Pemikiran Indonesia Agustus 2007 3

Opini                                                                                                                                         

Jumat, 03 Agustus 2007

Menduga Pemenang Pilkada Jakarta

Eko Harry Susanto

Tidak mudah menduga kekuatan para kandidat gubernur Jakarta. Mereka memiliki karakteristik, kekuatan individual, dan dukungan beragam.

Jika merujuk hasil Pemilu 2004 di DKI Jakarta, Fauzi Bowo-Prijanto yang didukung Koalisi Jakarta dengan 75, 9 persen suara akan unggul dibandingkan dengan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang didukung 23,32 persen.

Massa “cair”

Namun, mengamati kampanye yang telah berlangsung, pasangan Adang-Dani dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini lebih menarik perhatian publik. Namun, bukan berarti pasangan ini akan unggul dan menang mudah sebab ada berbagai faktor yang bisa dijadikan alasan mengapa membeludaknya massa belum tentu signifikan dengan jumlah suara yang diraih.

Pendukung PKS memiliki loyalitas tinggi dan konsisten mendukung Adang-Dani. Secara aktif, massa PKS dengan mobilitas tinggi akan meramaikan kampanye di mana pun di Jakarta. Kegairahan ini tampaknya juga mengacu kepada substansi keterlibatan fisik dan emosi untuk selalu bersama Adang-Dani.

Keberhasilan membentuk kader yang loyal adalah hasil dari proses panjang PKS, bukan sebatas untuk menghadapi persaingan menjelang hajatan politik tingkat nasional ataupun tingkat lokal.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, massa yang menjejali kampanye Adang-Dani bisa diasumsikan sebagai pendukung riil sehingga jumlah antara peserta kampanye dan pemilih tidak jauh berbeda. Meski demikian, anggapan itu sering dianggap sekadar menghibur pasangan Fauzi-Prijanto. Tentunya diembel-embeli alasan, konstituen Koalisi Jakarta bersifat lebih pasif dalam kampanye, tetapi tanggal 8 Agustus 2007 mereka tetap akan memberikan suaranya kepada pasangan yang mengeksplorasi tema “keanekaragaman”. Karena itu, jika merujuk asumsi itu, dapat dikatakan kemungkinan pasangan Fauzi-Prijanto akan memenangi Pilkada DKI Jakarta.

Meski demikian, dalam wacana komunikasi publik, kemeriahan setiap kampanye yang diselenggarakan pasangan PKS itu berpotensi memengaruhi massa “cair” yang belum jelas memiliki pilihan partai. Secara manusiawi, orang umumnya lebih menyukai pendapat mayoritas yang dikemas dan didiseminasikan media kepada khalayak. Dengan demikian, anggapan bahwa kelompok mayoritas yang diam merupakan kunci kemenangan Koalisi Jakarta untuk merebut kursi gubernur belum tentu benar. Apalagi yang ditulis Kompas (19/6/2007), “pemilih Jakarta dalam Pemilu 2004 sulit ditebak, pilihan partai tidak berkorelasi dengan pilihan calon presiden”. Artinya, suara konstituen bisa mudah berganti dan tidak bergantung pada orientasi partai politiknya.

Sulit diprediksi

Persaingan Adang-Dani dengan Fauzi-Prijanto menjadi sulit untuk diprediksikan. Sebab, meski dalam posisi perolehan suara 3.062.012 atau 75,9 persen berbanding 941.684 suara (23,3 persen), peluang PKS untuk mendudukkan kandidatnya sebagai orang nomor satu di Jakarta tetap terbuka.

Fauzi-Prijanto harus bekerja keras. Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan pasangan Adang-Dani meraih 35,5 persen, naik tipis dari bulan Juni (33,7 persen), sedangkan Fauzi-Prijanto dipilih 60,9 persen, menurun dibandingkan dengan Juni (66,3 persen) (Kompas, 16/7/ 2007).

Kecenderungan berkurangnya popularitas Fauzi-Prijanto dan meningkatnya kepercayaan publik kepada Adang-Dani merupakan dampak perubahan orientasi pemilih partai Islam di luar PKS yang mendukung Adang-Dani.

Hasil pemilu legislatif tahun 2004 menunjukkan, perubahan pilihan politik warga Jakarta tetap diwarnai ikatan ideologis, khususnya partai yang berasaskan Islam (Kompas, 19/7/2007).

Esensinya, suara partai berasas Islam memegang kunci menguatnya kandidat gubernur dari kekuatan PKS.

Jika meruntut ke belakang, peluang Fauzi-Prijanto memenangi pilkada lebih baik jika menghadapi Sarwono Kusumaatmadja- Jeffrie Geovani. Asumsinya, “pendukung utama” pasangan itu ialah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dalam pemilu legislatif meraih 164.249 suara (3,47 persen), dan Partai Amanat Nasional (PAN), yang mengantongi 333.116 suara (7.03 persen). Meski pasangan itu diperkirakan mengusung keberagaman dan demokrasi, tetap sebagai representasi partai berasaskan agama yang berpotensi menghadang laju Adang-Dani.

Adapun Fauzi-Prijanto yang didukung Koalisi Jakarta minus PKB dan PAN akan memiliki jumlah suara signifikan. Itu karena suara Golkar yang 9,16 persen, PDI-P (14,02 persen), dan Partai Demokrat (20,24 persen) merupakan modal dasar untuk memenangi Pilkada DKI Jakarta.

Intinya, Fauzi-Prijanto lebih berpeluang memenangi Pilkada DKI Jakarta jika berhadapan dengan dua pesaing, Adang-Dani dan Sarwono-Jeffrie. Namun, proses itu sudah berlalu. Yang kini dihadapi warga Ibu Kota adalah pilkada dengan dua pasang kandidat yang bersaing ketat meraih kursi gubernur Jakarta.

Eko Harry Susanto Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta

 

 


Opini            

Jumat, 03 Agustus 2007

Pemerintahan yang Terbelah

Bara Hasibuan

Pernyataan Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew bahwa multipartai menyulitkan pemerintah mengingatkan kita kepada masalah mendasar yang terus menghantui setelah hampir tiga tahun hidup dalam sistem politik seperti ini.

Itulah realitas politik yang sering tidak bisa dihindarkan dalam sistem presidensial, dikenal sebagai divided government atau pemerintahan yang terbelah. Yang dimaksud bukan ada pembelahan dalam pemerintahan, melainkan situasi ketika dua cabang utama dalam sistem politik—eksekutif dan legislatif—masing-masing dikuasai partai berbeda.

Dalam sistem presidensial, divided government sering tidak bisa dihindarkan karena karakteristik pemisahan kekuasaan absolut antara legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, esensinya ada checks and balances, masing-masing pihak mengontrol kekuasaan lain, tidak ada satu pihak yang dominan. Tidak adanya keharusan bahwa pemerintahan harus didukung kekuasaan mayoritas di parlemen—seperti layaknya dalam sistem parlementer—juga menyebabkan divided government sering terjadi dalam sistem presidensial.

Benar, divided government biasanya dikaitkan dengan Amerika Serikat. Berlakunya sistem presidensial dengan dua partai dominan menyebabkan sering terjadi situasi, presiden dari Partai Republik tetapi Kongres dikuasai Partai Demokrat (situasi ini terlihat setelah Partai Demokrat menang pada midterm elections November 2006).

Tidak ada mayoritas

Namun, bagi profesor politik dari Dublin University, Rober Eglie, divided government secara umum harus dimengerti dengan menggunakan definisi arithmetical, dengan kekuasaan mayoritas dikuasai oleh lebih dari satu partai dan tidak ada kekuasaan mayoritas di legislatif. Dengan begitu, lanjut Eglie, divided government juga berlaku dalam sistem lain seperti semipresidensial dan presidensial multipartai seperti di Indonesia kini.

Mengingat kemungkinan terjadinya divided government lebih besar pada sistem presidensial multipartai, maka masalah ini menjadi penting dibicarakan. Apalagi, meski ada usaha dari partai-partai besar untuk menaikkan electoral threshold, perkawinan antara presidensialisme dan multipartaisme sulit dihentikan untuk beberapa waktu ke depan. Apalagi kebebasan politik belum terlalu lama dinikmati, sehingga tidak mungkin jumlah partai di parlemen dikurangi secara drastis.

Konsekuensinya, di kemudian hari situasi di mana presiden terpilih dengan basis politik lemah di parlemen—seperti dialami Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004—kemungkinan akan terulang. Peluang itu besar karena tak ada kekuatan politik yang dominan.

Masalahnya, divided government di Indonesia secara umum dianggap sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari dengan segala cara. Jika pemerintah tidak didukung kekuatan mayoritas di parlemen, dikhawatirkan governability (kemampuan pemerintah untuk memerintah) amat terbatas atau—yang lebih parah—terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik saat Yudhoyono terpilih sebagai presiden tahun 2004 yang mendorongnya untuk melakukan hal yang bersifat anti-tesis terhadap presidensialisme, yaitu dengan membagi-bagi posisi di kabinet kepada partai-partai.

Menimbulkan kehancuran?

Namun, betulkah divided government otomatis menimbulkan kehancuran pemerintah? Jika melihat pengalaman beberapa negara, tidaklah demikian. Di AS, selama 50 tahun lebih, hampir semua pemerintahan hidup dalam divided government. Ternyata mereka mampu bekerja sama dengan Kongres yang dikuasai partai oposisi untuk menghasilkan berbagai agenda penting.

Presiden Bill Clinton (Partai Demokrat), misalnya, bersama Kongres yang mutlak dikuasai Partai Republik berhasil melahirkan UU untuk besar-besaran mereformasi welfare system. Presiden Ronald Reagan (Republikan) bersama Kongres yang dikuasai Partai Demokrat mampu menghasilkan sistem perpajakan yang dipakai hingga kini. UU Udara Bersih, yang didorong Presiden Richard Nixon (Republikan) juga dihasilkan ketika Kongres dikuasai Partai Demokrat.

Benar, manajemen atas divided government di AS lebih mudah karena hanya ada dua partai besar yang dominan. Namun, jika melihat pengalaman Meksiko—yang menganut sistem presidensial multipartai seperti Indonesia—divided government ternyata tidak selalu berdampak buruk.

Suatu penelitian yang dilakukan Joseph Klesner (profesor di Kenyon College, Ohio, AS) atas divided government pada periode Kepresidenan Ernesto Zedillo (1997-2000) menunjukkan, pemerintah dapat membangun koalisi temporer dengan partai-partai oposisi berdasar isu-isu tertentu. Penelitian lain yang dilakukan Benito Nacif, peneliti di lembaga think thank di Meksiko bernama CIDE, atas periode kepresidenan Vincente Fox 2000-2003 juga menunjukkan pemerintah dan partai yang berseberangan tetap bisa bekerja sama dan membangun koalisi berdasar isu-isu.

Tidak selalu berjalan mulus

Namun, dengan contoh-contoh itu bukan berarti dalam divided government segala sesuatu berjalan mulus. Tentu ada kasus ketika pemerintah mengalami kesulitan untuk mendorong inisiatif atau kebijakan. Namun, yang penting, sikap negara-negara itu dalam menghadapi divided government adalah bukan dengan menghindari, melainkan menerima dan hidup di dalamnya sebagai realitas politik. Kuncinya, bagaimana mereka make the best out of it dengan negosiasi dan consensus building, dua hal esensi demokrasi.

Kenyataan, divided government merupakan konsekuensi logis penerapan sistem presidensial—yang kemungkinannya lebih besar karena multipartaisme—yang sering tidak disadari. Betul yang dikatakan Lee Kuan Yew, multipartai menyulitkan. Jika kita tidak berani memangkas jumlah partai secara drastis, kita harus konsekuen dengan segala akibat sistem ini.

Bara Hasibuan Congressional Fellow 2002-2003

 

 

 


Opini            

Senin, 06 Agustus 2007

Pilkada dan Delegitimasi Partai Politik

Rachmad Bahari

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah ibarat pedang bermata dua.

Pembolehan calon perserorangan dinilai banyak kalangan sebagai pemenuhan hak konstitusional warga negara. Sebagian persyaratan calon peserta pilkada, seperti diatur UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah, dinilai Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 Ayat (4), karena hanya memberi kesempatan bagi pasang calon yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik.

Dari sisi kelembagaan demokrasi perwakilan, putusan MK itu dinilai sebagai penghambat pengembangan sistem (system building). Hampir semua orang sepakat bahwa kinerja partai politik di Indonesia kini jauh dari memuaskan. Kinerja wakil rakyat yang buruk di DPR dan DPRD ikut menambah rapor merah partai politik. Masalahnya, hingga kini peran partai politik tidak tergantikan oleh institusi lain dalam sistem negara demokrasi.

Partai vs massa

Putusan MK yang membatalkan ketentuan beberapa pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 telah melegalkan delegitimasi dan degradasi partai politik.

Selanjutnya, dalam pencalonan pilkada, kedudukan partai politik menjadi sejajar dengan massa atau kerumunan (crowd). Artinya, tanpa melalui mekanisme partai politik, calon bisa mengikuti pilkada dengan membawa bukti dukungan 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di wilayahnya. Meski pengumpulan dukungan bukan hal mudah, tetapi pencalonannya jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan melalui partai politik.

Pembukaan kesempatan bagi pasang calon perseorangan dalam pilkada memuluskan jalan mereka yang ingin menjadi kontestan tanpa memeras keringat. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pasangan calon murni dari kalangan nonpartai, tetapi juga bagi mereka yang gagal mencalonkan diri melalui partai politik.

Pembukaan kesempatan calon perseorangan dalam pilkada di Aceh, sebagaimana diatur UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebetulnya hanya berlangsung satu kali sebelum partai lokal terbentuk. Ketentuan UU No 11/2006 Pasal 67 Ayat (1) Huruf f itu selaras MOU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM yang mengisyaratkan diizinkannya pembentukan partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan kata lain, keistimewaan Aceh tetap sejalan dengan pengembangan sistem penataan kelembagaan demokrasi, terutama mengenai partai politik. Artinya yurisprudensi berdasarkan UU No 11/2006 sebenarnya kurang tepat.

Bagaimana dengan pilkada di daerah dengan status khusus, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, kelak? Beberapa kalangan telah mendesak panitia perancang RUU Keistimewaan Yogyakarta untuk memuat ketentuan penetapan kepala daerah dari pemangku monarki yang ada tanpa melalui pemilu. Jika ketentuan itu diberlakukan, apakah tidak bertentangan dengan hakikat demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat?

Putusan MK tentang calon perseorangan dalam pilkada seolah merupakan kemenangan bagi upaya perwujudan demokrasi dengan melepas hak sipil warga negara dari kungkungan dan belenggu partai politik. Sebenarnya hal itu hanya merupakan panacea sesaat karena dalam jangka panjang akan mengganggu pengembangan sistem penataan kelembagaan demokrasi, utamanya mengenai peranan partai politik.

Delegitimasi dan degradasi partai politik berlangsung bertubi-tubi dan kini sudah mencapai titik nadir. Hal itu bisa menjadi pelajaran amat berharga bagi partai politik untuk berintrospeksi dan membenahi diri agar rapornya tidak lagi merah.

Kini saatnya kalangan partai politik memperbaiki platform dan kinerjanya, terutama dalam mengembangkan demokrasi internal dan pengaderan. Dengan demikian, jual-beli kursi pencalonan yang rawan dengan politik uang tidak terjadi lagi. Keberhasilan demokrasi internal dan pengembangan kader tentu dapat menghasilkan politisi berkualitas yang layak jual dalam pemilu lembaga legislatif dan eksekutif. Keberhasilan itu akan meminimalkan upaya pemanfaatan partai sekadar menjadi kendaraan mereka yang memiliki dukungan finansial kuat saja.

Putusan MK itu mengingatkan kita untuk lebih mawas diri. Delegitimasi dan degradasi terhadap partai politik pada akhir dasawarsa 1960-an telah melahirkan dominasi tentara dalam politik dan pemerintahan otoritarian Orde Baru selama 30 tahun lebih. Tentu saja menjadi relevan apabila timbul pertanyaan, delegitimasi dan degradasi terhadap partai politik pascareformasi akan bermuara ke mana?

Rachmad Bahari Peneliti Institute for Policy and Community Development Studies (Ipcos), Jakarta

Opini                                                                                                                                            

Sabtu, 04 Agustus 2007

Demokrasi Kita Belum “Jadi”?

Sulastomo

Demokrasi kita belum jadi. Sebabnya, demokrasi kita masih dalam masa transisi.” Itulah kalimat Jakob Oetama saat memberi sambutan peluncuran buku Oom Pasikom, awal Juli lalu.

Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan, kapan “jadinya” demokrasi kita? Kapan kita bisa menyelesaikan masa transisi demokrasi sehingga memiliki sistem demokrasi yang mantap, sebagaimana negara demokrasi yang lain? Apa kriterianya?

Rujukan demokrasi kita adalah sila keempat Pancasila. Sila keempat Pancasila itu, dilihat dari konsep demokrasi, adalah konsep “demokrasi perwakilan” . Adapun mekanisme demokrasinya lebih mendahulukan “permusyawaratan” atau konsensus dalam pengambilan keputusan. Apakah konsep demokrasi seperti itu masih relevan? Apakah konsep demokrasi seperti itu sesuai prinsip demokrasi yang universal?

Demokrasi akan tegak jika dua syaratnya terpenuhi. Syarat itu adalah adanya “kesetaraan” dan “kebebasan” dalam memilih. Hanya demokrasi yang memenuhi dua persyaratan itu yang akan menghasilkan demokrasi yang sehat, yaitu penyelenggaraan “pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat”.

Adanya “kesetaraan” ditandai dengan kemampuan rakyat untuk memilih, menilai wakil-wakilnya, sehingga akan terpilih wakil rakyat yang aspiratif dan terbaik. Bung Hatta pernah mengingatkan, demokrasi memerlukan tingkat pendidikan rakyat, agar mampu memiliki kesetaraan untuk memilih. Dapatkah disimpulkan, tanpa tingkat pendidikan rakyat seperti itu, demokrasi akan “cacat”? Misalnya, tidak menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif dan terbaik?

“Kebebasan” berarti jaminan untuk bisa memilih tanpa ada “paksaan”, “tekanan”, atau “ikatan” dalam bentuk apa pun, termasuk uang. Jika ada restriksi dalam bentuk apa pun, demokrasi akan “cacat”. Untuk itu, harus dijamin kerahasiaan untuk memilih. Hal ini terlepas bahwa pilihan seseorang bisa ditebak dari keanggotaan dalam suatu partai politik atau kesamaan “ideologi” atau “cita-cita”. Namun, “kebebasan” dan “kerahasiaan” memilih harus tetap terjamin.

Sudahkah demokrasi kita “demokrasi perwakilan”, sebagaimana sila keempat Pancasila memenuhi persyaratan seperti itu?

Sistem pemilihan umum

Setiap proses demokrasi dimulai dengan pemilihan umum (pemilu). Setiap pemilu seharusnya menghasilkan wakil rakyat yang “aspiratif” dan “terbaik” menurut pandangan pemilih. Dan wakil rakyat yang terpilih harus memahami kedudukannya sebagai wakil yang memilih. Syaratnya, harus ada “kesetaraan” dan “kebebasan” dalam memilih. Jika tidak, akan terjadi kesenjangan antara rakyat dan wakil yang terpilih. Inilah yang mungkin terjadi selama ini, yaitu sering ditemui kesenjangan antara rakyat dan wakil-wakilnya.

Oleh karena itu, selayaknya kita bertanya, apa yang salah dengan sistem pemilu kita sehingga sering terjadi kesenjangan antara rakyat dan wakil-wakilnya?

Dilihat dari prinsip demokrasi, ada beberapa hal yang mungkin menimbulkan kesenjangan.

Pertama, dengan pemilu sistem proporsional, pemilihan anggota DPR yang diberlakukan sejak pemilu 1955, “kebebasan” memilih (sebenarnya) direduksi oleh peran partai yang telah menentukan pilihan lebih dulu, melalui nomor urut pencalonan.

Kedua, dilihat dari “kesetaraan”, kemampuan memilih orang per orang sebenarnya belum terwujud karena tingkat pendidikan dan sosial kita masih amat lebar.

Kedua hal itulah yang membuka peluang demokrasi kita belum jadi. Ada kesenjangan antara rakyat dan wakilnya. Oleh karena itu, rakyat sering menyampaikan aspirasinya melalui jalannya sendiri, antara lain demonstrasi, Bahkan dalam pergantian pemerintahan pun—dari Bung Karno sampai Gus Dur—selalu dimulai dari gerakan ekstraparlementer, dari luar gedung wakil rakyat.

Oleh karena itu, kita perlu membangun sistem pemilu yang menjamin “kesetaraan dan kebebasan” memilih. Kendala yang mereduksi “kesetaraan dan kebebasan” selayaknya dihapus, setidaknya dieliminasi. Meski partai politik berperan besar, peran itu tidak boleh mereduksi “kesetaraan dan kebebasan” memilih rakyat, antara lain melalui kewenangan menetapkan urutan calon. Sistem distrik untuk memilih anggota DPR/MPR/DPD akan lebih mendekati “kesetaraan dan kebebasan” dibandingkan dengan sistem proporsional.

Mengenai pemilihan presiden/wakil presiden, dengan variasi dan spektrum tingkat pendidikan dan sosial yang lebar sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan langsung berdasar popular vote, juga bisa melahirkan kesenjangan antara rakyat dan presiden/wakil presiden terpilih.

UU pemilu

Guna mengakhiri “transisi demokrasi” kita harus memiliki UU pemilu yang harus menjamin “kesetaraan dan kebebasan”. Untuk itu, pemilu bagi anggota DPR/MPR/DPD selayaknya berdasarkan sistem distrik. Bagaimana dengan pemilihan presiden/wakil presiden?

Mungkin perlu dilengkapi dengan semacam electoral vote, sebagaimana di AS, tidak hanya berdasarkan popular vote. Atau, kembali ke sistem lama, presiden/wakil presiden dipilih MPR. Sebab, dengan cara seperti itu “kesetaraan dan kebebasan” pemilih lebih terjamin.

Itulah (mungkin) esensi demokrasi perwakilan, yang dirumuskan para pendiri bangsa, yang notabene belum pernah kita laksanakan sepenuhnya. Perubahan ke arah sistem demokrasi langsung, seperti pernah dikemukakan Dr Soekiman Wiryosanjoyo dalam persiapan kemerdekaan, memang tidak tertutup. Namun, perubahan seperti itu memerlukan waktu, saat “kesetaraan” dan kebebasan “memilih” telah dimiliki rakyat, ketika variasi dan spektrum pendidikan/tingkat sosial rakyat tidak terlalu jauh berbeda.

Indonesia memang harus mengatasi ketertinggalannya dalam banyak bidang, baik politik, ekonomi, maupun iptek. Masa transisi (di segala bidang) harus segera diakhiri. Rujukannya adalah membangun sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya sesuai dengan konsensus nasional, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Sebuah tanggung jawab yang tidak ringan bagi presiden/wakil presiden dan para anggota DPR yang kini sedang membahas paket UU bidang politik

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

 


 

Opini                                                                                                                                            

Rabu, 15 Agustus 2007

Tahun yang Mengerikan

Daoed Joesoef

Republik Indonesia mencapai usia 62 tahun. Menjelang usia itu, perjalanannya bukan tidak terasa oleh warganya.

Sungguh amat dirasakan, meski dengan intensitas berbeda karena nyaris tiada hari tanpa gangguan fisik dan psikis. Sepak terjang alam datang silih berganti.

Tahun yang mengerikan

Bersamaan dengan itu, berbagai kejadian nonalami yang kian mendebarkan, menjengkelkan, dan menakutkan bercampur hingga merupakan tahun yang mengerikan. Lebih-lebih bila mengetahui keadaan itu diduga akan berlanjut. Berhadapan dengan situasi ini para warga berasa seperti anak ayam kehilangan induk.

Dalam keadaan kelabu begini biasanya orang mencari ketenteraman batin dan kepastian pegangan pada petunjuk dari orang yang dianggap kompeten dalam urusan religius. Namun, apa lacur, persona yang konon doktor ilmu Al Quran ketahuan melakukan korupsi.

Kecelaan juga menulari persona yang pantas ditiru dan digugu, yaitu guru, bahkan guru besar! Menyalahgunakan wewenang, mengambil dengan tangan kiri uang nelayan, kelompok termiskin, dan tangan kanan membagi uang kepada “siapa saja”, termasuk guru yang juga “besar”. Lalu apa gunanya persona dari komunitas ilmiah melibatkan diri langsung dalam jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif jika akhirnya hanya untuk menyesuaikan diri pada aneka kebiasaan komunitas politik, mematuhi kehendak money politicking?

Di ruang lingkup kekaryaan guru juga terjadi hal-hal yang horrible. Prasarana dan sarana pendidikan warisan Orde Baru rusak karena tidak dirawat. Karena beroperasi tanpa konsep kerja menyeluruh, tiap lembaga dan jenjang pendidikan berjalan sendiri-sendiri, mengabstrakkan begitu saja keterkaitan fungsional satu sama lain. Begitu rupa hingga ide demokrasi pendidikan, yaitu mutu yang kian tinggi bagi jumlah anak didik yang makin banyak, telah diabaikan. Di sana-sini diberitakan ada murid-murid bunuh diri karena keputusasaan/kebingungan.

Rakyat biasa, yang dalam kampanye pemilu selalu diagung-agungkan sebagai tuan/pemilik negeri, juga tak kalah stres menghadapi ketidakpastian dalam beberapa hal: persediaan pangan, kesempatan kerja, keamanan perjalanan dan alat pengangkutan, pergantian kerusakan/kehilangan harta benda akibat salah urus investor-politikus-pengusaha, ketidakpedulian aparat birokrasi yang mata duitan dan elite politik yang rakus.

Pemanfaatan kekayaan alam oleh generasi penguasa juga merisaukan. Mereka menganggap diri sebagai pewaris dan bertindak semaunya. Mereka lupa, generasi sekarang hanya meminjam kekayaan itu dari generasi mendatang, yang wajib mengembalikan kepada pemiliknya dalam keadaan tetap terpelihara.

Ketidakadilan

Yang cukup mendebarkan adalah gerakan separatis yang mengancam integritas NKRI. Separatisme ini katanya akibat ketidakpuasan terhadap pembangunan ekonomi dan politik selama ini. Ketidakpuasan sudah ada sejak Orde Baru. Para reformatur menjadikan hal ini sebagai alasan pembenaran gerakan pembaruan. Namun, yang terwujud amat berbeda dari berbagai gambaran muluk yang dijanjikan. Sementara pola kebijakan pembangunan tetap sama, otonomi daerah yang diintroduksi reformasi hanya menghasilkan pemerataan dalam korupsi di kalangan elite politik dan pemerintah.

Tanpa membenarkan separatisme, harus diakui alasan awalnya reasonable, yaitu ketidakadilan. Sementara itu, perluasan target aksi dan kekerasan yang menyertai sungguh mencemaskan karena membawa agama.

Itulah yang paling mengerikan dari semua kengerian. Pengatasnamaan agama ini banyak diilhami oleh apa yang terjadi di Timur Tengah dan Asia. Di wilayah itu pemunculan Islamis radikal-fanatik merupakan gejala besar politik. Dan di kalangan Muslim cenderung mengidentikkan Arab dengan Islam.

Sebagian besar negeri Arab-Islam kini sedang mengalami krisis politik dan kultural yang serius. Setelah kegagalan pengukuhan nasionalisme Arab dan lenyapnya ilusi pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat, kian banyak penduduk yang mencari pegangan pada apa yang disucikan.

Bagi masyarakat tradisional, menerima modernitas berarti mengikhlaskan aneka kehilangan yang disebabkan oleh setiap perubahan yang mendalam dan radikal. Kehilangan ini bisa diterima bila ia merupakan harga yang harus dibayar demi pembangunan, tetapi dengan syarat, hasilnya dapat dinikmati.

Pada saat hasil itu tak kunjung tiba, golongan konservatif memanfaatkannya untuk menabur ide integrisnya. Dengan jalan begitu, golongan ini menggerakkan revolusi Iran, coup d’etat islamis di Sudan, pembunuhan kaum intelektual dan orang asing di Mesir dan Aljazair, gerakan radikal islamis di Afganistan dan Pakistan, dan belakangan kelahiran kembali Islamisme di Turki.

Untuk mengesankan, gerakan integritas mereka juga “modern”, ilmu pengetahuan tidak dikutik. Bukankah ajaran Islam sebenarnya mendorong penggunaan nalar (akal) dan penguasaan ilmu pengetahuan? Para pemimpin integris di Aljazair dalam kampanye Pemilu 1991, misalnya, tidak ragu-ragu menggunakan laser untuk menyorotkan tulisan “Allahu Akbar” di langit, agar rakyat terkesan mereka sedang berdialog langsung dengan Tuhan. Maka, di negeri-negeri yang dikuasai ide integrisme pelajar/mahasiswa didorong membanjiri lembaga pendidikan teknik, bukan lembaga pendidikan keilmuan.

Pseudoilmiah

Jadi, meski tetap berupa pendidikan “ilmiah”, dengan sadar integrisme hanya berusaha mereduksi ilmu pengetahuan pada aspek teknisnya, tidak mengakui dasar-dasar metafisis ilmu pengetahuan modern. Inilah yang mengerikan, jadi perlu diwaspadai.

Betapa ngerinya jika rakyat kita yang Muslim terjebak pemikiran pseudoilmiah Arab-Islam integris yang sedang menanjak di sana. Sebab, ilmu pengetahuan adalah bagian konstitutif budaya nasional. Sedangkan negeri-negeri Dunia Ketiga—di mana sebagian besar negerinya berpenduduk Islam, termasuk Indonesia—tidak mungkin mengharap dapat mencapai tingkat pembangunan tertentu tanpa menguasai ilmu pengetahuan.

Suasana mengerikan yang sering mencekam hidup keseharian, menantang kita untuk memikirkan sintetis antara nalar, keyakinan, dan kehidupan karena ia berupa kesimpulan yang pantas disebut religio vera.

Daoed Joesoef Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

 

 

 


Opini            

Kamis, 02 Agustus 2007

Disinvestasi Publik

BUDIARTO DANUJAYA

Para saudagar kita kebanyakan masih hidup dalam alam pemikiran kapitalisme pertengahan abad lalu. Investasi publik bukan persoalan bagi mereka.

Tidak heran saat bicara tanggung jawab sosial perusahaan, mereka pura-pura gandrung mekanisme pasar sejati, mereka menyergah “tak lazim”, “ekstra pajak”, “pemerintah mengalihkan tanggung jawab”, dan “kerikil dalam iklim investasi” (Kompas, 21/7 dan 22/7). Jelas jejak-jejak frasa masyhur Milton Friedman bahwa “tanggung jawab sosial bisnis adalah meningkatkan labanya” (M Friedman, 1986).

Kalau sudah perkara “bahaya” untuk iklim investasi, pemerintah tentu gentar dan akan mundur teratur. Inilah nasib rancangan pewajiban corporate social responsibility (CSR) pada Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru saja disetujui DPR untuk disahkan.

Dari wajib menjadi semisukarela, dari bagian laba bersih menjadi komponen biaya, bahkan diusulkan agar dikompensasi potongan pajak. Dengan kata lain, maunya dari kewajiban korporasi relatif menjadi kewajiban negara.

Ironisnya, kecenderungan ini diutarakan belum satu dasawarsa setelah krisis moneter melanda kita, ketika para konglomerat merengek-rengek minta tolong pemerintah untuk mengatasi krisis finansial mereka lewat kucuran dana BLBI.

Meminta pertolongan pemerintah sebagai perwujudan simbolik kuasa publik untuk mengambil alih tanggung jawab yang terbukti meninggalkan kerugian ratusan triliun rupiah pada kepemilikan publik.

Demitologisasi keterwakilan publik

Milton Friedman memang pernah berkata, penghamburan dana untuk proyek komunitas yang tak punya manfaat kehumasan untuk meningkatkan bisnis tak ubahya pencurian dari para pemegang saham. Namun, paradigma berpikir semacam itu sudah kadaluwarsa.

Dalam perkara CSR, kini orang berbicara mengenai tanggung jawab para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan bukan sekadar para pemegang saham (stockholders).

Dalam hal ini, para pihak yang berkepentingan dari sebuah perusahaan adalah “semua yang dipengaruhi serta punya hak dan ekspektasi yang sah sehubungan dengan kegiatan perusahaan, termasuk pegawai, konsumen, penyuplai, masyarakat sekitar, bahkan masyarakat lebih luas” (RC Solomon, 1993).

Legitimasi perluasan tuntutan tanggung jawab sosial ini akan menjadi lebih mudah dipahami jika kita melakukan perubahan paradigmatis dalam meninjau kembali komponen “publik” dalam sebuah status kepemilikan. Misalnya, dalam perkara usaha yang menyangkut “kepemilikan” negara, seperti pada pengusahaan sumber daya alam, terlebih lagi yang bersifat tak tergantikan seperti pada pertambangan. Keterwakilan kepemilikan publik pada aset alami itu seakan selesai dengan kesepakatan legal berupa izin dari pemerintah.

