong perubahan perilaku hidup sehat dan sadar gizi, melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan itu bertujuan memberikan pengetahuan kepada keluarga, khususnya kaum perempuan, tentang gizi seimbang, memantau berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun, pengasuhan bayi dan anak yang baik dan benar, air bersih dan kebersihan diri serta lingkungan, serta mendorong pola hidup sehat lainnya.

Kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan meliputi enam hal. Pertama, pelayanan kesehatan dasar termasuk keluarga berencana dan pemberantasan penyakit menular. Kedua, penyediaan air bersih dan sanitasi. Ketiga, kebijakan pengaturan pemasaran susu formula. Keempat, kebijakan pertanian pangan untuk menjamin ketahanan pangan. Kelima, kebijakan pengembangan industri pangan yang mendorong pemasaran produk industri pangan yang sehat. Keenam, memperbanyak fasilitas olahraga bagi umum.

Kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau kebutuhan pangan dan gizi meliputi pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan rakyat miskin, pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat rakyat miskin, pembangunan yang menciptakan lapangan kerja, kebijakan fiskal dan harga pangan yang meningkatkan daya beli masyarakat miskin, dan pengaturan pemasaran pangan yang tidak sehat dan tidak aman.

Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hidup sehat dan gizi baik bagi anggota keluarga adalah meningkatkan kesetaraan gender, mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil, dan meningkatkan pendidikan wanita.

Penulis, Dosen Kebijakan Pangan dan Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB

Last modified: 26/3/07


 

Bencana dan Kemiskinan Struktural

Benny Susetyo

Bencana tanah longsor di be- berapa daerah akhir-akhir ini menyiratkan pesan utama, yakni ketidakseimbangan alam akibat perilaku manusia. Bencana tanah longsor di Manggarai, misalnya, jelas bukan semata- mata disebabkan faktor alam saja melainkan terdapat kekeliruan dalam pola pembangunan yang tidak memperhatikan aspek geologi, struktur tanah, maupun lingkungan pada umumnya.

Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya, merupakan kawasan rawan bencana baik tanah longsor, banjir dan bencana busung lapar. Kawasan itu selalu identik kemiskinan. Tanah yang kering karena kesulitan mencari air adalah pemandangan biasa. Dan haruslah kita sadari bahwa segala persoalan yang ada di NTT merupakan cermin masalah kemiskinan struktural masyarakat Indonesia.

Bencana alam dan kemiskinan begitu dekatnya sehingga sulit diurai. Ironisnya justru secara struktural sering masalah bencana dianggap sepele karena merupakan kebiasaan alam. Tidak disadari bahwa “kebiasaan alam” demikian justru adalah karena kesalahan struktural yang dilakukan baik sengaja maupun tidak.

Sebagai “kebiasaan alam”, maka penyelesaian yang ditawarkan pun biasanya terbatas dalam jangka pendek, dan simplifikatif. Justru yang terjadi adalah sering proses penye- lesaian masalah itu menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat.

Upaya sistematis untuk menghentikan akar masalah tidak dilakukan. Para politisi cenderung mengabaikan fenomena ini dan tidak turun tangan karena cenderung melihatnya sebagai fenomena alam biasa. Padahal, fenomena alam seperti ini di mana pun terjadi di Indonesia, bisa mencerminkan kondisi kesejahteraan bangsa kita secara umum. Jika ada warga yang kelaparan, mereka tidak empatik ke dalam dirinya sendiri, dan pada saat yang sama ia merasa kekenyangan.

Kemiskinan Struktural

Kondisi berbalikan inilah yang melestarikan dan menjadi pendorong kemiskinan struktural semakin menggurita di negera kita. Antara pejabat dan rakyatnya tidak saling bisa memahami tingkah laku masing-masing. Hal itu berakibat sistem dan kebijakan yang dibuat cenderung memiskinkan daripada menyejahterakan.

Layak disadari oleh semua pihak bahwa akar kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan karena masalah-masalah struktural. Rakyat Indonesia bukan bangsa pemalas dan dengan demikian miskin karena sikap malasnya.

Umumnya kemiskinan Indonesia karena pemerintah dan kebijakannya abai dan sering menutup dan membatasi akses perekonomian rakyat.

Banyak situasi yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan produktifnya secara penuh. Adanya kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran merupakan sebab struktural yang penyelesaiannya harus melalui tindakan struktural pula.

Sudah seharusnya bencana tidak dilihat semata-mata masalah “kebiasaan alam” saja melainkan ada masalah yang mendasar, yakni sejauh mana pola-pola pembanguan berpihak kepada kehidupan manusia.

Selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kehidupan dalam jangka pangan dan hanya berorientasi memenuhi kebutuhan material belaka, pembangunan bukan saja telah gagal menyejahterakan manusia melainkan juga merupakan biang dari masalah. Pembangunan gagal ketika ia tidak tergerak untuk melestarikan nilai-nilai humanisme, dan justru mereduksinya menjadi sekadar materi. Semua dihargai berdasarkan materi belaka.

Ketidakpekaan pemerintah selama ini menunjukkan cara berpikir dan bertindak yang masih diskriminatif hanya karena sering mempersepsikan kawasan tertentu tidak menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. Hal ini menunjukkan nilai manusia telah tereduksi menjadi barang.

Selama ini pembangunan tidak menciptakan kemerdekaan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Pembangunan hanya sekadar alat bagi kapital untuk berkuasa. Partisipasi publik tidak dijadikan sebagai dasar untuk menggerakkan pembaruan.

Yang dibutuhkan kini adalah perubahan kerangka berpikir elite lokal dan nasional untuk melihat bencana bukan sebagai fenomena yang hanya bisa diratapi melainkan apa yang bisa diperbuat.

Masyarakat di perantauan diharapkan memikirkan kembali kemandirian masyarakat untuk mengatasi kemiskinan struktural sekaligus menciptakan daya kekuatan untuk menata kembali tanah kelahirannya, misalnya dengan menciptakan potensi pariwisata dan kelautan.

Terlalu lama kawasan ini tak berdaya mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan. Padahal, dari tanah ini telah lahir orang- orang hebat dan potensial. Layaknya kini mereka harus dioptimalisasikan.

Dibutuhkan jaringan dan solidaritas antara lembaga swadaya masyarakat, gereja, dan tokoh- tokoh di perantauan, untuk duduk bersama memikirkan visi ke depan membangun agar lebih sejahtera. Dan pemerintah pusat harus berpegang pada prinsip bahwa hanya masyarakat Manggarai yang paling paham dengan kondisi wilayahnya.

Penulis adalah budayawan

Last modified: 28/3/07


 

Dunia Usaha dan Pembangunan Manusia

Aburizal Bakrie

Harus diakui, dunia usaha belum menganggap program pembangunan manusia sebagai investasi yang menguntungkan dan dapat mendukung pengembangan usahanya secara berkelanjutan. Itu terjadi karena pembangunan manusia baru menjadi fokus pembangunan nasional. Padahal, Indonesia perlu lebih banyak berinvestasi dalam pembangunan manusia, tidak sekadar untuk memenuhi hak-hak dasar warganya, tapi juga untuk meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin kelangsungan demokrasi dalam jangka panjang.

Peran dunia usaha dalam program pembangunan manusia yang meliputi empat hak dasar (pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan rasa aman) memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan pembangunan nasional secara keseluruhan. Apalagi, akibat terbatasnya anggaran, belanja publik untuk program pembangunan manusia yang disediakan pemerintah masih terbatas. Praktis untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membiayai kesehatan, pangan, dan pendidikan, pemerintah selama ini lebih banyak bergantung pada pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004, Indonesia memerlukan total belanja sosial untuk pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman minimal Rp 103,7 triliun per tahun atau 5,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) agar bisa sejajar dengan negara-negara lain di ASEAN. Belanja publik untuk sektor sosial yang dialokasikan pemerintah selama ini hanya 3 persen dari PDB atau Rp 53,7 triliun.

Maka jelas sudah, dunia usaha perlu terus didorong untuk berperan aktif dalam program pembangunan manusia. Caranya, pemerintah harus meyakinkan mereka bahwa program pembangunan manusia merupakan investasi yang dapat mendukung pengembangan bisnis secara berkesinambungan.

Dengan kata lain, dunia usaha harus melihat program pembangunan manusia sebagai investasi yang menguntungkan. Kenapa menguntungkan? Karena pembangunan manusia pada hakikatnya adalah proses memperbanyak pilihan warga negara, yaitu pilihan untuk hidup sehat dan berumur panjang, berilmu pengetahuan, memiliki akses terhadap sumber daya agar hidup layak, dan dapat berpartisipasi dalam menentukan kebijakan yang memengaruhi kehidupannya, seperti kebebasan politik, hak asasi, dan harga diri.

Masih Rendah

Hasil-hasil pembangunan Indonesia tentu saja akan dinikmati secara langsung oleh dunia usaha. Kebutuhan dunia usaha terhadap SDM berkualitas, yang sehat secara jasmani dan rohani, beretos kerja tinggi, terdidik, terlatih, berkeahlian, jujur, bermoral tangguh, serta memiliki komitmen yang kuat terhadap profesinya, dapat terpenuhi.

Bukankah untuk meletakkan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi, menjamin kelangsungan demokrasi dalam jangka panjang, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif diperlukan SDM-SDM berkualitas?

Kita tentu tidak bisa mengelak dari fakta-fakta tentang masih rendahnya hasil pembangunan manusia Indonesia dibanding negara-negara lain. Padahal, hasil pembangunan manusia memiliki garis integral dengan daya saing dunia usaha. Tak mengherankan pula jika daya saing dunia usaha Indonesia masih kalah dibanding negara-negara lain.

Jika dikaitkan dengan pasar bebas, kondisi ini jelas sangat rawan. Sebab, era pasar bebas membutuhkan dukungan SDM berketerampilan tinggi, beretos kerja modern, terdidik, terlatih, jujur, bermoral tangguh, serta memiliki komitmen tinggi terhadap tujuan pembangunan bangsa.

SDM berkualitas juga mesti tampil terutama sebagai pemimpin bisnis dan manajer-manajer profesional. Selain mampu menjalankan fungsi-fungsi strategic thinker, mereka mesti terampil sebagai “orang lapangan” yang kaya inisiatif.

Kenyataannya, dunia usaha Indonesia masih kekurangan pemimpin bisnis dan manajer-manajer profesional, sehingga terkadang suatu organisasi usaha pada awalnya kelihatan maju dan kuat, tapi pada akhirnya terbukti amat rapuh. Berarti, upaya mencetak pemimpin bisnis dan manajer- manajer tangguh harus diagendakan sebagai gerakan nasional. Upaya itu harus dilandasi oleh pemahaman bahwa SDM berpen- didikan tinggi, berpengalaman, dan berkemampuan merupakan unbeatable combination.

Dalam kaitan ini, kegiatan- kegiatan pelatihan seperti on-the-job training perlu digalakkan. Juga pemagangan peserta didik pada industri sejak tingkat lanjutan hingga perguruan tinggi agar tenaga-tenaga terdidik yang berminat menekuni dunia usaha se- tidaknya memiliki pengalaman awal yang riil.

Bahkan, tenaga-tenaga profesional dunia usaha bisa saja diangkat sebagai fasilitator pembahasan studi kasus pada jurusan-jurusan ekonomi dan manajemen di perguruan tinggi, terutama dalam kerangka indepth knowledge ataupun penajaman kemampuan analisis potensi dan masalah.

Di sisi lain, setiap entitas bisnis perlu memiliki sistem dan mekanisme yang bisa memberikan peluang bagi SDM-nya untuk menjalankan peran-peran kepemimpinan dan manajerial. Langkah ini akan menempa mereka untuk senantiasa menemukan dan memecahkan masalah serta terlatih menanggapi peluang-peluang usaha pada kesempatan pertama, selain memiliki kompensasi kualitatif atas pekerjaan rutinnya.

Hanya melalui upaya itulah SDM dunia usaha Indonesia siap dan mampu beradaptasi secara kreatif dengan tantangan-tantangan perdagangan bebas. Hanya dengan begitu pula entitas bisnis di Tanah Air tidak terjebak untuk menempatkan manusia sekadar sebagai faktor produksi.

Arahan Pemerintah

Pemerintah dalam hal ini Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat akan memberikan arahan kebijakan yang komperehensif agar dunia usaha mampu meningkatkan perannya dalam pembangunan manusia Indonesia. Arahan kebijakan itulah yang dijadikan acuan dalam membangun konsensus nasional yang kemudian dijabarkan dalam bentuk kontrak sosial bahwa manusia merupakan tujuan akhir pembangunan, bukan sarana pembangunan.

Arahan kebijakan pemerintah tersebut bertumpu pada pengembangan inovasi-inovasi lokal se- bagai simbol kemitraan antarse- luruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang meliputi pemerintah, legislatif, dunia usaha, LSM, dan komponen masyarakat lainnya. Melalui kebijakan yang komprehensif tersebut akan mendorong kesadaran dunia usaha dalam menjalin kemitraan yang efektif dengan pemangku kepentingan lainnya. Pada akhirnya, saya berharap kesadaran dunia usaha dalam mendukung program pembangunan manusia Indonesia harus terintegrasi dengan gerakan masyarakat secara keseluruhan.

Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Indonesia Bersatu

Last modified: 29/3/07


 

Negara dan Diskriminasi Agama

Khamami Zada

Agama-agama di Indonesia memiliki peran sangat panjang dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sering disebut negara kaum beragama, religius, dibuktikan dari sekian banyak agama yang diyakini masyarakat.

Secara faktual, agama di Indonesia berjumlah sangat banyak, dari agama yang sering disebut agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya.

Jauh sebelum datangnya agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, bangsa Indonesia menganut kepercayaan kepada Tuhan (animisme dan dinamisme). Kepercayaan inilah yang oleh Karen Armstrong (2002) disebut monoteisme primitif, percaya kepada Tuhan yang Esa.

Pada mulanya, manusia menyembah kepada Tuhan yang monoteis. Namun, seiring dengan perkembangan sosial, manusia primitif mulai mengembangkan Tuhan yang dikontruksinya ke berbagai macam bentuk.

Sehingga umat manusia mulai mengenal banyak Tuhan yang direpresentasikan lewat pemujaan terhadap roh, benda-benda keramat, gunung, bebatuan, pohon, hewan, dan lain sebagainya.

Meresmikan Agama

Dalam konteks keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia itu, ternyata negara justru membatasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh negara. Negara tidak mengakui secara resmi seluruh keyakinan agama yang dianut masyarakat Indonesia yang sangat banyak, atau paling tidak mengakui seluruh keyakinan agama yang berkembang di masyarakat.

Negara justru hanya memberi batasan ada enam agama resmi yang diakui. Selain enam agama itu, dianggap tidak resmi dan tidak diakui.

Hal itu dapat dilihat dari Undang-Undang No 1/PnPs/1965 Pasal 1 dan Tap MPRS No XXVII/ MPRS/1966 yang menyatakan hanya ada enam agama resmi yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Sementara itu, penghayat kepercayaan, sekalipun diakui di dalam UUD 1945, tidak berarti diakui sebagai keyakinan resmi.

Tap MPR No IV/MPR/1978 yang ditindaklanjuti Instruksi Menag No 4 Tahun 1978 justru mendiskriminasikan penghayat ke-percayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Inilah yang selama ini berjalan di dalam tata aturan yang dibuat oleh negara, meskipun Konghucu sudah mendapatkan pengakuan resmi dan fasilitas yang relatif signifikan bagi penganutnya.

Perlakuan diskriminatif ini menandakan persepsi negara tentang agama masih didominasi pemahaman maisntream bahwa suatu agama harus memiliki Tuhan, nabi, dan kitab suci.

Inilah yang menjadikan aliran kepercayaan tidak disebut sebagai agama karena tidak memiliki nabi dan kitab suci, sehingga tidak diakui negara.

Lembaga Agama

Pengakuan enam agama resmi itu diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama korporatis negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin (Majelis Tinggi Konghucu Indo- nesia).