Padahal, mitos kepemilikan legal itu mengabaikan jarak konstitutif antara pemerintah sebagai kuasa simbolik kepemilikan publik dan rakyat sebagai entitas pengemban sejati kepemilikan publik tersebut.

Kiranya demitologisasi legalitas formal keterwakilan publik inilah logika di balik seruan mantan Ketua MPR Amien Rais agar Indonesia mengikuti jejak kesuksesan Bolivia menuntut perundingan ulang kontrak-kontrak karya pertambangan energi.

Asas krusialnya, kalau dalam kesepakatan itu pemerintah betapapun legal terbukti tak adil, dalam arti merugikan masyarakat luas, atas nama rakyat sebagai entitas kepemilikan publik sejati selalu terbuka kemungkinan menuntut perundingan kembali agar kesepakatan yang lebih adil tercapai.

Disinvestasi publik

Yang mengkhawatirkan jika keengganan memenuhi CSR itu merupakan bagian kronisnya gejala lingkaran setan disinvestasi publik. Defisit investasi publik tak tertanggulangi karena pemerintah kekurangan anggaran, sementara kaum kaya tak berminat membantu meningkatkan kualitas hidup sesama warga yang tercecer, baik lewat peningkatan pajak maupun program tanggung jawab sosial semacam CSR karena sirnanya rasa kesenasiban (M Sandel, 1996).

Disinvestasi publik menghancurkan rasa kesesamaan karena musnahnya kesempatan berbagi identifikasi. Enggan dengan ruang publik yang buruk akibat minus dana, kaum kaya membangun sendiri ruang aktivitas yang eksklusif, mulai klub kesehatan, olahraga, dan wisata terbatas pemegang kartu anggota, sekolah, sampai perumahan mewah berpenjagaan ketat.

Ruang publik lalu semakin diabaikan karena hanya menjadi ajang kegiatan kaum miskin, yang kerap sekaligus berarti kurang penuntut karena lemahnya kesadaran akan hak.

Disparitas kekayaan yang tajam dan tak terkendali melelehkan perekat sosial yang fundamental bagi demokrasi. Masalahnya, semakin kecil kesempatan masyarakat dari segenap kelas sosial dan latar belakang bisa bertemu dan saling belajar, semakin kecil pula kesempatan untuk membangun pemahaman akan kesenasiban sebagai komunitas serta kesesamaan dalam identitas kewarganegaraan.

Jelas, bukan saja pewajiban CSR itu sah, tetapi kompromi berlebihannya juga menghilangkan kesempatan penting dalam upaya merangsang investasi publik. Ini merupakan bagian penting kewajiban negara, baik demi penyelenggaraan keadilan distributif bagi segenap warganya, maupun dalam merawat perekat kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.

Dampak insentif atau disinsentif bagi pelaku usaha sekadar merupakan aspek pragmatis sebuah kebijakan, sementara memenuhi rasa keadilan segenap pihak yang berkepentingan merupakan aspek konstitutif kehadiran setiap kebijakan. Kegagalan memenuhinya bisa merangsang perwujudan tuntutan yang lebih memusingkan, baik dalam tuntutan legal komunitas pada penyertaan kepemilikan seperti pada kasus semen Padang, maupun dalam wujud lebih eksplosif seperti pembangkangan komunitas dengan kekerasan seperti di Freeport, Tembagapura.

Jelas, rasa terabaikan bahkan dizalimi pada perkara keadilan dalam keterwakilan publik semacam ini bukan khas Bolivia. Dalam pengertian inilah CSR seharusnya dilihat sebagai kesempatan, bukan beban.

BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB UI

 

 

 


Opini            

Jumat, 03 Agustus 2007

Ekonomi
Krisis dan Berbagai Bentuk Aliran Uang

Hadi Soesastro

Bulan Juli lalu adalah ulang tahun kesepuluh krisis finansial Asia. Berbagai aspek mengenai hal ini telah didiskusikan di sejumlah negara di Asia. Secara garis besar, semuanya itu bisa diringkas menjadi beberapa pertanyaan mendasar.

Pertama, apa yang telah dipelajari dari pengalaman krisis finansial lalu? Kedua, apakah Asia saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya, khususnya dalam menghadapi kemungkinan krisis finansial berikutnya? Ketiga, apa saja faktor potensial yang dapat memicu gejolak finansial di Asia?

Ketiga pertanyaan ini sangat menarik untuk dibahas. Ide dasar dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah keingintahuan akan kemungkinan kembalinya krisis Asia dengan skala dan cakupan yang serupa dengan sepuluh tahun lalu. Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada jawaban yang jelas. Reformasi keuangan sudah dilakukan. Prinsip kehati-hatian (prudential regulations) pun sudah diperketat. Bahkan, beberapa inisiatif pada level regional sudah disepakati oleh beberapa negara guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak finansial. Salah satunya adalah Chiang Mai Initiative yang bertujuan untuk menggabungkan sumber daya keuangan agar dapat menghalangi, menghadapi, atau mengatasi sebuah krisis finansial.

Ada beberapa argumen yang mengatakan bahwa Asia tidak memetik pelajaran yang tepat dari krisis yang lalu karena negara-negara Asia masih tetap rentan terhadap berbagai gejolak eksternal. Meskipun demikian, gejolak yang potensial dihadapi sekarang ini berbeda sifatnya dengan yang terjadi 10 tahun lalu.

Pembayaran dunia

Ada argumen yang mengatakan bahwa sumber dari gejolak ini adalah ketimpangan dalam sistem pembayaran dunia (global imbalances), yang ditandai dengan terus meningkatnya cadangan devisa di kawasan Asia Timur guna “membiayai” peningkatan konsumsi yang berlebihan (over-consumption) di Amerika Serikat. Ketimpangan ini, jika dibiarkan terus-menerus berlangsung, tentunya tidak sehat, tetapi sampai saat ini belum ada solusi bersama yang diambil untuk menangani masalah ini.

Kekhawatiran lain adalah mengenai besarnya aliran modal yang masuk ke pasar-pasar baru (emerging markets) di Asia Timur. Pada dasarnya dunia saat ini sedang kelebihan likuiditas. Pada tahun 2006, aliran modal swasta ke pasar-pasar baru telah mencapai jumlah terbesar sepanjang masa, yaitu 550 miliar dollar AS. Tahun ini diperkirakan akan berjumlah lebih dari itu.

Aliran modal raksasa ini dapat mengganggu nilai tukar dan manajemen ekonomi dalam negeri. Hal ini bisa kita pelajari dari krisis finansial Asia yang lalu. Kini, sepuluh tahun setelah krisis, Asia kembali menjadi tujuan yang menarik bagi investasi modal, baik modal jangka pendek maupun jangka panjang, dalam bentuk investasi langsung, portofolio, ataupun investasi modal kerja.

Desember lalu, Thailand berusaha membatasi aliran modal raksasa yang masuk ke perekonomiannya, tetapi upaya ini menemui kegagalan. Pada tingkat regional, diskusi mengenai persoalan ini sudah dibahas dalam forum ASEAN dan ASEAN Plus Three, termasuk cara menstabilkan nilai tukar. Akan tetapi, hingga kini belum ada tindakan konkret yang dilakukan.

Pada tingkat global, reformasi sistem keuangan semestinya memiliki elemen-elemen berikut: (a) rumusan tentang cara untuk mengontrol arus modal; (b) pemantauan yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan pengelola aset; (c) lender of the last resort yang dapat diandalkan pada masa krisis; serta (d) pembentukan sebuah cadangan devisa dunia yang dapat mendanai pertumbuhan perdagangan global.

Forum-forum seperti Menteri-menteri Keuangan G7 dan G20 memang sudah membahas hal-hal tersebut, tetapi tidak lebih dari diskusi. Mereka juga sudah memberikan perhatian pada meningkatnya peran hedge funds, tetapi belum dapat bersepakat mengenai perlu tidaknya hedge fund ini diatur dan bagaimana cara mengaturnya. Saat ini setiap negara terpaksa secara sendiri menghadapi volatilitas dari uang panas (hot money), yaitu aliran modal jangka pendek, yang bertujuan mencari keuntungan jangka pendek.

Permasalahan ini sudah mendesak dan perlu segera ditangani, seperti terlihat dari mulai terbentuknya bubble di kawasan Asia Timur akibat meningkatnya harga aset dan ekuitas (dengan persentase peningkatan yang mencapai dua digit). Menjamurnya hedge funds yang melakukan pinjaman secara besar-besaran untuk diinvestasikan guna memaksimalkan keuntungan mereka telah menjadikan kondisi pasar begitu kompleks.

Banyak investor yang meminjam secara murah dalam mata uang yen untuk diinvestasikan di pasar yang memberi hasil lebih tinggi (yen-carry trade). Tingkat suku bunga yang sudah lama cenderung rendah mulai menyebabkan terbentuknya bubble di pasar modal, pasar real estat, pasar komoditas, dan ekuitas privat.

Di Indonesia, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri telah menyampaikan peringatan tentang hal ini. Tiap-tiap negara mestinya tidak dibiarkan sendiri saja dalam menghadapi tantangan semacam ini.

Namun, perlu diingat bahwa inisiatif regional hanya mampu menyelesaikan sebagian dari masalah ini. Yang sebenarnya diperlukan adalah sebuah inisiatif global. Akan tetapi, upaya ini membutuhkan kemauan politik pihak-pihak tertentu dan membutuhkan waktu untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu, agenda utama bagi negara seperti Indonesia adalah meningkatkan kehati-hatian dan membangun institusi serta instrumen yang efektif guna menghadapi tantangan ini.

Sebenarnya preposisinya sudah jelas. Indonesia akan terus-menerus menerima aliran modal masuk karena tidak mungkin menutup diri. Oleh karena itu, diperlukan cara untuk meminimalkan risiko melalui pemahaman yang baik mengenai berbagai jenis aliran uang, modal, dan investasi.

Untuk itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang secara khusus bertugas mengumpulkan berbagai informasi penting dan berfungsi sebagai pusat informasi dan sosialisasi (clearing house) mengenai jenis-jenis aliran uang beserta pelakunya. Bank Indonesia mungkin merupakan lembaga yang cocok untuk memberikan pelayanan ini, tetapi untuk itu lembaga ini harus benar-benar diberi kebebasan penuh dalam melakukan operasinya.

Permulaan

Sebagai permulaan, mari kita amati tantangan dari hedge funds yang operasinya hingga kini tidak banyak dimengerti publik. Semenjak keterlibatan mereka dalam pasar finansial dunia, hedge funds saat ini telah mencatatkan diri sebagai bagian terpenting dalam berbagai pasar finansial di dunia (baik dalam bentuk ekuitas maupun derivatif), dengan jumlah yang sudah meningkat menjadi sekitar 9.000 lembaga dan mengelola aset yang diperkirakan nilainya mencapai 1,4 triliun dollar AS.

Akan tetapi, peran mereka sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah aset yang mereka kelola karena kekuatan leverage yang mereka miliki.

Gubernur Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) Jean-Claude Trichet mengakui bahwa dia sendiri tidak sepenuhnya mengerti aktivitas para hedge funds itu. Di satu sisi terdapat pandangan yang optimistis mengenai pentingnya peran hedge funds sebagai sumber inovasi sektor finansial dan dalam memperdalam serta meningkatkan likuiditas pasar finansial. Selain itu, mereka mampu memberi tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mutual funds tradisional.

Akan tetapi, di lain pihak terdapat beberapa masalah yang merupakan sumber kekhawatiran. Hedge funds berpotensi untuk turut meningkatkan apa yang disebut risiko sistematis (systemic risk) dan mempertajam volatilitas finansial. Kekhawatiran juga muncul akan adanya kolusi dan manipulasi pasar serta kurangnya transparansi dan perlindungan bagi investor di hedge funds.

Menurut Financial Stability Report tahun 1999, aktivitas hedge fund telah turut memengaruhi volatilitas beberapa pasar Asia di masa krisis, termasuk di antaranya Hongkong dan Malaysia. Mengenai isu systemic risk, Presiden Federal Reserve Bank of New York mengatakan bahwa kekhawatiran utama adalah terpusatnya risiko pada sekelompok inti lembaga-lembaga yang skalanya besar. Selain itu, kekhawatiran lain adalah mengenai perlindungan terhadap investor kecil yang kini banyak diinvestasikan ke dalam hedge funds melalui dana pensiun mereka. Di waktu lalu, investasi pada hedge funds hanya bisa dilakukan oleh investor-investor kaya. Sebagaimana dilaporkan, leveraging yang terjadi pada rantai kredit bisa mencapai 100 kali, yang berarti bahwa dengan investasi riil awal sebesar 10 juta dollar AS saja dapat diciptakan investasi sebesar 1 miliar dollar AS.

Hedge funds dalam skala besar, yang merupakan “industri investasi alternatif”, kini makin terlembaga dan mendekati pola manajemen aset pada umumnya, seperti reksa dana dan dana pensiun. Akan tetapi, reksa dana dikenakan aturan main, sedangkan hedge funds sama sekali tidak diatur.

Saat ini G7 cenderung untuk tidak meregulasi hedge funds secara langsung, dan mengandalkan pada disiplin pasar untuk bekerja. Disiplin itu diharapkan terlaksana melalui manajemen risiko oleh rekan bisnis hedge funds tersebut, yaitu para broker (yang telah diatur oleh undang-undang). Peningkatan transparansi dan keterbukaan di pihak hedge funds juga telah lama dikumandangkan. Diperkirakan ada sebesar 26 triliun dollar AS dalam bentuk derivatif kredit yang dikeluarkan dan diperdagangkan oleh para hedge funds. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk dapat mengerti aktivitas serta perkembangan instrumen mereka yang semakin kompleks (derivatif, struktur produk-produk keuangan).

Bagaimana cara Indonesia menjaga dirinya dari para pelaku di sektor finansial ini? Informasi yang baik harus tersedia bagi semua pihak dan dibutuhkan tindakan yang terkoordinasi antara para pelaku (swasta dan pemerintah). Kita ambil contoh kasus sebuah perusahaan di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), yang mungkin telah menjadi korban dari aktivitas hedge funds tertentu yang dikenal sebagai “vulture fund” atau investor “pemakan bangkai”. Pada saat sebagian besar negara telah berhasil menangani krisis finansial 10 tahun yang lalu, APP masih mengalami kesulitan untuk merampungkan restrukturisasi perusahaan pascakrisis akibat ulah sejumlah pemegang saham minoritas.

Kasus restrukturisasi

Telah banyak tulisan yang membahas kasus restrukturisasi perusahaan terbesar yang terjadi di Indonesia. APP yang melakukan ekspansi perusahaan secara besar-besaran terkena dampak krisis keuangan yang memaksa mereka membayar utang sebesar 13 miliar dollar AS di bulan Maret 2001. Kasus ini merupakan salah satu default terbesar dalam sejarah emerging markets. Akan tetapi, APP melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut dan melalui suatu kesepakatan bersama dan pada tahun 2005, sebuah Master Restructuring Agreement (MRA) telah disetujui oleh seluruh anak perusahaan APP dan 93 persen dari para kreditornya.

Akan tetapi, sebuah kelompok minoritas yang dipimpin oleh Oaktree Capital Corp (Chicago) dan Gramercy Advisers (Connecticut) meminta pengembalian hingga 150 persen dari harga pasar, padahal mereka hanya membelinya pada level 10 hingga 20 persen dari harga pasar. Mereka membawa kasus ini untuk dilitigasi, termasuk ke pengadilan Amerika Serikat dan Singapura, tetapi klaim mereka selalu ditolak.

Meski demikian, seperti yang dijelaskan dalam Financial Times (18/2/2007), para vulture funds selalu gigih mempertahankan taktik mereka. Vulture funds membeli utang dengan harga diskon (discounted), kemudian menolak berpartisipasi dalam restrukturisasi di mana nilai dari utang diturunkan (written down) untuk kemudian menuntut pengembalian yang lebih besar.

Dalam buku karangan Hillary Rosenberg, yang berjudul The Vulture Investors (New York: John Wiley & Sons Inc, 2000), vulture investors dikenal sebagai pihak yang menunda reorganisasi dan restrukturisasi perusahaan demi kepentingan mereka sendiri. Mereka berusaha memperoleh keuntungan lebih dengan menciptakan kericuhan dalam perusahaan-perusahaan yang mereka ambil alih.

Perusahaan dan kreditor lainnya akan melawan mereka sekaligus berusaha berdamai hingga akhirnya membayar sebesar premium pasar hanya untuk menyingkirkan mereka. Pembayaran itu disebut greenmail. Gramercy telah digambarkan oleh media internasional sebagai salah satu vulture fund karena tingkah laku mereka di Ekuador beberapa tahun lalu dan kekacauan yang mereka buat di Argentina yang mengalami masalah kegagalan pembayaran utang publik di tahun 2001.

Vulture funds tidak hanya terlibat dengan utang-utang swasta, tetapi juga dengan utang pemerintah. Banyak kasus belakangan ini dialami oleh berbagai negara, termasuk di antaranya Peru, Kongo, Belize, dan Zambia. Kesemuanya merupakan kasus yang menarik dan melibatkan berbagai vulture fund, seperti Donegal International dan Elliot Associates.

Setiap kasus, meski berbeda, tetap memperlihatkan pola yang mirip. Donegal International menuntut Zambia di London atas utang yang mereka beli seharga kurang dari 4 juta dollar AS untuk pembayaran sebesar 55 juta dollar AS. Hakim akhirnya memutuskan bahwa Zambia wajib membayar sebesar 15,5 juta dollar AS. Hal ini memicu kemarahan dan sejumlah LSM internasional meminta Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris yang baru, untuk segera mengubah hukum yang berlaku di Inggris agar kasus Zambia ini tidak terulang lagi di pengadilan Inggris. Isu moralitas pun telah dibawa ke permukaan.

Di lain pihak, Peru juga mengalami kasus yang serupa. Pengadilan di Brussel memenangkan kasus yang dituntut Elliot Associates, untuk pembayaran sebesar 58 juta dollar AS atas utang yang mereka beli seharga 11 juta dollar AS. Peru tidak melakukan banding, tetapi memilih untuk membayar utang tersebut agar dapat segera meminjam lagi dari pasar modal internasional. Akan tetapi, sejak kasus ini, hukum di Belgia telah diubah guna mencegah terjadinya pengulangan pemutusan kasus seperti itu. Selanjutnya, hukum New York juga telah diubah pada tahun 2003 dengan memasukkan “klausul tindakan kolektif” pada surat utang yang memungkinkan kreditor mayoritas menolak upaya penghambatan restrukturisasi oleh kreditor minoritas, seperti yang sedang dilakukan terhadap APP.

Oakland Capital

Business Week (10/9/2001) berpendapat bahwa vulture funds, seperti Oakland Capital, akan selalu menemukan celah untuk melakukan aktivitas mereka. Sebagaimana diusulkan sebelumnya, suatu lembaga khusus di Indonesia harus dapat dibentuk untuk mengamati investor-investor serupa ini.

Pada dasarnya, Indonesia ingin menerima mereka dengan tangan terbuka, tetapi diperlukan informasi mengenai berbagai jenis aliran modal dan uang serta pelakunya. Oakland Capital, misalnya, mereka tidak pernah mau menginvestasikan ke dalam lebih dari 5 persen dana perusahaan agar terhindar dari kewajiban dalam investasi, tetapi ingin memperoleh keuntungan yang maksimum. Mereka sering kali hanya menjadi spoiler, pengganggu. Ada kemungkinan—karena kegagalan Oakland Capital dan Gramercy di beberapa pengadilan dalam hal tuntutan mereka terhadap APP—kini terdapat upaya-upaya untuk mempersulit APP melalui tuduhan dumping di pasar Amerika Serikat. Pemerintah dan berbagai pihak serta lembaga di Indonesia harus memiliki pandangan yang jelas dalam menghadapi berbagai jenis investor ini. Ini adalah hal yang sangat penting yang seharusnya kita pelajari dari pengalaman krisis lalu. Sering kali kita menargetkan investor yang salah.

Ambil contoh kasus Temasek dari Singapura. Mereka adalah investor yang kredibel yang mengerti tentang kepentingan untuk membangun hubungan jangka panjang dengan negara tentangganya. Mereka berinvestasi ke negara tetangga dengan maksud untuk ikut berkontribusi pada pembangunan negara-negara tersebut. Akan tetapi, tetap saja publik salah memahaminya. Temasek, pemilik dua perusahaan yang terpisah, STT dan SingTel, yang berinvestasi di industri telekomunikasi Indonesia, telah dituduh melakukan kolusi dan berbagai hal lain yang sama sekali tidak ada dasarnya.

Kasus ini menunjukkan kemiskinan informasi kita dan dapat berakibat semakin memperburuk citra Indonesia sebagai tujuan investasi. Lebih dari itu, hal ini semakin mengaburkan pandangan kita mengenai jenis-jenis aliran modal dan investor antara yang kita butuhkan dan ingin kita ajak untuk bekerja sama dengan yang sebaiknya tidak kita undang masuk.

Hadi Soesastro Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta

 

 

 


Opini            

Kamis, 02 Agustus 2007

Berebut Identitas di Pilkada DKI

Khamami Zada

Ingar-bingar perebutan kursi kepemimpinan DKI Jakarta kian marak setelah kedua pasangan kandidat gubernur-wakil gubernur, Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar, gencar berkampanye.

Yang satu mengusung isu “benahi Jakarta”, yang lain mengusung “perombakan birokrasi pemerintahan”.

Apa yang menarik dari fenomena politik Jakarta? Perebutan identitas, dieksplorasi dan dieksploitasi untuk kepentingan politik sesaat. Perebutan identitas ini tampak dari atribut, spanduk, cara berpakaian, dan organisasi massa (ormas) yang mendukung.

Politik dan identitas Betawi

Dengan asumsi simplistis ini, kedua pasangan kandidat yang sedang bertarung mengeksplorasi, sekaligus mengeksploitasi, identitas Betawi untuk memenangi Pilkada DKI. Identitas Betawi masih menjadi magnet bagi masyarakat Jakarta. Tak heran jika pasangan Fauzi-Prijanto mengeksplorasi personel Si Doel Anak Sekolahan sebagai model dalam kampanye di televisi. Identitas Betawi ini diperkukuh pakaian khas Betawi yang digunakan pasangan Fauzi-Prijanto. Pasangan Adang-Dani juga mengeksplorasi Betawi dengan mengerahkan personel Bajai Bajuri minus Rieke Dyah Pitaloka sebagai model kampanyenya di televisi.

Identitas Betawi benar-benar diperebutkan sebagai pendulang suara. Sentimen primordial yang muncul dari etnisitas Betawi diartikulasikan secara politik sehingga bergeser bukan sekadar kesatuan masyarakat dengan budaya tertentu, tetapi menjadi organisasi politik yang bergerak sepanjang garis etnis. Identitas budaya Betawi pun digeser menjadi identitas politik, demi kepentingan sesaat para kandidat.

Eksploitasi Betawi ke dalam politik kekuasaan berdampak bagi masyarakatnya, yang kemudian terkotak-kotak ke dalam politik praktis, yang pada gilirannya rentan terhadap konflik. JS Furnivall (1972) sudah mengingatkan, masyarakat plural hanya menampilkan prototipe masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak berintegrasi dalam satu kesatuan politik. Maka menjadi berbahaya jika eksploitasi etnisitas untuk kepentingan politik sesaat berujung konflik berkepanjangan.

Tema utama kampanye

Yang juga tak dapat diabaikan begitu saja dari gemerlap Pilkada DKI adalah maraknya spanduk-spanduk yang mengajak masyarakat untuk memilih dengan tema yang beragam.

Pasangan Fauzi-Prijanto, misalnya, mengusung tema keragaman. Lihat spanduk yang berbunyi “keragaman adalah fitrah”, “bersatu dalam keragaman”, “berkarya dalam keragaman”, “kasih dalam keragaman”, dan banyak lagi. Pemilihan tema keragaman tentu didasari semangat yang diusung banyaknya partai yang mendukung pasangan ini.

Adakah substansi lain yang bisa ditangkap dari tema besar “keragaman” ini. Tentu saja tidak sampai pada paradigma pluralisme yang sebenarnya. Jadi tidak dapat dengan mudah dipahami, pasangan Fauzi-Prijanto ini serius menggarap isu pluralisme meski di beberapa partai pendukung ada yang secara serius menggarap isu pluralisme. Hal itu karena yang paling menonjol dari tema keragaman adalah beragamnya partai pendukung pasangan Fauzi-Prijanto. Artinya, keragaman lebih dipahami sebagai pluralisme politik, lebih jelasnya koalisi partai-partai politik untuk memenangi pilkada.

Sementara itu, spanduk pendukung Adang-Dani lebih terfokus pada tema “benahi Jakarta”, mengaitkan pada masalah nyata seperti banjir, macet, dan susah cari kerja. Spanduk ini secara jelas ingin menegaskan, prioritas pasangan ini adalah membenahi Jakarta. Meski partai pengusungnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), notabene adalah partai Islam, dari pasangan ini hampir tidak ditemukan isu pembentukan kota syariah, tetapi Jakarta yang modern, aman, dan sejahtera (MAS).

Namun, siapa yang bisa memastikan, semua janji itu bisa terjadi dan tidak berbalik arah?

Kesadaran baru

Atas kenyataan inilah, Pilkada DKI Jakarta seharusnya diletakkan dalam kesadaran baru, bukan untuk kepentingan politik sesaat. Sebagai kota kosmopolitan, Jakarta bukan lagi milik satu etnis karena di dalamnya ada beragam suku dan agama. Ada suku Jawa, Madura, Sunda, Batak, Minang, Tionghoa, dan banyak lagi. Bahkan, semua agama ada di Jakarta, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Dengan keragaman etnis dan agama yang dimiliki Jakarta, mau tidak mau para pemimpin Jakarta harus mewadahi aspirasi masyarakatnya yang beragam. Oleh karena itu, etnisitas dan agama harus dipahami dalam konteks baru dengan tetap menjaga perbedaan identitas kultural yang dimiliki setiap kelompok etnis dan agama. Dengan konsep ini, pluralitas etnis dan agama tidak menjadi hambatan berarti bagi pembentukan integrasi sosial masyarakat, bahkan menjadi modal sosial dalam konteks kemajemukan bangsa.

Siapa pun yang akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta harus membawa kesadaran baru yang otentik, bukan kesadaran palsu yang diteriakkan dalam kampanye “Kembalikan Jakarta yang makmur dan sentosa”.

Khamami Zada Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

 

 

 


Opini            

Jumat, 03 Agustus 2007

Pentingnya Hubungan Eropa-Asia

Javier Solana

Bagi Eropa, Asia amat berarti. Eropa memiliki sahan besar di Asia. Berbagai kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik lebih terjalin dari biasanya.

Namun, hubungan Uni Eropa-Asia tidak sekadar perdagangan dan ekonomi. Keduanya sama-sama aktif memberi kontribusi dalam menyelesaikan aneka masalah global dan regional yang berbeda. Visi Uni Eropa-Asia juga sama, mencakup sistem pemerintahan global dengan struktur regional sebagai fondasi, guna menyampaikan masalah transnasional secara efektif.

Dengan visi inilah, saya kembali mengunjungi Asia, menghadiri pertemuan menteri Forum Regional ASEAN (ARF) dan konsultasi bilateral ASEAN-Uni Eropa, awal Agustus ini.

Banyak kemajuan sudah kita raih selama 30 tahun. Pencapaian awal Uni Eropa untuk ASEAN Treaty of Amity and Cooperation akan kian mendekatkan kita, dengan implikasi positif untuk kepentingan keamanan dan politik bersama. Kita juga sepakat untuk memperkuat pertukaran politik dan mempromosikan kerja sama praktis di bidang-bidang yang saling menguntungkan.

Manajemen krisis

Salah satu bidang kerja sama yang diharapkan kian mendekatkan Uni Eropa-ASEAN ialah manajemen krisis. Uni Eropa terbuka untuk berbagi informasi, meningkatkan kerja sama teknis, dan memperkuat pembangunan di bidang ini.

Pimpinan Uni Eropa memandang penting Misi Pemantau Aceh (AMM), yang mengawasi perjanjian perdamaian Indonesia-Gerakan Aceh Merdeka sejak pertengahan 2005 hingga akhir 2006. Dan mitra ASEAN berpartisipasi dalam misi ini. Ini bukan hanya dapat membantu memastikan kesuksesan misi itu, melainkan juga mengarah kepada penciptaan hubungan nyata antara dua organisasi regional.

Usaha bersama ini telah menghasilkan prestasi Pemerintah Indonesia, Aceh distabilkan. Kini provinsi terbarat itu berkembang mantap, setelah 30 tahun didera konflik dan disapu gelombang tsunami tahun 2004. Pemilihan umum tahun lalu di Aceh juga memberi hasil positif sehingga AMM lega meninggalkan provinsi itu. Uni Eropa juga terus memberikan dukungan aktif untuk usaha-usaha rekonstruksi otoritas Indonesia dan pemerintah lokal di Aceh dengan program- program pembangunan.

Beberapa pekan lalu, Uni Eropa juga menempatkan misi lain di Asia, yaitu misi pelatihan polisi di Afganistan, yang terbuka bagi mitra Asia. Misi ini membantu membentuk berbagai pengaturan kebijakan sipil yang efektif dan berkelanjutan di bawah kepemilikan Afganistan sesuai standar internasional. Fakta bahwa misi ini berjalan, setidaknya selama tiga tahun, menggarisbawahi peningkatan komitmen jangka panjang Uni Eropa terhadap stabilitas dan keamanan di Asia. Kita bisa memprediksi untuk bekerja sama lebih erat dengan mitra Asia dalam operasi manajemen krisis di belahan benua lain.

Dengan semangat, Uni Eropa mengikuti keputusan bersejarah ASEAN untuk mengembangkan komunitas Asia Tenggara lebih jauh, dan tugasnya pada piagam ASEAN, termasuk pembangunan kerangka kerja yang sesuai. Untuk itu, Uni Eropa menghargai proyek integrasi di kawasan lain. Uni Eropa juga memberikan dukungan praktis. Saya sendiri telah bertemu dengan perancang Eminent Persons Group dan High- Level Taskforce of Charter. Saya terkesan oleh visi dan komitmen mereka serta berbagai pertanyaan penting yang ditanyakan tentang integrasi Uni Eropa.

Dalam pengalaman, integrasi ekonomi dan politik tidak hanya mampu mengatasi masalah antara mantan musuh dan memastikan kemakmuran serta stabilitas di Eropa, tetapi juga terbukti menjadi solusi terbaik dalam mengatasi aneka masalah kawasan dan global yang tidak berhenti di perbatasan nasional.

Forum dialog

ARF sebagai forum dialog politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik kian mengenali kebutuhan untuk mencari solusi bersama atas isu-isu keamanan trans-perbatasan, khususnya pada masalah tantangan-tantangan baru.

Setahun sekali ARF bertemu dalam forum unik yang menyatukan para menteri luar negeri Asia-Pasifik dan mitra utama untuk berdialog tentang isu-isu dengan perhatian keamanan Asia.

Forum ini juga mencapai hasil-hasil nyata di beberapa seminar. Uni Eropa, yang hadir dan cukup lama memberi kontribusi untuk ARF sebagai mitra dialog, mengharapkan pembuatan sebuah mekanisme yang memungkinkan ARF menjadi kian aktif. Ini akan menjadi langkah awal amat penting menuju konstruksi rancangan kawasan Asia.

Asia-Uni Eropa amat berarti bagi keduanya. Uni Eropa-ASEAN bersama-sama mewakili 37 negara dan lebih dari satu miliar orang. Di Eropa, Asia memiliki mitra dalam pencarian solusi terhadap masalah-masalah global seperti perubahan iklim, keamanan energi, dan kejahatan terorganisasi. Hanya dengan kebersamaan kita bisa menghadapi aneka tantangan di masa depan.

Javier Solana Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri Biasa

 

 

 


Opini            

Kamis, 23 Agustus 2007

Tanggung Jawab Sosial dan Etis

Robert Bala

Akhir-akhir ini, frase “tanggung jawab sosial” menjadi populer. Ini tidak hanya terkait regulasi perundang-undangan, tetapi lebih merupakan sapaan batin dan tuntutan etis untuk memperbarui cara pandang dan tata tindak.

Hutan di Bumi, demikian Worldwatch Institute, kini berkurang 20 juta hektar per tahun. Padahal hingga 1970, pengurangan itu baru mencapai 5 juta hektar. Lain lagi menurut IBGE. Sebanyak 5 persen hutan Amazon sudah lenyap. Kelihatannya kecil, tetapi jika 1 persen setara 40.000 kilometer persegi, kita pun terperangah, dan spesies penghuni hutan pun turut raib. Bila antara tahun 1500 dan 1850, hanya satu spesies hilang dalam 10 tahun, pascatahun 2000, hal itu terjadi setiap jam, demikian tulis Leonardo Boff, (Ecologia, Teologia y Nuevos Paradigmas: 1999).