Lembaga-lembaga agama korporatis negara itu kemudian dipercaya sebagai pemegang “otoritas” agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan kerjanya mencakup interpretasi ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal dan eksternal agama, dan lain-lain.

Dampak dari perlakuan yang berbeda secara normatif dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan pemilahan agama resmi dan agama tidak resmi adalah negara tidak memiliki kesadaran untuk melindungi agama yang dipandang tidak resmi (agama-agama yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang No 1/PnPs/1965 Pasal 1).

Negara hanya melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Ini artinya, agama kepercayaan lokal tidak mendapatkan tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk.

Jika dilihat latar belakang sejarahnya, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional, di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi.

Ditambah lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama.

Aliran-aliran tersebut dipandang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional.

Dan yang terpenting, undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh ulama dari agama yang bersangkutan, dan aturan itu melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak pelak lagi, Undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi aliran-aliran keagamaan di luar agama resmi.

Negara dan Agama Lokal

Dalam konteks itulah, negara sudah sepantasnya menjadi fasilitator terhadap agama dan kepercayaan yang dianut masyarakatnya. Negara tidak perlu membatasi pengakuan terhadap agama. Justru negara berkewajiban memberi pengakuan terhadap seluruh kepercayaan keagamaan masyarakat tanpa diskriminasi.

Jika negara bersikap diskriminatif, berarti negara merusak sistem kepercayaan keagamaan yang telah lama menjadi warisan leluhur masyarakat. Agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen adalah agama pendatang, dan agama-agama lokal itulah yang menjadi produk lokal. Tetapi mengapa yang menjadi produk masyarakat yang genuine justru didiskriminasikan? Siapa yang salah?

Karena itulah, perlakuan yang setara terhadap seluruh sistem kepercayaan masyarakat merupakan suatu keharusan di dalam masyarakat yang multikultur dan multiagama, agar harmonisasi sosial di masyarakat terwujud dengan baik.

Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa modern, agama dan kepercayaan masyarakat ditempatkan dalam ruang publik yang adil dan setara.

Upaya peace-building di Indonesia tidak akan terwujud sejati jika agama-agama lokal tersebut ditempatkan dalam ruang terpisah dari agama-agama resmi, sehingga lebih banyak dimaknai sebagai warisan budaya luhur seperti barang antik yang hanya dilestarikan keberadaannya, bukan diberi hak setara agama-agama yang dipandang resmi.

Penempatan agama-agama lokal dalam bingkai ekonomi, pariwisata, dan kebudayaan tentu saja akan mereduksi nilai-nilai dasar yang mereka yakini dalam membangun kehidupan bersama.

Kaum penghayat dan adat selama ini hanya dijadikan bagian dari daya tarik internasional untuk dipertononkan sebagai kekayaan bangsa dalam jargon-jargon pariwisata.

Padahal, hak-hak dasarnya sebagai warga negara yang meyakini agama leluhurnya tidak mendapatkan tempat yang layak.

Dengan demikian, tugas negara adalah mengembalikan posisi agama-agama lokal yang diwariskan adat leluhur sebagai bagian integral dari hak kebebasan beragama dan mengembalikan hak-haknya setara dengan agama- agama besar.

Inilah yang harus dipertimbangkan negara agar tidak terjadi perlakuan diskriminatif dalam kebijakan publik dan kesadaran masyarakat antaragama.

Penulis adalahStaf Pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Koordinator Program Perdamaian PP Lakpesdam NU-EIDHR Komisi Eropa

Last modified: 30/3/07


 

Di Bawah Rezim Kleptokrasi

Oleh Muhammadun AS

Masihkah bangsa ini mempunyai harapan masa depan? Segala lorong kehidupan dipenuhi manipulasi dan perselingkuhan kekuasaan. Wakil rakyat tidak lagi dipandang sebagai teladan. Di tataran birokrasi eksekutif, tidak ada secuil pun administrasi birokrasi yang tidak di-“sunat”.

Pergantian rezim kekuasaan tidak lagi membawa harapan Indonesia baru yang cerah. Praktik korupsi bukannya semakin mudah dieliminasi, justru semakin tebal tembok organized crime-nya. Praktik korupsi semakin sulit dibongkar, apalagi bila terjadi kongkalikong dengan lembaga peradilan.

Teten Masduki (2007) mencatat Indeks Persepsi Korupsi hasil survei Transparency International dalam lima tahun terakhir skornya cuma naik dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2006), sehingga Indonesia bertahan dalam kelompok negara ter-korup. Governance Assessment Survey (2007) UGM-PGR terhadap enam indikator tata kelola pemerintahan (governance) versi Bank Dunia di 10 provinsi dan 10 kabupaten, salah satunya menyimpulkan, pungli masih lazim dan pemberantasan korupsi terhambat keseriusan pemerintah dan lembaga bukan pemerintah.

Mengapa praktik korupsi terus subur di negeri ini? Bagi penulis, karena kita masih di bawah he- gemoni rezim kleptokrasi.

Rezim kleptokrasi melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang memiliki pengaruh metastasis dan menyerang seluruh kehidupan sosial. Secara anatomi, penyebab kleptokrasi adalah penyalahgunaan kekua- saan. Fenomenanya terlihat pa- da dominasi dan sentralisasi kekuasaan.

Menurut almarhum Riswanda Imawan (2002), terminologi kleptokrasi pertama kali dikenalkan Stanislav Andreski (1966) berdasarkan observasi di Amerika Latin. Kleptokrasi diambil dari kata dasar kleptomania, penyakit kejiwaan di mana seseorang mencuri atau mengambil hak orang lain tanpa merasa bersalah. Oleh Andreski, kleptokrasi dimaknai sebagai tingkah orang berkuasa yang merasa apa yang diambil secara tidak sah karena jabatannya adalah sesuatu yang (seolah-olah) menjadi haknya.

Banyak pemimpin di negara berkembang (termasuk Indonesia) memiliki kekayaan setara dengan miliuner di negara maju. Bedanya, miliuner di negara maju mencapainya dalam tiga atau empat generasi, sementara pemimpin di negara berkembang hanya butuh waktu beberapa periode masa jabatan, bahkan hanya satu kali masa jabatan.

Sejarawan Onghokham, misalnya, pernah menghadirkan fakta, di akhir abad XIX jabatan Bupati Madiun dijual Sultan Mataram kepada Prawiradiningrat II seharga 10.000 real (Lubis dan Scott, 1985: 131). Mudah ditebak, sosok yang dikenal sebagai anak seorang pemberontak itu akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin selagi berkuasa, demi mengembalikan modal yang digunakan untuk dapat menduduki jabatan itu.

Ateisme Praktis

Rezim kleptokrasi di Indonesia mampu mencengkeram begitu luar biasa. Pertama, karena mampu menguasai seluruh sendi birokrasi. Untuk membuat kartu tanda penduduk (KTP) di desa saja harus menjalani proses administrasi berbelit. Proses seperti itu mengindikasikan seluruh birokrasi mutlak sepenuhnya di bawah kuasa sebuah rezim.

Kedua, menguasai seluruh lembaga negara. Rezim kleptokrasi tidak sekadar berkuasa di level eksekutif, namun juga legislatif dan yudikatif. Ketika Soeharto berkuasa, tak pernah terjadi lembaga legislatif menggunakan hak-haknya mengkriktik dan meminta pertanggungjawaban presiden. Bahkan ketika masih menggunakan demokrasi tidak langsung, tidak seorang pun berani mencalonkan diri dan dicalonkan di kursi presiden.

Ketiga, mendapatkan dukungan penuh kelompok militer. Agar kekuasaan berjalan tanpa kritik, rezim kleptokrasi menggunakan militer sebagai senjata utama membungkam berbagai kritik lawan politik yang mengancam kursi kekuasaan.

Membaca perilaku tersebut, Joddy Morison Turnip (2005) melihatnya sebagai bentuk ateisme praktis. Ateisme praktis adalah disposisi diri yang percaya kepada Tuhan, tetapi dalam hidup sehari-hari berlaku seolah tidak ada Tuhan.

Dalam ateisme praktis, ada segregasi antara hidup keagamaan (religiositas) dan perilaku harian (moralitas). Seseorang yang sadar atau tidak sadar menganut ateisme praktis bisa sempurna melaksanakan ritual ibadah sekaligus melakukan korupsi tanpa merasakan hardikan moral dalam dirinya. Setiap tahun jemaah haji bertambah besar, tetapi praktik korupsi tak pernah menurun sama sekali.

Di tengah cengkeraman rezim kleptokrasi tersebut, Indonesia berada di ujung tanduk. Terlebih di tengah cengkeraman globalisasi, menurut I Wibowo (2000) Indonesia malah terjerumus pada the death of democracy. Para pemimpin negara saat ini, menurut Hertz dalam The Death of Democracy, memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk “melayani” pelaku bisnis global yang tidak memilihnya.

Para pemimpin negara masih memperhitungkan pemilih dalam negeri (domestic constituent), tetapi justru demi memuaskan para konstituen itulah para pemimpin akan melakukan apa saja asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang ke negaranya. Tentu saja para pemimpin bersaing satu sama lain karena para investor hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka.

Di tengah cengkeraman tersebut, sudah saatnya bangsa ini menyalakan kembali suluh perlawanan terhadap berbagai kejahatan kemanusiaan yang terus lahir dengan subur.

Dibutuhkan global responsibility, sehingga keluar dari cengkeraman rezim kleptokrasi dapat dilakukan bersama dan menyeluruh. Kita masih mempunyai masa depan yang cerah. Suluh optimisme harus terus dikobarkan.

Jangan sediakan tempat secuil pun untuk tubuh suburnya nalar kleptokratif, koruptif, manipulatif, dan kolutif, sehingga lahir komitmen dan gagasan baru membunuh kejahatan kemanusian kemudian menciptakan tatanan kesejahteraan dan kemakmuran.

Penulis adalah Staf Peneliti Lem baga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM) NU DIY

Last modified: 21/3/07


 

Memutus Jalur Bencana

Oleh Gatot Irianto

Tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Kali ini tema internasional yang dipilih, “Coping with Water Scarcity”, sedangkan tema nasionalnya, “Keterpaduan Mengatasi Banjir dan Kekeringan Air”.

Peringatan itu harus dijadikan momentum sekaligus entry point untuk semua pemangku kepentingan bahwa kegagalan pengelolaan sumber daya air akan menyebabkan bencana dan malapetaka lingkungan (disaster and catastrophic natural). Tandanya tampak jelas dengan semakin negatifnya neraca ketersediaan air, sehingga jenis, jumlah, kualitas, dan sebaran bencana lingkungan, terus meningkat.

Bencana banjir, genangan dan longsor, waktunya simultan dengan kekeringan, rawan pangan, dan gizi. Apabila frekuensi terjadinya pertemuan dua kutub bencana itu semakin tinggi, cepat dan pasti akan memunculkan bencana baru yang jauh lebih dahsyat. Malapetaka yang lebih besar akan terjadi apabila pada saat bersamaan terjadi perubahan iklim, baik global, regional, dan lokal. Besarannya diprediksi akan lebih dahsyat, karena efeknya kontinu, tidak berbatas (continue and non-boundaries), bahkan lebih kejam dibandingkan terorisme karena tidak membedakan target (non-selected target).

Tindakan Kuratif

Ironisnya, tindakan kuratif masih merupakan pilihan utama dibandingkan tindakan preventif, sekalipun tidak memecahkan akar persoalannya, sangat mahal dan tidak efektif. Memilih membayar air kemasan lebih mahal dibandingkan menyelamatkan sumber mata air dari kehancuran lingkungan maupun pencemaran, lebih baik memasang penyejuk ruangan dibandingkan menghijaukan lahan, serta memilih pekerjaan rehabilitasi dampak banjir dibandingkan mengelola daerah aliran sungai, adalah contohnya.

Cara pikir potong kompas, sesaat dan sesat itu menjadikan penyebab kedua banjir dan kekeringan beserta derivatnya tidak akan pernah terselesaikan masalahnya sampai kapan pun. Bahkan sebaliknya akar masalahnya semakin kompleks dan menimbulkan jenis bencana lingkungan baru, yang biaya pemulihannya sangat mahal.

Banyaknya bencana dan besarnya biaya yang diperlukan untuk pemulihan, menjadikan masyarakat miskin yang terkena bencana harus melakukan natural survival akibat keterbatasan pendanaan pemerintah. Pelembagaan pemiskinan manusia dan lingkungan secara simultan dan permanen akan terus terjadi, sehingga dalam jangka menengah dapat mendorong terjadinya loss generation.

Tanda tandanya sangat jelas, apabila kita bandingkan kinerja ekonomi dan lingkungan Indonesia dengan Vietnam, Myanmar, dan Laos 10 tahun lalu dan sekarang. Kebangkitan ekonomi dan lingkungan ketiga negara tersebut kini sangat cepat, cemerlang, dan menjanjikan. Sementara itu, progress pembangunan Indonesia langsung dieliminir bencana lingkungan, sehingga secara entitas, resultannya negatif. Itulah sebabnya, sekalipun Presiden dan pembantunya sudah bekerja luar biasa keras, siang dan malam, tanda-tanda kebangkitan ekonomi nasional belum sepadan dengan pengorbanannya.

Terhadap sektor pertanian, dampak bencana banjir dan kekeringan yang demikian besar akan semakin berat apabila ditambah dengan perubahan iklim. Besarnya risiko dan biaya produksi pangan akibat kenaikan suhu, intensitas, durasi radiasi matahari, kecepatan angin maksimum maupun rata-ratanya antar tempat maupun waktu menyebabkan kelangkaan air (water scarcity), eksplosi hama sangat tinggi, sehingga sangat menyulitkan petani dalam melakukan antisipasi dalam budi daya. Posisi petani yang terus terjepit akibat deraan lingkungan itu masih harus menyubsidi orang kaya perkotaan dan orang miskin dalam bentuk harga beras murah yang semestinya bukan menjadi tanggung jawabnya.

Terjadinya ledakan hama dan penyakit termasuk virus flu burung yang sangat mencemaskan saat ini diprakirakan akibat perubahan iklim yang sangat kontras. Sementara itu, kita belum siap dengan teknologi antisipasinya dan rakyat menjadi korbannya.

Memutus Jalur Bencana

Pilihannya hanya satu. Pemerintah harus secepatnya memutus jalur bencana lingkungan sekarang atau tidak sama sekali. Pembalak hutan sebagai zoonomic yang selama ini melakukan kekerasan terhadap lingkungan dan masyarakat harus ditangkap dan diadili. Pemerintah harus melindungi keselamatan warganya dari bencana permanen.

Kebijakan tentang pemberian izin hak pengelolaan hutan (HPH) harus secepatnya dihentikan, apa pun argumennya, karena secara totalitas lebih banyak tekornya dibandingkan manfaatnya. Tugas hutan harus dikembalikan ke khitahnya sebagai penghasil produk non-timber seperti madu, obat, air, oksigen, dan jasa lingkungan lainnya.

Moratorium hutan secara menyeluruh merupakan bentuk konkretnya. Jika diperlukan, pemerintah dapat memberlakukan zero cutting trees selama periode tertentu, sehingga terjadi lonjakan populasi tegakan secara signifikan. Dukungan perubahan strukturalnya adalah menggabungkan Departemen Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup ke Departemen Pertanian menjadi Departemen Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Pemutusan jalur bencana dapat difinalkan melalui penguatan simpul koordinasi dan tanggung jawab dalam pelestarian hutan lahan dan air, melalui kontrak kinerja (performance contract) antara Presiden yang mewakili rakyat dan pemimpin Departemen Pertanian, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup yang baru, pemimpin Tentara Nasional Indonesia, dan pemimpin kepolisian di tingkat provinsi, kabupaten/kota.

Mengapa harus demikian, karena realitanya, sekalipun tidak ada data konkret, dalam banyak kasus pembalakan hutan, aktor intelektual, beking atau apa pun namanya sering kali melibatkan oknum TNI atau Polri baik langsung atau tidak langsung. Ini adalah pilihan akhir tanpa kompromi pemerintah dan rakyat Indonesia, kalau tidak mau hancur tertelan bencana, siapapun pemimpinnya.