Tidak kurang tragedi teknologi. Meledaknya pabrik kimia di Seveso, Italia (1970); bocornya Three Mile Islands, AS, 1979, yang mengakhiri mitos energi nuklir tidak berbahaya; Tragedi Bhopal India dengan 3.000 korban jiwa dan 400.000 menderita, konsekuensinya hingga Chernobil di Ukraina tahun 1986 adalah beberapa contoh. Tidak cukup. Ada tumpahan 76.000 ton minyak dari Exxon Valdez yang mencemarkan 5100 kilometer garis pantai (H Hobbelink, 1992).

Di Indonesia, tragedi Lapindo merupakan nestapa tak henti. Seluas 200 hektar, bahkan diperkirakan 400 hektar, lahan produktif lumat. Sebanyak 7.000 warga kini mengungsi karena desanya tenggelam. Meledaknya sumur migas Sukowati 5 di Bojonegoro juga meninggalkan korban. Kini 13 juta warga yang tinggal dekat 20 blok sumur minyak yang masih beroperasi bisa menjadi korban berikut (Kompas 12/8/2007).

Ambivalensi

Garza Treviño (2001) dalam Responsabilidad Social y Etica mengakui perlunya tanggung jawab sosial dan etis. Sayang, kita selalu ambivalen. Kita sering mengartikan tanggung jawab sosial sebagai usaha optimal tiap perusahaan untuk menghasilkan kegunaan, bahkan keuntungan, bagi dirinya. Sebaliknya, bila merugi, ia akan menjadi beban bagi masyarakat dan negara.

Namun, cukupkah itu? Lebih lagi, pada saat bersamaan, ada korban menderita akibat langsung atau tidak langsung dari sebuah usaha. Kita sebut korban Lapindo, pengungsi di Morowali, dan lainnya. Tanggung jawab sosial lalu diperluas kepada keterlibatan sosial karitatif membantu korban.

Sekilas, tindakan altruis dan filotrofis seperti itu patut dibanggakan. Namun, ia masih terbatas dan hanya merupakan ekspresi setengah hati karena akar terdalam yang menyentuh rasa kemanusiaan yang adil dan beradab belum tersentuh. Sebaliknya, manusia yang punya kesadaran penuh akan membangun sebuah moral sosial yang mengacu komitmen memperlakukan alam semanusiawi mungkin. Pada saat bersamaan, tuntutan batin sebagai ekspresi etika yang tangguh akan mewujudkan keterlibatannya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan

Ekologi mental

Wajah dunia yang retak dengan lebih kerapnya bencana alam yang menimpa adalah indikasi agar darinya terlahir imperatif moral. Jelasnya, sesuatu yang sebelumnya masih menjadi pilihan sukarela perlu beralih kepada keharusan. Paradigma baru yang mewajibkan perlu diambil.

Pertama, pengusaha yang memiliki uang dan peralatan teknologi perlu menyadari semuanya hanya merupakan sarana atau aturan (nomos, darinya lahir ekonomi) dan bukan tujuan. Di atasnya ada nilai (logos, darinya lahir ekologi). Sayang, terjadi sebaliknya. Teknologi destruktif kerap terjadi, sementara ekonomi yang lebih mementingkan kuantitas dan pencapaian target tak jarang membuat pertimbangan kualitas-ekologis tak berdaya. Tindakan sosial-etis diharapkan mengembalikan primasia ekologi.

Kedua, pemerintah sebagai pengambil keputusan perlu (lebih) bijak dalam menentukan pola pembangunan yang pas. Kemiskinan yang melanda tidak harus “diselamatkan” oleh eksplorasi, atau bahkan eksploitasi, tanpa batas atas alam. Dalam kenyataan, pilihan ini banyak dilakukan. “Kolaborasi haram” antara pemerintah dan pengusaha untuk meredam seruan tentang dampak destruktif pembangunan yang diprediksi bakal hadir sebagai konsekuensinya.

Sebaliknya, konsep pembangunan berkelanjutan perlu diimplementasikan, dengan pemerintah secara konsisten menyusun langkah strategis sebagai pijakan menuju jenjang lebih baik. Ia tidak sekadar menjiplak model pembangunan “instan” untuk menyelamatkan bangsa dari krisis, tetapi konsisten membangun tahap-tahap pembangunan. Dimulai dari kesadaran moral yang tinggi, disiplin diri, dan komitmen sosial yang dominan. Di atasnya baru kita bisa bermimpi sebagai The Big Five.

Ketiga, perlunya panggilan universal terhadap semua manusia untuk merumuskan siapa dirinya dalam kaitan dengan alam. Ia menyadari perusakan alam berakar dari timpangnya pikiran dan kotornya hati. Karena itu, ekologi mental perlu diberi tempat. Ada keyakinan, ketika batin manusia menjadi lebih bening, dengan mudah merembes demi terciptanya ekologi sosial dan lingkungan, hingga bermuara kepada penciptaan ekologi yang lebih integral, manusia bersatu membangun kebersamaan, dengan sesama dan alam.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol dan Universidad Complutense de Madrid Spanyol

 

 

 


 

Opini                                                                                                                                            

Rabu, 01 Agustus 2007

Krisis Ekonomi dan Efektivitas Pemerintahan

Ari A Perdana

Bulan Juli lalu sejumlah negara Asia Timur “memperingati” 10 tahun krisis ekonomi.

Bagi Indonesia, krisis dilalui 10 tahun dengan hasil yang campur aduk. Kondisi ekonomi makro relatif stabil, tetapi belum diterjemahkan menjadi pemulihan di sisi mikro, khususnya sektor riil. Akibatnya, kita melihat fenomena jobless growth dan less pro-poor growth.

Dibandingkan negara-negara tetangga yang terlanda krisis, terutama “pasien IMF” (Thailand dan Korea Selatan), trajectory pemulihan ekonomi Indonesia justru paling lambat. Banyak hipotesis dan teori dibangun untuk menjelaskan lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia.

Apa yang menyebabkan lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia? Tulisan ini berangkat dari dua hipotesis.

Pertama, besaran dan kompleksitas krisis di Indonesia yang paling parah. Sepuluh tahun sejak krisis, Indonesia menghadapi empat masalah besar: pemulihan ekonomi, transisi demokrasi dan reformasi politik, desentralisasi, serta pendefinisian ulang atas identitas nasional (Deutser, 2006). Tiap masalah secara individu adalah problem serius, apalagi jika terjadi bersamaan.

Kedua, seperti dikemukakan North (2005), tiap perubahan besar berpotensi menyebabkan perubahan dalam tatanan institusi ekonomi dan politik. Perubahan institusional memang terjadi. Masalahnya, perubahan itu belum menghasilkan institusi negara dan pemerintah yang efektif untuk menyelesaikan problem yang begitu kompleks.

Perubahan institusi

Tidak efektifnya institusi negara dan pemerintah terlihat dari perkembangan “indikator-indikator pemerintahan” yang diterbitkan berkala oleh Bank Dunia. Indikator disusun berdasar respons survei atas sejumlah pelaku bisnis dan terbagi atas enam komponen: kritik dan akuntabilitas, stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, kualitas regulasi, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi.

Dibandingkan dengan tahun 1996—data terakhir sebelum krisis—skor Indonesia tahun 2005 lebih rendah untuk semua indikator, kecuali “kritik dan akuntabilitas” (voice and accountability). Dibandingkan beberapa negara yang terimbas krisis, perubahan yang dialami Indonesia merupakan yang paling signifikan. Meski masih di bawah Korea Selatan dan Thailand, tahun 2005 Indonesia ada di atas Malaysia yang pada tahun 1996 peringkatnya lebih baik (Kaufman, Kraay, dan Mastruzzi, 2005).

Perbaikan dalam indikator “kritik dan akuntabilitas” mencerminkan prestasi dalam proses demokratisasi yang terjadi sejak krisis. Namun, hanya dalam aspek itulah Indonesia mengalami hal positif. Skor Indonesia tahun 2005 dalam berbagai komponen lain lebih buruk ketimbang 1996. Namun, jika perbandingannya tahun 2000, kondisi Indonesia secara umum sedikit membaik.

Perkembangan berbagai indikator pemerintahan ini lebih merupakan snapshot atas perubahan institusional yang terjadi setelah krisis. Sebelum krisis, bangunan institusi ekonomi-politik Orde Baru didasarkan tiga pilar: eksekutif yang kuat, pengambilan keputusan yang terpusat di sekitar Soeharto, dan kekuasaan yang sentralistik. Selain itu, ada dua pilar tambahan, yaitu militerisme dan kapitalis kroni.

Dengan sejumlah variasi, karakteristik serupa juga ada di banyak negara Asia Timur. Oleh para ahli politik, model ini disebut “otoriter lunak”, untuk membedakan dengan rezim-rezim otoriter keras di Afrika dan Amerika Latin.

Setelah krisis, ada sejumlah perubahan perubahan radikal.

Pertama, dominasi berpindah dari eksekutif ke legislatif, terlihat sebelum 2004, saat presiden masih dipilih dan bisa mudah dijatuhkan oleh legislatif (MPR). Meski sejak 2004 presiden dipilih langsung dan ada aturan yang menyulitkan parlemen menjatuhkan presiden, kekuatan legislatif tetap lebih besar.

Kedua, pengambilan keputusan politik tidak lagi terpusat di elite, tetapi tersebar. Dulu kita bisa mengidentifikasi semua hubungan patron-klien. Kini hal itu menjadi pekerjaan yang nyaris mustahil.

Ketiga, desentralisasi pemerintahan dengan kompleksitasnya.

Tambahan untuk dua aspek terakhir. Meski masih banyak pendapat bahwa setiap saat militerisme bisa kembali, harus diakui lebih banyak sisi positif dari proses menuju supremasi sipil. Sementara itu, perubahan dalam pola kapitalisme kroni belum terlihat jelas. Yang pasti, meski sejumlah pemain lama masih ada, generasi baru pelaku bisnis banyak bermunculan.

Pemusatan kekuasaan

Perubahan itu berarti positif atau negatif? Dua-duanya.

Menurut tesis “keunggulan demokrasi”, kekuasaan yang tersebar akan memberi tekanan pada pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel. Parlemen yang lebih berfungsi akan menghasilkan mekanisme pengawasan dan keseimbangan. Dan desentralisasi akan memperkecil jarak birokrasi-rakyat, selain membatasi kemungkinan pemerintah pusat menjadi terlalu berkuasa.

Argumen lain mengatakan, pemerintahan demokratis tidak selalu berarti lebih efisien. Kekuasaan yang tersebar berarti adanya alokasi sumber daya dari kegiatan produktif untuk proses negosiasi politik. Banyak keputusan penting tidak bisa cepat diambil karena ada tawar-menawar. Selain itu, keputusan yang lebih memberi keuntungan politik jangka pendek lebih disukai daripada yang memberi keuntungan sosial jangka panjang.

Kedua argumen itu tidak bisa benar secara bersamaan jika cost-benefit demokrasi—dalam arti kekusaan yang tidak terpusat—dilihat secara linear. Kenyataannya, cost-benefit demokrasi bukan sebuah fungsi linear. Kekuasaan yang terpusat ataupun tersebar memiliki potensi masalah pemerintahan yang sama. Potensi masalah yang terjadi akan makin besar kalau kita makin bergerak menuju kondisi ekstrem dari masing-masing.

Andrew MacIntyre (2003) menyebutnya sebagai hipotesis “paradoks pemusatan kekuasaan” (the power concentration paradox). Bayangkan sebuah diagram dengan potensi masalah pemerintahan ada di sumbu tegak dan tingkat fragmentasi kekuasaan di sumbu datar. Hubungan antara keduanya bisa digambarkan oleh kurva berbentuk huruf “U”. Ada kondisi optimal dalam spektrum pemusatan-penyebaran kekuasaan yang akan meminimalkan potensi masalah pemerintahan.

Yang terjadi di Indonesia, perubahan dari ekstrem satu ke ekstrem lain. Akibatnya, terjadi pergeseran radikal dari kekuasaan yang terpusat menjadi begitu tersebar. Pada saat sama, kita menyaksikan pergeseran itu tidak berhasil mengatasi problem yang kita hadapi setelah krisis.

Perubahan di Korea Selatan dan Thailand (setidaknya hingga tahun-tahun awal Thaksin) menghasilkan institusi yang mendekat ke titik optimal. Itu menyebabkan pemulihan di dua negara itu berjalan lebih cepat.

Tesis itu baru sebatas memberi model untuk menjelaskan kenyataan yang kompleks. Namun, model itu bisa menjadi indikasi, kita belum menemukan bangunan institusi negara dan pemerintahan yang optimal. Sisi baiknya adalah kita memiliki demokrasi. Namun, konsekuensi dari demokratisasi yang tengah berjalan adalah pemerintahan yang tidak efektif.

Tantangan jangka pendeknya adalah meminimalkan dampak negatif dari demokratisasi agar kecepatan mencapai pemulihan total tidak perlu dikorbankan. Dalan jangka panjang, tantangannya adalah membuat demokrasi sejalan dengan pemerataan hasil pembangunan ekonomi.

Ari A Perdana Peneliti CSIS dan Pengajar FEUI

 

 

 


Opini            

Rabu, 01 Agustus 2007

Goldman Sach tentang Indonesia

Cyrillus Harinowo

Goldman Sach adalah salah satu bank investasi terbesar di dunia. Karena itu, apa yang dikatakan lembaga itu tentu disertai dasar yang jelas dan selalu mendapat perhatian dari khalayak.

Pada tahun 2003 lembaga itu mengeluarkan makalah berjudul Dreaming with the BRICs. BRIC adalah singkatan dari Brasil, Rusia, India, dan China.

Seperti judulnya, makalah itu memproyeksikan empat negara itu akan menjadi pesaing potensial negara maju yang tergabung dalam kelompok G-7. Makalah itu memperoleh perhatian besar dari berbagai khalayak sehingga menjadi penentu penting bagi mengalirnya investasi asing menuju empat negara itu.

Belakangan, mimpi keempat negara BRICs itu menjadi ulasan penting berbagai majalah bergengsi. Laporan khusus majalah Economist (September 2006), “Surprise”, merupakan kekaguman majalah itu akan pesatnya perkembangan negara berkembang, terutama kelompok BRICs.

Pada akhir 2005, Goldman Sach kembali melahirkan makalah dengan memperkenalkan istilah baru, yaitu negara-negara yang tergabung dalam N-11 (Next Eleven), yaitu kumpulan negara dengan jumlah penduduk besar di dunia dan berpotensi besar di belakang BRICs.

Kelompok N-11 ini ialah Banglades, Mesir, Indonesia, Iran, Korea, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Turki, dan Vietnam. Kelompok itu memang mendapat perhatian dari berbagai khalayak. Bahkan Pricewaterhousecoopers, sebuah kantor akuntan terbesar di dunia, melalui Chief Economist-nya di London, membuat prediksi berjudul The World in 2050 pada Maret 2006.

Makalah itu secara khusus menyoroti kelompok khusus yang disebut E-7, The Emerging Seven, yaitu negara berkembang kelompok tujuh, terdiri dari China, India, Brasil, Rusia, yang termasuk BRICs, ditambah Indonesia, Meksiko, dan Turki yang kebetulan termasuk kelompok N-11. Kelompok E-7 ini diprediksikan akan melampaui kekuatan ekonomi negara-negara adidaya yang tergabung dalam G-7 pada tahun 2050. Namun, yang menarik adalah adanya hampir kesamaan kedua makalah itu mengenai Indonesia.

Kekuatan nomor tujuh

Mungkin Goldman Sach agak “menyesal”, mengapa tidak memasukkan Indonesia dalam kelompok BRICs.

Dalam tulisan terbaru “N-11: More Than an Acronym”, (Global Economics Paper No 153, Maret 28, 2007), Goldman Sach membuat suatu prediksi perekonomian global pada tahun 2050. Dalam makalah itu Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan nomor tujuh di dunia setelah China, AS, India, Brasil, Meksiko, dan Rusia.

Prediksi mirip makalah The World in 2050 yang disiapkan Pricewaterhousecoopers, yang menempatkan Indonesia pada kekuatan nomor enam setelah AS, China, India, Jepang, dan Brasil. Dari kedua tulisan itu menarik disimak bahwa urutan enam besar perekonomian dunia bisa berbeda, tetapi urutan Indonesia keenam atau ketujuh relatif tidak banyak berbeda.

Prediksi tentang Indonesia

Pada tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di antara Kanada dan Turki. Dalam hal ini, PDB Indonesia akan menempati urutan ke-14, Kanada berada di atasnya urutan ke-13. Dua puluh lima tahun kemudian, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ketujuh perekonomian dunia, melampaui Jepang, Inggris, Jerman, Nigeria, Perancis, Korea, dan Turki. Apakah prediksi itu memiliki alasan kuat?

Yang jelas, sudah ada dua lembaga amat terhormat di dunia yang membuat prediksi seperti itu. Karena itu, merupakan suatu hal yang menarik untuk melihat data yang digunakan Goldman Sach dan prediksi jangka pendek mereka.

Goldman Sach menggunakan tahun 2006 sebagai tahun dasar. Seberapa akurat data yang digunakan dibandingkan dengan data resmi yang dipublikasikan? Sebagai catatan, Goldman Sach juga menggunakan data ofisial, meski untuk tahun 2006 masih menggunakan angka prediksi.

Ternyata data tahun 2006 yang kita miliki menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan data Goldman Sach. Total PDB, misalnya, mencapai angka sekitar 366 miliar dollar AS dibandingkan dengan prediksi Goldman Sach sebesar 350 miliar dollar AS. Dengan angka lebih tinggi itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mencapai 1.663 dollar AS tahun 2006, sedangkan menurut data Goldman Sach sebesar 1.508 dollar AS. Selain angka PDB, perbedaan angka pendapatan per kapita juga disebabkan jumlah penduduk yang menurut Goldman Sach sebesar 232 juta penduduk, lebih besar daripada angka sebenarnya.

Dengan perbedaan angka dasar itu, bisa dimengerti jika prediksi PDB Indonesia pada tahun 2010 akan mencapai 419 miliar dollar AS, sementara prediksi yang saya buat cukup konservatif pun menghasilkan angka sekitar 550 miliar dollar AS. Dengan prediksi semacam itu, bisa dimengerti mengapa prediksi Goldman Sach tentang Indonesia menjadi sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prediksi yang dilakukan Pricewaterhousecooper.

Makin menemukan bentuk

Bagi yang skeptis, prediksi ini bisa dianggap membuang-buang waktu. Meskipun demikian, mengingat nama besar kedua institusi itu, rasanya kita perlu melihat secara lebih jernih apa yang mereka lakukan dengan apa yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Tampaknya, apa yang dimunculkan kedua institusi itu kian menemukan bentuknya dalam “The World in 2007” (Economist edisi Desember 2006). Dalam edisi itu disebutkan ada 66 negara yang memiliki perekonomian terbesar di dunia, dengan data cukup rinci. Dalam daftar itu, Indonesia ada pada urutan ke-21 dengan menggunakan nilai tukar pasar (market exchange rate, bukan dengan PPP rate). Dibandingkan dengan data 2004, Indonesia masih di urutan ke-25-26 bersama Arab Saudi.

Dalam artikel itu disebutkan, PDB Arab Saudi tetap di urutan ke-26 meski terjadi kenaikan amat tinggi harga minyak bumi. Indonesia dalam tiga tahun telah dan akan melampaui Austria, Norwegia, Turki, dan Polandia. Tahun ini saya prediksi PDB Indonesia akan mencapai sekitar 410 miliar dollar AS. Ini bisa membawa Indonesia pada urutan ke-20, melampaui Taiwan.

Pada tahun 2010, seperti dikemukakan sebelumnya, Indonesia akan melampaui Swiss, Swedia, dan Belgia, dengan total PDB sekitar 550 miliar dollar AS. Jika ini terjadi, posisi ke-14 sebagaimana prediksi Goldman Sach tahun 2025, bukan tidak mungkin akan terlampaui bahkan sebelum akhir tahun 2020.

Semoga mimpi ini akan membawa kemakmuran lebih besar bagi penduduk Indonesia tanpa terkecuali.

Cyrillus Harinowo Ketua STIE dan STIMIK Perbanas

 

 

 


Opini            

Rabu, 01 Agustus 2007

Kedaulatan Negara di Udara dan DCA

Chappy Hakim

Dalam peristiwa heroik 60 tahun silam, suatu misi kemanusiaan yang merupakan upaya mempertahankan kemerdekaan diserang Belanda.

Obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia dibawa misi itu menggunakan pesawat Dakota India. Di atas udara Yogyakarta, pesawat beregistrasi India, VT-CLA, dari Singapura itu diserang dua pesawat Kittyhawk Belanda, membuat salah satu mesin pesawat itu terbakar. Pesawat dengan Pilot Alexander Noel Constantine (Australia) dan Co Pilot Roy Hazelhurst (Inggris) itu jatuh dan terbakar di Desa Wodjo, Yogyakarta. Ikut gugur dalam misi itu adalah Komodor Udara A Adisutjipto, Komodor Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara Satu Adisumarmo Wirjokusumo.

Agaknya, aksi ini merupakan balas dendam atas serangan udara pagi sebelumnya di daerah pendudukan Belanda, yang dilakukan penerbang Soeharnoko Harbani, Muljono, Soetardjo Sigit dan kawan-kawan.

Kedaulatan negara

Sebenarnya, peristiwa itu tidak perlu terjadi jika Indonesia telah berdaulat, termasuk berkemampuan menjaga kedaulatan udara negara. Namun, saat itu Indonesia masih belia, baru saja memproklamasikan kemerdekaan.

Meski peristiwa itu telah berlalu 60 tahun, hingga kini Indonesia belum berdaulat sepenuhnya di udara. Dalam arti luas, berdaulat adalah mampu menjaga dan mengatur daerah udara kedaulatan Indonesia.

Pasal 1 Convention on International Civil Aviation, Chicago 7 Desember 1944, menegaskan, tiap negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya.

Selanjutnya “hak lintas damai” di ruang udara nasional suatu negara, seperti pada hukum laut, ditiadakan. Jadi, tidak satu pun pesawat asing dibolehkan melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa izin negara bersangkutan (Kedaulatan Negara di Udara, H Priyatna Abdurrasyid).

Maka, ruang udara nasional harus di bawah kekuasaan dan kontrol negara bersangkutan. Pesawat asing pun tidak diperkenankan melalui ruang udara nasional tanpa izin, apalagi untuk melakukan latihan.

Dalam kenyataan, ada beberapa kolom ruang udara nasional kita yang hingga kini belum sepenuhnya di bawah kekuasaan dan kontrol otoritas penerbangan Indonesia, antara lain daerah yang dikontrol FIR Singapura dan wilayah yang dulu dikenal dengan Area Latihan Militer 1 (Military Training Area/MTA) dan Area Latihan Militer 2. MTA 1 dan MTA 2 adalah wilayah udara nasional yang telah puluhan tahun digunakan Angkatan Udara Singapura untuk latihan.

Penerbangan nasional

Secara tidak langsung, keberadaan MTA 1 dan MTA 2 telah mengganggu penerbangan di dalam negeri. Paling tidak, kenyamanan terbang yang seharusnya dinikmati para penerbang Indonesia saat di wilayah udara negaranya sendiri menjadi terusik.

Pemerintah didesak mempertanyakan area larangan terbang yang diatur Singapura. Diberitakan, penerbangan pesawat sipil sering diusir operator radar Singapura dari ruang udara antara Pulau Batam dan Kepulauan Anambas yang dikategorikan “area berbahaya” (Kompas, 11/7).

Selain itu, penerbang kita mengemukakan, penerbang sipil sering diusir dari area militer. Kapten pilot maskapai penerbangan Riau Airlines Wendy Yunisbar di Batam mengemukakan, “Jika terbang dari Batam ke Matak, saya sering diminta menghindar kalau mendekati area berbahaya itu. Tampaknya itu merupakan wilayah military aerospace.” Dengan kondisi itu, Wendy harus menerbangkan pesawat melalui jalur lebih jauh. Jika cuaca jelek, ia tak bisa masuk area itu untuk menghindari badai atau awan tebal.

Penerbang nomad TNI AL dan para penerbang yang biasa terbang di sekitar wilayah itu juga selalu diminta menjauh dari zona itu (Kompas, Juli 2007).

DCA

Masalah perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) yang mencuat akhir-akhir ini tak bisa dihindarkan. Ada yang melihat, DCA sebagai pelecehan kedaulatan bangsa, mengingat sebagian daerah udara nasional Indonesia kini ada di bawah kekuasaan FIR Singapura dengan MTA 1 dan MTA 2. Maka, pengkajian tentang DCA bisa dimanfaatkan untuk pengaturan kembali daerah itu. FIR, MTA 1, dan MTA 2 telah berlangsung puluhan tahun. MTA 1 dan MTA 2 juga telah lama digunakan Singapura sebagai daerah latihan. Padahal, daerah itu dalam lingkungan area penerbangan sipil. MTA 1 dan MTA 2 terus dalam pengawasan Singapura (under occupation and control of Singapore government).

Jika ini berlanjut, tidak mustahil area itu akan lenyap dari peta kedaulatan udara nasional. Alasannya, selama ini kondisi seperti itu tidak dilindungi payung hukum formal berupa perjanjian bersama Indonesia-Singapura.

Terlepas apakah DCA akan digunakan sebagai bargaining position Indonesia dalam konteks ekstradisi BLBI dan sebagainya, maka inisiatif pembuatan DCA patut disambut positif. Artinya, jika MTA 1 dan MTA 2 telah dalam payung hukum resmi seperti DCA, secara formal dalam kerangka perjanjian Indonesia-Singapura, kita tidak perlu khawatir daerah itu akan hilang dari peta kedaulatan udara Indonesia. Oleh karena jelas tercantum, area itu milik Indonesia yang dipinjamkan kepada Singapura.

Soal kekhawatiran pelecehan kedaulatan, tinggal bagaimana secara cerdas kita mengatur implementing arrangement-nya.

Chappy Hakim Chairman Indonesian Strategic and Research Institute

 

 

 


Opini            

Selasa, 07 Agustus 2007

Masyarakat Ekonomi ASEAN

Faustinus Andrea

Memasuki usia ke-40, pada 8 Agustus 2007, sejumlah harapan disandarkan kepada ASEAN.

Betapa tidak. Kawasan dengan penduduk sekitar 580 juta ini merupakan pasar potensial yang menjadi incaran para investor dunia untuk memasarkan produk dan ekspansinya. Produk Jepang, China, Korea Selatan, dan India kini menyerbu Asia Tenggara.

Dalam perkembangannya ASEAN telah membentuk mekanisme ASEAN Plus Three bersama China, Jepang, dan Korea Selatan; East Asia Summit (EAS); hingga memiliki 11 mitra wicara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, China, yang merupakan pemain-pemain besar. Terbentuknya Forum Regional ASEAN (ARF) menjadi bukti bahwa ASEAN berperan penting di dunia internasional, yang menempatkan dirinya sebagai driving seat dalam proses regional. Artinya, selama 40 tahun, ASEAN bukan hanya mampu bertahan, tetapi terus berkembang sebagai organisasi regional yang makin efektif. Di antara anggota juga tak pernah terjadi perang, menjadi bukti keberhasilan stabilitas politik, keamanan, dan sosial.

Integrasi ekonomi

Lalu, apa tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) pada masa datang?

Salah satu agenda penting KTT ASEAN Ke-12 di Cebu, Filipina, Januari 2007, ide penciptaan integrasi AEC beberapa tahun lalu didorong persaingan dari India dan China. Bahkan, keinginan untuk memperluas integrasi itu karena aliran investasi kini relatif lebih tertarik ke India dan China. Konsekuensinya, akan terjadi aliran perdagangan barang dan jasa serta pekerja lintas batas. ASEAN tak lagi sekadar kawasan perdagangan bebas dengan fokus liberalisasi perdagangan, tetapi akan menjadi seperti sebuah negara, dengan memiliki skala ekonomi yang lebih efisien dengan cakupan pasar besar dengan kombinasi 580 juta penduduk dan 1,1 triliun produk domestik bruto (PDB).

Pembentukan AEC dianggap merupakan keharusan guna melindungi kepentingan bersama sejumlah negara di kawasan tertentu, dan upaya untuk mempertegas arah ASEAN, yang telah diwujudkan dengan pertemuan tingkat tinggi di Bali, Oktober 2003, dengan menghasilkan Bali Concord II.

Dalam konteks ekonomi, diwujudkan konsep AEC yang berupaya membangun kerja sama perdagangan, investasi, dan meningkatkan mobilitas aktivitas ekonomi, yang meliputi sektor elektronik, pariwisata, otomotif, tekstil, perikanan, pertanian, teknologi informasi, teknologi kesehatan, dan usaha berbahan dasar kayu.

AEC lebih kurang akan sama dengan UE meski untuk menuju model UE hingga memiliki mata uang bersama, dibutuhkan waktu panjang. Dengan AEC, segala bentuk tarif dihilangkan, sedangkan segala faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal diizinkan bergerak bebas melewati batas- batas wilayah 10 negara anggota ASEAN.

Integrasi ekonomi ASEAN dimaksudkan sebagai tekad ASEAN memelihara stabilitas makro-ekonomi dan keuangan regional, implementasi AFTA 2002, percepatan liberalisasi perdagangan di sektor jasa, menciptakan ASEAN Investment Area (AIA) guna menarik investor asing ke kawasan sehingga tercipta moderasi di Asia Pasifik.

Tanpa mengesampingkan masalah politik dan keamanan, kini prioritas bagi integrasi ekonomi ASEAN kian dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Integrasi ekonomi lebih luas untuk meningkatkan integrasi kawasan yang lebih kondusif tidak bisa ditawar lagi.

Persaingan antarnegara anggota

Meski demikian, peningkatan kemampuan di segala bidang harus dilakukan sebab AEC juga berarti persaingan antarnegara anggota. Selain itu, institusi ASEAN cukup lemah. Institusi yang ada tidak cukup memiliki kewenangan atau otoritas dalam menentukan berbagai kebijakan ekonomi yang kini justru amat diperlukan. Koordinasi lintas sektoral juga sering menjadi hambatan karena tidak ada mekanisme dan setiap pihak merasa paling berwenang untuk menentukan. Selain itu, mekanisme fasilitas perdagangan juga masih lemah. Padahal, fasilitas ini amat diperlukan guna memperlancar arus barang, mengurangi biaya tinggi, serta meningkatkan efisiensi.

Selain itu, sektor-sektor utama yang memerlukan pembenahan adalah transportasi, komunikasi, dan bea cukai. Tanpa pembenahan ketiga sektor itu, upaya pencapaian target 2015 akan sulit tercapai.

Hal lain yang bisa menghambat pembentukan AEC adalah jika setiap negara anggota ASEAN ingin mempertahankan kedaulatannya secara utuh dan tidak bersedia melepaskan sebagian kedaulatannya kepada sebuah institusi yang mengelolanya. Kesungguhan ASEAN untuk membuka akses pasar hanya dapat berjalan baik jika disertai kemauan politik setiap anggota guna mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dan diarahkan kepada kemitraan strategis dalam mendorong perekonomian yang kuat serta menciptakan stabilitas jangka panjang di kawasan.

Implementasi perjanjian

Belum adanya piagam yang bertujuan melahirkan konstitusi dan mengikat ASEAN untuk implementasi perjanjian menjadi kendala utama. Kelemahan ASEAN selama ini terletak pada minimnya implementasi perjanjian, tanpa harus takut akan dikenai sanksi, selain cara kerja ASEAN selama ini yang didasarkan pada konsensus, terbukti banyak kelemahannya.

Langkah ASEAN untuk dapat mewujudkan fondasi yang kokoh bagi visi pembangunan AEC pada masa datang akan mempunyai arti jika deklarasi percepatannya ditujukan untuk kepentingan rakyat di seluruh ASEAN, bukan elite ASEAN.

Selain itu proses untuk mewujudkan masyarakat ASEAN 2015 seperti masyarakat UE akan sulit dan lamban jika organisasi ASEAN tetap menjadi lembaga regional yang longgar tanpa adanya piagam.

Faustinus Andrea Peneliti Hubungan Internasional CSIS, Jakarta

 

 

 


Opini            

Kamis, 02 Agustus 2007

Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Paul Rahmat

Melalui UU Perseroan Terbatas, dunia usaha wajib mencadangkan sebagian keuntungan untuk program sosial dan lingkungan (corporate social responsibility atau CSR).

Atas kebijakan itu, asosiasi pebisnis Indonesia, seperti IBL dan Kadin, menyatakan keberatan karena CSR bersifat sukarela, dan tidak seharusnya menjadi “tanggung jawab yang mewajibkan” (obligatory responsibility) bagi korporasi (Jakarta Post, 17 Juli).

Paradigma baru

CSR merupakan sebuah paradigma baru atau gerakan “Gelombang Hijau” (Green Wave), menempatkan pembangunan sosial dan lingkungan sebagai strategi utama bisnis guna mendapat profit dan benefit. (Daniel C Esty dan Andrew S Winston, Green to Gold, 2006).

Sejumlah perusahaan cerdas (smart companies) bisa menggunakan lensa sosial dan lingkungan untuk meningkatkan daya inovatif, menciptakan standar etik dan mendorong keunggulan kompetitif. Sejumlah perusahaan multinasional, seperti British Petroleum (BP), Toyota, GE, dan IKEA, sedang menjalankan pendekatan keunggulan ekologis (eco-advantage) dan meraih sukses bisnis yang besar.