Introduksi model pengembangan lahan kering berlereng (best practices on sloping land) dan penumbuhan gerakan menanam usia dini di masyarakat merupakan program simultan harus dipacu, agar terjadi lompatan pemulihan lingkungan yang signifikan.

Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air melakukan inisiasi dan pengembangan program tersebut di lebih 400 kabupaten/ kota di Indonesia dengan berbagai menunya, sehingga apabila kebijakan ini didukung perombakan struktural yang fundamental, cepat dan pasti Indonesia dapat terhindar dari malapeta lingkungan, bahkan mampu mengejar ketertinggalan dengan negara mana pun.

Penulis adalah doktor hidrologi;

pemerhati masalah bencana lingkungan/PP Perhimpi

Last modified: 22/3/07


 

Mengatasi Busung Pemilih Pilkada

Oleh Hemat Dwi Nuryanto

Pilkada yang akan diselenggarakan di DKI Jakarta dan daerah lainnya masih dibayang-bayangi oleh busung pemilih. Beberapa kalangan berpendapat tingkat partisipasi warga dalam Pilkada DKI yang diselenggarakan secara langsung pada Agustus 2007, diprediksi akan rendah.

Faktor-faktor yang menyebabkan busung pemilih pilkada meliputi faktor politis, psikososial, dan teknis. Faktor politis disebabkan antara lain minimnya alternatif pilihan calon yang disodorkan parpol. Faktor psikososial disebabkan kejenuhan rakyat terlibat dalam proses demokrasi yang selama ini hasilnya hanya menguntungkan elite politik dan belum memihak kepentingan rakyat luas.

Sedangkan faktor teknis yang bisa mengakibatkan busung pemilih pilkada adalah lemahnya infrastruktur yang digunakan untuk tahapan pilkada sejak proses pendaftaran pemilih hingga reliabilitas penghitungan suara yang sering mencuatkan sengketa pascapilkada.

Untuk itulah langkah KPUD DKI Jakarta selain membentuk posko pendaftaran pemilih juga harus menyiapkan solusi telematika pilkada secara tuntas. DKI Jakarta sebagai barometer demokrasi Indonesia harus mencerminkan penyelenggaraan pemilu modern yang memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas tinggi.

Tingkatan tersebut bisa diwujudkan dengan telematika pilkada yang benar-benar menjadi solusi e-Demokrasi (e-Democracy Solution), yang merupakan aplikasi berbasis elektronik yang mampu mendukung tugas-tugas KPU/ KPUD dalam melaksanakan tugas sebagai penyelenggara proses demokrasi. Sistem tersebut akan membuat proses penyelenggaraan pemilu dan pilkada lebih efektif, efisien, transparan, akuntabel, serta dapat memperkecil peluang sengketa hasil.

Selain itu sistem juga mesti ramah dan mudah diakses pemilih, sehingga pada gilirannya dapat mendongkrak partisipasi rakyat untuk memilih. Solusi e-Demokrasi secara teknologi harus memanfaatkan perkembangan teknologi terkini sekaligus mempunyai data yang real-time dan keamanan andal. Selain itu, juga memperhatikan sejumlah kendala demografi, geografis, infrastruktur teknologi, dan SDM yang relatif besar serta kompleks.

“E-Election”

Konvergensi teknologi informasi dan komunikasi ternyata mampu mengubah pelaksanaan pemilu di sejumlah negara menjadi sangat ideal. Hal itu bisa dilihat dari pengalaman Finlandia dan Afrika Selatan yang melaksanakan pemilihan dengan menerapkan sistem voting secara elektronik (e-Election).

Sejumlah pakar ICT menyebutkan e-Election sangat mungkin dapat diterapkan di Indonesia. Namun, untuk dapat menggelar dan menerapkannya secara optimal dibutuhkan berbagai pembenahan. Yang utama adalah pembenahan regulasi, pembangunan infrastruktur atau teknologi, dan peningkatan kemampuan SDM. Karena itu, penggunaan Solusi e-Demokrasi sekarang ini merupakan salah satu basis sekaligus batu loncatan untuk bisa mewujudkan e-Election di Indonesia.

Tujuan implementasi Solusi e-Demokrasi adalah untuk menyediakan sistem informasi pendukung kerja KPU/KPUD sebagai penyelenggara yang komprehensif dan terpadu. Pentingnya mewujudkan visi dari KPU/KPUD yaitu menjadi penyelenggara pemilu yang independen, imparsial, serta profesional sehingga hasil kerjanya dipercaya semua pihak, serta meningkatkan kualitas demokrasi dengan terselenggaranya pemilu yang lebih berkualitas dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab.

Secara teknologi, aplikasi e-Demokrasi yang diimplementasi- kan harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, yakni tersedianya jaringan komputer berupa protokol komunikasi data antara unit-unit kerja (nodes) di dalam jaringan komputer, dilakukan dengan menggunakan protocol intranet/internet (TCP/IP). Selain itu juga harus memiliki keandalan sistem berupa real-time data. Setiap perubahan data atau transfer data dilakukan secara real time.

Juga diperhitungkan aspek security untuk menjamin keamanan aplikasi, data dan informasi. Dalam hal user profile dan interface, jumlah user secara software tidak terbatas, hanya dibatasi spesifikasi hardware yang digunakan. Setiap user dapat memiliki user id dan password yang unik dengan otoritas berbeda-beda sesuai tugas dan tanggung jawabnya.

Efisiensi

Kelemahan pendataan kependudukan menjadi problem besar dalam menyelenggarakan pemilu/pilkada di Indonesia sekarang ini. Reliabilitas atau keandalan data kependudukan masih sangat rendah. Meskipun pemerintah membenahi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) untuk pemerintah daerah dengan anggaran cukup besar, langkah di lapangan tampak tambal sulam karena tidak berdasarkan solusi telematika yang komprehensif. Akibatnya pemutakhiran database kependudukan secara online untuk pemilu maupun pilkada mendatang juga banyak terkendala.

Untuk itulah pentingnya penerapan dan integrasi e-Demokrasi dengan SIAK di setiap daerah. Apalagi aplikasi e-Demokrasi mampu mengatasi sejumlah kendala demografi, geografis, infrastruktur teknologi, SDM, dan faktor pengamanan data.

Platform dasar dari aplikasi e-Demokrasi adalah Web Based System. Manfaat pasti penggunaan aplikasi tersebut adalah meningkatkan efisiensi kerja dan integritas data, karena seluruh klien dapat di-maintain pada satu titik, yaitu dari Server.

Selain itu, sistem tersebut juga memungkinkan penggunaan lebih luas, tanpa ada kebutuhan setting aplikasi di sisi klien. Aplikasi e-Demokrasi dibuat secara modular. Modul-modul tersebut terintegrasi satu dengan lainnya, serta mudah dikustomisasi dan disesuaikan dengan kondisi yang sedang berlangsung.

Untuk mengatasi kendala keterbatasan teknologi telekomunikasi, sistem arsitekturnya menggunakan hybrid architecture, yaitu dengan menggabungkan sistem sentralisasi dan desentralisasi. Untuk menyamakan data antara server di daerah dan yang di pusat dilakukan dengan teknik sinkronisasi yang terjadual.

Penulis adalahpraktisi telematika, alumnus UPS Toulouse Prancis

Last modified: 22/3/07


 

Polisi yang Tidak Militeristik

Novel Ali

Sejumlah kasus penggunaan senjata api yang salah prosedur dan salah sasaran di kalangan anggota Polri, merefleksikan belum sepenuhnya reformasi Polri dilaksanakan sebagaimana mestinya. Karena itu, reformasi Polri merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi Polri sedikitnya meliputi tiga aspek, yaitu reformasi instrumental, reformasi struktural, dan reformasi kultural. Ketiga aspek reformasi Polri itu, mustahil dapat direalisasikan tanpa dukungan masyarakat, di samping tanpa dukungan negara.