Setengah hati

Global compact yang diprakarsai mantan Sekjen PBB Kofi Anan memang bersifat sukarela. Inisiatif ini bukan mekanisme hukum yang memaksa dan menilai perilaku atau praksis korporasi, tetapi lebih merupakan kesadaran dan aksi kolektif masyarakat global untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan transparansi perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial, terkait isu HAM, standar kerja, konservasi lingkungan, dan pemberantasan korupsi.

Banyak pengalaman menunjukkan, program CSR yang bersifat sukarela tidak berjalan baik, bahkan gagal. Hannah Griffhs mengklaim, banyak perusahaan yang mengabaikan program CSR. Di Inggris, misalnya, dari 350 perusahaan besar yang tergabung dalam the Financial Times Stock Exchange’s (FTSE’s), hanya 79 perusahaan yang membuat laporan tentang dampak sosial dan lingkungan dari praktik bisnisnya. Juga, dari 61.000 perusahaan transnasional (TNCs) dan 900.000 perusahaan yang berafiliasi dengan TNCs, hanya 2.000 (3,2 persen) mempunyai laporan tentang dampak sosial dan lingkungan (H Griffhs, Human and Enviromental Rights: The Need for Corporate Accountability, 2005).

Gambaran ini menunjukkan, sebagian besar perusahaan nasional dan TNCs masih setengah hati, bahkan gagal menjalankan program CSR-nya secara sukarela. Pendekatan voluntaristik atas program CSR tidak efektif.

Akuntabilitas korporasi

Agar bisa berjalan, CSR perlu diperkuat dengan peraturan yang mendorong perusahaan bisnis untuk serius menjalankannya. Kewajiban korporasi melaksanakan CSR merupakan bentuk public accountability secara legal ataupun etik. Perusahaan yang mempunyai standar berbisnis tinggi akan menyambut dan mendukung regulasi itu. Pada sisi lain regulasi itu akan lebih mendorong korporasi mencapai standar berbisnis ke level lebih tinggi.

Praksis berbisnis, yang benar (do the right thing) berdasarkan keunggulan kompetitif, telah menjadi mind-set komunitas internasional. Komisi Transportasi Uni Eropa (UE), misalnya, melarang warga UE untuk memakai maskapai penerbangan RI karena tidak memenuhi standar penerbangan yang mereka tetapkan. Begitu pula, UE melarang konsumen Eropa membeli produk makanan AS berlabel GM.

Perusahaan nasional dan transnasional yang beroperasi di Indonesia tidak bisa mengelak dari tanggung jawab sosial dan lingkungannya karena itu telah menjadi gerakan, mind-set, komitmen, dan standar komunitas internasional.

Memang, negeri ini masih memerlukan banyak investor untuk meningkatkan perekonomian di tengah krisis yang masih berlanjut. Namun, yang diperlukan ialah investor-investor dan korporasi yang menjalankan kegiatan bisnis mereka secara benar berdasarkan keunggulan kompetitif, inovatif, ramah lingkungan sosial dan alam.

Praktik bisnis seperti itu tidak hanya mendatangkan keuntungan sepihak bagi perusahaan dan shareholder mereka, tetapi membawa benefit lebih besar bagi semua stakeholder, termasuk berbagai komunitas lokal yang mengalami dampak sosial, ekonomi, kultur, dan lingkungan secara langsung dari kebijakan dan praksis bisnis korporasi.

Paul Rahmat Magang di VIVAT Internasional, New York

 

 

 


Opini            

Jumat, 10 Agustus 2007

DCA
Tempat Itu Sangat Modern

F Djoko Poerwoko

Kalau saja pesawat komersial dalam penerbangan dari Padang ke Pekanbaru dapat langsung tanpa harus lewat jalur Whisky-22, penumpang akan melihat pemandangan menakjubkan. Di tengah hutan lebat ada pangkalan udara yang amat lengkap dan modern. Dari udara terlihat landasan pacu yang mulus.

Pangkalan itu juga dilengkapi bangunan perkantoran, perawatan pesawat, meriam penangkis udara, radar, tanki bahan bakar, bahkan di apron berjejer beberapa pesawat tempur.

Bangunan itu adalah bagian dari fasilitas penembakan udara yang disebut tactical range. Selain itu ada fasilitas latihan yang dinamakan academic range. Kedua fasilitas ini masuk Air Weapon Range (AWR) Siabu yang terletak di Kabupaten Kampar, berjarak 25 kilometer dari Pekanbaru ke arah barat.

Fasilitas yang dibangun tahun 1991 ini menempati lahan seluas 10.850 hektar sebagai salah satu sarana latihan pilot tempur TNI AU. Sarana latihan ini terdaftar dalam peta navigasi keluaran ICAO dengan kode Delta-21; bermakna daerah berbahaya bagi penerbangan umum.

Dengan fasilitas ini, pilot tempur kita dapat mengembangkan taktik untuk sasaran atas permukaan, baik untuk peluru, roket, maupun bom udara. Selama periode latihan, simulasi pangkalan ini dapat dihancurkan sesuai skenario latihan sehingga dapat ditentukan fire power sang pilot dan akan dibangun lagi buat latihan berikut.

Adapun untuk ketepatan penggunaan senjata udara, pilot kita berlatih di academic range, yang memiliki peralatan berupa gun scoring system (GSS). Alat berbasis sinar laser ini dapat memantau setiap peluru, roket, ataupun bom yang dilepas serta merekam hasil tembakan.

Bukan hanya hasil tembakan, sudut penembakan, jarak sewaktu melepas amunisi, kecepatan serta G-loading pesawat juga dipantau. Rekaman data ini amat diperlukan saat evaluasi sehingga dapat diketahui tingkat kecakapan dan kekurangan setiap pilot dalam melepaskan tembakan yang berujung pada peningkatan profesi pilot.

Fasilitas lainnya

Dalam program pelatihan dengan Singapura, tidak hanya AWR Siabu yang dibangun. Air combat manuvering range (ACMR) untuk pelatihan pertempuran udara serta overland flying training area (OFTA) untuk pelatihan terbang rendah juga dibangun. Semua diperlukan agar pilot lebih mahir mengoperasikan alat utama sistem senjata sesuai perkembangan taktik dan kemajuan teknologi.

ACMR berupa ruang udara tempat pilot dapat mengembangkan taktik pertempuran udara tanpa harus melepas amunisi. Teknologi yang disandang adalah penggunaan satelit GPS sebagai dasar penentuan posisi, kecepatan, percepatan, dan ketinggian terhadap target lain yang dipadu dengan kelengkapan inertial navigation system (INS) pesawat. Dari data yang masuk, dapat ditentukan berbagai parameter sehingga posisi relatif terhadap target (pesawat lain) dapat diketahui.

Data ini dipasok oleh transmiter/receiver yang di pesawat berupa pod dengan wujud rudal Sidewinder AIM-9 yang setiap saat mengirim data ke Base Central Debrefing Station (BCDS) melalui antena RTTP yang beroperasi pada jalur F1-1575.42 Mhz dan F2-1227.6 Mhz. Dengan jaring ini, pertempuran udara pada ribuan kaki di udara terpantau dari ruang kontrol yang terletak di Lanud Pekanbaru.

Digital grafis disajikan untuk memantau secara real time, sedangkan rekaman digunakan saat evaluasi guna menentukan kemahiran pilot sehingga dengan sarana ini pilot dapat melakukan pertempuran udara tanpa harus mengeluarkan sebutir peluru pun. Sebelum adanya prasarana ini, pilot kita harus berlatih ke Korat, Thailand, dengan biaya amat mahal meski dengan teknologi lebih sederhana.

Pembangunan dan pengembangan prasarana ini juga dilakukan bagi angkatan lain beberapa tahun belakangan ini. Sejenis AWR Siabu juga ada di naval gunfire support scoring system (NGSSS) yang terdiri atas detection and transmition station (DTS) di Pulau Kayu Ara serta perangkat reception, analysis and recording station (RARS) di kapal komando bagi TNI AL. Perangkat ini dapat menganalisis hasil tembakan kapal.

Adapun untuk sarana latihan TNI AD akan dibangun fasilitas latihan Baturaja Land Forces Training Area (BRTA) di daerah Sumatera Selatan. Di kawasan ini sudah ada pusat latihan tempur (puslatpur) serta Lanudad Gatot Subroto di Way Tuba yang mampu didarati C-130 Hercules.

Payung hukum

Agar ada kesatuan komando dan ada payung hukum, dibuatlah defence cooperation agreement (DCA) tingkat menteri, didukung implementing agreement (IA) tingkat Mabes TNI berupa kebijakan umum. Semua itu memerlukan kajian dan perundingan kedua pihak tanpa mengabaikan kedaulatan dan selalu diaplikasikan tiap digelar latihan bersama sebagai sarana uji coba.

Permasalahan lebih teknis diatur dalam IA yang akan disahkan setiap kepala staf angkatan. Semua tertuang dalam IA, bahkan jumlah peluru, kaliber senjata, jumlah alutsista, pihak ketiga yang ikut, jadwal latihan, jumlah pasukan yang terlibat hingga cucian (laundry) pun diatur pihak Indonesia. Tidak hanya itu, penggunaan peta dan frekuensi radio juga diatur dan dikontrol Indonesia sebagai pemilik tempat latihan.

Kita percaya, pelaku di lapangan akan berbuat terbaik bagi negara kita. Mereka juga tahu baik-buruknya dalam kelangsungan hidup bernegara, berbangsa, dan bertanah air.

Tanpa mengabaikan kedaulatan, prajurit kita juga harus dilatih untuk lebih profesional. Oleh karena itu, prasarana yang memadai perlu disiapkan dan dirawat.

F Djoko Poerwoko Pemerhati Militer

 

 

 


Opini            

Jumat, 24 Agustus 2007

Kekuasaan dan Tragedi Pendidikan

Prudensius Maring

Kaitan kekuasaan dan pengetahuan yang dimiliki penguasa menentukan cara mereka mendefinisikan pendidikan dan memformulasi kebijakan sistem pendidikan.

Saat seseorang berkuasa, ilmu pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi. Keteguhan penguasa dan konstruksi pengetahuan tercermin dalam kebijakan pendidikan. Aksinya tidak mengakomodasi kritik dan saran.

Dari awal, sosok Mendiknas Bambang Sudibyo sebagai ekonom dikhawatirkan mempercepat komersialisasi pendidikan. Hal itu dibentengi Wapres Jusuf Kalla yang berlatar belakang ekonomi-pengusaha. Pertautan kekuasaan-pengetahuan menentukan kebijakan ujian nasional (UN) yang berwajah kuantitatif dan mengabaikan proses.

Kekuasaan dan ilmu

Kontroversi pemberlakuan UN mengingatkan konstruksi pemikiran Michel Foucault (1980), pertautan kekuasaan dan ilmu pengetahuan (power/knowledge) selalu membangun hubungan menguatkan. Kekuasaan sebagai kompleks strategi dinamis bisa diperankan individu atau institusi. Kekuasaan bekerja berdasarkan mekanisme kerja ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Berbekal pengetahuan tertentu, penguasa menentukan cara kerja yang khas untuk melakukan kategorisasi, mendefinisikan, dan menentukan tindak lanjut masalah yang dihadapi. Dalam praktik, pola pikir dan definisi kerja penguasa merujuk latar belakang ilmu, lembaga yang membesarkan, dan buah pikir di baliknya.

Ini sejalan dengan tesis, tiap bidang ilmu akan menurunkan cara kerja (metode). Siapa yang masuk ke ilmu itu harus memilih cara kerja ilmu itu meski cara kerja itu asing, merongrong prinsip kreativitas, dan mengabaikan keragaman. Cara kerja itu memperkuat posisi mereka yang ada di baliknya (penguasa).

Kekuasaan dan ilmu pengetahuan memberi kekuatan kepada seseorang untuk menjatuhkan penilaian dan menghakimi orang lain berdasarkan “kacamata” pengetahuannya. Bahkan ia bisa melahirkan konfigurasi sosial baru. Pemberlakuan ujian paket “susulan” bagi mereka yang tidak lulus UN bisa melahirkan penghakiman sosial atas dasar pembedaan kualitas anak didik.

Konstruksi pemikiran ini bisa menjelaskan kontroversi sistem pendidikan di Indonesia. Pengetahuan penguasa berbasis ekonomi-pasar, bersifat makro dan kuantitatif terlihat dalam pemberlakuan standar nasional pendidikan. Penguasa mengabaikan proses dan infrastruktur pendidikan yang karut-marut. Padahal, itu berawal dari gagalnya layanan pemerintah.

Kekuasaan dan pendidikan

Pemerintah berkuasa menetapkan definisi masalah dan kebijakan. Sosok Jusuf Kalla tegas mendefinisikan masalah pendidikan di tengah realitas sosial. Menurutnya, bangsa ini terpuruk karena terbiasa dengan budaya lembek, dengan itu mustahil kita mengejar ketertinggalan dan menyamakan diri dengan bangsa lain (Kompas, 4/2/2005).

Definisi awal itu menarik, tetapi terjadi kontradiksi pemaknaan. Lihat pandangan Mendiknas (Kompas, 15/11/2005), paradigma pendidikan harus dikembangkan secara dinamis guna memenuhi kebutuhan dunia kerja pasar global. Ini membutuhkan pendidikan yang relevan dengan situasi sekarang dan esok. Kebijakan konkretnya, pemberlakuan standar nasional melalui UN.

Dengan basis pengetahuan ekonomi, penguasa menerjemahkan tindak lanjut dalam bentuk evaluasi yang mengabaikan proses dan infrastruktur. Penguasa menjadikan UN sebagai terapi kejut agar budaya lembek diganti kerja keras. UN menjadi cara mengejar ketertinggalan.

Terlihat, kekuasaan berwajah ekonomi mewujudkan hasratnya. Namun, hasrat itu mengutamakan kebutuhan pasar, bersifat makro dan kuantitatif. Pola itu mengancam kesejatian pendidikan yang menjamin keseimbangan budi dan nalar. Ini muncul dalam bentuk kecurangan, diskriminasi pelajaran, mentalitas belajar sekadar ujian, dan frustrasi yang melanda anak didik.

Kritik dan saran berbagai kalangan adalah kategori dan definisi di luar kerangka pengetahuan penguasa. Ia sulit dipahami penguasa, apalagi mengubah kebijakan. “Silakan saja kontra terhadap ujian nasional, tetapi pemerintah tetap akan jalan. Kita tidak bisa menghentikan misi ke depan hanya karena orang tidak setuju,” tegas Jusuf Kalla.

Gagasan ini semua untuk mengingatkan, kita perlu menghindari tragedi pendidikan pada masa datang. Penentuan “penguasa” pendidikan harus bebas dari gerilya politik “asal dapat jatah”. Pihak berkompeten, seperti pendidik, pemerhati, ahli pendidikan, dan kalangan LSM, perlu didengar dalam penentuan posisi ini.

PRUDENSIUS MARING Mahasiswa S-3 Antropologi Universitas Indonesia; Menekuni Disertasi “Dinamika Kekuasaan dan Perlawanan Sosial”; Dosen Politani Kupang

 

 

 


Opini            

Sabtu, 04 Agustus 2007

Kepala dan Kaki

Jakob Sumardjo

Sebagai negara, Indonesia ibarat manusia yang punya kaki dan tangan, tetapi tak punya kepala. Arah kaki tak sesuai maksud kepala. Kepala tidak mengetahui perbuatan kaki.

Bangsa sebesar ini membutuhkan manajemen negara yang besar dan kuat. Kenyataannya, organisasi besar negara ini tercerai berai dalam begitu banyak kaki yang berjalan menurut arahnya sendiri-sendiri. Para lurah ada di bawah camat. Para camat ada di bawah bupati. Para bupati ada di bawah gubernur dan gubernur di bawah presiden. Dari kepala sampai ke kaki. Maka, presiden juga disebut Kepala Negara.

Apa pun yang diperbuat oleh kaki, kepala harus bertanggung jawab. Tangan yang membunuh, tetapi yang nongol di media adalah foto kepalanya. Dengan demikian, kepala adalah simbol dari seluruh anggota badan. Kita tidak pernah menyaksikan kaki Beckham yang memasyhurkan kepalanya di media seluruh dunia.

Indonesia ternyata bukan sebuah badan. Indonesia hanya kumpulan kaki, tangan, perut, sampai kepala. Kepalanya menghadap ke mana, pantatnya menghadap ke mana. Kalau sedang berjalan, Indonesia adalah makhluk yang aneh.

Malapetaka kapal, kereta api, pesawat terbang, runtuhnya gedung, jika dilihat dari luar negara, semua menggambarkan pemilik kepalanya yang sama: Indonesia. Kekacau-balauan semacam ini menunjukkan kita gagal dalam organ besar. Dan, organ itu merupakan kesatuan dalam keberagaman. Sakit telinga ada hubungannya dengan mulut. Sakit lutut ada hubungannya dengan kepala. Kekacau-balauan dalam transportasi, yaitu kaki, ada hubungan dengan kondisi perut atau pernapasan. Hanya dokter manajemen negara yang mampu menganalisis hal itu.

Namun, semua kekacau-balauan organ-organ itu tetap bermuara pada kepala. Kemenangan Olimpiade Fisika atau Matematika, kemenangan bulu tangkis, langsung diakui kepala sebagai bagian organnya. Akan tetapi, soal kekacau-balauan transportasi, kepala siapa yang disalahkan?

Kepala yang benar-benar sebagai kepala di Indonesia hanya Soekarno dan Soeharto. Soekarno karena karisma, Soeharto karena kekuatannya. Semua yang terjadi di kaki langsung menggambarkan kepalanya, diakui sebagai hasil berpikir kepala. Wali kota yang curang di dasar kaki, langsung “menampar” Soeharto. Dan, kepala langsung memerintahkan tangan untuk menggaruk di kaki.

Neraka

Yang dibutuhkan Indonesia kini adalah kepala yang menyatu dengan seluruh anggota tubuh. Sebuah negeri yang terpecah adalah neraka bagi rakyatnya.

Dulu neraka pembagian bantuan bencana, kini neraka transportasi, nanti masih akan banyak neraka lagi.

Kini tidak ada yang merasa malu jika rakyat mengalami neraka kelaparan. Siapa yang harus malu karena kepala tidak ada. Dulu neraka kecil di ujung kaki Indonesia sudah membuat merah muka, Bung Karno atau Pak Harto sudah kebakaran jenggot. Kepala-kepala reformasi tak perlu malu karena pikirannya tak sampai di kaki. Indonesia setelah reformasi adalah ketercerai-beraian. Kaki tak punya kepala.

Jika Anda ke mancanegara—yang utuh hubungan organ-organnya—akan terasa kesatuannya. Inilah pabean Australia. Inilah polisi Malaysia. Di Indonesia Anda butuh informasi, apakah polantas di kota ini bisa disogok? Jika mau buka usaha, lebih baik di kota anu dan anu, di sana tak perlu pelicin. Indonesia ini satu atau banyak negara? Tidak ada kepastian.

“Bersatulah untuk mempertahankan kesatuan negara jika engkau ingin negaramu tetap merdeka”, nasihat Napoleon kepada kita. Kesatuan untuk mempertahankan negara itu ada di kalangan bawah, tetapi organ-organ kepala itu kacau pikirannya. Mata kanan ke kiri, mata kiri ke kanan. Karena juling, hurufnya ganda semua. Kepastian hukum tak ada. Yang takut hukum itu hanya kalangan bawah. Mereka yang tidak takut hukum di dunia, tidak takut masuk neraka.

Kita harus belajar kembali arti kesatuan. Namanya kesatuan karena adanya keberagaman. Kesatuan Indonesia itu artifisial, sedangkan keberagaman Indonesia itu natural. Kesatuan itu buatan anyar yang rapuh. Keberagaman telah ada dengan sendirinya sejak dulu. Keberagaman itu kaki dan kesatuan itu kepala. Kaki kiri yang pincang tak dapat diperlakukan seperti kaki kanan yang sehat. Kaki kiri disehatkan dahulu, baru bisa jalan lurus.

Kesatuan artifisial ini harus mengenali betul keberagamannya yang natural. Jangan terjadi kebakaran jenggot saat pulau kecil gersang yang selama ini tak dikenal baru dikenal saat negara lain menyerobot. Lo, pulau itu milik kita juga? Kepala tidak kenal warna kukunya sendiri.

Bagian bawah yang natural saja ingin bersatu, mengapa kepala yang artifisial sakit pikirannya? Jadi, kerusakan negara ini karena kepala atau kakinya?

Kita memang memerlukan kepala artifisial yang brilian. Kita membutuhkan “orang-orang gila” seperti Bung Karno dan pak Harto. Bawah yang beragam dan natural semua waras. Hanya orang superwaras alias “gila”, yang mampu menyatukan. Sejarah Indonesia modern membuktikan hal itu. Bung Karno dan Pak Harto dinilai “tidak normal”, banyak dicaci, nyatanya manajamen kesatuannya terasa. Pekik nasionalisme tiap hari terdengar.

Setelah reformasi, nasionalisme dilecehkan atas nama kebebasan dan kemerdekaan. Ingatlah kata Napoleon itu, kebebasan akan tercapai jika kita bersatu. Dan, kesatuan itu adanya di kepala. Kepala yang cerai berai mematikan seluruh bangsa.

Jakob Sumardjo Esais

 

 

 


Opini            

Senin, 06 Agustus 2007

Plus-Minus Calon Perseorangan

M Alfan Alfian

Setelah Mahkamah Konstitusi memberikan lampu hijau bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah, yang menjadi soal adalah bagaimana kelanjutannya.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berpendapat sama dalam merespons keputusan itu bahwa UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah harus direvisi. Sebelum ada revisi, tak ada calon perseorangan dalam pilkada (Kompas, 3/8).

Dari sudut waktu, terobosan MK memang dilematis. Tidak dikeluarkannya perpu oleh pemerintah menunjukkan kesan, keputusan MK tidak langsung direspons serta-merta. Prosesnya membutuhkan waktu. Padahal, sebagian kalangan masyarakat sudah tidak sabar lagi menanti aturan pelaksanaannya segera dibuat. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, misalnya, kalangan procalon perseorangan meminta pilkada ditunda.

Revolusi demokrasi elektoral

Terlepas dari respons dan dinamika politik itu, tampaknya keputusan MK merupakan awal dari sebuah “revolusi” demokrasi prosedural di Indonesia.

Keputusan MK itu, selain memberi kesempatan bagi tokoh potensial nonpartai politik untuk bisa tampil dalam pilkada, juga akan menjadi preseden alias efek bola salju bagi diperbolehkannya juga calon perseorangan presiden/wakil presiden.

Jika demikian, atas nama jaminan hak-hak politik dan kebebasan politik warga negara, kita masuk fase demokrasi liberal. Demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila akan menjadi kenangan saja.

Dari sisi masyarakat, hadirnya calon perseorangan semakin menambah alternatif. Proses kehadiran elite-elite pemimpin politik pun datang dari banyak pintu. Mungkinkah dengan dibukanya pintu perseorangan akan memunculkan para pemimpin bermutu? Bisa ya, bisa tidak. Calon-calon bermutu bisa saja terhambat oleh banyak kendala. Calon-calon tidak bermutu bisa saja mendominasi karena banyak “gizi” alias uang dan “popularitas”.

Dalam kontes demokrasi langsung, “uang” memang amat menentukan, tetapi bukan segalanya. Publik bisa terkecoh oleh pencitraan. Pemimpin yang hadir sekadar berbasis citra sejatinya adalah keropos. Harapannya adalah semakin banyak pengalaman, keterkecohan publik tidak akan terulang lagi, kecuali apabila tipologi pemilih masokis mendominasi.

Seharusnya publik akan makin belajar dewasa memilih pemimpin. Karena itu, dalam perspektif ini, calon perseorangan bisa bermanfaat.

Hanya yang perlu hati-hati adalah potensi konflik. Semakin terbuka peluang pencalonan politik, makin terbuka pula potensi konflik berikut variasinya. Manajemen konflik calon perseorangan (ad hoc) mungkin lebih susah ketimbang manajemen konflik partai sebagai lembaga politik. Itulah salah satu kelebihan partai.

Namun, kelemahannya adalah jebakan birokrasi lembaga, yang kemudian diterobos calon perseorangan. Jadi, calon perseorangan hadir untuk mengimbangi berbagai kelemahan partai.

Nasib partai

Partai-partai politik pun tidak akan lagi menjadi kendaraan politik supereksklusif. Karena itu, konstelasi politik langsung berubah tajam mengingat partai bukan satu-satunya jalan ke kekuasaan. Deekslusifikasi partai berkonsekuensi pada harus makin lincahnya ia mengeksiskan diri.

Jangka panjang calon perseorangan cenderung mendorong penyedikitan jumlah partai. Hanya yang kelembagaannya kuatlah yang bertahan. Partai akan amat “kerepotan”, tetapi kehadiran calon perseorangan justru mengondisikan penguatan kelembagaan.

Partai akan terpicu ekstra keras. Jika mesin partai jalan dan partai mampu mengoptimalisasikan fungsi-fungsinya, tentu ia makin pandai menyeleksi kader-kadernya yang terbaik. Bisa jadi, publik akan lebih percaya kepada para calon partai ketimbang independen.

Pengalaman Amerika Serikat adalah contoh yang baik. Kuatnya kelembagaan Partai Republik dan Partai Demokrat nyaris tak memberi peluang kemenangan bagi para calon perseorangan.

Jalur pemasok utama kader dan sirkulasi elite politik akan melibatkan partai karena memang ia didesain untuk itu. Partai menciptakan sistem dan tradisi perkaderan politik semapan mungkin.

“Sejelek-jelek” partai ia adalah lembaga politik yang sengaja diniatkan untuk berbagai kepentingan kekuasaan. Jika lembaga partai kuat, seharusnya kehadiran calon perseorangan adalah anomali atau keanehan. Jika partai benar-benar mampu “mengurus diri” sehingga kuat kelembagaannya dan mendominasi mind set masyarakat, tidak ada alasan untuk sinis oleh kehadiran calon nonpartai. Partai-partai seperti itu tentu akan mudah “menggilas” calon-calon perseorangan. Karena itu, proses politik pun tetap bertumpu pada partai-partai, calon perseorangan hanya interupsi.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional; Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute, Jakarta

 

 

 


Opini            

Selasa, 07 Agustus 2007

Empat Puluh Tahun ASEAN

PLE Priatna

Para menteri luar negeri ASEAN bertemu di Manila, 30 Juli-2 Agustus 2007 dalam AMM. Perhelatan ini digelar menjelang hari jadi ke-40 ASEAN pada 8 Agustus 2007.

Bagaimanapun, pertemuan itu akan menjadi tonggak baru arah dan masa depan ASEAN, sekaligus bisa menjadi hadiah berupa cetak biru konstitusi organisasi agar mampu berkiprah lebih baik pada masa datang.

ASEAN meletakkan fondasi konstitusi dalam bentuk Piagam ASEAN (ASEAN Charter) untuk mempercepat terbentuknya komunitas ASEAN delapan tahun ke depan, tahun 2015.

Konstitusi yang akan mengatur gerak organisasi ke dalam ataupun ke luar memasuki fase baru ASEAN. Legal personality ASEAN yang akan membuka ruang jelajah dan legal capacity, daya jangkau organisasi menyetuh aspek internal dan eksternal.

Perangkat mengikat

The ASEAN Way, mekanisme konsultasi informal dan konsensus, tidak cukup untuk menghadapi tantangan ke depan. ASEAN memerlukan ruang jelajah kelembagaan yang lebih kuat agar mampu mengikat anggotanya mematuhi keputusan. Piagam diperlukan agar ASEAN mampu menampilkan posisi (politik) bersama secara kredibel, memiliki status observer di PBB, dan mampu menjadi sentra kendali (driving force) dengan penguatan posisi Sekretaris Jenderal ASEAN ataupun mekanisme pengambilan keputusan lainnya.

Dari sini—dalam mewujudkan komunitas ASEAN—program aksi Vientienne (VAP 2004-2010) dengan tiga pilar utama telah meletakkan dasar bagi pengembangan sense of belonging yang berorientasi kepada masyarakat luas (people-centered), rule-based approached menuju terbentuknya masyarakat ASEAN yang peduli (caring society).

Tiga pilar komunitas ASEAN (keamanan, ekonomi, sosial-budaya)—termasuk para pemangku kepentingan—harus bisa menjadi penggerak yang mendorong penyatuan ASEAN sebagai proses integrasi menyeluruh, ke dalam lingkup komunitas ASEAN.

Selain Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), pembentukan Komisi Regional HAM ASEAN menjadi salah satu ekspresi kuatnya pemangku kepentingan turut mewujudkan ASEAN yang diharapkan, meski nanti, misalnya, ASEAN tidak mengarah kepada format terintegrasi sepenuhnya ke bentuk pasar tunggal (single market) ataupun komunitas keamanan/kebijakan luar negeri ala Uni Eropa.

Bukan uni ASEAN

Apakah dengan piagam ini, ASEAN sebagai organisasi akan menjadi seperti Uni Eropa (UE)? “UE hanya akan menjadi inspirasi dan referensi, tetapi bukan sebuah model,” kata Dubes Rosalio Manalo, Ketua Gugus Tugas Tingkat Pejabat Tinggi Filipina, menjawab wartawan di Manila beberapa waktu lalu.

ASEAN akan bergerak secara operasional berdasar langkah antarpemerintah (intergovernmental action). Tidak ada elemen supranasionalisme di sini karena tidak ada yang akan menyerahkan kedaulatan ekonominya. Kita tidak bisa membangun komunitas yang sama dengan UE karena UE menjalankan kedua hal sekaligus, yaitu tindakan supranasional dan praktik kebijakan antarpemerintah. ASEAN akan bekerja mirip lembaga PBB, dengan anggotanya patuh kepada kerja badan-badan yang diciptakan, sementara mereka tetap memiliki kedaulatan besar. Demikian bayangan Rosalio Manalo tentang ASEAN 10 tahun ke depan.

Bangunan ASEAN ke depan tampaknya bukan uni-ASEAN ala UE. Komunitas ASEAN yang ingin diwujudkan adalah penggabungan tiga kekuatan yang terintegrasi secara lebih hidup, sejalan kondisi obyektif masyarakat ASEAN yang majemuk dengan pluralitas beragam hampir di semua segi. Maka, road map ala UE tidak mudah diterapkan.

Berbagi kesejahteraan

Dalam konteks ASEAN, road map menuju Komunitas ASEAN adalah kalimat lain untuk membagi kesejahteraan di kawasan. Ketika ASEAN mampu menciptakan serta membagikan iklim dan atmosfer kestabilan kawasan selama 40 tahun, pada masa datang yang dituntut dari ASEAN adalah kapabilitas institusional membagikan kemakmuran.

Pembentukan Universitas ASEAN atau Rumah Sakit ASEAN di beberapa negara anggota dengan dokter terbang dan perawatan murah tentu menjadi ide yang menarik bagi hampir semua warga di kawasan. Keberadaan ke dua lembaga ini, misalnya, akan meningkatkan relevansi ASEAN bagi publik memasuki tahap kerja sama yang lebih erat.

Maka tidak diragukan, yang ditunggu dari kemajuan ASEAN adalah kemampuan membangun proteksi bagi warganya agar mendapat pendidikan yang baik dan murah, fasilitas kesehatan memadai, mendapat pekerjaan dan penghasilan layak, serta terjamin harkat kemanusiaannya. Playing field relevansi kerja sama ASEAN tidak lagi hanya untuk urusan politik, Myanmar dan Aung San Su Kyi, tetapi menyangkut aspek kehidupan ekonomi, yang dipandang terlalu memakan waktu untuk mengubah nasib seseorang.

Piagam ASEAN yang baru diharapkan akan memberi landasan keseimbangan yang kuat bagi organisasi ASEAN, yaitu kerja sama ekonomi, keamanan (politik), dan sosial-budaya yang berjalan bersama.

PLE Priatna Alumnus FISIP UI dan Monash University

 

 

 


Opini            

Selasa, 14 Agustus 2007

Merawat Reputasi Bangsa

William Chang

Sebelum ber-Jambore Pramuka Dunia XXI di Hylands Park, Essex, Inggris, 27 Juli-8 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono meminta kepada 350 anggota pramuka peserta agar menjaga kehormatan jati diri bangsa kita di mata dunia.

Proses rehab reputasi bangsa dari aib-aib sosial digalakkan sejak tragedi peradaban akhir abad lalu (1990-an). Mantan Menlu Ali Alatas dan Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, misalnya, pertengahan Desember 2004 meluncurkan situs pengangkat harkat dan martabat bangsa. Sejumlah forum mendukung promosi tentang Indonesia yang aman, ramah, dan damai.

Dinamika reputasi hidup berbangsa selama 62 tahun jatuh-bangun. Baru-baru ini prestasi ekonomi dipuji mantan PM Singapura Lee Kuan Yew. Keunggulan Presiden memelihara kesatuan dan harmoni negara dikagumi PM Korsel Roh Moo-hyun. Badawi menghargai kemajuan demokrasi di Tanah Air. Para pemimpin Asia optimistis, Indonesia akan berperan penting di dunia.

Sementara proses rehab berjalan, negara dilanda kerusuhan sosial (1997), peledakan bom (2002), kelaparan, keterpurukan transportasi (2007), korupsi merajalela, dan penegakan hukum amat lemah. Keadaan sosial, politik, dan ekonomi bangsa analog dengan chaos lalu lintas negara kita yang ada di bawah Vietnam.

Mencari jati diri bangsa

Sejarah mencatat, setiap bangsa mewarisi cita, cerita, dan citra yang unik. Berbeda dengan riwayat dan nasib” Malaysia, Singapura, dan Brunai, kemerdekaan Indonesia tak pernah serius disiapkan Belanda dan Jepang. Sebagai arsitektur bangsa, Bung Karno dan kawan-kawan mengajak wakil dari berbagai daerah untuk mendirikan negara berasas Pancasila dan UUD 1945.

Pencarian identitas bangsa dilakukan dalam falsafah hidup yang menjunjung nilai-nilai dasar (basic values) sebagai anti-(neo-) kolonialisme. Jati diri bangsa tercermin dalam mentalitas, bobot kemanusiaan, kerohanian, keadilan, sosial, politik, dan budaya. Internalisasi dan ekspresi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kekhasan bangsa. Bagaimanakah semangat saling menghargai perbedaan (dalam sidang BPUPKI dan PPKI) bisa diteruskan di masyarakat majemuk tanpa merugikan pihak mana pun?

Kemanusiaan sebagai jantung bangsa akan mengkritisi kecenderungan kaum utilitarian pragmatis yang berjuang untuk mengegolkan konsep-konsep yuridis dalam tim drafter (pemerintah). Nilai kemanusiaan kerap berhadapan dengan mentalitas priayi birokrat (feodal) di lapangan. Hingga kini kepastian dan jaminan hukum di negara kita sering dikeluhkan dan diragukan pencari keadilan. Aneka bentuk “sirkus” hukum sudah harus ditinggalkan (N Simanjuntak).

Perbaiki reputasi bangsa

Spiritualitas awal para arsitektur negara kita menjadi titik tolak perbaikan reputasi bangsa. Irama persaudaraan dalam sidang BPUPKI dan PPKI mencerminkan jiwa toleran dan saling pengertian di kalangan anggota yang berbeda budaya, etnis, dan agama. Kini semangat persaudaraan itu terasa kian luntur dan sikap saling curiga kian menonjol.

Proses perbaikan reputasi bangsa setidaknya menempuh tiga langkah.

Pertama, membarui Weltanschauung, sikap dasar dan perilaku anak bangsa yang terkait nilai-nilai civilization. Paradigma perilaku berorientasi pada mentalitas kesetiakawanan dalam menghadapi aneka ideologi sektarian yang memecah persaudaraan.

Kedua, perbaikan reputasi bangsa dimulai dengan mewujudkan habitus kedisiplinan nasional terutama dalam law enforcement yang adil kepada semua lapisan masyarakat. Sistem kontrol yang serius merupakan kunci penting penegakan nilai-nilai dasar kehidupan bangsa.

Ketiga, membekali generasi muda dengan character building yang lebih sesuai cita-cita dasar negara. Agenda penggemblengan watak bangsa belum terlaksana secara konsisten dan menyeluruh. Ini termasuk pekerjaan rumah dan tanggung jawab bersama. Tanpa pembentukan watak, jati diri bangsa akan luntur dan kehilangan orientasi. Suntikan dana yang biasanya diselewengkan untuk proyek fiktif sebaiknya dialokasikan untuk proses perbaikan mentalitas bangsa.

Tiada gading yang tak retak; tak satu pun negara di dunia ini yang perfek. De facto, telah muncul sejumlah negara yang sukses dalam mengatur sistem pemerintahan yang menjamin kepastian hukum dalam penerapan hak-hak terasasi manusia—hidup, kesehatan, keamanan, pendidikan, religius dan kesejahteraan— tiap warga negara. Segala bentuk premanisme tunduk pada ketentuan hukum. Biasanya, sistem pemerintahan negara sukses itu relatif baik, bersih, transparan, dan terkontrol. Kapan dan bagaimanakah kita dapat menyaksikan “Indonesia (yang sungguh) Raya” yang menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat? Atau “Indonesia Raya” hanya lirik lagu nasional yang sulit diwujudkan?

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

 

 

 


Opini            

Jumat, 10 Agustus 2007

Meregulasi Gagasan CSR

Meuthia Ganie-Rochman

Kalangan bisnis telah menyuarakan penolakan dimasukkannya pasal tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang PT yang baru.

Kritik yang muncul, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah konsep di mana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan. Kegiatan itu ada di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam hukum formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan, dan standar lingkungan.

Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada perusahaan. Apalagi jika keharusan itu ditetapkan di Indonesia yang dikenal hukumnya tidak pasti dan pejabat publiknya korup.

Kalangan bisnis meramalkan jika CSR diwajibkan, para investor akan semakin enggan melakukan bisnis di Indonesia.

CSR bisa diatur?

Seberapa jauh CSR dapat diatur atau tidak? Sebenarnya tidak ada jawaban hitam-putih tentang hal ini. Sejarah CSR sendiri menunjukkan hal ini. Beberapa peraturan yang diberlakukan di negara lain, seperti standar lingkungan dan hubungan perburuhan, sebagian merupakan gagasan yang semula dijalankan sebagai CSR. Dengan aneka pertimbangan obyektif dan desakan lain, kemudian gagasan diregulasi.

Namun, adalah salah mengatur CSR dengan menganggapnya sebagai satu konsep. Bahkan di negara-negara maju di Eropa, CSR adalah konsep yang terus berkembang, baik pendekatan, elemen, maupun penerapannya. Negara-negara ini dan badan-badan internasional tak satu pun yang mewajibkan CSR. Mewajibkan CSR adalah tindakan ceroboh.

Dinilai ceroboh karena CSR sebenarnya merupakan proses interaksi sosial antara perusahaan dan masyarakatnya. Ini adalah proses interaksi tentang gagasan kewajiban perusahaan. Perusahaan melakukan CSR bisa karena tuntutan komunitas atau karena pertimbangannya sendiri. Bidangnya pun amat banyak dan ada pada kondisi berbeda-beda. Oleh karena itu, mengatur CSR adalah memaksakan sesuatu yang tidak jelas apa dan bagaimana masing-masing memiliki kondisi institusional, organisasional, dan materialnya.

Terbuka dan akuntabel

Pengaturan elemennya secara prinsip, mungkin. Namun, prosesnya harus memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel.

Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana.

Semua proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang daripada Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, tahun 2003 menyatakan, CSR bukan sesuatu yang akan diatur.

Persoalan kedua, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi masyarakat, amat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial.

Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten.

Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain. Peran terakhir ini amat diperlukan, terutama di daerah. Semacam perubahan orientasi dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah juga diperlukan.

Dengan demikian, sungguh banyak peran yang lebih tepat bagi pemerintah daripada mengambil tindakan mengambil uang dari pelaku usaha. Tindakan ini mungkin populer, tetapi akibatnya bisa amat merugikan.

Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog dari Universitas Indonesia

 

 

 


Opini            

Selasa, 07 Agustus 2007

Sekali Lagi Soal DCA RI-Singapura

KIKI SYAHNAKRI

Wacana DCA RI-Singapura masih bergulir. Marsekal TNI Chappy Hakim memperhangat dengan artikel “Kedaulatan Negara di Udara dan DCA” (Kompas, 1/8).

Chappy mendukung DCA dengan argumen, AU Singapura telah lama menggunakan Military Training Area (MTA)-1 dan 2 dan penggunaan kawasan itu belum memiliki payung hukum. Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan area itu akan lenyap dari peta kedaulatan udara nasional. Opini itu perlu ditanggapi secara kritis.

Pertama, jika DCA untuk memberi payung hukum bagi kontrol dan penggunaan MTA-1 dan 2 oleh Singapura, mengapa harus dengan formula DCA yang menyetujui pelibatan pihak lain untuk melakukan latihan militer bersama Singapura di MTA-2 dan Area Bravo? Ini sama dengan mengizinkan Singapura melakukan kerja sama pertahanan, termasuk melakukan latihan bersama pihak lain di wilayah kita. Ada kontradiksi antara Pasal 3 (c) dan Pasal 1 DCA karena de facto dan de jure, kita membuka ruang bagi Singapura untuk mengeksplorasi kedaulatan RI guna “kerja sama bilateral/multilateral dengan (angkatan perang) negara lain”, bukan dengan Indonesia sebagaimana tujuan utama DCA.

Mengingat MTA-1 dan 2 serta Area Bravo adalah chokepoints di Corong Barat Nusantara yang meliputi sebagian Selat Malaka sampai perairan Natuna sehingga amat strategis secara ekonomi dan militer, di sana terkandung kepentingan nasional (kepnas) dengan skala prioritas tinggi.

Dengan DCA, kita memberi “hak kontrol” atas chokepoints di Corong Barat kepada Singapura dan mitranya, yang berarti identik dengan menyerahkan kepnas bahkan kedaulatan. “Kedaulatan Negara” tidak hanya dimaknai secara spasial-fisik, tetapi juga national pride and dignity. Dapat terjadi suatu sindrom “pendudukan psikologis” (psychological occupation) terhadap warga dan prajurit kita yang berpotensi menimbulkan sense of inferiority, saat sebagai “penonton” menyaksikan pasukan asing dengan perlengkapan serba canggih dalam jangka panjang berlatih rutin di wilayah kita.

Kedua, sebenarnya sudah ada payung hukum, yaitu MOU Kerja Sama Pertahanan RI-Singapura yang diimplementasikan dengan annual meeting pimpinan TNI-SAF dan secara operasional dilaksanakan joint training committee (JTC), biasanya dipimpin Asisten Operasi Kepala Staf Umum TNI dan pejabat setingkat dari SAF, serta masih ada level operasional ke bawah.

Jika tidak/belum ada payung hukum, berarti penerbangan AU Singapura di MTA-1 dan 2 selama ini merupakan ilegal dan harus diintersepsi Kohanudnas, seperti pernah dilakukan terhadap pesawat AS di Bawean dan pesawat Australia di NTT. Namun, hal itu tidak pernah dilakukan dan Singapura pun tidak mungkin gegabah melakukan pelanggaran hukum internasional jika tidak memiliki payung hukum.

Geopolitik dan geostrategis

Ketiga, DCA adalah produk politik dengan berbagai muatan kepentingan sehingga tidak bisa ditanggapi dengan pendekatan satu dimensi atau kalkulasi teknis-militer semata. Masalah itu harus ditanggapi dengan sikap politik kenegaraan disertai pertimbangan geopolitik dan geostrategis.

Secara politis dan militer, Singapura berorientasi ke Barat/AS, sementara kita berpolitik luar negeri “bebas aktif”. Karena itu, kita harus membuat batasan tegas dalam kerja sama pertahanan dengan Singapura. Potensi gesekan kepnas kita dengan Singapura cukup besar, terkait dengan soal perbatasan, penyelundupan, pencucian uang, sehingga kita perlu melirik lagi adagium klasik, “Tidak ada teman atau musuh abadi karena yang abadi hanyalah kepentingan”.

Jika berpegang teguh pada prinsip “bebas aktif”, niscaya kita memperhitungkan faktor lain, seperti peran China ke depan yang menjadi pesaing utama AS secara ekonomi dan militer, termasuk kepentingan mengontrol Selat Malaka dan Laut China Selatan karena strategisnya kawasan itu. DCA secara potensial akan menempatkan relasi RI-China pada posisi sulit, padahal kita menghendaki jalinan kemitraan yang luas dan tidak berkiblat pada satu kekuatan tertentu.

Ada catatan penting bagi DCA dan perjanjian kerja sama bilateral apa pun dengan negara lain.

Pertama, kerja sama itu harus bersifat resiprokal dengan prinsip kesetaraan, keseimbangan, dan mutual benefit bagi kedua pihak. Patut dicontoh sikap tegas Malaysia yang tidak mau didikte Singapura sehingga mereka minta harga amat mahal untuk pasir dan air. Apalagi ini ruang udara dan laut untuk latihan militer.

Kedua, kita perlu dan harus terbuka bagi kerja sama dengan negara mana pun untuk aspek apa saja. Namun, yang menjadi faktor dominan dan determinan dalam “ruang pikir” dan “ruang batin” saat bernegosiasi adalah Kepnas RI, yang spektrumnya lebih luas daripada uang. SMS soal DCA seorang sahabat kepada saya, “We must learn how to negotiate with dignity.. Yes, we are poor but this country is not for sale.”

KIKI SYAHNAKRI Letnan Jenderal TNI (Purn), Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD)

 

 

 


Opini            

Rabu, 22 Agustus 2007

Restrukturisasi Kepartaian

Chris Siner Key Timu

Pada awal Orde Baru (1966-1967) dicanangkan gagasan restrukturisasi kepartaian politik. Sistem multipartai yang beroperasi pada zaman demokrasi parlementer (1950-1959) dan demokrasi terpimpin Orde Lama (1959-1965) dinilai tidak menunjang stabilitas politik dan pemerintahan.

Dengan restrukturisasi kepartaian, jumlah partai tidak terlalu banyak, meningkatkan kinerja kepartaian, dan mendorong pemerintah bekerja efektif.

Kelemahan sistem multipartai terletak pada jumlah partai yang banyak, karakternya berbasis ideologis primordial-eksklusif, dan berorientasi mengejar kekuasaan pemerintahan. Kelemahan itu perlu diperbaiki. Jumlah partai tidak banyak. Karakter partainya pun berubah menjadi berbasis ideologis-inklusif dan berorientasi program kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Dinamika kehidupan politik tidak lagi didominasi pertarungan antarpartai politik untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan. Partai terdorong mengarahkan dinamikanya kepada mengagregasi aspirasi rakyat dan memperjuangkannya melalui program kepartaian.

Stabilitas politik

Salah satu gugatan atas sistem parlementer dengan sistem multipartai adalah tidak adanya stabilitas politik dan pemerintahan. Bukti empiris adalah jatuh bangunnya kabinet pada 1950-1959, bahkan ada yang berumur kurang dari satu tahun.

Dalam sistem parlementer dibenarkan penggantian pemerintahan jika DPR menyatakan mosi tidak percaya. Periodisasi penggantian pemerintahan tidak teratur dan tidak menentu. Kabinet tidak memiliki waktu cukup dan konsentrasi memadai untuk menjalankan programnya.

Sistem presidensial dengan presiden sebagai kepala pemerintahan, periodisasi pergantian pemerintahan teratur (lima tahun), kecuali terjadi sesuatu yang luar biasa. Stabilitas pemerintahan terjamin. Gangguan mungkin terjadi karena sistem presidensial tidak dijalankan secara konsisten dan konsekuen. Itu karena kurangnya kepercayaan diri dan kemampuan presiden dalam mengelola pemerintahan. Apalagi jika dalam menyusun kabinet digunakan pola parlementer. Terjadi celah dan peluang untuk diganggu dan dimanfaatkan partai-partai yang berkarakter memburu kekuasaan.

Diperlukan beberapa partai

Dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung, Agustus 1966, dimunculkan gagasan lima partai politik, dengan paradigma yang merujuk latar belakang politik-ideologi, sosial-kultural, dan sejarah kepartaian. Dua partai merepresentasi komunitas politik Islam, satu merepresentasi komunitas politik kebangsaan, satu merepresentasi komunitas politik kristiani, satu merepresentasi komunitas sosialis/kekaryaan. Hampir bersamaan waktunya, dalam Musyawarah Rakyat Jawa Barat muncul gagasan pengelompokan partai dalam dua kelompok (dwigrup), Yang satu kelompok material, berorientasi pokok kepada bidang kehidupan lahiriah masyarakat, tanpa melupakan bidang spiritual dan kultural. Yang lain, kelompok spiritual, dengan orientasi pokok kepada bidang spiritual dan sosial-kultural, tanpa melupakan bidang kehidupan lahiriah.

Dua gagasan itu tidak sempat diwacanakan secara luas. Gagasan itu diproyeksikan untuk berproses secara demokratis, tetapi lalu tersingkir oleh anasir-anasir otoritarian yang antidemokrasi. Lalu dilakukan operasi politik rekayasa dan rekayasa politik. Partai-partai digiring dan dipaksa berfusi. Yang berlatar belakang Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan, lainnya menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Dipertontonkan sandiwara demokrasi di bawah panji “Demokrasi Pancasila” atas nama Orde Baru. Dilaksanakan pemilu akal- akalan, penuh manipulasi guna memenangkan Golkar yang direkayasa sebagai mayoritas (mutlak) tunggal. Struktur itu berakhir pada awal gerakan reformasi karena dinilai anti-demokrasi.

Restrukturisasi kepartaian

Reformasi hanya bicara tentang demokratisasi politik tanpa restrukturisasi kepartaian. Pertumbuhan pesat jumlah partai politik dianggap sebagai keberhasilan demokratisasi. Sebanyak 48 partai politik dalam Pemilu 1999 sebagai reaksi balik atas lima kali pemilu Orde Baru yang hanya menampilkan tiga kontestan. Dengan undang-undang kepartaian yang ketat melalui ketentuan electoral threshold 3 persen, tampil 24 partai politik dalam Pemilu 2004.

Jumlah partai yang sederhana dinilai kompatibel terhadap sistem presidensial. Yang ideal adalah sistem dua partai, dengan dua partai besar yang relatif sama kuat dan bertarung di setiap pemilu, dengan menggunakan sistem pemilu distrik.

Indonesia masih sulit menggunakan sistem ini. Sejarah kehidupan kepartaian yang pluralistik secara ideologis dan sosial-kultural mempersulit pilihan sistem dua partai. Namun, kebutuhan akan restrukturisasi kepartaian adalah bagian integral upaya mematangkan dan mendewakan kehidupan demokrasi serta untuk memastikan bekerjanya sistem presidensial.

Untuk itu, harus ditumbuhkan kemauan politik dari semua komponen komunitas politik Indonesia. Perlu diupayakan struktur kepartaian dengan jumlah yang kompatibel bagi fungsi sistem presidensial. Lebih dari 10 partai rasanya sulit. Kurang dari 10 partai perlu dipertimbangkan. Mungkin lima partai seperti diwacanakan pada Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966, di Bandung, dapat menjadi rujukan, tentu dengan revisi dan modifikasi. Di satu pihak dapat menampung pluriformitas latar belakang komunitas politik Indonesia. Di lain pihak jumlahnya sederhana, untuk mengelola interaksi positif dan konstruktif dalam kehidupan politik nasional. Proses restrukturisasi harus demokratis, ketentuan electoral threshold adalah salah satu cara.

Pola pengelompokan partai (koalisasi) yang memerintah dan yang oposisi hendaknya merujuk paradigma “ideologi inklusif” (terbuka), visi dominan, dan prioritas misi serta latar belakang kesejarahan partai-partai. Termasuk posisi, peran, dan sepak terjangnya di masa Orde Baru.

Rasanya tidak cukup logis, PDI-P dan Golkar dalam kubu (kelompok) yang sama, baik yang memerintah maupun oposisi. Lebih logis jika keduanya ada pada kubu berbeda.

Chris Siner Key Timu Pemerhati Masalah Sosial Politik/Pusat Kajian dan Edukasi Masyarakat (Pakem)

 

 

 


Opini            

Rabu, 08 Agustus 2007

Menunda Pilkada Jakarta?

Partono

Keputusan MK untuk menganulir UU No 32/2004 Pasal 56 dan 59 tentang pencalonan perseorangan dalam pilkada mendapat tanggapan dan sambutan positif.

Masyarakat berharap munculnya calon dari luar partai akan menyehatkan proses demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas. Meski demikian, keputusan MK itu tidak perlu dijadikan alasan untuk mendelegitimasi Pilkada Jakarta.

Fadjroel Rahman (Kompas, 27/7) berpendapat keputusan MK akan membawa potensi konflik dalam beberapa pilkada yang segera digelar, termasuk Pilkada Jakarta. Fadjroel minta agar pelaksanaan pilkada ditunda enam bulan, dengan berbagai alasan, antara lain cacat hukum dan cacat dukungan publik.

Diperlukan UU lain

Keputusan MK itu tidak otomatis dapat diimplementasikan oleh KPU provinsi ataupun kota dan kabupaten yang sedang atau akan menyelenggarakan pilkada. Untuk mengimplementasikan keputusan MK, dibutuhkan satu produk hukum lain yang mengatur pencalonan individu dalam pilkada, apakah itu UU atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Perundang-undangan inilah yang akan mengatur mekanisme dan persyaratan bagi calon perseorangan ikut dalam persaingan pilkada.

Kini bola ada di DPR dan Presiden. Dengan keputusan MK itu, DPR wajib merevisi dan menerbitkan UU baru yang mengatur calon perseorangan dalam pilkada. Masalahnya, calon perseorangan akan mengancam kepentingan partai politik dan politisi. Akibatnya, DPR cenderung “ogah” untuk segera membahas UU calon perseorangan itu.

Selain itu, apakah presiden bersedia mengeluarkan perpu secepatnya? Sepertinya presiden akan mengambil langkah konservatif, menunggu respons dari DPR. Presiden tidak mau membuat masalah lagi dengan DPR dengan mengeluarkan perpu tentang calon perseorangan. Hal ini karena perpu hanya bisa dilakukan presiden jika keadaan mendesak. Jika DPR menganggap keadaan tidak atau belum mendesak, langkah presiden itu akan dipersoalkan oleh DPR.

Sepertinya proses untuk menanti keluarnya perundang-undangan tentang calon independent dalam pilkada tidak secepat yang dibayangkan, selesai 1-2 bulan ke depan. Ini tergantung dari bagaimana publik menekan DPR maupun presiden untuk segera mengeluarkan kebijakan mengenai calon perseorangan itu.

Soal cacat hukum dan dukungan publik

Penyelenggaraan Pilkada Jakarta tidak akan cacat hukum selama keputusan MK belum memiliki perundang-undangan yang mengaturnya. Tidak cacat hukum karena UU No 32/2004 sebagai landasan penyelenggaraan Pilkada Jakarta masih berlaku. Selain itu, penyelenggaraan pilkada sudah dimulai sebelum keputusan MK dikeluarkan.

Masalah cacat hukum akan mengemuka seandainya perundang-undangan yang akan dikeluarkan DPR atau presiden itu berlaku surut. Jika ini terjadi, bisa dipastikan akan terjadi konflik dan kerusuhan besar di seluruh kabupaten dan provinsi yang telah menggelar pilkada, sebuah ongkos politik yang amat mahal dan tidak perlu dikeluarkan.

Bagaimana dengan dukungan publik terhadap penyelenggaraan Pilkada Jakarta?

Belum bisa dipastikan berapa persen warga Jakarta yang akan memilih calon yang sudah ada. Juga belum diketahui, berapa persen warga yang tidak menggunakan hak pilihnya karena tidak ada calon perseorangan. Semua akan terbukti saat pemilihan hari Rabu, 8 Agustus 2007, ini.

Penelitian Cetro di enam provinsi—90 kabupaten dan kota yang telah mengelar pilkada— menjelaskan angka golput tertinggi (45 persen) di Medan dan angka terendah (6,4 persen) di Kabupaten Tapanuli Selatan. Rata-rata golput adalah 27,2 persen. Diperkirakan angka golput di Jakarta tidak akan jauh dari angka rata-rata itu, 25 hingga 30 persen. Angka itu masih bersifat wajar, tidak mengganggu legitimasi kepala daerah terpilih.

Alasan tidak memberikan hak suara tidak bisa dipastikan karena tidak adanya calon perseorangan yang ikut persaingan. Banyak faktor yang memengaruhi mengapa pemilih tidak memberikan suaranya, antara lain karena mobilitas penduduk, tuntutan ekonomi sehingga warga enggan meninggalkan pekerjaan untuk memilih, kepemilikan kartu pemilih ganda, dan faktor geografis pemilih.

Tidak bijak seandainya penyelenggaraan Pilkada Jakarta dihentikan dan ditunda, hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite-elite individu yang menginginkan ikut bersaing memperebutkan jabatan gubernur dan wakil gubernur di Jakarta. Akan lebih baik jika kita menyilakan KPU Jakarta meneruskan tahapan-tahapan pilkada yang telah berjalan. Akan lebih bijaksana jika elite-elite perseorangan yang ingin ikut bersaing dalam pilkada Jakarta bersabar lima tahun mendatang.

Dilanjutkan

Ada beberapa alasan untuk melanjutkan penyelenggaraan Pilkada Jakarta. Pertama, masalah biaya. Pemerintah provinsi, partai politik, dan calon kepala daerah sudah mengeluarkan biaya amat besar untuk membiayai keikutsertaan dalan acara ini. Jika proses pilkada dihentikan dan dimulai dari awal lagi, banyak biaya terbuang percuma.

Kedua, masalah yang terkait calon kepala daerah dan partai politik. KPU provinsi tidak bisa sepihak menghentikan proses pilkada tanpa ada persetujuan dari calon dan partai politik pendukungnya. Dapat dipastikan calon kepala daerah dan parpol akan memilih untuk melanjutkan tahapan yang hampir selesai ini.

Ketiga, masalah kejenuhan publik Jakarta terhadap berbagai kegiatan politik, baik nasional maupun lokal. Disadari atau tidak penyelenggaraan pilkada telah memengaruhi atau bahkan mengganggu kenyamanan warga Jakarta dalam beraktivitas.

Kalau sepakat demokrasi harus berdasarkan aturan main yang ada, kita harus bersabar lima tahun lagi untuk memiliki calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta dari jalur perseorangan.

Partono Peneliti Cetro; Alumnus Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda

 

 

 


Opini            

Kamis, 16 Agustus 2007

Terlunta di Negeri Merdeka

Baskara T Wardaya

Ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang mereka maksud adalah kemerdekaan bagi seluruh rakyat di bekas wilayah Hindia Belanda.

Bagi mereka, kemerdekaan itu bukan hanya untuk kelompok ekonomi tertentu, kelompok etnis tertentu, atau kelompok agama tertentu. Kemerdekaan adalah kemerdekaan untuk semua.

Itu sebabnya penjajah bermaksud menguasai kembali negeri ini dan dilawan kedua proklamator serta para pejuang. Hal ini dimaksudkan, sekali lagi, kemerdekaan untuk semua. Dengan prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi, yang berarti ’tidak rela tanahnya dikuasai kembali oleh penjajah meski hanya sejengkal’, para pejuang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan tanah tumpah darah. Banyak pejuang mati di tangan musuh asing. Namun, bagi mereka, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tertindas di bawah penjajah. “Merdeka atau mati!”, itu tekad mereka.

Berjuang sendirian

Betapa ironisnya 62 tahun kemudian, saat kita menengok ke belakang dan merenungkan kembali perjalanan negeri ini, sejak kemerdekaan diproklamasikan. Tampak begitu banyak warga “negeri merdeka” yang ternyata tetap tertindas dan terlunta-lunta di tanah tumpah darahnya sendiri. Banyak dari mereka tak mampu memiliki cukup tanah untuk tinggal atau menghidupi diri. Berbagai upaya untuk bisa mendapatkan tanah yang layak selalu mengalami hambatan karena harus berhadapan dengan kepentingan mereka yang lebih kuat dan lebih berkuasa.

Kita masih ingat, pada tahun 1960-an ada upaya untuk membagi tanah secara adil berdasarkan undang-undang resmi pemerintah (Undang-Undang Pokok Agraria). Upaya itu justru menimbulkan ketegangan sosial dan menjadi salah satu pemicu bagi pembantaian massal terhadap rakyat kecil. Sistem kepemilikan tanah yang lebih adil pun gagal dilaksanakan. Tak cukup dengan tragedi pembunuhan sesama warga, kasus-kasus tanah terus merebak sejak naiknya rezim otoritarian yang merebut panggung kepemimpinan setelah berlangsungnya tragedi itu.

Terjadilah, misalnya, kasus penggusuran paksa tanpa ganti rugi yang pantas demi pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta (1971), misalnya. Juga sengketa tanah di Gunung Balak, Lampung (1972), kasus tanah Siria-ria, Sumatera Utara (1977), dan penggusuran demi pembangunan Taman Borobudur, Jawa Tengah (1982). Begitu pula kasus tanah Kedung Ombo (Jawa Tengah), penggusuran untuk pembuatan lapangan golf di Cimacan (Jawa Barat), kasus tanah Kemayoran, serta kasus tanah Talangsari (Lampung)—yang semuanya berlangsung tahun 1989. Pada tahun 1996 terjadi kasus tanah Balongan (Jawa Barat) dan Nipah (Madura). Belum lagi kasus lumpur Lapindo (2006) di Jawa Timur yang melahap tanah tempat tinggal dan gantungan hidup banyak warga masyarakat. Ini belum terhitung ratusan kasus penggusuran di kota-kota besar, dengan warga diusir dari tempat tinggalnya tanpa alternatif memadai.

Terakhir, Mei 2007. Kita dibuat sedih oleh kasus Alas Tlogo, Jawa Timur, saat sejumlah warga harus mati saat hendak mempertahankan tanah tempat mereka hidup. Di Alas Tlogo itu rakyat gugur bukan karena mempertahankan tanah dari serangan musuh asing, tetapi oleh oknum aparat. Sungguh menyedihkan.

Semua kasus itu dan berbagai kasus lain yang ada boleh saja berbeda tempat dan waktu terjadinya. Namun, biasanya berujung pada klimaks yang sama: atas nama kepentingan tertentu rakyat harus minggir dan meninggalkan tanah tempat mereka hidup. Mereka digusur secara tidak adil dari tempat tinggal di Tanah Air mereka sendiri, yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh pahlawan pendahulu mereka.

Sementara itu, ribuan warga masyarakat yang terpinggirkan akhirnya harus hidup terlunta-lunta secara ekonomis dan terpaksa mencari nafkah di negeri-negeri lain sebagai buruh kasar atau pembantu rumah tangga. Keterlunta-luntaan tersebut sering membuat mereka harus berjuang sendiri melawan kekejaman para majikan.

Kasus tewasnya Siti Tarwiyah dari Ngawi dan Susmiyati dari Pati serta teraniayanya dua rekan lain di tangan anak majikan mereka di Arab Saudi, Agustus 2007 ini, hanyalah contoh terakhir tragedi anak bangsa dari negeri yang resminya sudah merdeka ini.

Penjajahan baru

Menjadi tampak, pada satu sisi kemerdekaan yang diproklamasikan tahun 1945 telah membuat kita bebas dari penjajahan asing. Namun, di sisi lain belum seluruh rakyat Indonesia berkesempatan menikmati kemerdekaan itu. Banyak orang di negeri ini masih hidup di bawah tekanan dan ketertindasan. Apa yang diperjuangkan para pahlawan kemerdekaan belum sepenuhnya menjadi kenyataan.

Itu sebabnya acara mengheningkan cipta pada setiap upacara bendera, termasuk upacara peringatan Proklamasi, bukan hanya merupakan saat penting untuk mengenang jasa pahlawan, tetapi juga menjadi kesempatan istimewa guna menundukkan kepala bagi mereka yang meski telah diperjuangkan oleh para pahlawan, tetapi masih terlunta-lunta di negeri merdeka milik sendiri. Mereka ini berhak mendapat perhatian dan pembelaan dari siapa saja. Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan untuk semua.

Jelaslah, bagi rakyat Indonesia merdeka dari penjajah asing itu penting. Namun, tak kalah penting adalah merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan baru, entah itu datang dari bangsa asing, entah itu datang dari bangsa sendiri. Merdeka!

Baskara T Wardaya Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

 

 

 


Opini            

Jumat, 24 Agustus 2007

Pendidikan Tinggi dan Pasar

Donny Gahral Adian

Akhir-akhir ini, RUU Badan Hukum Pendidikan atau BHP disorot tajam dari berbagai kalangan. Sebagian besar menolak RUU itu dengan alasan yang hampir seragam. RUU BHP identik dengan liberalisasi pendidikan yang berujung pada penyingkiran mereka yang miskin.

Sementara tanggung jawab negara terhadap pendidikan adalah harga mati. UUD 1945 telah mengamanahkan itu dengan jelas. Pengesahan RUU itu berarti arus balik terhadap semangat negara kesejahteraan yang tertuang dalam UUD 1945.

Transformasi

Yang dipergunjingkan dari RUU BHP adalah Pasal 3 Ayat 4. Pasal 3 Ayat 4 menyebutkan, salah satu prinsip pengelolaan perguruan tinggi BHP adalah partisipasi atas tanggung jawab negara. Artinya, perguruan tinggi, khususnya negeri, harus mampu menarik dana masyarakat karena subsidi negara dikurangi. Tidak tahu mengapa, para kritikus sepertinya yakin, satu-satunya jalan yang akan diambil perguruan tinggi adalah menaikkan biaya operasional pendidikan.