Di sinilah pentingnya peniadaan tarik-menarik kepentingan, antara siapa pun atau pihak mana pun, yang dalam jangka waktu panjang, menengah, atau pendek, dapat mengakibatkan kendala reformasi. Padahal, reformasi Polri merupakan conditio sine qua non (prasyarat mutlak) mewujudkan Polri yang profesional, mandiri, demokratis, dan bersih. Tanpa dukungan masyarakat, perubahan kultur pribadi anggota Polri (karakter polisi), khususnya yang diduga korupsi, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, keliru menggunakan diskresi, memberikan pelayanan yang buruk, atau melakukan tindakan diskriminatif dalam pelayannya, mustahil dapat dilaksanakan.

Dalam kaitan itu kita melihat betapa di tengah kebulatan tekad pengabdian, pelayanan, dan pengayoman masyarakat oleh anggota dan institusi Polri, tidak sedikit ditemukan apa yang disebut publik sebagai “polisi nakal”. Polisi semacam itu eksis, lantaran karakter pribadi bayangkara negara kita, tidak terpantau masyarakat. Di samping, yang lebih penting, tidak secepatnya menerima sanksi administrasi dan hukum oleh atasan.

Keberadaan “polisi nakal” sangat berbahaya, karena dapat merusak citra Polri, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat, serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian sendiri.

Melalui reformasi kultural Polri, diharapkan penerapan diskresi polisi lebih terarah kepada perwujudan etika dan profesionalisme polisi yang bersifat universal, tanpa melecehkan nilai-nilai lokal. Diskresi polisi yang demikian, diharapkan membuat setiap anggota Polri mampu menyesuaikan diri dengan domain kultural di lingkungan mikro, meso, dan makro (nasional), di lingkungan setiap anggota Polri bertugas (di dalam negeri).

Bukan “Superbody”

Reformasi Polri, juga merupakan prasyarat mutlak guna meniadakan justifikasi publik atas kekuasaan berlebihan Polri. Jika justifikasi publik atas kewenangan yang berlebihan dibiarkan tersebar, akan mendorong tumbuh serta berkembangnya kesan umum, berupa superbody-nya Polri. Kesan demikian sama sekali tidak menguntungkan, karena memang Polri punya batas kewenangan di tengah sedemikian luasnya wewenang sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Reformasi mutlak dibutuhkan karena dengannya akan terwujud kinerja kepolisian tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana setiap anggota Polri, boleh dan tidak boleh berbuat. Reformasi Polri membuka wacana bagi setiap orang yang menyandang status polisi, atas boleh tidaknya pribadi yang bersangkutan mengatur sikap serta perilaku seseorang atau sejumlah orang lain dalam situasi konflik. Terutama jika situasi konflik tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban orang lain di sekitarnya.

Realisasi reformasi Polri membutuhkan kontrol publik. Tanpa kontrol masyarakat, kedekatan permukiman warga dan pusat kegiatan awam dengan tempat bertugas polisi, disertai kewenangan yang sedemikian luasnya, akan dapat membuka peluang polisi menyalahgunakan kekuasaannya.

Di sisi lain, ketatnya kontrol publik atas karakter anggota Polri pada umumnya, akan mendorong atasan menjatuhkan sanksi administratif dan tindakan hukum bagi polisi yang “nakal”.

Itu sebabnya reformasi Polri harus dilakukan dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek dan kepentingan lokal serta nasional, tetapi juga lewat pendekatan kepentingan global. Ini berarti, reformasi Polri bersifat multidimensi, kalau memang Polri benar- benar bertekad keluar dari berbagai kemelut dan jebakan kerusakan citra sistemik.

Aneka kemelut dan rusaknya citra Polri secara sistemik disebabkan terutama karena keterlambatan pimpinan Polri khususnya, serta berbagai pihak lain di negeri ini (pemerintah dan masyarakat), bersama-sama melakukan reformasi. Keterlambatan ketiga aspek reformasi Polri, mengakibatkan sejumlah ideal dan norma hukum (bagian tanggung jawab Polri) kehilangan maknanya.

Salah satu contoh konkret, ketika anggota Polri tidak melaksanakan tugas seperti perintah hukum yang sesungguhnya, atau di saat oknum anggota Polri menyalahgunakan kekuasaan, maka perilaku seseorang atau sejumlah orang yang memasuki ranah kewenangan lembaga peradilan (main hakim sendiri), pun menjadi bisa diterima awam.

Buktinya, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang, dapat secepatnya “memancing” tindakan yang sama dari orang lain, yang sebelumnya hanya diam saja.

Di saat karakter polisi kita hanyut dalam situasi kerawanan psikologi massa dan tindakan destruktif, arena pengadilan dalam kehidupan masyarakat yang mendahului proses hukum yang sebenarnya, berubah menjadi semacam lembaga sosial baru di tengah pusat kegiatan publik. Selain itu, di saat anggota Polri tidak mampu mencegah dan menjatuhkan sanksi hukum atas egoisme perorangan dan kelompok, akan menjadi lembaga dan kultur baru di tengah masyarakat.

Konsisten dengannya, polisi tidak boleh berpenampilan militeristik dan arogan dalam bertugas. Kultur militeristik polisi, bukan zamannya lagi, demikian pula polisi bergaya arogan.

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Diponegoro; anggota Komisi Kepolisian Nasional

Last modified: 26/3/07


 

Lemahnya Rasa Tanggung Jawab Pemimpin

Oleh Baharuddin Aritonang

Ketika seorang teman menyampaikan kekecewaan Duta Besar RI di Rusia tentang ketiadaan respons atas tawaran seorang ahli Rusia dalam menangani masalah lumpur Lapindo, penulis katakan di antaranya karena tidak adanya yang merasa bertanggung jawab atas kejadian itu. Dari awal seolah semuanya “buang badan”.

Syukurlah, sekarang pemerintah sudah bisa “menekan” Lapindo. Namun, ketika mula-mula musibah itu terjadi? Dan ahli dari Rusia itu justru datang pada saat itu. Tidak ada yang merasa peduli, mulai dari Lapindo sendiri, sampai instansi pemerintah (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Menneg Lingkungan Hidup, Menko Kesra, BP Migas, maupun pemerintah daerah).

Lapindo memang harus bertanggung jawab. Tapi, pemerintah juga tak bisa melepaskan diri. Paling tidak, pemerintahlah yang berwenang memberikan izin. Mana mungkin Lapindo bisa bekerja tanpa ada izin? Dan, bukankah izin itu diberikan oleh pemerintah, siapa pun yang memberinya dan bagaimana pun mekanisme pemberian izinnya. Bukankah sebelum izin diberikan ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi? Tapi siapa pemberi izin yang peduli terhadap persyaratan itu?

Itulah juga yang terjadi ketika mengurus izin mengemudi. Itu pula yang terjadi tatkala mengurus IMB, izin mendirikan bangunan. Begitu juga dalam membangun proyek permukiman lengkap dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Atau, izin atas perusahaan penerbangan, termasuk kelaikan pesawat terbangnya.

Juga kereta api, kapal laut, dan masih banyak yang lainnya. Sesudah kapal laut tenggelam, sesudah pesawat terbang berjatuhan, setelah mayat-mayat bergelimpangan, barulah kita sibuk mengauditnya. Mengapa tidak dari dulu?

Begitulah yang terjadi ketika kita mengelola negara. Banyak orang mengejar jabatan. Tak peduli apa tanggung jawab jabatan itu.

Jabatan kenyataannya lebih dipandang sebagai sesuatu yang memberi kenikmatan. Karena itu banyak orang mengejarnya. Jalan apa pun ditempuh.

Kalau perlu dengan jalan “buram”. Mulai dari jabatan “kecil”, eselon terendah di kantor, sampai jabatan-jabatan “politis”, menjadi pejabat tinggi. Jabatan itu menyenangkan “ego”, memberi kelimpahan materi, merengkuh kenikmatan. Banyak orang mengejar jabatan atau posisi dengan menjadi “pedagang”. Dengan mengeluarkan modal untuk meraih jabatan, kemudian menghitung untung yang tersisa di akhir masa jabatan.