Perguruan tinggi negeri yang hidup sekian lama di bawah naungan negara memang bermasalah dengan rencana disahkannya RUU BHP. Mengapa? Budaya birokrasi selama ini adalah budaya pengelolaan, bukan peningkatan anggaran. Birokrasi yang manja seperti dipaksa mulai belajar menggosok punggung sendiri. Maka, kecurigaan para kritikus terhadap birokrasi cukup beralasan. Alih-alih melakukan diversifikasi sumber pendanaan, birokrasi perguruan tinggi sekadar menaikkan biaya operasional pendidikan untuk menggenjot pendapatan.

Padahal, pelan namun pasti, birokrasi perguruan tinggi mulai bertransformasi. Birokrasi perguruan tinggi mulai menerapkan prinsip enterpreuneurial university. Salah satunya adalah mengelola aset, baik tangible maupun intangible, untuk menarik dana masyarakat. Tanah, bangunan, dan SDM semuanya adalah aset yang bila dikelola dengan baik dan terpadu akan produktif.

Good governance pun menjadi prinsip pokok tata kelola perguruan tinggi. Prinsip penjaminan mutu, layanan prima, akuntabilitas, dan transparansi menjadi jiwa organisasi untuk menjaring kepercayaan dari para pemangku kepentingan.

Bagaimana dengan opsi untuk kaum miskin? Kaum miskin tetap berhak mengenyam pendidikan tinggi. Hanya saja, kompetensi tetap menjadi patokan. Anak dari keluarga miskin yang berbakat, jika perlu, diberi akses tanpa tes dan dibiayai. Mekanisme subsidi silang menjadi jalan keluar bagi soal semacam ini. Seleksi perguruan tinggi BHP tidak dialaskan pada tingkat ekonomi, tetapi kompetensi dan potensi untuk pengembangan keilmuan.

Pasar

Siapakah sebenarnya pasar pendidikan tinggi kita? Hemat saya, pasar bukan semata mahasiswa. Pasar adalah para pemangku kepentingan pendidikan tinggi, yakni negara, masyarakat sipil, dan industri. Perguruan tinggi di era BHP harus mampu menempa diri sebaik mungkin untuk melayani pemangku kepentingan. Tata kelola organisasi yang terumuskan dengan baik dalam RUU BHP harus menjadi acuan. Tanpa itu semua, perguruan tinggi akan terjebak untuk melakukan apa yang dituduhkan para kritikus, yakni menaikkan biaya operasional pendidikan.

Pasar juga jangan diartikan semata sebagai industri yang menuntut kompetensi teknis dari lulusan perguruan tinggi. Kesalahpahaman yang cukup fatal telah lama mengendap dalam relasi perguruan tinggi dan industri. Selama ini perguruan tinggi dituntut untuk menatah mahasiswa untuk siap pakai di dunia kerja. Padahal kompetensi teknis yang dituntut adalah soal empat atau lima bulan lokakarya saja.

Perguruan tinggi hanya mengerti satu bahasa epistemik: pengembangan keilmuan. Pengembangan keilmuan ditempuh melalui penguatan pengajaran, riset, dan pengabdian masyarakat. Ketiga hal itu harus dikembangkan sehingga output perguruan tinggi bukan melulu tenaga teknis, tetapi pengetahuan yang berbobot. Perguruan tinggi adalah knowledge enterprise yang harus memikirkan bagamana pengetahuan didapat, dikelola, dan diabdikan kepada pemangku kepentingan.

Riset-riset murni di bidang fisika teori, indigenous studies, biologi molekuler, dan lainnya harus dikembangkan. Selain itu, perlu dikembangkan riset terapan yang bisa menyelesaikan aneka persoalan, dari penyakit tropis sampai kemiskinan. Di sini tanggung jawab negara berperan besar. Presiden SBY di acara gelar ilmu dan inovasi Universitas Indonesia, misalnya, menjanjikan anggaran riset akan ditingkatkan mendekati 1 persen PDB (Kompas, 7/8).

Pasal 3 Ayat 4 RUU BHP harus bisa dibaca lebih arif. Negara bukan satu-satunya aktor kesejahteraan. Kini, tiga serangkai: negara, masyarakat sipil, dan industri, adalah aktor sentral dalam soal kualitas hidup warga. Kolaborasi ketiganya menghasilkan kekuatan sosial luar biasa. Pendeknya, tanggung jawab harus dibagi. Hanya dengan cara ini pendidikan tinggi di negeri ini mampu menghasilkan pikiran terbaiknya bagi bangsa dan keadaban.

Donny Gahral Adian Ketua Jurusan Filsafat Universitas Indonesia

 

 

 


Opini            

Jumat, 10 Agustus 2007

Isra Mi’raj dan Pemberantasan Korupsi

Muhammadun AS

Peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad merupakan tonggak lahirnya peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh.

Perintah shalat adalah peradaban Nabi akan menegakkan keadilan sesuai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Spirit lahirnya keadilan berbasis ketuhanan dan kemanusiaan menjadi tonggak keteladanan yang harus diserap dalam kesadaran umat Islam. Itulah yang oleh Sheikh Muhammad al-Ghazali dalam Fiqh al-Sirah dikatakan, Isra Mi’raj menjadi tonggak lahirnya Islam sebagai agama fitrah. Semua ajaran ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan fondasi yang wajib dilaksanakan untuk menemukan sari pati dan esensi agama.

Spirit pemberantasan korupsi

Dalam konteks kehidupan kebangsaan, fitrah Islam dalam Isra Mi’raj dapat dijadikan spirit pemberantasan korupsi. Dalam arti, Isra Mi’raj melecutkan umat Islam membuka lembaran penegakan keadilan.

Pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan ternyata masih sebatas wacana, tidak membumi. Terbukti, berbagai kasus korupsi masih mendera bangsa ini. Kejaksaan sendiri juga tidak mempunyai political will dalam menjaring para koruptor. Para jaksa hanya seperti “ustadz di kampung maling”. Pernyataan “ustadz di kampung maling” bukan keseleo ngomong. Pernyataan itu merupakan buah kesadaran. Meminjam bahasa Jurgen Habermas, ia bukan sekadar tuturan (speech), tetapi bagian dari bahasa (language). Bahkan menurut Aloys Budi Purnomo (2005) pernyataan itu bukan sekadar komunikasi, tetapi juga melibatkan aspek moralitas yang di dalamnya tercakup unsur budaya dan perasaan yang mewarnai isi komunikasi yang disampaikan.

Dalam konteks ini, spirit Isra Mi’raj menghadirkan teologi amar ma’ruf nahi munkar yang amat efektif sebagai legitimasi jihad menegakkan keadilan. Dengan demikian, perang suci melawan korupsi adalah satu-satunya perang paling legitimate untuk dikumandangkan bangsa ini, selain perang melawan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, seperti kemiskinan, kejahatan, ketidakadilan, kebodohan, dan perusakan lingkungan.

Perang melawan korupsi bisa dikatakan—meminjam istilah Peter Kreeft (1996)—ecumenical jihad, jihad suci yang tidak hanya dilakukan umat Islam, tetapi juga umat beragama lain.

Sementara doktrin agama yang menjelaskan ’isy kariman au mut syahidan, hiduplah dengan mulia atau mati dengan syahid, harus dimaknai bahwa perang melawan korupsi adalah perbuatan mulia dan mati yang disebabkan olehnya adalah mati syahid.

“Kemungkaran” sosial

Karena korupsi sebagai kemunkaran sosial, tanggung jawab memberantas korupsi adalah tanggung jawab bersama. Untuk itu, perspektif teologis tidaklah cukup. Perlu exemplary action dan tanggung jawab global (global responsibility) dalam melawan segala kebusukan yang menyengsarakan masyarakat.

Korupsi telah terstruktur dalam unjust institutions and structures. Kita semua, apa pun agama dan golongannya, dituntut membongkar struktur itu demi tegaknya commitment to a culture of solidarity and a just economic order. Tanggung jawab global ini adalah bagaimana kaum agamawan melakukan aksi bersama pembebasan lintas agama sebagai rezim baru nonstruktural yang menyuarakan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang mampu mendorong terciptanya clear and good governance.

Spirit Isra Mi’raj menemukan momentum untuk menggugah bangsa Indonesia dalam menggugat hegemoni korupsi yang mendera. Para agamawan, khususnya, harus berani menentang kebijakan nonpopulis dan kebijakan antikemanusiaan. Agamawan akan menjadi poros utama perubahan bangsa, terlebih para agamawan akan mendapatkan dukungan dari basis massanya yang riil. Inilah yang oleh sosiolog Peter L Berger (1999:9) dijelaskan, kesadaran hidup religiusitas yang telah sekian lama menjadi basis kehidupan berbangsa dan bernegara akan mampu menjungkirbalikkan paradigma sesat bahwa korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas dari peraturan politik. Pernyataan Berger itu membangkitkan spirit Isra Mi’raj dalam membangun global responsibility pemberantasan korupsi.

Muhammadun AS Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta

 

 

 


Opini            

Senin, 13 Agustus 2007

Gejolak Finansial

A Prasetyantoko

Sejak krisis hebat, terutama sejak 10 tahun terakhir, kehidupan kita lebih banyak ditentukan dinamika sektor finansial ketimbang sektor riil.

Hegemoni sektor finansial kian merasuk ekonomi kita. Fluktuasi ekonomi tak lagi ditentukan oleh kegiatan produksi riil, tetapi oleh gejolak sektor finansial. Rasanya, ekonomi telah bermetamorfosis menjadi entitas semu, akibat proses “finansiarisasi”.

Hari-hari ini kita disibukkan oleh melorotnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang menembus level terendah dalam setahun ini.

Keguncangan pasar finansial (saham, obligasi, dan valuta asing) dalam negeri merupakan dampak krisis di bursa saham AS yang disebabkan krisis kredit perumahan dengan kualitas rendah (subprime mortgage).

Penyebab

Sudah banyak analisis teknikal menjelaskan mengapa pasar finansial kita rontok, sekaligus prediksi ke depan. Namun, kita masih miskin analisis yang mendasar, misalnya, mengapa terjadi finansiarisasi ekonomi.

Tulisan Martin PH Panggabean dan Ade Prima RB (Kompas, 31/7/2007 ) menjelaskan dengan baik betapa produk saham dan valuta asing yang diperdagangkan di bursa kita dihargai terlalu mahal (overvalued). Maka, logis jika terjadi penyesuaian. Kali ini, penyesuaian dipicu perilaku investor di bursa saham AS.

Ada dua hal menarik dari analisis itu. Pertama, jurang kian lebar antara “nilai fundamental” dan “nilai pasar”. Kedua, gejolak pasar selalu dipicu dua enigma, sentimen pasar (psikologis) dan faktor likuiditas (modal).

Tentang mengapa pasar di negara berkembang lebih menarik, sudah menjadi masalah klasik. Robert E Lucas, pemenang Nobel Ekonomi 1995, mengajukan tesis “paradoks kapital”: kapital beranak pinak di negara berkembang, tetapi akan segera mengalir kembali ke negara maju.

Di negara berkembang upah buruh lebih murah sehingga keuntungan membiakkan modal lebih besar. Namun, karena kepastian hukum rendah, modal akan segera kembali ke negara maju, begitu menghasilkan keuntungan. Dalam sistem hegemoni finansial, perpindahan modal makin cepat terjadi sehingga volatilitas gejolak makin tinggi.

Lalu, kapan sektor finansial menjadi dominan? Hingga sebelum krisis finansial di AS tahun 1929, ekonomi global sudah mengarah ke ekonomi liberal. Namun, krisis 1929 (malaise) telah mengubah pendulum ekonomi menuju “kompromi Keynesian”. Artinya, pada masa itu dalil yang diakui paling ampuh memecahkan masalah ekonomi adalah menggunakan berbagai intervensi negara.

Titik balik kembali terjadi saat negara-negara mengalami krisis, dipicu krisis minyak pada 1970-1980-an. Saat itu ekonomi bergerak ke arah ekonomi “neo-liberal”. Di era inilah pasar finansial berkembang, eksistensinya mendominasi dinamika ekonomi seperti sekarang.

Tentang dominasi sistem finansial dalam ekonomi dunia, sudah banyak kekhawatiran muncul. Jika hampir semua ekonom sepaham soal liberalisasi perdagangan, isu liberalisasi finansial sebagai bagian hegemoni finansial global terus menjadi perdebatan sengit hingga kini.

Paul O’Neill, treasury secretary AS di bawah Bush senior, menilai para spekulan di bursa saham justru akan merugikan dinamika ekonomi. Joseph Stiglitz dikenal sikapnya yang kritis terhadap liberalisasi finansial di negara berkembang.

Bahkan Jagdish Bhagwati, pembela globalisasi, tampak ragu memberi legitimasi pada liberalisasi finansial. Begitu pula George Soros, yang jelas mendapat keuntungan dari sistem finansial liberal.

Intervensi

Sering dikatakan, berbagai krisis dan gejolak telah mengundang negara untuk merumuskan kembali intervensinya pada dinamika ekonomi. Intervensi seperti apa yang dibutuhkan untuk mengendalikan gejolak finansial global dewasa ini? Lagi-lagi, analisis teknikal sudah banyak disajikan. Katakan saja, guna mengurangi risiko pelarian modal ke luar negeri, Bank Indonesia diharapkan tetap mempertahankan suku bunga 8,25 persen.

Selebihnya, apa yang bisa dilakukan? Tampaknya, kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena hanya korban dari konstelasi hegemoni finansial global. Mungkin benar, sebagai bangsa, hegemoni finansial global merupakan realita, bukan pilihan. Apalagi bagi penganut paham yang menganggap mekanisme pasar sebagai satu-satunya cara terbaik memecahkan segala macam masalah.

Meski demikian, sebenarnya, kita bisa “menghidupkan” berbagai bentuk intervensi, bukan dalam pengertian memberi kesempatan bagi pemburu rente, tetapi sebagai bagian dari cara membangun sistem agar disiplin pasar bisa ditegakkan.

Dalam konteks gejolak finansial global ini, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, menerapkan prinsip intervensi sebagai instrumen ex ante (sebelum kejadian), bukan ex post (setelah). Mengenai bentuk konkretnya, kita masih butuh diskusi lebih mendalam. Kedua, menguatkan kerja sama regional untuk bersama-sama “melawan” tekanan global.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

 

 

 


Opini            

Kamis, 09 Agustus 2007

Pilkada Jakarta, Ungkapan Protes?

Imam B Prasodjo

Tak ada yang mengejutkan! Tak perlu analisis canggih untuk menebak pasangan Fauzi Bowo-Prijanto unggul dibandingkan Adang Daradjatun-Dani Anwar dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini.

Telah diperkirakan, terlalu sulit bagi Adang-Dani untuk bersaing dengan Fauzi-Prijanto yang dibantu sedikitnya 20 partai politik, didongkrak puluhan tokoh dan selebriti nasional yang ikut berkampanye di berbagai media, diduga dibiayai dana jauh lebih besar, serta tentu secara informal diuntungkan oleh mesin birokrasi pemerintah daerah karena jabatan Fauzi Bowo sebelumnya adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Alhasil, ibarat menonton pertandingan, kita disuguhi permainan yang sama sekali tidak menegangkan. Maka saat kemenangan diumumkan, sorak “hore” rakyat niscaya tak terdengar gegap gempita. Kampung dan jalan tak menggeliat. Biasa saja!

Dengan demikian, kemenangan Fauzi-Prijanto harus dimaknai tersendiri. Bagaimana membaca detak mainstream jantung rakyat dalam situasi semacam ini?

Hasil Pilkada DKI tampak menjadi ajang penegasan bahwa kekuatan elite politik tidak bisa begitu saja diremehkan. Buktinya, “keroyokan partai politik” itu berhasil menang. Namun, pada saat yang sama, koalisi partai untuk mendukung calon tertentu, betapapun terlihat solid, ternyata tidak seperkasa yang dibayangkan. Apabila kita mengacu pada hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang sering dijadikan iklan oleh Denny JA untuk mendukung Fauzi-Prijanto, Fauzi-Prijanto memang secara konsisten unggul.

Bahkan survei terakhir pada awal Agustus 2007 menunjukkan lebih dari separuh responden (50,7 persen) memilih Fauzi-Prijanto, sementara Adang-Dani hanya mendapat seperempatnya (26,8 persen).

Pertanyaannya, akan ke manakah calon pemilih yang belum memutuskan pilihannya (undecided voters), yang dalam survei besarnya mencapai 22,5 persen? Atau apakah yang golput (12 persen) tidak akan berubah untuk memilih salah satu dari kedua pasangan itu?

Titik terang

Hasil hitung cepat (quick count) Lembaga Survei Indonesia pimpinan Saiful Mujani, yang disiarkan MetroTV, memberi sedikit titik terang. Hingga pukul 20.00 WIB, sebagaimana diduga, pasangan Fauzi-Prijanto terlihat unggul dengan 56,12 persen suara, sementara Adang-Dani mendapat 43,88 persen.

Berapa yang tidak sah dan golput atau yang tidak dapat melakukan hak pilihnya karena tidak terdaftar dan lain-lain belum diketahui.

Cuma dari indikasi awal ini rupanya Adang-Dani secara cukup signifikan mendapat simpati pemilih sehingga mendapat tambahan suara hingga 17 persen, sementara Fauzi-Prijanto cuma bertambah sekitar 5 persen.

Mengapa Adang-Dani mendapat tambahan signifikan? Namun, mengapa juga tambahan itu tidak cukup besar untuk memenangi pilkada ini?

Protes “voters”?

Apabila jumlah undecided voters maupun golput sebelum pemilihan ditengarai cukup besar, dengan adanya peningkatan suara signifikan bagi Adang-Dani dapat menunjukkan beberapa kemungkinan bahwa merekalah yang banyak menambah suara bagi pasangan Adang-Dani. Mengapa? Ada beberapa kemungkinan melihat keadaan ini.

Pertama, undecided voters/golput pada detik-detik terakhir akhirnya memutuskan menghukum elite politik maupun partai-partai politik yang “mengeroyok” Adang-Dani. Walaupun Adang-Dani tidak serta-merta menjadi figur yang diinginkan, undecided voters akhirnya memilih mereka karena ingin menunjukkan kekesalannya terhadap partai-partai politik. Dukungan terhadap Adang-Dani mungkin berasal dari protest voters yang selama ini telah tidak percaya terhadap tingkah laku elite-elite partai yang dipersepsikan oportunistik, yang hanya ramai-ramai mendukung sekadar untuk menaruh “saham” bagi kandidat yang diperkirakan akan menang. Inikah strategi partai untuk mempersiapkan Pemilu 2009?

Kedua, kampanye Fauzi-Prijanto yang begitu dominan memperlihatkan dukungan para tokoh nasional dan selebriti hingga pejabat puncak negara menimbulkan rasa “iba” tersendiri. Karena itu, bisa jadi undecided voters maupun yang semula berniat golput akhirnya ingin mendonasikan suaranya kepada kandidat yang diperkirakan jelas-jelas akan kalah karena rasa belas kasihan.

Ketiga, selama masa kampanye, Adang-Dani bisa jadi diuntungkan sikap Fauzi-Prijanto sendiri yang dianggap kurang dialogis. Di sejumlah acara debat kandidat yang banyak diselenggarakan masyarakat, Fauzi-Prijanto jelas-jelas menolak untuk hadir. Bahkan untuk acara Debat Cagub yang diselenggarakan oleh masyarakat Menteng yang sebetulnya banyak diorganisasi oleh pendukungnya akhirnya dibatalkan karena Fauzi-Prijanto menolak hadir. Ada kesan, Fauzi-Prijanto terlalu percaya diri, terlalu hati-hati, atau malah terlalu sombong, atau mungkin takut menghadapi perdebatan atau dialog terbuka yang mengontraskan pikiran antara kedua pasangan. Sebuah sikap yang aneh mengingat Fauzi Bowo memiliki latar belakang pendidikan yang baik.

Keempat, mesin kampanye Fauzi Bowo mendapat keuntungan dengan memanfaatkan kedudukan Fauzi sebagai wakil gubernur. Mesin politiknya jelas-jelas telah bekerja sejak dini dengan begitu rapinya, yang antara lain dengan menggunakan pelang kampanye antinarkoba yang memunculkan wajah berkumisnya di mana-mana. Setidaknya, dengan cara ini wajah Fauzi menjadi lebih dikenal di tiap pelosok perkampungan Jakarta. Namun, kampanye-kampanye terselubung seperti ini dengan dosis agak berlebihan tersebut bisa jadi menimbulkan reaksi balik dan mengesankan penghamburan uang besar-besaran di tengah warga Jakarta yang banyak menderita. Saya pernah mendengar seorang sopir taksi pun berseloroh, “Wah dapat duit dari mana ya dia?” Pendeknya, besarnya peningkatan suara yang diterima Adang-Dani sangat mungkin lebih diakibatkan karena ekspresi protest voters yang ditumpahkan melalui pelampiasan dukungan terhadap Adang-Dani.

Kelima, Adang-Dani mendapat keuntungan dari protest voters/golput yang tidak tertampung suaranya akibat berhasilnya elite-elite partai menahan munculnya calon perseorangan. Apabila ada calon perseorangan, jelas konstelasi politik menjadi lain.

Namun, apa pun itu harus diakui juga bahwa mesin politik PKS, yang dikenal solidt, bisa jadi bekerja cukup baik sehingga memiliki pengaruh terhadap peningkatan suara bagi Adang-Dani, selain faktor-faktor yang disebutkan di atas.

Tak cukup kuat

Betapapun Adang-Dani sebenarnya diuntungkan oleh besarnya protest voters karena berbagai alasan tadi, tetapi daya tarik Adang-Dani tidak cukup kuat untuk mengubah konstelasi politik yang menggiringnya kepada kemenangan.

Mungkin soal menjadi lain bila PKS mengusung figur yang jauh lebih dikenal rakyat dengan rekam jejak yang meyakinkan. Lagi pula, betapapun kuat jaringan PKS, khususnya untuk menggaet pemilih di kalangan Islam dan kaum muda, PKS tampak belum berhasil sepenuhnya menyelesaikan masalah-masalah fundamental yang terkait dengan beberapa isu sensitif dan kontroversial, seperti kesan atau persepsi PKS sebagai pendukung perda syariat ataupun pendukung poligami.

Sekali lagi, ini hanya kesan yang tercipta, yang mungkin sangat merugikan Adang-Dani. Sebaliknya, slogan “Jakarta untuk Semua” yang dikumandangkan Fauzi-Prijanto tepat mengenai sasaran dan seolah-olah menunjukkan jati diri politik yang kontras dengan Adang-Dani.

Apa pun hasilnya, kelihatannya Pilkada DKI Jakarta telah mengukuhkan pasangan Fauzi-Prijanto sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Kini tinggal kita menatap ke depan, mendukung semua program yang baik, sambil tetap bersikap kritis demi terjadinya perbaikan kehidupan rakyat.

Imam B Prasodjo Sosiolog dari Universitas Indonesia

 

 

 


Opini            

Kamis, 09 Agustus 2007

Hasil Pilkada Minimalis

Effendi Gazali

Hasil hitung cepat (quick count) Pilkada DKI Jakarta yang bisa dipantau hingga pukul 18.00 WIB dari sejumlah lembaga survei menunjukkan kemenangan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto sekitar 56,12 hingga 59 persen atas Adang Daradjatun-Dani Anwar (41 hingga 43,8 persen).

Apa pun hasil akhir resmi nantinya, Pilkada DKI Jakarta tampaknya didesain banyak pihak untuk menuju sebuah pilkada minimalis. Kemampuan mendesain, mempertahankan, dan mengantisipasi berbagai implikasi bawaan pilkada minimalis itulah yang membawa Fauzi menjadi orang nomor satu di Ibu Kota.

Unsur-unsur pilkada minimalis itu pertama terlihat dari jumlah pasangan kandidat. Dua puluh partai, meski sempat diwarnai tarik ulur pada beberapa bulan terakhir, akhirnya sepakat mengusung nama Fauzi Bowo. Diyakini, Fauzi dan tim suksesnya amat percaya, mempertahankan jumlah peserta pilkada yang minimalis adalah syarat kemenangan mereka. Jika pasangan ketiga muncul, bisa dibayangkan akibatnya atas kubu Fauzi. Rentang jarak 13-15 persen adalah angka rawan bagi pasangan mana pun.

Unsur Fauzi Bowo

Unsur Fauzi Bowo sendiri adalah elemen minimalis kedua. Buktinya, ikatan partai-partai dengan Fauzi begitu kuat sehingga pertentangan soal siapa yang akan mendampingi Fauzi sebagai calon wakil gubernur tidak mampu membubarkan koalisi ini sampai saat pendaftaran ke KPUD. Padahal partai-partai politik itu, terutama yang perolehan kursinya cukup untuk mengajukan kandidat seorang diri, bisa saja muncul dengan banyak nama lain di Jakarta yang penuh pesohor politik, aktivis, artis, akademisi, dan sebagainya.

Ikatan unsur minimalis pertama dan kedua itu berjalan bersama waktu dan saling memperkuat. Mungkin ada yang mengatakan, secara alamiah semua hitungan dari berbagai sisi akan mengantar Fauzi. Padahal, betapa pun alamiahnya suatu kondisi awal, ia membutuhkan aktor-aktor komunikasi politik yang melakukan lobi-lobi ke berbagai partai politik dan penyusunan opini publik. Pesan utamanya: jika tidak mengusung Fauzi Bowo, calon mana pun—apalagi jika lebih dari dua pasangan—akan kalah menghadapi Adang-Dani dengan PKS yang solid.

Dari sini bisa dimengerti kerasnya perlawanan aktor-aktor politik di sekitar kubu Fauzi (Koalisi Pelangi) atas isu penundaan pilkada, apalagi tentang diizinkannya calon perseorangan sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007.

Saking kuatnya fokus pada Fauzi, nama Prijanto terkesan sebagai pelengkap. Deklarasi pasangan Fauzi-Prijanto pun baru dilakukan 1 Juni 2007. Padahal sebuah lembaga survei telah mengiklankan hasil tracking survey yang sudah dimulai sejak Mei dengan menempatkan Prijanto. Dan Fauzi-Prijanto tetap unggul atas pasangan Adang-Dani. Jelas, jika tidak ada kesalahan pencantuman bulan pelaksanaan tracking survey itu, nama Prijanto pasti dimasukkan dalam konteks simulasi. Artinya, ketika pasangan itu belum dideklarasikan atau tidak banyak warga Jakarta mendengar nama Prijanto, Fauzi tetap unggul. Sekali lagi terbukti, Fauzi adalah fokus dalam pilkada minimalis kali ini. Hal itu adalah karya komunikator politik yang luar biasa baik mengingat berbagai survei sebaliknya menunjukkan bahwa sebagian besar warga Jakarta tidak puas dengan kinerja pemerintah daerah, dengan Fauzi merupakan bagian di dalamnya.

Hutang minimalis

Unsur minimalis ketiga dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini adalah pesan-pesan kampanye yang amat umum, tidak dirinci dalam kerangka waktu dan angka pencapaian tertentu, serta hampir tidak membandingkan antara Fauzi-Prijanto dan Adang-Dani. Beberapa spanduk, poster, stiker, juga iklan di media mulai terlihat “menyerang” lawan. Namun, ia tetap tinggal amat minimal dan dangkal atau hanya “menyerang” permukaan. Yang dipermasalahkan adalah kampanye Fauzi, “Jakarta untuk semua” (berarti jika Adang menang, Jakarta jadi tidak untuk semua?) atau “Serahkan Jakarta di tangan ahlinya” (bermakna: Adang-Dani bukan seorang ahli, sementara banjir selama ini tetap terjadi meski Jakarta sudah ditangani ahlinya?).

Di sisi lain, Adang-Dani mengedepankan, “Ayo benahi Jakarta” (berarti: selama ini Fauzi tidak ikut membenahi?) dan relawan-relawan terkait kubu ini mengangkat isu “Capek banjir”, “Capek macet”, “Capek lain-lainnya”, tanpa betul-betul mengedepankan program-program nyata. Yang agak lantang terdengar dari Adang-Dani adalah kesehatan, pendidikan gratis sampai SMA, dan paradigma baru dalam birokrasi pemerintahan, hal-hal ini pun masih generalis dan minimalis.

Harus dicatat, pesan “Perubahan kini kian dekat” yang disampaikan lewat iklan televisi yang cukup menyentuh mungkin menambah perolehan Adang-Dani, meski pencapaian ini tetap minimalis karena lebih menggerakkan sisi emosional mereka yang terkena pesan (kemungkinan sampai level afektif).

Harapan untuk mendapat debat publik yang selama ini dikenal sebagai wahana pembandingan posisi kebijakan antarkandidat ternyata tidak tercapai. Yang terjadi cuma tanya jawab dengan panelis, dengan hanya satu kali kesempatan bertanya antarkandidat. Semuanya tanpa kesempatan rebuttal (sanggahan setelah jawaban diberikan pihak lain).

Hasil minimalis

Di ujung analisis awal hasil Pilkada DKI ini, saya ingin menekankan, pilkada minimalis terbukti menghasilkan sesuatu yang minimalis pula. Menurut hitung cepat Puskapol UI hingga pukul 18.00 WIB, tingkat partisipasi warga 63,3 persen atau 36,7 persen warga tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan. Masih dengan data Puskapol UI, 57,44 persen suara Fauzi berarti 36,36 persen dari suara pemilih terdaftar. Artinya angka ini relatif sama dengan jumlah yang tak menggunakan hak pilih (atau golput dan alasan lain). Angka sekitar 36,36 persen atau berapa pun hasil akhir nanti tetap merupakan suara rakyat dan hasil terbaik pilkada ini, tetapi bisa juga dilihat sebagai legitimasi yang kecil dari seluruh pemilih terdaftar.

Meski demikian, pilkada minimalis ini juga mempunyai kabar baik. Dengan perolehan sekitar 36,36 persen dari jumlah pemilih terdaftar, berarti kerja mesin 20 partai politik tidak efektif! Maka, Fauzi Bowo sebetulnya cuma punya utang minimalis kepada partai-partai politik itu. Apalagi, entah alamiah atau karena pencitraan, fokus ada pada Fauzi (dan kumisnya, yang dijadikan simbol magis untuk gampang diingat saat pemilih ada di bilik suara).

Soal Adang, dengan kepopulerannya yang meningkat melebihi kuota perolehan PKS 2004, senyumnya yang seperti tak ada beban, mungkin perlu dibahas tersendiri. Kemampuannya meraih suara mengambang secara signifikan, kalau saja digosok dengan direct-selling yang menawarkan kepastian manfaat untuk memilihnya di tengah lahan suara lawan, mungkin akan membuat hasil pilkada minimalis ini menjadi lebih minimalis lagi.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik FISIP UI

 

 

Opini                                                                                                                                            

Rabu, 08 Agustus 2007

Jakarta Memilih

Ivan A Hadar

Hari Rabu, 8 Agustus 2007, ini warga Jakarta memilih gubernur dan wakil gubernur baru. Siapa pun yang terpilih, beberapa persoalan utama berikut ini patut dicarikan jalan keluarnya.

Beberapa persoalan itu, antara lain, daya tarik Jakarta, terutama bagi masyarakat pencari kerja dari daerah pedesaan. Akibatnya, terjadi lonjakan drastis penduduk, yang kini berjumlah sekitar 12 juta jiwa. Setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 orang ke Jakarta.

Daya tarik Jakarta dan sekitarnya terkait tingginya peredaran uang di kawasan ini. Betapa tidak. Lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia ditanam di Jakarta (Mcbeth 2001:56). Pada saat yang sama 45 persen investasi dalam negeri juga ditempatkan di Jabodetabek. Jakarta atraktif bagi investor karena merupakan pusat administratif, politik, ekonomi, dan kebudayaan negeri berpenduduk nomor empat terbesar di dunia.

Degradasi lingkungan

Namun, pertumbuhan pesat ekonomi Jakarta dan sekitarnya mempunyai banyak sisi gelap. Salah satunya proses degradasi lingkungan yang terkait beberapa masalah pelik yang perlu segera dicarikan solusi.

Persoalan pelik pertama adalah transportasi. Hal ini antara lain terkait arus kendaraan bolak-balik Bodetabek-Jakarta. Setiap pagi sedikitnya 800.000 penghuni Bodetabek menuju Jakarta dan kembali pada sore atau malam hari. Sebaliknya, sekitar 200.000 orang Jakarta bekerja di Bodetabek. Arus bolak-balik ini mempertajam frekuensi mobilitas dalam kota, terutama saat pergi dan pulang kerja dengan dampak kemacetan yang parah.

Parahnya lalu lintas Jakarta membawa persoalan serius bagi perekonomian secara keseluruhan. Tiadanya jaringan transportasi publik yang baik bisa dianggap penyebab utama parahnya situasi lalu lintas Jabotabek. Akibatnya, kendaraan pribadi menjadi alternatif, termasuk tingginya jumlah kendaraan roda dua, yang kian menyemut di Jakarta. Ditaksir, pertambahan kendaraan bermotor sejak tahun 1990 rata-rata 10-15 persen per tahun. Persentase kendaraan umum dari tahun ke tahun terus menurun, dari 57 persen (1985) menjadi 51 persen (1995), 42 persen (2001), dan 38 persen (2003) dengan dampak semakin macetnya arus di Jakarta.