Paradigma Menyimpang

Itu pula sebabnya, tatkala orang menerima jabatan, ditunjuk menduduki sebuah jabatan, ma- ka langkah yang ditempuh ada- lah membuat syukuran, makan- makan, dan berdoa atas diperolehnya jabatan itu. Lihatlah ketika orang menang jadi lurah, jadi bupati, terpilih jadi anggota DPR, diangkat menjadi menteri atau yang lainnya. Karena terbayang sejumlah kenikmatan. Jarang yang kemudian tafakur dan merenung akan tanggung jawab dari jabatan itu.

Di dalam melaksanakan tugas jabatan itu kelak, si pejabat tinggal menunggu apa yang dipikirkan dan dilakukan staf. Jarang yang bekerja keras dan berpikir, mendiskusikan dan merancang, tentang apa yang harus dilakukan staf. Ke mana intansi atau jabatan itu diarahkan, yang sesungguhnya di Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

Ngapain repot-repot, demikian yang terpikir. Toh jabatan sudah diraih. Tinggal bagaimana menikmatinya. Atau mempertahankannya. Termasuk mereka yang sesungguhnya gagal mengemban jabatannya. Mana pula ada pe- jabat yang merasa bertanggung jawab (termasuk membangun budaya mundur) walau jabatan yang diembannya menunjukkan kegagalan?

Itulah, antara lain, yang kita lihat, akan lemahnya rasa tanggung jawab para pemimpin kita. Bahwa jabatan itu acap kali menyimpang dari maksud untuk apa jabatan itu dibuat, yakni untuk mengurusi rakyat, untuk membuat rakyat makmur dan sejahtera.

Jabatan acap kali masih dijadikan untuk menyejahterakan si pejabat atau si pemimpin.

Pemimpin merasa berhasil kalau sudah mampu menyejahterakan dirinya, sudah mampu menunjukkan karya sebagai pengejawantahan rasa egonya. Bukan pemimpin yang mampu menunjukkan karya yang menyejahterakan rakyat. Pemimpin yang membuat warganya terdidik, yang memiliki pekerjaan, yang damai, yang sejahtera, dan lainnya.

Karena itu, paradigma yang telah menyimpang jauh itu agaknya perlu kita gugah. Karen itulah salah satu prasyarat untuk membangun kemajuan bangsa, sebagaimana yang telah dibuktikan banyak negara lain.

Penulis adalah anggota BPK RI

Last modified: 26/3/07


 

Kemelut TVRI, dari Mana?

Oleh Heni Rosmawati

Menyimak kemelut di tubuh TVRI yang akhir-akhir ini banyak diberitakan media massa, penulis seperti terbangun dari mimpi. Terlebih ketika pada Rabu, 21 Maret 2007, menonton Topik Minggu Ini di SCTV pukul 22.30 WIB dengan judul “Mau ke Mana TVRI?”

Di awal tayangan terpampang suasana ricuh yang terjadi dalam rapat antara Direksi TVRI dan karyawan. Di tayangan lain terpampang suasana ricuh yang mewarnai Rapat Dengar Pendapat antara Komisi I DPR dan jajaran Direksi TVRI berikut Dewan Pengawas.

Dari dua segmen tayangan tersebut menarik kita cermati keberanian karyawan TVRI menggugat direksinya dalam forum-forum resmi (rapat internal dan pengaduan ke DPR). Pertanyaan yang kemudian bergulir, mengapa bisa terjadi penentangan terhadap direksi? Apakah tidak ada cara lain yang lebih bijaksana yang bisa diupayakan?

Perubahan Direksi

Sangat lazim terjadi perubahan direksi baru akan diikuti perubahan kebijakan dan manajemen. Demikian pula perubahan direksi di tubuh TVRI sekitar enam bulan lalu, mungkin bisa jadi merupakan pemicu utama masalah ini.

Belum lagi tuntutan perubahan TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) di tahun ini. Sebagai LPP, kewajiban TVRI yang pertama adalah harus melayani kepentingan publik, yang kedua memberikan info terkait dengan kepentingan publik, dan yang ketiga menjaga kepentingan publik itu sendiri. Tentunya ada banyak hal yang menjadi “PR” bagi direksi baru untuk mewujudkan perbaikan manajemen maupun memproduksi tayangan di TVRI untuk dapat menjadi LPP.

Dari kacamata luar, perubahan kebijakan dan manajemen direksi baru TVRI sangat kental terasa ketika berlangsung “TVRI Gathering bersama Direksi TVRI dan Perwakilan Departemen dan BUMN” pada 28 Februari lalu. Mengagumkan juga menikmati acara gathering yang dihadiri sekitar 100 PNS, karena jarang sekali institusi pemerintah membuat acara semegah itu. Kesan pertama yang mencuat saat itu, ada yang berubah di TVRI sekarang ini.

Kesan dan kekaguman bertambah tatkala mendengarkan presentasi jajaran direksi baru yang diwakili Direktur Pengembangan dan Usaha Hempy Nartomo Pra-judi dan Direktur Program dan Berita Rully Charmeianto Iscwahyudi. Direktur Pengembangan dan Usaha memaparkan rencana-rencana besar TVRI di tahun 2007 sebagai wujud komitmen TVRI kepada masyarakat untuk meningkatkan performa dalam me- layani publiknya.

Di antara rencana besar itu, TVRI akan meng-upgrade 30 satuan transmisi di seluruh wilayah Nusantara, siaran TVRI akan terintegrasi dengan JUMP TV- suatu stasiun penyiaran berbasis internet di Amerika yang dapat diakses oleh 150-an negara, serta akan menyelesaikan studio alam di Depok yang nantinya diharapkan akan sejajar dengan Universal Studio di Amerika.

Direktur Program dan Berita menjelaskan mengundang perwakilan departemen dan institusi pemerintah karena sebagai sesama institusi pemerintah punya kepentingan yang sama, yaitu bekerja untuk melayani kepentingan publik. Menurutnya TVRI adalah pilihan tepat untuk melakukan sosialisasi program-program pemerintah seperti yang telah dapat dinikmati sekarang dalam tayangan Kabinet Bersatu – MPR-DPR, Mahkamah Konstitusi, dan Dewan Pers yang merupakan publik itu sendiri.

Salah satu langkah awal positioning seperti ditegaskannya adalah TVRI tidak mungkin menayangkan program populer yang isinya sangat jauh dari kepentingan publik. Semua program TVRI harus berpegang pada prinsip moral etika, karena membawa misi mulia, yaitu menyampaikan pesan yang mengandung kebenaran, manfaat, dan kemaslahatan bagi masyarakat.

Direktoratnya juga siap menampilkan “New Look of TVRI” dengan paradigma baru. Wajah baru itu bisa terlihat dari Direktorat Program dan Berita yang menjadi satu tubuh dengan kebijakan satu pintu, sehingga kerja sama akan menjadi lebih cepat dan efektif. Sebelumnya, katanya, berurusan dengan TVRI agak rumit karena ketidakjelasan job description masing-masing direktorat maupun penempatan fungsi struktural dalam bisnis yang terkesan tumpang tindih.

Ke Depan

Mungkin seabrek rencana besar TVRI di tahun 2007 diiringi dengan perbaikan pola kebijakan baik manajemen maupun programnya itu yang membuat karyawan meradang. Tidak bisa dimungkiri, fakta di lapangan sebelumnya menunjukkan karyawan banyak “bermain” menentukan harga produksi. Dengan diberlakukan pola manajemen satu pintu dalam kerja sama, tentunya akan banyak memangkas kebebasan “bermain” di lapangan. Apalagi janji adanya transparansi dan akuntabilitas dari direksi baru sedikit banyak membuat karyawan yang sebelumnya berada dalam zona “kenyamanan” tersebut bak mati kutu.

Dari sisi profesionalisme, dari kacamata direksi baru yang “besar” di luar (bukan tumbuh di TVRI), karyawan TVRI ibarat jauh panggang dari api. Stigma karyawan TVRI seperti banyak PNS lainnya yaitu banyak ngobyek karena minimnya gaji, sering datang terlambat, atau kurang progresif, cukup melekat. Terbayangkan pasti direktur program dan berita banyak mendapat tentangan dan tantangan tatkala menetapkan standar kerja tertentu demi mendongkrak performa.

Konflik internal itu harusnya dapat diredam jika terjadi komunikasi intensif sebelumnya. Perlu mediator yang cakap untuk mengkomunikasikan rencana dan kebijakan jajaran direksi baru, ter- lebih lagi jika hal itu menyangkut perubahan yang sangat drastis seperti yang terjadi di TVRI.

Demikian pula dari sisi karyawan harus didengarkan aspirasinya terhadap keputusan dan kebijakan itu. Mungkin humas TVRI dapat menjadi mediator dengan memainkan peran untuk menjembatani perubahan kebijakan direksi – aspirasi karyawan, sehingga tercipta citra positif TVRI di mata karyawannya.

Jika memang perubahan itu menuju cita-cita mulia, yaitu menjadikan TVRI lebih baik, harusnya karyawan yang nota bene cinta TVRI (bukan cinta nasib sendiri) akan berbesar hati melangkahkan kaki untuk menyongsong perubahan tersebut. Mungkin cara-cara yang diberlakukan direksi baru terkesan sangat frontal, maka tantangan humas TVRI untuk memolesnya.

Tentu butuh keikhlasan dan pengorbanan melewati proses perbaikan itu, yang kadang memang terlalu panjang dan menyakitkan. Ibarat seseorang yang sedang sakit kanker di tangan dokter yang menyarankan untuk kemoterapi demi kesembuhannya, sepasrah itulah karyawan harus menerima terapi dari dewan direksi demi kesehatan tubuh TVRI sendiri. Kalau tubuh sendiri sakit, bagaimana bisa melayani publiknya?

Penulis yakin, kesan bagus sesudah menghadiri gathering itu pasti dirasakan wakil institusi dan departemen yang juga datang pada waktu itu. Penulis sendiri pulang dengan suatu mimpi, dalam waktu dekat bisa bekerja sama dengan TVRI untuk memproduksi program tayangan bernuansa iptek. Namun, belum sampai ke tindak lanjut, TVRI sudah dilanda kemelut.

Hanya TVRI yang dapat menjadi gantungan institusi pemerintah untuk memasyarakatkan program yang penting dari institusinya demi misi mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa. Penulis, dan mungkin banyak humas dari institusi pemerintah lain merasa sedih harus terbangun dari mimpi. Namun, penulis akan tetap berkata: “Maju terus TVRI, lakukan perubahan. Now or never!”

Penulis adalah staf Humas LIPI

Last modified: 28/3/07


 

Kunci Keberhasilan Kampanye Antikorupsi

Frans H Winarta

Sekali lagi penegakan hukum di Indonesia mengalami ujian berat. Kampanye pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberantas korupsi tidak beda dengan pemerintahan sebelumnya. Kehilangan konsistensi ketika yang diduga terlibat adalah pejabat tinggi.

Akhir-akhir ini terbetik berita ada beberapa pejabat tinggi dianggap terlibat dalam dugaan tindak pidana pencairan uang di bank luar negeri yang asal-usulnya tidak jelas, tetapi para pejabat penegak hukum diam seribu bahasa.

Dan, belum apa-apa Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah berkomentar tidak ada tindak pidana. Bisa dibayangkan bagaimana para pejabat penegak hukum di negeri ini yang sudah ragu menjadi lebih ragu lagi.

Diskriminasi penegakan hukum di negeri ini berjalan terus sehingga sangat mengganggu konsistensi penegakan hukum, khususnya bagi para penegak hukum. Contoh paling konkret adalah ketika business tycoon Anthony Salim diperiksa dalam penjualan aset negara eks BLBI, diperlakukan sangat istimewa oleh penyidik dari Mabes Polri.

Diperiksa di hotel yang mewah dan kemudian karena diberitakan pers, berpindah pemeriksaannya ke Mabes Polri tetapi diberi privilege untuk masuk dari pintu depan kantor Mabes Polri yang biasanya hanya digunakan untuk para perwira Polri.

Belum lagi baru-baru ini dia diundang ke Istana Merdeka untuk peluncuran buku suatu yayasan di mana ia duduk sebagai salah satu pendiri yayasan tersebut. Bahkan ia sempat difoto dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kembali peristiwa ini menjadi penghalang atau paling tidak mengganggu penegakan hukum.

Beberapa hari kemudian terbetik berita di media dalam dengar pendapat di Komisi III bahwa Anthony Salim akan di SP3-kan. Rumor tentang SP3 ini menjadi kenyataan. Padahal sampai sekarang ada lebih kurang 6.000 perkara BLBI yang diselesaikan melalui MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRNIA (Master Refinancing and Notes Issues Agreement), suatu perangkat perjanjian antara debitur dan pemerintah waktu itu (1998) untuk menyelesaikan utang debitur pascakrisis moneter 1998.

Sepuluh tahun sudah berlalu masalah ini tetap saja menjadi duri dalam daging bagi setiap pemerintahan di Indonesia. Padahal kalau waktu itu diselesaikan secara hukum paling lama memakan waktu tiga sampai lima tahun di semua tingkat.

Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) yang bersifat pidana dihilangkan dengan MSAA yang tidak dikenal konsepnya dalam sistem hukum Indonesia cq hukum pidana. Apalagi kemudian diketahui asset recovery ini tidak diserahkan semuanya kepada negara dan malahan ada yang sempat dijaminkan kepada lembaga keuangan bank dan nonbank.

Andaikan waktu itu pelanggar BMPK diselesaikan melalui proses pidana dan aset para debitur disita oleh negara, maka persoalan sudah lama selesai dan yang lebih penting adalah efek jera yang luar biasa dapat terjadi sehingga semua debitur BLBI miris untuk tidak menyelesaikan utangnya dan menyerahkan seluruh asset yang dimilikinya untuk dibebaskan dari hutang.

Syarat Mutlak

Akibat dari MSAA dan MRNIA ini masih bisa diperbaiki kalau pemerintah tegas dan menindak secara hukum semua debitur “nakal”. Tetapi apa yang kita lihat adalah peragaan karpet merah bagi para debitur “kakap”. Suatu preseden buruk dalam penegakan hukum dan kampanye pemberantasan korupsi.

Konsistensi penegakan hukum dan tidak diberlakukannya keistimewaan bagi para debitur BLBI adalah syarat mutlak yang harus ditempuh dalam upaya pemberantasan korupsi. Tanpa kekonsistenan dan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum program pemberantasan korupsi tidak akan berhasil. Ini berlaku bagi pemerintahan sekarang maupun pemerintahan kemudian.

Pemerintahan Lee Kuan Yew selalu dijadikan contoh dan model pemberantasan korupsi ke titik yang paling rendah melebihi Inggris sebagai negara bekas kolonial Singapura. Tidak perduli menteri dalam kabinetnya, teman seperjuangan, seideologi, kalau terlibat korupsi akan diproses secara hukum.

Jangankan bertemu, sejak adanya dugaan korupsi Lee menolak bertemu dengan si tersangka atau calon tersangka. Asas praduga tidak bersalah diberlakukan dan diterapkan secara konsekuen dan konsisten, bukan saja tidak melindungi tetapi juga tidak memojokkan para tersangka atau calon tersangka. Supremasi hukum dihormati.

Apa yang kita lihat sekarang adalah penerapan standar ganda bagi orang-orang yang berkuasa atau dekat dengan kekuasaan yang diberi privilege tetapi orang-orang yang berseberangan secara politik, tidak seideologi, apalagi tidak mempunyai kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan segera diproses hukum, ditangkap, dituntut dan kemudian diadili.

Kampanye antikorupsi yang begitu santer digembar-gemborkan pada permulaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hanya akan berhasil kalau ada konsistensi dalam penegakan hukum. Tanpa adanya persamaan kedudukan dihadapan hukum maka program pemberantasan korupsi hanyalah menjadi waca- na saja dan tidak akan menjadi kenyataan.

Penulis adalah advokat dan Ketua YPHI (Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia)

Last modified: 29/3/07

 

Leave a comment