Masalah air bersih

Persoalan pelik lainnya adalah air bersih. Jaringan pipa air sebenarnya sudah dimiliki Jakarta sejak zaman Belanda meski hanya direncanakan bagi 500 juta penduduk. Kini hanya 10 persen penduduk Jakarta yang mempunyai akses air dari perusahaan air minum (United Nations 2004). Sisanya memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air.

Tak heran jika permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun. Akibatnya, terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta. Menurut Bank Dunia, penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai angka tiga kali lipat batas toleransi. Sementara itu, pada saat sama, gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau yang memperkecil kawasan resapan air.

Pertanyaan tentang keberadaan dan kualitas air di Jakarta dan sekitarnya sudah menjadi perhatian utama berbagai penelitian sejak puluhan tahun. Hasil penelitian dari berbagai organisasi nasional maupun internasional menyebutkan, kualitas dan cadangan air di Jakarta sama sekali tidak menggembirakan.

Hanya seperempat rumah di Jakarta yang menggunakan septic tank. Sementara itu, kanal air kotor telah lama berfungsi sebagai tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK). Selain itu, dari hari ke hari sampah rumah tangga dan limbah kimia ratusan pabrik mengalir ke Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, dan Sungai Cipinang.

Sampah dan pencemaran udara

Masalah lain adalah sampah dan pencemaran udara. Sampah Jakarta yang terangkut hanya sekitar 18 persen dari 7.000-an ton sampah per hari. Sebanyak 40 persen lainnya dibuang bukan di tempat pembuangan resmi. Sisanya (30 persen) dibuang ke sungai. Kini batas daya tampung tempat pembuangan akhir sampah di Bekasi dan Cibinong sudah terlewati.

Pencemaran udara dan air di Jakarta adalah akibat penanganan yang tidak tuntas, cenderung parsial, dan kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini pertimbangan ekonomi mengalahkan pertimbangan ekologi. Untuk memenangi persaingan dengan negara upah rendah, seperti Vietnam dan India, selama puluhan tahun pemerintah menawarkan kemudahan produksi barang tak ramah lingkungan (sunset industries) di Jabodetabek.

Oleh karena itu, berbagai upaya dan skenario nasional perbaikan lingkungan Jakarta, seperti konsentrasi teknologi “bersih” (hi-tech industry) di Jakarta, pembaruan Environment Act 1982, Spatial Use Management Act 1992 yang mengorbankan jalur hijau (2001), dan pembentukan badan pengendalian dampak lingkungan (bapedal), bisa dilihat sebagai upaya kosmetik semata.

Apa pun yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi kerusakan lingkungan terkesan separuh hati. Ketika Program Kali Bersih dan Program Laut Lestari digencarkan, tanpa banyak diketahui publik, misalnya, Pemprov DKI Jakarta membuat rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) 2000-2001 yang membenarkan “penghilangan” dan “pengurangan” jalur hijau kota. Lagi-lagi terjadi kecenderungan ekonomi mengalahkan ekologi. Semoga gubernur dan wakil gubernur baru mampu menghentikan kecenderungan itu. Jika ini terus terjadi, dalam waktu dekat dicemaskan akan menjadi bumerang bagi Jakarta dan sekitarnya.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

 

 

 


Opini            

Jumat, 10 Agustus 2007

Visi Satu Asia Tenggara

Ikrar Nusa Bhakti

Seandainya Adam Malik, salah satu pendiri ASEAN, masih hidup, ia pasti terharu dan bangga melihat asosiasi yang didirikan 40 tahun lalu di Bangkok bersama empat menteri luar negeri—Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina—itu masih berdiri kokoh.

Visi “Satu Asia Tenggara” memang belum terwujud pada 8 Agustus 1967. Kini pun, setelah ASEAN beranggotakan 10 negara dan mewakili lebih dari 580 juta jiwa, ASEAN juga belum merupakan “satu komunitas keamanan yang menyatu” (amalgamated security community) seperti Uni Eropa , tetapi masih merupakan suatu “komunitas keamanan yang plural” (pluralistic security community). Alasannya, karena ASEAN bukan organisasi supra nasional, tetapi masih menjaga kedaulatan masing-masing negara-bangsa.

Pada pertemuan ke-40 Menlu ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) di Manila akhir Juli lalu, Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo berharap jika ASEAN tetap kokoh selama 40 tahun, anak cucu kita akan merasakannya 40 tahun ke depan. Arroyo berharap agar ASEAN mewujudkan komitmen yang dibuat pada ASEAN Summit Ke-12 di Cebu, Filipina, pada 13 Januari 2007, yakni menciptakan One Caring and Sharing Community pada 2015. Komunitas ASEAN akan diwarnai pencapaian kerja sama, solidaritas, bersama melawan kemiskinan, dan menikmati rasa aman, termasuk keamanan insani (human security).

Komunitas yang longgar

Meski konsep security communities sudah dilontarkan Karl Deutsch 50 tahun lalu (1957), tampaknya pengamat hubungan internasional masih kurang nyaman untuk menggunakan konsep komunitas dalam memahami politik internasional. Mereka masih terbiasa untuk mendekatinya dari sudut pandang artifisial realis versus idealis, neorealis, neoliberal institutionalism atau meminjam Hedley Bull dalam The Anarchical Society, konsep Hobbessian tradition (tradisi realis), Grotian tradition (pendekatan legal), dan Kantian tradition (pendekatan terhadap society yang lebih humanis).

Dengan kata lain, Deutschian tradition dapat dikatakan masih jarang digunakan guna memahami politik internasional atau sistem internasional. Tengok perdebatan pada setiap seminar yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri RI mengenai ASEAN Security Community, East Asia Community, atau ASEAN Charter.

Teman saya, Rizal Sukma dari CSIS, secara berapi-api pasti membangkitkan peserta dengan pertanyaan, apakah ASEAN sudah menjadi security community?

Konsep komunitas dipinjam ilmu hubungan internasional dari sosiologi. Gagasannya, para aktor dalam suatu komunitas dapat berbagi nilai, norma, dan simbol yang bisa menumbuhkan identitas sosial dan terlibat berbagai interaksi yang merefleksikan kepentingan jangka panjang, resiprositas yang tersebar, dan kepercayaan, serta menanggalkan ketakutan dan ketidakpercayaan dalam hati mereka.

Dalam pandangan Karl Deutsch, pluralistic security community ada saat negara-negara terintegrasi pada satu titik, saat mereka memiliki sense of community, yang pada gilirannya ada jaminan bahwa mereka akan menyelesaikan perbedaan dengan cara di luar perang. Dengan demikian, yang tercipta bukan hanya suatu “tatanan yang stabil”, tetapi pada kenyataannya, suatu “perdamaian yang stabil”.

Apabila dikawinkan dengan konsep Benedict Anderson, imagined community, yang mengacu bangsa atau nasion, dapat tercipta imagined security community pada tingkat regional dan internasional. Oleh karena itu, warga salah satu negara anggota ASEAN, juga warga negara ASEAN. Di sinilah konsep We feeling akan tercipta.

Salah seorang analis keamanan internasional yang sering membahas ASEAN sebagai security community adalah Amitav Acharya. Namun, Acharya juga masih sering mendekati keamanan di Asia Tenggara dari sudut pandang kaum realis. Apalagi pemikir senior ASEAN yang aktif dalam diplomasi Track-2 hampir semuanya kaum realis yang masih melihat betapa pentingnya payung keamanan AS untuk menjaga keamanan di Asia Tenggara.

Padahal, seperti kata Prof Dr Juwono Sudarsono, Asia Tenggara adalah medan pertarungan kekuatan yang tanggung pada era Perang Dingin. AS tidak memandang sebelah mata pada Asia Tenggara dibandingkan dengan kepentingannya di mandala Eropa atau Timur Tengah. Tak heran jika pendekatan komunitas keamanan menjadi penting bagi ASEAN.

ASEAN dalam 40 tahun usianya selalu berupaya untuk tidak diintervensi dari luar dalam bidang keamanan, berpegang teguh pada prinsip saling menghormati terhadap kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial masing-masing negara, dan selalu berupaya menyelesaikan perselisihan bilateral secara damai atau tanpa perang. Ini adalah nilai hakiki dari suatu komunitas keamanan seperti terkandung dalam Bali Concord I atau TAC 1976.

Berbagai demokrasi liberal

Negara-negara ASEAN hingga kini tidak pernah berbagi nilai-nilai demokrasi liberal sebagai prasyarat terbentuknya security community karena ia juga butuh civil society yang kuat. Di ASEAN kini hanya ada dua negara penganut demokrasi liberal, yaitu Indonesia dan Filipina. Tak heran jika ASEAN People’s Assembly (APA) hanya bisa diadakan di dua negara itu. Pertemuan APA Ke-6 di usia ASEAN ke-40 juga akan diselenggarakan di Manila, 23-26 Oktober 2007. Selebihnya, ada yang di bawah rezim militer semidemokratik (Thailand), junta militer (Myanmar), rezim komunis dengan sosialisme pasar (Vietnam, Laos, Kamboja), monarki absolut (Brunei Darussalam), atau rezim developmentalis sedikit represif (Malaysia dan Singapura). Namun, ada kemajuan, Myanmar berjanji akan bertahap menerapkan demokrasi, ASEAN akan melindungi dan memperjuangkan nasib para buruh migran, dan pembentukan badan HAM ASEAN juga sudah masuk dalam draf pertama ASEAN Charter. Paling tidak, langkah menuju “Berorientasi kepada Rakyat” sudah tampak.

Apakah ASEAN akan menuju integrasi ekonomi? Jalan masih panjang. Perdagangan antarnegara ASEAN juga masih belum beranjak dari angka 20 persen dari nilai perdagangan internasional tiap negara anggota. Namun, coba lihat bagaimana “Arus bebas barang dan orang” di perbatasan antarnegara ASEAN, kecuali di perbatasan Malaysia-Thailand. Cobalah masuk ke segitiga emas Thailand-Myanmar-Laos atau Indonesia-Singapura, tidak ada militer di situ. Namun, justru di perbatasan RI-PNG, RI-Malaysia, RI-Malaysia-Filipina, Malaysia-Thailand tampak militer berjaga-jaga. Di situ pula mengandung titik-titik rawan penyelundupan narkotika, kayu, orang, dan barang.

Visi “Satu Asia Tenggara” memang bukan impian semusim. Ia harus terus diimplementasikan dan disosialisasikan. Dirgahayu ASEAN.

Ikrar Nusa Bhakti Anggota Tim Peneliti ASEAN di Pusat Penelitian Politik-LIPI; Kini Menjadi Research Fellow di Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University, Jepang


Opini

Rabu, 08 Agustus 2007

Mendengarkan Kota

Pengantar Redaksi

Pada 24-25 Juli, Institute Ecosoc bekerja sama dengan harian “Kompas”, Lingkar Muda Indonesia, dan UNDP Partnership menyelenggarakan lokakarya nasional bertajuk “Merumuskan Kota Sebagai Ruang Publik: Menggali Perspektif bagi Demokrasi, Keberwargaan dan Kontrak Sosial Baru dalam Pengembangan Kota”. Lokakarya dihadiri wakil pemangku kepentingan dari 10 kota di Indonesia, menghadirkan dua pembicara dari Bangkok, Prof Pthomrek Ketudhat (Universitas Thammasat) dan Somsook Boonyabancha (wakil pemerintah kota Bangkok). Pembicara lain adalah planolog Dr Suryono Herlambang, arsitek Dewi Susanti, dan sosiolog Dr Imam B Prasodjo. Berikut laporan hasil lokakarya.

***

Sri Palupi

Kampanye kandidat gubernur Jakarta baru saja usai. Beragam spanduk berisi janji-janji sudah diturunkan. Di balik janji-janji itu kita masih bisa membaca, tidak ada yang berubah dari cara elite politik melihat kota dan perannya di hadapan warga. Semua solusi atas masalah kota (Jakarta) seolah ada di tangan pemerintah kota.

Tidak aneh jika dalam kampanye yang lalu, peran serta warga tak pernah diagendakan. Sebab dalam pengembangan kota selama ini, peran warga tak pernah jadi isu. Benarkah? Marilah kita bertanya kepada warga Jakarta.

Warga vs pemerintah

Studi yang dilakukan Institute Ecosoc sepanjang tahun 2006-2007 menunjukkan ada kesenjangan sudut pandang antara warga dan pemerintah kota, terutama dalam menilai persoalan kota terkait peran warga, hak kaum miskin, dan sektor informal. Dalam hal peran serta warga, misalnya, pemerintah kota menilai Jakarta tak punya masalah dengan peran serta warga.

Pemerintah kota merasa sudah menjalankan semua prosedur peran serta warga yang telah diatur undang-undang. Bahkan, pemerintah juga merasa telah mengembangkan teknologi informasi yang bisa diakses warga. Kalaupun terjadi masalah dengan peran serta warga, demikian pihak pemerintah kota dalam sebuah diskusi bersama warga, masalah itu ada pada dewan kelurahan yang berperan sebagai wakil warga. Dewan kelurahan dinilai masih belum berperan efektif. Lemahnya peran dewan kelurahan inilah yang dituding pemerintah kota sebagai biang kemacetan peran serta warga.

Warga sendiri melihat duduk soal peran serta ini secara berbeda. Ini terungkap dari hasil jajak pendapat terhadap 505 warga Jakarta dari berbagai kelompok dan strata sosial pada Mei-Juni 2007, yang menemukan, Jakarta menghadapi masalah serius menyangkut peran serta warganya. Terbukti, 75 persen warga mengaku tidak tahu tentang informasi terkait peran serta warga, 53 persen warga menilai pemerintah hanya melibatkan kelompok tertentu (konsultan) dalam pengambilan keputusan menyangkut kota, 26 persen warga mengaku prosedur peran serta warga tidak sepenuhnya dijalankan, 19 persen warga melihat keterbatasan kapasitas masyarakat untuk dapat berperan serta, dan 9 persen melihat warga sendiri apatis terhadap perannya atas kota.

Warga merasa kesulitan dan tak punya akses untuk bisa berperan serta dalam mengurus kota, terlebih bila dihadapkan kepada masalah konflik ruang. Warga mengaku tidak tahu saluran resmi untuk mengadukan dan menyelesaikan masalah konflik ruang. Selama ini konflik selalu diselesaikan lewat jalur pengadilan yang berlangsung lama, mahal, dan sulit diakses warga, khususnya yang miskin.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang peran serta warga—yang direvisi menjadi UU No 26/2007—hanya mengatur peran serta warga dalam pembangunan dan perencanaan tata ruang. UU ini tak bicara tentang mekanisme warga dalam mengontrol dan menyelesaikan konflik ruang.

Yang memprihatinkan adalah pengakuan 79 persen warga yang tidak tahu-menahu tentang rencana tata ruang wilayah dan tata ruang kecamatan. Bisa dimengerti jika berbagai penyimpangan terhadap pelaksanaan rencana tata ruang di Jakarta selama ini tidak banyak mendapat perhatian dan perlawanan dari warga. Ini terjadi bukan hanya karena warganya buta terhadap masalah tata ruang di Jakarta, melainkan 65 persen dari mereka mengaku tidak tahu bahwa memiliki hak untuk turut mengontrol pelaksanaan tata ruang di Jakarta. Bahkan, dari sedikit warga yang tahu tentang haknya itu pun tidak dapat menggunakannya karena tidak tahu prosedurnya.

Data semacam itu kian mengisyaratkan bahwa Jakarta telah menjadi kota tanpa warga. Meski dihuni sekitar sembilan juta jiwa, kota ini kehilangan perhatian terhadap warganya. Karena itu, jumlah yang banyak ini juga kehilangan maknanya bagi kota. Urusan kota bukan lagi urusan warga, tetapi cenderung hanya menjadi urusan pemerintah kota dan para konsultannya. Tidak aneh jika asosiasi warga di tingkat RT juga tidak jalan sebab hanya 25 persen warga yang mengaku RT/RW-nya rutin mengadakan pertemuan warga.

Informalitas dan kemiskinan kota

Kesenjangan sudut pandang antara pemerintah kota dan warganya bukan hanya terjadi dalam hal peran serta warga. Dalam melihat persoalan informalitas dan menyelesaikan kemiskinan kota, warga punya pendapat sendiri. Jika selama ini pemerintah kota cenderung memerangi informalitas dan memosisikan kelompok miskin sebagai beban kota, tidak demikian dengan warga. Mayoritas warga (96 persen) berpendapat Jakarta bukan hanya milik kelompok kaya yang beraktivitas di sektor formal. Mereka yang miskin dan yang bekerja di sektor informal macam pedagang kaki lima (PKL) dan pasar tradisional pun punya hak atas kota.

Di mata warga, kelompok miskin dan pekerja di sektor informal juga punya andil atas berkembangnya kota. Selain menyediakan pekerja murah dan barang-barang murah, kaum miskin kota dan sektor informal kota macam PKL juga dilihat 90 persen warga telah mampu menjawab masalah pengangguran.

Tidak seperti yang dibayangkan pemerintah kota, warga ternyata cukup terbuka terhadap berbagai alternatif solusi bagi permukiman miskin kota. Di saat pemerintah kota mengandalkan satu jawaban saja untuk masalah permukiman miskin dalam wujud rumah susun, warga sendiri justru melihat, rumah susun bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi permukiman miskin. Masih ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah, di antaranya dengan membangun perumahan murah di luar skema rumah susun (54 persen), menjalankan program perbaikan kampung dengan melibatkan warga miskin penghuninya (43 persen), menjalankan program transmigrasi (25 persen), memanfaatkan lahan tidur (15 persen), atau menerapkan sistem land sharing pada lahan negara dan lahan milik privat (11 persen). Hanya 0,4 persen warga yang setuju dengan pilihan menggusur permukiman-permukiman miskin yang dinilai pemerintah sebagai liar. Artinya, penggusuran yang selama ini dilakukan pemerintah kota terhadap banyak permukiman miskin, PKL, dan pasar tradisional sebenarnya tidak punya basis legitimasi.

Solusi partisipatif

Dengan membaca persepsi dan praktik yang dijalankan pemerintah menyangkut peran warga dalam mengurus kota, kita kian mendapat gambaran betapa praktik peran serta warga masih pada level prosedural. Peran serta yang genuine dan substansial belum terjadi. Bila pola seperti ini yang terus dijalankan gubernur terpilih, beban pemerintah dalam membangun kota akan kian berat karena kota akan semakin ditinggalkan warganya. Warga tak merasa memiliki kota. Karena itu, mereka tak punya kepentingan untuk membelanya. Padahal sumber daya dan kapasitas pemerintah dalam membenahi kota kian terbatas, sementara masalah kota semakin kompleks.

Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah kota untuk membangun Jakarta ke depan? Kalau kita masih mengakui ide kota sebagai ruang membangun peradaban, sementara jantung peradaban yang sesungguhnya adalah warga, solusi atas persoalan kota seharusnya bisa ditemukan pada warganya.

Hasil survei terhadap pendapat warga dalam mengatasi masalah peran warga atas kota menunjukkan adanya beragam solusi partisipatif, di antaranya (1) 64 persen warga berharap pemerintah membuka ruang dialog dengan warga, (2) 51 persen warga menilai pentingnya program pendidikan warga tentang kota, (3) 41 persen warga berharap pemerintah menerapkan sepenuhnya prosedur peran serta warga secara lebih efektif, (4) 38 persen warga melihat urgensi membangun asosiasi atau forum warga, dan (5) 37 persen warga menghendaki mekanisme/kelembagaan untuk menyelesaikan konflik ruang.

Kini kecerdasan masyarakat kian meningkat dan tuntutan akan peran warga dalam pengambilan keputusan menyangkut urusan publik kian tak terhindarkan. Tuntutan akan transparansi juga kian tinggi, terlebih dengan krisis demokrasi representatif sekarang ini yang kian menunjukkan betapa jauh jarak keputusan elite politik dengan kehendak warga yang diwakilinya.

Sudah saatnya pemerintah Jakarta meninggalkan cara-cara lama dan mulai mendengarkan kotanya. Mendengarkan kota berarti mendengarkan warganya, bukan hanya para konsultannya.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

 

 

 


Opini            

Senin, 13 Agustus 2007

“No!”, Kata Petani kepada PM Abe

Shigeru Takatori

Pemilu Majelis Tinggi Jepang menghancurleburkan cita-cita PM Shinzo Abe untuk membangun “Negeri Indah” dengan merevisi konstitusi paksaan negara-negara Sekutu agar menjadi lebih nasionalis.

Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa kehilangan 29 kursi menjadi 83, sementara Partai Demokrat menambah 28 kursi menjadi 109 dan hampir menguasai mayoritas Majelis Tinggi yang beranggotakan 242. Kini Partai Demokrat lebih agresif mendesak agar Kabinet Abe melaksanakan pemilu Majelis Rendah lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan pada September 2008. Partai Demokrat bertekad memenangi pemilu itu dan merebut tampuk kekuasaan yang telah dinikmati LDP selama 62 tahun. Dalam kurun waktu itu satu kali LDP kehilangan kekuasaan pada tahun 1993.

Petani tinggalkan LDP

Kekalahan LDP disebabkan berbagai faktor, misalnya kecerobohan dalam menangani data pensiun yang mengakibatkan sejumlah besar orang dikhawatirkan tidak bisa menerima pensiun yang menjadi haknya.

Namun, faktor yang tidak kalah penting adalah sikap kaum petani yang mengalihkan dukungannya dari LDP ke Partai Demokrat. Ini bisa dilihat dari hasil pemungutan suara di daerah pemilihan tunggal.

Pemilu Majelis Tinggi Jepang diadakan setiap tiga tahun untuk memilih separuh dari seluruh anggota yang berjumlah 142. Di antara ketujuh puluh satu kursi yang diperebutkan itu, sebanyak 29 di antaranya dialokasikan untuk daerah-daerah pemilihan tunggal dengan hanya satu orang yang akan terpilih.

Kebanyakan daerah pemilihan ini merupakan provinsi dengan industri utama pertanian, yang jumlah penduduknya terus menurun.

Partai Demokrat menang di daerah pemilihan tunggal itu dengan memperoleh 23 kursi, sementara LDP hanya enam kursi. Ini merupakan kebalikan dari situasi enam tahun silam saat LDP menguasai 25 kursi dan Partai Demokrat hanya dua kursi.

Jika memerhatikan pemilu tiga tahun lalu, perbandingan LDP dan Partai Demokrat ialah 14:13. Dari angka-angka itu bisa dilihat peralihan dukungan dari LDP ke Partai Demokrat di daerah pemilihan tunggal itu.

Daerah-daerah pemilihan ganda, dengan lebih dari dua orang akan terpilih, meliputi kota-kota besar Tokyo, Osaka, dan Nagoya. Di daerah-daerah pemilihan ganda ini, hasil yang diraih LDP tidak begitu mengecewakan, yaitu 20 (LDP) dan 23 (Partai Demokrat). Ini menambah bukti, kekalahan LDP dalam pemilu Majelis Tinggi kali ini disebabkan memberontaknya petani yang dulu merupakan pendukung setia LDP.

Partai Demokrat dan petani

Telah lama Partai Demokrat mengincar dukungan petani Jepang yang berjumlah sembilan juta. Untuk itu, Partai Demokrat mengumumkan sebuah program untuk menutupi kerugian petani apabila harga penjualan hasil pertanian mereka jatuh di bawah biaya produksi. Partai Demokrat berjanji akan mengalokasikan anggaran satu miliar yen (Rp 80 miliar) untuk program itu.

Sebaliknya, program LDP pada dasarnya membantu petani yang memiliki lahan luas. LDP bermaksud mendukung pertanian skala besar yang dapat bersaing di pasar dunia. LDP mengkritik program Partai Demokrat sebagai praktik melawan arus globalisasi pertanian. Sikap LDP ini membuat petani merasa disisihkan.

LDP, Koizumi, dan Abe

Perdana menteri sebelumnya, Junichiro Koizumi, besar jasanya dalam mengangkat ekonomi Jepang dari resesi berkepanjangan sejak awal 1990-an. Kebijakan ekonomi Koizumi mengikuti pasar bebas dengan memberikan insentif kepada pengusaha, tetapi mengabaikan hak-hak pekerja.

Lima tahun di bawah kepemimpinan Koizumi, akhirnya ekonomi Jepang mulai menampakkan pertumbuhan yang mantap. Namun, saat bersamaan, timbul jurang perbedaan kaya-miskin serta antara kota dan daerah. Kebijakan ini dilanjutkan Kabinet Abe untuk lebih memperkuat perekonomian Jepang dalam menghadapi globalisasi ekonomi yang kian meluas.

Setelah kekalahan Majelis Tinggi dalam pemilu baru-baru ini pun PM Abe tampaknya masih bermaksud tetap menjalankan kebijakan itu. Namun, dari dalam LDP sendiri terdengar suara-suara yang mendesak perubahan.

Kata No! dari para petani jelas akan memberi dampak berkepanjangan dalam politik Jepang.

Shigeru Takatori Mantan Kepala Produksi Radio NHK, Jepang; S-2 Melbourne University untuk Bidang Media Massa Indonesia

 

 

 


Opini            

Jumat, 24 Agustus 2007

Berpeluh di Tengah Paradoks

Doni Koesoema A

Guru yang berpeluh di bawah terik matahari berunjuk rasa di jalanan menyampaikan aspirasinya bisa dibaca sebagai sebuah usaha untuk survive di tengah paradoks profesi yang diembannya.

Paradoks adalah sebuah istilah untuk menggambarkan, dalam sebuah momen terdapat serentak dua hal yang seolah bertentangan dan bertolak belakang. Sebagaimana demo guru, misalnya, demo mereka bisa dikatakan tindakan paradoksal yang melahirkan cerca maupun puji.

Fenomena kontemporer

Guru berdemo adalah fenomena kontemporer dalam dunia pendidikan kita. Masalahnya bisa amat politis seperti kasus demo guru di Kampar, amat ekonomis seperti saat mereka menuntut kenaikan gaji, amat konstruktif seperti ketika menuntut kredibilitas pemerintah agar setia pada tuntutan konstitusi tentang anggaran pendidikan, amat edukatif saat mereka menuntut dihapuskannya ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa, dan amat integratif saat mereka menuntut dilaksanakannya sertifikasi sebagai syarat uji kompetensi. Meski demikian, demo guru tetap menyisakan paradoks.

Ketika guru berdemo, banyak orangtua memprotes dan menuntut agar para guru “kembali ke sekolah”, tidak lagi “turun ke jalan” sebab orangtua merasa dirugikan dengan perilaku guru yang mangkir dari tugasnya mendidik murid.

Namun, serentak tuntutan dibarengi kenyataan, orangtua membiarkan anak-anak mereka dikuasai televisi atau play station saat mereka pulang dari sekolah. Apa yang orangtua serukan tidak mereka terapkan sendiri saat di rumah.

Ketika pemerintah gencar melancarkan program otonomi pendidikan, entah melalui Manajemen Berbasis Sekolah maupun pemberian otonomi sekolah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), serentak pula disadari pentingnya standardisasi, entah berupa supervisi manajemen sekolah oleh lembaga publik maupun sistem penilaian yang berstandar nasional berupa ujian nasional.

Ketika setiap sekolah berlomba meningkatkan kualitasnya untuk menjadi sekolah bertaraf internasional yang membawa jargon global, serentak pula disadari pentingnya perawatan dan pengembangan tradisi lokal. Maka muncul jargon baru, “berpikir global, bertindak lokal”.

Saat para guru dituntut untuk lebih menghargai perbedaan, mengembangkan proses pembelajaran yang menekankan multikecerdasaan, melalui KTSP yang memberikan otonomi bagi guru, pada saat bersamaan negara menuntut adanya standar nasional yang terukur untuk menentukan kualitas pendidikan secara nasional, melalui tata cara penilaian yang amat sempit berupa ujian nasional.

Kiranya bukan hanya guru yang terempas di tengah paradoks kehidupan. Dunia pendidikan rupanya selalu ada dalam dua tarikan ini. Justru karena posisi strategisnya bagi perubahan dalam masyarakat inilah dunia pendidikan harus selalu menghidupi diri di antara dua paradoks ini. Sebab, pada hakikatnya, hidup menyisakan semacam ambigu, dan ambigu senantiasa menjadi pembuka jalan bagi kelahiran ide cemerlang dan genius yang terlahir dari rahim kreativitas.

Jika demikian masalahnya, untuk memetakan fenomena dunia pendidikan kita, menjembatani antara yang global dan lokal, sentralisasi dan desentralisasi, otonomi dan standardisasi, perbedaan dan integrasi membutuhkan keluasan pandang, kelapangan hati, dan kesediaan untuk terus berubah.

Tepat apa yang dikatakan Andy Hargreaves (1997), pembaruan dalam pendidikan akan tepat sasaran saat arah pembaruan membidik situasi nyata profesi guru yang sebenarnya menerima mandat yang sifatnya kontradiktoris. Karena itu, yang dibutuhkan guru adalah “fleksibilitas dan kebijaksanaan (discretion) dan tingkat keterampilan lebih tinggi agar dapat menjawab kebutuhan siswa yang hidup dalam dunia kompleks dan penuh paradoks”.

Pembaruan dari guru

Lari dari paradoks bukanlah jalan yang tepat bagi pembaruan pendidikan. Demikian juga jatuh dalam satu sisi ekstrem bukan jalan keluar yang bijak. Mungkin para guru perlu menyadari paradoks hidup itu senantiasa hadir dalam hidupnya, sebab mereka terpanggil untuk menghayati sebuah profesi yang mandatnya sering bersifat kontradiktoris.

Di tengah paradoks dunia pendidikan seperti ini, pembaruan radikal dalam dunia pendidikan hanya bisa diharapkan terjadi justru dari kalangan guru.

Pertama, guru dan sekolah harus tahu ke mana mereka akan melangkah. Tujuan menjadi agenda vital bagi setiap pendidik. Tentu saja, dalam konteks pendidikan, tujuan yang dipaksakan dari luar tidak akan efektif di lapangan. Arah di mana mereka akan melangkahkan kakinya harus berasal dari dimensi interioritas guru. Tanpa motivasi internal ini, pembaruan pendidikan hanya akan superfisial serta mudah ditinggalkan.

Kedua, di tengah dunia yang berubah cepat, dibutuhkan kesediaan dari para guru untuk terus mengevaluasi visi dan misinya. Mungkin tidak akan ada satu konsensus tentang hasil akhir, tetapi paling tidak para guru bisa saling berbagi pengalaman sebagai pribadi yang sama-sama ada dalam perjalanan mencerdaskan bangsa, dengan tujuan yang bersifat temporer dan dapat diraih setahap demi setahap.

Ketiga, teori dan praktik pendidikan menunjukkan, tanpa keterlibatan emosional dari guru, segala proses pembelajaran menjadi tidak berjiwa dan tidak hidup bagi siswa. Semata-mata menekankan kemampuan intelektual tanpa melibatkan perasaan, emosi, bela rasa, tantangan, kegembiraan, dan lainnya, hanya akan menghasilkan pembelajaran yang kering, yang pada gilirannya meminggirkan kehadiran individu yang sedang belajar.

Guru memang akan terus berpeluh di tengah paradoks profesinya, tetapi mereka tidak selalu harus “turun ke jalan” atau hanya “tinggal di dalam kelas”. Menghidupi sebuah ruang penuh makna di antara dua paradoks yang mendesak merupakan keistimewaan panggilan setiap orang yang memutuskan diri menjadi guru. Kreativitas mereka akan menjadi saksi bahwa paradoks tidak akan hilang, tetapi justru jadi sarana yang berguna bagi uji pertumbuhan kemanusiaan dan peradaban.

Para guru, jangan takut berpeluh di tengah paradoks kehidupanmu.

Doni Koesoema A Moderator SMA Gonzaga, Jakarta

Opini            

Jumat, 10 Agustus 2007

Kerja Sama Militer

Pengamanan Kedaulatan Negara

Siswono Yudo Husodo

Hari-hari menjelang peringatan 62 tahun Kemerdekaan RI pada 17 Agustus ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan kontemplasi menyangkut strategi negara dalam mengamankan eksistensi dan keberlanjutan negara yang amat kita cintai ini.

Melalui serangkaian kebijakan dari pemerintah yang satu ke pemerintah berikutnya, negara memang harus semakin memantapkan eksistensi dan keberlanjutan negara; mengamankan negara dari ancaman dari luar dan dari dalam pada masa kini maupun pada masa depan; memajukan perikehidupan berbangsa dan bernegara di segala bidang, termasuk kesejahteraan rakyat dan peradabannya.

Beberapa waktu lalu, pemerintah menyepakati dua perjanjian kerja sama dengan Singapura yang kontroversial, yaitu perjanjian kerja sama di bidang hukum (ekstradisi) dan pertahanan, yang atas permintaan Singapura diproses dan ditandatangani bersamaan.

Segera setelah publik mengetahui substansi perjanjian pertahanan yang disebut defence cooperation agreement (DCA), protes dan penolakan dari berbagai kalangan merebak hingga hari ini.

DPR yang diperlukan persetujuannya agar DCA tersebut dapat efektif pagi-pagi sudah menyatakan tak akan meratifikasi.

Banyak yang terenyak oleh beberapa ketentuan dalam DCA yang tak lazim dalam kerja sama pertahanan biasa; lebih mirip aturan dalam pakta pertahanan. Terutama karena memberikan sebagian wilayah negara RI di darat, laut, dan udara sebagai kapling tempat latihan militer Singapura secara permanen, sesuatu yang belum pernah dilakukan Indonesia dengan negara mana pun selama ini.

Latihan milter

Kerja sama pertahanan dalam bentuk latihan militer bersama negara lain sudah sering kita lakukan, dengan tempat berpindah-pindah dan tak ada wilayah yang dikapling secara eksklusif untuk negara tertentu.

Pilihan wilayah yang disediakan di Sumatera Selatan, Riau, Selat Malaka, dan Laut China Selatan sebagai fasilitas bagi militer Singapura dalam kerangka DCA juga amat strategis. Ini mengundang pertanyaan mengenai motif Singapura sebenarnya.

Indonesia bertetangga dengan sepuluh negara: Singapura, Malaysia, Filipina, Palau, Papua Niugini, India, Vietnam, Timor Leste, Australia, dan Thailand. Paling nyaman jika kita bersahabat dengan semua tetangga.

Terhadap setiap tetangga itu, kita perlu memiliki strategi (yang tentu berbeda karena spesifiknya hubungan) untuk melindungi kepentingan jangka panjang kita, termasuk di bidang pertahanan.

Setiap negara tentu memperhitungkan geostrategisnya dan menetapkan strategi yang paling mengamankan dirinya.

Swiss dikelilingi oleh Jerman, Perancis, Italia, dan Austria, negara-negara kuat, yang selama ratusan tahun dalam bidang pertahanan memiliki teknologi persenjataan paling maju di zamannya dan dengan kecenderungan politik ekspansif.

Kasusnya berbeda dengan Israel, yang ketika mendirikan negara harus merebut wilayah orang lain. Dikelilingi negara-negara Arab—Suriah dan Libanon di utara, Jordania di timur, dan Mesir—untuk eksis perlu angkatan perang yang kuat.

Singapura hanya bertetangga dengan dua negara, Malaysia dan Indonesia. Malaysia yang sama-sama anggota Persemakmuran (Commonwealth), dan pakta militer Five Powers Defence Agreement—bersama Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Singapura—tidak memberikan tempat latihan permanen bagi militer Singapura.

Dengan DCA RI-Singapura, jelas RI mendukung Singapura untuk memiliki militer yang kuat. Tepatkah strategi ini?

Singapura dengan penduduk seperseratus Indonesia, dan luas negara yang sedikit lebih luas dari DKI Jakarta, memiliki persenjataan militer yang lebih baik daripada Indonesia. Singapura secara resmi menyatakan memiliki anggaran pertahanan 4,8 miliar dollar AS per tahun, mempunyai 40 unit F-16, dan beberapa puluh jet tempur lain.

Singapura juga adalah satu-satunya negara Asia yang dilibatkan AS dalam riset pengembangan jet tempur masa depan F-35 yang tak bisa ditangkap radar. Untuk mengamankan wilayah laut yang lebarnya hanya 12 mil laut mengelilingi pulau, Singapura diperkuat puluhan kapal perang dan masih memesan ke Perancis enam kapal fregat siluman yang tak dapat ditangkap radar.

TNI, yang harus mengamankan kedaulatan negara yang luas wilayah darat, laut, dan udaranya 5,7 juta km², terluas nomor 7 di dunia, hanya dibekali anggaran 2,6 miliar dollar AS (1 persen produk domestik bruto), dan hanya memiliki 12 unit F-16.

Dengan DCA, Indonesia secara sadar mendorong dan merestui Singapura menjelma seperti Israel di timur tengah, negeri kecil dengan militer yang kuat.

Singapura yang memperkuat angkatan bersenjatanya jauh di atas kebutuhan obyektifnya dan tanpa ancaman militer yang nyata, patut kita curigai bahwa Singapura berambisi menjadi “polisi” yang mendominasi kawasan dan mengontrol lalu lintas laut dan udara dari salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia, Selat Malaka dan Laut China Selatan, dengan didukung negara adidaya, AS.

Apakah hal ini sejalan dengan kepentingan jangka panjang pengamanan negara kita?

Dalam perspektif tersebut, kebijakan yang membuat Singapura memiliki militer yang kuat sangat tidak tepat. Sama kelirunya dengan memperkuat ekonomi Singapura dengan menjual gas dengan harga murah, yang sebenarnya dapat kita buat menjadi tenaga listrik di Batam dan lalu dengan kabel laut kita jual listriknya ke Singapura.

Politik luar negeri kita harus diarahkan agar tidak memberikan peluang kepada negara-negara tetangga kita memperkuat dirinya secara berlebihan.

Menggandeng Singapura

Lebih tepat menggandeng Singapura menjadi negara yang manis, memfokuskan dirinya melayani negara-negara tetangganya sebagai pusat jasa layanan keuangan, pusat pengembangan teknologi hi-tech dan intermediasi perdagangan.

Singapura dapat membangun rasa aman dan pengamanan eksistensi negaranya dengan membangun hubungan baik dengan semua tetangga, seperti Swiss di tengah Eropa.

Singapura juga perlu menjaga perasaan negara-negara tetangganya. Kita memang perlu segera memperkuat TNI. Dan kalau di Pulau Batam dibangun pusat latihan artileri, hal itu tentu akan tidak menyenangkan semua pihak. Saya menyesalkan karena DCA ini sudah diteken. Mengubahnya sangat menyulitkan pemerintah.

Banyak contoh menunjukkan dinamisnya hubungan antarnegara, dan yang dilakukan pasti bukan untuk memperkuat lawan. Kita memang perlu meniru AS yang pemerintahannya selama lebih dari 230 tahun melakukan banyak hal untuk mengamankan eksistensi negaranya.

Diplomasi “Pingpong” Presiden Nixon di tahun 1974 menghasilkan hubungan AS-China yang lebih dekat guna memperlemah musuh besarnya waktu itu, Uni Soviet. Adapun kesepakatan strategis AS-India di tahun 2006 digelar untuk memperlemah China, yang sekarang dianggap akan menjadi musuh besarnya di masa mendatang.

Negara/bangsa AS selalu waspada (alert) terhadap berbagai ancaman, dan itulah sebabnya sekarang menjadi negara adidaya.

Bangsa yang selalu waspada akan menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang lengah akan hancur.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pembina Universitas Pancasila

 

 

 


Opini            

Sabtu, 18 Agustus 2007

Semuanya Sedang Terbakar

Gede Prama

Seorang sahabat artis mengeluh di sebuah pertemuan. Hidup di zaman ini katanya serba salah. Baca koran membuat kepala mudah terbakar amarah. Tidak dibaca membuat kita tidak mengerti pembicaraan orang lain.

Mendengar komentar itu, ada yang menimpali lebih seru. Jangankan politik, kekuasaan dan uang dari sananya membawa bibit-bibit terbakar. Agama yang lahir dan tumbuh dalam kesejukan saja membuat manusia jadi mudah terbakar.

Di Bali kekerasan atas nama budaya dan agama mulai berbahaya. Gesekan-gesekan antara penganut Hindu India dan Hindu Bali sudah menghasilkan percikan-percikapn api. Ambon dan Poso adalah contoh bagaimana manusia terbakar oleh perbedaan agama. Di India dan Pakistan sejumlah tempat ibadah dijaga ketat aparat karena kerap dibakar. Timur Tengah sudah membara sekian lama, salah satunya juga karena faktor agama.

Di Amerika Serikat, beberapa tahun terakhir terjadi ribuan kasus pelecehan berbau agama. Di Turki, calon pemimpin yang dikira membawa kepentingan agama dilihat penuh curiga. Di Inggris, Gordon Brown, yang baru saja menjadi perdana menteri beberapa hari, sudah dihadang serangan teroris. Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, oleh majalah Economist diberi julukan from land of smile to land of coup, terutama setelah terjadi kudeta berulang-ulang di sana.

Melalui mata, telinga, hidung, mulut, dan pikiran, banyak manusia terbakar. Bisa dimengerti kalau ada yang mengeluh, dalam hal kecerdasan kita tambah cerdas di segala bidang. Namun, kita terus-menerus lalai dalam satu hal: kita menginginkan kebahagiaan, tetapi berjalan ke arah yang membuat diri menderita.

Inilah sebuah zaman panas yang membara. Salah satu ciri menonjolnya, kebanyakan jiwa berevolusi dari gelap ke gelap. Tidak puas dengan penghasilan (gelap), lalu mencuri (gelap). Tersinggung dengan serangan orang (gelap), lalu menyerang balik secara membabi buta (gelap).

Kesejukan sifat alami

Ada yang mengandaikan perjalanan jiwa manusia serupa dengan boneka. Di awal, bonekanya telanjang (baca: bersih, jernih). Dalam perjalanan, kita mengenakan banyak baju (keinginan, kemauan, cita-cita) ke tubuh boneka. Belakangan, banyak orang dikejar ketakutan oleh boneka berbaju aneka warna ini. Ketakutan kalah dibanding orang lain, ketakutan disebut gagal, ketakutan masa tua menderita.

Akibatnya, lingkungan luar yang membara kemudian bertemu dengan bensin di dalam (baca: ketakutan) yang mudah terbakar. Ini asal muasal dari banyak kehidupan yang panas dan semakin memanas. Lingkungan memang sebuah kekuatan yang tidak mudah diubah. Namun, ketakutan di dalam sini bisa diubah melalui berbagai ketekunan latihan. Itu sebabnya, semua jiwa yang sejuk dan teduh tidak bernafsu terlalu besar mengubah lingkungan. Meskipun demikian, teguhnya mengubah bensin di dalam yang mudah terbakar menjadi air yang sejuk.

Coba perhatikan pemandangan-pemandangan alam yang menyejukkan. Dari gunung, danau, pantai, sampai dengan sungai. Semua menyejukkan karena terlihat alami. Bedanya dengan keseharian manusia, menyangkut alam yang sejuk kita menyukai kealamian, namun menyangkut diri banyak yang membenci kealamian. Wanita yang bakat alaminya feminin mengubah dirinya jadi maskulin. Pria yang bakat alaminya jadi pelindung berubah menjadi perusak. Pemerintah yang sifat alaminya pelayan publik berubah menjadi korban cacian publik. Rumah yang aslinya adalah lahan pertumbuhan berubah menjadi tempat membosankan. Agama yang sifat alaminya teduh dan sejuk berubah menjadi api yang membakar.

Kesejukan

Dan siapa saja yang mulai bersahabat dengan sifat-sifat alami tidak saja di dalamnya mudah sejuk, kesejukan kerap menghadirkan tangan-tangan bantuan yang tidak kelihatan.

Abu Bakar, salah satu penggoda besar dalam perjalanan kenabian Rasulullah Muhammad, tunduk hormat bukan oleh ancaman dan ketakutan, melainkan oleh ayat-ayat Tuhan yang dilantunkan dengan kesyahduan mendalam.

Fuzail, seorang perampok yang belakangan berubah menjadi tokoh sufi mengagumkan, berubah drastis hidupnya karena terpesona sekaligus menggigil saat mendengar orang membaca Al Quran.

Yesus Kristus ialah simbolik kesejukan yang menawan. Kata- kata yang kerap diucapkan adalah love all serve all. Jarang terdengar kalimat layani hanya mereka yang seiman. Di bagian lain bahkan sering terdengar love your enemy. Karena itu, bisa dimaklumi salah satu ciri menonjol kelompok ini adalah kesalehan sosialnya yang mengagumkan.

Pesan Krishna di bagian awal Bhagawad Gita, adveshta sarva bhutanam (jangan pernah membenci dan menyakiti). Yang dipilih Krishna untuk menerima pesan Tuhan secara langsung bukannya Yudistira yang terpancing untuk berjudi, bukan Bima yang jagoan berkelahi, melainkan Arjuna yang artinya purity of heart. Di desa-desa tua Bali, jika ada orang sabar biasanya disebut buih dharma gati (betapa dharmanya dia). Seperti menyisakan pesan, keindahan/kebenaran bisa dicapai melalui kesabaran.

Nibbana sebagai pencapaian spiritual di Buddha kerap diidentikkan dengan keadaan kematian yang terbebaskan. Namun, Bhikku Buddhadasa menemukan bahwa nibbana adalah keadaan batin yang sejuk. Terutama karena telah berhenti dibakar kilesha (kekotoran batin seperti amarah, serakah, benci, iri). Dengan kata lain, tidak saja setelah kematian nibbana bisa diraih. Sekarang ini, di tempat ini nibbana bisa dicapai. Asal batin sudah sepenuhnya berhenti dibakar segala kekotoran.

Andaikan semua penganut Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu sejuk, mungkin mimpi Bhikku Buddhadasa bisa terwujud: ’nibbana (kesejukan) untuk semua orang’ dan orang pun tidak perlu terbakar.

Dalam kelompok orang-orang sejuk seperti ini mudah sekali timbul kesepakatan bahwa ketika kita belajar bersabar dan mendengar, kita tidak saja sedang membuat orang lain bahagia, kita juga sedang membuka lapisan-lapisan diri ini yang lebih mulia.

Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Desa, Bali Utara

 

 


Opini

Senin, 06 Agustus 2007

Melampaui Pilkada Jakarta

Muhammad Qodari

Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta akan berpuncak pada 8 Agustus 2007. Pada hari itu warga Jakarta akan menentukan pemimpinnya yang akan menakhodai ibu kota negara ini sampai lima tahun mendatang. Hendaknya warga Jakarta cerdas menentukan pilihan. Lima menit di bilik suara akan menentukan nasib lima tahun ke depan.

Sebagai ibu kota negara, banyak yang mengharapkan Pilkada Jakarta menjadi contoh par excellence untuk daerah-daerah lain yang belum menyelenggarakan pilkada. Apakah harapan itu terpenuhi? Tergantung aspek dan kriteria yang digunakan untuk menilai. Jika banyak informasi mengenai para calon yang tersedia, Jakarta merupakan contoh yang hebat. Begitu banyak informasi tersedia lewat berita pers maupun media kampanye calon. Bahkan Kompas menyediakan analisis psikologi mendalam untuk calon gubernur Jakarta seperti laiknya calon presiden pada 2004.

Bukan contoh baik

Namun, jika ditinjau dari jumlah pasang calon yang maju pilkada, kiranya Jakarta bukan contoh yang baik. Hanya ada dua pasang calon untuk daerah yang notabene merupakan gudangnya orang-orang pintar dan tokoh-tokoh nasional. Alangkah baiknya bila jumlah calon mencapai empat atau lima pasang agar publik Jakarta punya lebih banyak alternatif pilihan.

Perlu disadari, minimnya jumlah calon dapat berakibat pada rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Padahal, rendahnya partisipasi mengurangi legitimasi politik pilkada, siapa pun pemenangnya.

Pilkada Jakarta juga bukan contoh yang baik pada aspek pendaftaran pemilih. Hasil audit beberapa lembaga menunjukkan, sekitar 20 persen dari pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) merupakan pemilih “hantu” (fiktif). Di sisi lain sekitar 20 persen penduduk Jakarta yang berhak memilih ternyata tidak terdaftar dalam DPT yang dibuat penyelenggara pilkada. UU No 32/2004 dan PP No 6/2005 memiliki kelemahan inheren dalam mekanisme pendaftaran pemilih. Namun, kelemahan ini tidak boleh membuat kita pasrah dengan masalah yang ada.

Hal-hal unik

Di luar aneka masalah itu, ada banyak hal unik yang “cuma” terjadi di Pilkada Jakarta. Keunikan pertama, misalnya, “rekor” jumlah partai pendukung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto yang mencapai 20 partai politik. Kiranya belum pernah ada calon pilkada yang “memborong” dukungan sampai 20 partai sekaligus. Ini fenomena baru dan berhak dianugerahi rekor Museum Rekor Indonesia (Muri). Masalahnya, siapa yang pantas dapat rekor Muri? Fauzi Bowo atau 20 partai?

Keunikan kedua, jumlah iklan dan—konsekuensinya—biaya iklan kampanye para calon. Memang belum diketahui persis berapa banyak placement iklan yang dilakukan kedua pasang calon. Namun, dari jumlah iklan di televisi, tidak mustahil total biaya yang dikeluarkan calon gubernur Jakarta lebih tinggi dari biaya sejenis untuk kampanye Pilpres 2004. Yang jelas, biaya iklan televisi calon gubernur Jakarta jauh lebih besar daripada pilkada lain yang sudah diselenggarakan di Indonesia.

Keunikan ketiga, muncul fenomena attacking campaign (iklan menyerang) yang luas dalam Pilkada Jakarta. Dalam pilpres maupun pilkada di daerah lain, strategi kampanye yang dominan adalah promoting campaign (promosi diri calon). Promoting campaign juga dipakai di Jakarta. Misalnya “Pilih Fauzi-Prijanto, Jakarta Mau Maju Serahkan pada Ahlinya” atau “Pilih Adang-Dani, Pemimpin Tegas, Jujur dan Merakyat”. Namun, frekuensi dan variasi iklan menyerang dari kedua pihak dipraktikkan dalam skala yang belum ada bandingannya. Apakah asumsi bahwa pemilih Indonesia tidak suka attacking campaign coba dipatahkan di Ibu Kota?

Pluralisme calon

Apa pun hasilnya, Pilkada Jakarta telah menjadi benchmark (patokan) yang menarik bagi pilkada di daerah-daerah lain yang segera menyusul. Fenomena calon kepala daerah memborong dukungan partai politik, misalnya, bisa saja ditiru di daerah lain. Pintu calon perseorangan yang telah dibuka Mahkamah Konstitusi (MK) belum tentu melahirkan pluralisme calon mengingat syarat dukungan calon perseorangan akan ditentukan lewat revisi UU No 32/2004. Partai politik besar tampaknya sepakat memasukkan syarat seberat-beratnya terhadap calon perseorangan. Katakanlah minimal 15 persen jumlah pemilih di satu daerah (bukan 3 persen jumlah penduduk seperti di Aceh). Jika syarat itu diberlakukan, pintu calon perseorangan seolah tertutup kembali.

Revisi UU No 32/2004 itu sendiri rencananya baru akan diberlakukan awal tahun 2008. Bukan mustahil revisi UU No 32/2004 akan lebih lama dari yang dijadwalkan. Sekadar mengingatkan, aturan tentang pendaftaran pemilih menurut UU No 32/2004 dan PP No 6/2005 harus segera ditinggalkan. Perlu ada aturan baru yang bisa lebih menjamin hak warga agar tidak kehilangan hak pilihnya. Misalnya dengan sensus oleh Badan Pusat Statistik ketimbang pemutakhiran oleh dinas kependudukan dan catatan sipil seperti sekarang ini.

Lepas dari molor atau tidaknya rencana revisi UU No 32/2004, penggunaan pasal-pasal dalam UU No 32/2004 yang telah dibatalkan MK sebagai landasan hukum penyelenggaraan pilkada di daerah-daerah yang menyelenggarakan pilkada antara Juli 2007 dan awal 2008 berpotensi menimbulkan gugatan hukum baru. Gugatan ini sulit dipastikan arahnya. Bisa-bisa pilkada yang diselenggarakan dalam rentang waktu itu dibatalkan oleh hukum dan diulang prosesnya. Masalahnya bukan hanya tenaga dan biaya, gejolak politik bisa meletus.

Solusinya? Salah satu opsi adalah menunda penyelenggaraan semua pilkada pada periode itu. Habisnya masa jabatan kepala daerah diatasi dengan penunjukan pejabat pelaksana tugas kepala daerah.

Muhammad Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

 

 

 


Opini            

Sabtu, 04 Agustus 2007

Ketika Jakarta Memilih

Yonky Karman

Pertanyaan besar yang harus dijawab kepemimpinan di Jakarta adalah apakah akan terjadi perubahan yang substansial. Atau, birokrasi tetap lamban dan sarat pungutan ilegal? Masyarakat tetap tanpa jaminan layanan publik berkualitas? Masyarakat tetap antre kebutuhan pokok? Jalan raya tetap tak terurus dan rusak? Jakarta tetap banjir? Tempat pembuangan akhir sampah tetap menjadi problem?

Menilik kampanye yang baru berlalu, isinya lebih berat pada politik pencitraan dengan mengusung tema-tema yang layak jual. Betapa mundurnya Jakarta metropolitan yang masih disuguhi isu keragaman dan etnis sebagai tema kampanye. Polarisasi tema primordial itu menyangkal realitas keseharian warga yang membaur. Tanpa kaderisasi, partai-partai politik di Ibu Kota menempuh jalan pintas dengan mencalonkan incumbent dan sosok pemimpin dari luar partai.

Lebih buruk lagi, tak tampak upaya partai untuk mengikat kandidat dalam suatu kontrak politik agar mereformasi birokrasi, memberantas KKN, dan membuahkan kebijakan yang memihak kepentingan rakyat kecil. Mekanisme pemilihan boleh langsung, tetapi rakyat seperti membeli kucing dalam karung. Itulah ketika partai jauh dari fungsi menyalurkan aspirasi masyarakat. Seusai pesta demokrasi, elite politik akan sibuk bagi-bagi hasil kekuasaan. Tinggal rakyat menggigit jari.

“Quid pro quo”

Berbeda dari politik konvensional, kampanye modern bertumpu pada periklanan dan media. Pengeluaran terbesar dalam kampanye adalah iklan politik untuk menggiring opini publik agar memilih kandidat tertentu. Kampanye padat modal itu akhirnya adalah soal berapa banyak iklan politik bisa dibeli. Maka, sibuklah tim sukses dan partai pendukung menjadi broker politik yang menghubungkan kepentingan penguasa dan pengusaha sebagai penyumbang potensial.

Di negeri yang maju penegakan hukumnya, sumbangan yang memihak kandidat tertentu diatur dalam regulasi Komisi Pemilihan Umum, menyangkut jumlah dan siapa yang boleh menyumbang hard money. Sumbangan untuk kegiatan kampanye yang bersifat mengedukasi masyarakat dan tidak memihak kandidat tertentu di luar regulasi itu (soft money).

Indonesia baru belajar berdemokrasi. Celah hukum regulasi sumbangan dana kampanye amat lebar. Kebanyakan penyumbang besar tak disebut namanya; jika disebut, sering fiktif. Namun, berlakulah prinsip quid pro quo (harfiahnya, “sesuatu untuk sesuatu”). Memberi sesuatu untuk menerima sesuatu, apakah itu dalam bentuk konsesi, tender, kelanjutan relasi bisnis, proyek, atau (perubahan) muatan suatu kebijakan.

Sumbangan dari pengusaha besar bisa membeli pengaruh, mengamankan kontrak besar, atau melindungi kepentingannya. Meski dipilih secara demokratis, pejabat terpilih dalam praktiknya lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha. Terjadilah pembajakan demokrasi (Noreena Hertz, The Silent Takeover, 2003).

Membangun keadaban kota

Yang membedakan kota dari tempat huni yang belum tertata adalah keadaban dan kenyamanan. Singapura mendapat penghargaan sebagai kota berpenampilan terbaik dalam jajaran kota-kota dunia. Tekad Lee Kuan Yew—arsitek pembangunan Singapura—adalah menjadikan negara-pulau itu kota kebun dan berarus air. Visi kota air dan hijau seperti itu dibarengi manajemen kota yang konsisten.

Birokrasi kita lemah dalam manajemen pembangunan kota. Hingga kini tak jelas action plan mengatasi tingkat pencemaran udara di Jakarta. Padahal, kualitas udaranya terburuk ketiga di dunia (sesudah Mexico City dan Bangkok) dan keadaan itu terus memburuk dengan jumlah kualitas udara terburuk 51 hari tahun 2006. Banyak kota di Indonesia yang seperti Jakarta sehingga Indonesia termasuk peringkat ke-3 negara penyumbang emisi karbon (sesudah Amerika Serikat dan China).

Untuk ukuran Indonesia, keadaban Jakarta adalah normatif. Suka atau tidak, pembangunan Jakarta ditiru kota-kota lain di Tanah Air. Sayang, yang ditiru adalah pembangunan fisik yang padat modal dan mengabaikan tata ruang. Izin membangun pusat perbelanjaan diberikan tanpa mempertimbangkan volume masuk keluar kendaraan. Akibatnya, bermunculan titik-titik kemacetan baru.

Bayangkan 10 juta penduduk atau 12 juta pada hari kerja. Jakarta kota terbesar keempat di dunia, tetapi sistem transportasi umumnya buruk, dengan 85 persen kendaraan bermotor (dari lima juta unit lebih) adalah kendaraan pribadi. Tiap kilometer jalan dipadati 3.000 kendaraan. Maka, pengemudi harus berkonsentrasi terhadap kendaraan lain yang seenaknya menyerobot jalan tanpa rasa bersalah. Berkendaraan di Jakarta amat melelahkan.

Secara ekonomis, dampak kerugian bahan bakar akibat kemacetan mencapai Rp 4,7 triliun per tahun. Distribusi barang menjadi tidak efisien. Truk barang di Jakarta hanya berjalan 0,6 rit per hari, sementara di Malaysia tujuh rit. Bus transJakarta memberi alternatif untuk sebagian pengguna jalan, tetapi menambah kemacetan di jalan-jalan yang dilalui sehingga omzet ribuan pedagang di kawasan Glodok-Pancoran turun hingga 50 persen.

Sekitar 70 persen warga Jakarta adalah kaum miskin yang tinggal di kampung-kampung. Kondisi kemiskinan itu diperumit dengan mentalitas kampungan dari warga Jakarta yang membuat Jakarta jorok dan semrawut, kendati sarana dan prasarana modern bertaburan. Jakarta belum beranjak menjadi kota modern dalam arti sebenarnya. Yang mengherankan, warga Jakarta bisa tertib di Singapura. Atmosfer ketertiban mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Target ruang terbuka hijau sebesar 30 persen, tetapi hingga kini baru tercapai 7,8 persen. Banyak pohon besar malah ditebangi karena khawatir tumbang. Lahan hijau yang ada berubah peruntukan menjadi perumahan, gedung bertingkat, atau stasiun pengisian bahan bakar. Ada yang diserobot untuk lahan parkir, penghuni liar, atau pedagang kaki lima. Lalu, aparat pemerintahan kota menjadikan fenomena ekstralegal itu sebagai sebuah sumber pungutan.

Jika pembangunan Jakarta hanya padat modal, tidak padat sosial, sudah pasti itu hanya menimbun potensi ledakan sosial. Jakarta akan memiliki gubernur baru. Jadikanlah suara yang diberikan kepada kompetitor dan mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) sebagai peringatan bahwa gubernur terpilih masih berutang banyak janji dan harus selalu memimpin dengan sikap amanah.

Yonky Karman Rohaniwan

 

 


Opini            

Rabu, 29 Agustus 2007

Departemen Perdagangan Pendidikan

Daoed Joesoef

Dalam rangka reformasi pendidikan, pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang “Badan Hukum Pendidikan” atau BHP.

BHP adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal, pendirinya pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Dua kali saya baca dan merenungi rancangan BHP ini.

Mengubah nama

Rencana ini tidak konsekuen. Seharusnya mencantumkan pasal penyempurnaan berupa perubahan nama “Departemen Pendidikan Nasional” (Depdiknas) menjadi “Departemen Perdagangan Pendidikan” (Depdagpen). Atau, demi efisiensi, menutup Depdiknas, semua kegiatan ditransfer ke Departemen Perdagangan, menjadi “Direktorat Jenderal Perdagangan Pendidikan”. Dengan demikian, pemerintah menghemat pengeluaran untuk gaji dan fasilitas menteri, dirjen, direktur, dan lainnya.

Ada pertanyaan menggelitik. Apakah saat menyusun konsep rancangan BHP, pemerintah sejak awal menyertakan (staf) Depdiknas? Jika “tidak”, bunyi yang tersurat dan tersirat dari rancangan itu sungguh melecehkan eksistensi Depdiknas. Jika jawabannya “ya”, (staf) Depdiknas sendiri ternyata melecehkan diri sendiri. Jika demikian, Depdiknas dibubarkan saja karena tidak menghayati lagi esensi pendidikan, mengingkari makna dan misi suci kelembagaannya bagi Negara-Bangsa Indonesia.

Pemerintah tidak menyadari dua dasar. Pertama, hasil kerja iptek memang bisa, boleh, dan pantas dijual. Namun, pendidikan ke arah penguasaan skills ke-iptek-an tak selayaknya diperdagangkan. Any scientific knowledge is public knowledge!

Kedua, demokrasi dalam pendidikan adalah mutu tinggi bagi jumlah anak didik yang semakin besar karena tidak dibatasi pada yang mampu membayar saja. Inilah gunanya kebijakan “Wajib Belajar”, sebisa mungkin hingga SMA. Bukankah menurut rancangan ini pendidikan diselenggarakan secara “demokratis”.

Tanpa visi, tanpa konsep

“Semangat dagang” itu jelas tercermin dalam Pasal 2, yang membenarkan pihak luar bersama BHP Indonesia mendirikan lembaga pendidikan, dengan modal sampai 49 persen.

Agar penyelenggaraan pendidikan bisa bermutu memang diperlukan dana memadai. Namun, dana ini baru menjadi positif-konstruktif setelah sebelumnya ada konsep pendidikan yang jelas. Konsep ini justru tidak ada. Dalam penjelasan atas rancangan ini, secara sumir disebutkan, sistem pendidikan nasional disusun berdasarkan visi pendidikan nasional. Mana visi ini? Angan- angan, day dream, bukan visi!

Di situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional tentang pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal tentu ada pikiran konseptual, betapa pun “kecil” konsep itu. Adapun mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung “menelan saja” pendapat yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya argumen yang nalariah.

Jadi keberadaan konsep jauh lebih menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan “nasional”. Konsep/visi yang jelas dan telah disepakati bersama amat penting sebagai acuan kerja. Mengapa? Pertama, bagi pelaksanaan semua lembaga pendidikan, konsep/visi adalah batu ujian dalam menilai ketepatan atau penyimpangannya.

Kedua, konsep/visi untuk menghadapi kompleksitas alami, liku-liku bawaan zaman iptek dan proses globalisasi.

Ketiga, konsep/visi bagi penyusunan/perubahan/penyempurnaan kurikulum sebagai respons atas kompleksitas, liku-liku dan mengombinasikannya dengan aneka potensi alami Indonesia, nasional dan lokal.

Dalam peresmian UI sebagai Taman Sains”, Presiden Yudhoyono mengatakan, peran iptek diperbesar agar mampu bersaing di tingkat internasional.

Adapun dalam RUU BHP istilah ilmu pengetahuan dan teknologi tidak disebut satu kali pun. Apakah secara implisit Presiden mengkritik RUU BHP? Sebagai kepala pemerintah, kalau Presiden tahu ada cacat dalam RUU BHP, mengapa meloloskannya ke DPR? Atau, Presiden belum pernah membaca RUU BHP itu?

Dalam penjelasan RUU, poin (e) menyebutkan, “pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”. Tidak jelas apakah dengan “berhitung” dimaksudkan “hitung dagang” (hundelsrekenen). Yang jelas tidak disebut demi mengembangkan “budaya keilmuan”, sejalan makna ucapan Presiden di UI.

Berbagai tindakan aneh

Tidak heran jika dalam “komunitas nasional” kita belum memiliki “subkomunitas ilmiah”, lingkungan bekerja orang-orang berbudaya keilmuan, meski perguruan tinggi ada di mana-mana. Ketiadaan konsep pendidikan yang menyeluruh tercermin pada aneka tindakan yang “aneh” di bidang kegiatan kependidikan keilmuan. Ada pendirian “universitas riset”, padahal tugas utama yang diemban universitas di mana pun adalah pendidikan.

Nyaris semua pemenang Nobel adalah para dosen yang risetnya terkait pengembangan ilmu yang dikuliahkan, bukan demi nilai jual hasil risetnya. Belakangan hasil-hasil itu biasanya baru menjadi bahan bisnis industrial.

Jadi yang meriset bukan universitas sebagai lembaga, tetapi dosen sebagai persona ilmuwan. Sambil meriset dia menuntun para mahasiswanya melakukan riset, science in term of process, dan melalui kegiatan ini mengembangkan scientific spirit dalam diri anak-anaknya. Mereka inilah kelak yang menjadi staf peneliti di R & D departments dari perusahaan-perusahaan industrial.

Lembaga yang seharusnya melakukan riset di negeri ini adalah LIPI, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan masih ada Dewan Riset Nasional.

Sementara itu, LIPI menciptakan gelar “profesor riset”, padahal “profesor” adalah gelar jabatan akademis bagi persona yang mengajar di perguruan tinggi. Mungkin pertimbangannya demi kegairahan untuk meriset. Di masyarakat ada anggapan umum, “profesor” adalah orang yang serba tahu. Di sinilah “keanehan” itu. Alih-alih memperbaiki citra yang keliru dari orang-orang awam, lembaga ilmu pengetahuan malah menyesuaikan diri pada citra yang keliru.

Memang profesor adalah gelar jabatan bergengsi. Kegengsiannya itu bukan terletak pada “keserbatahuannya”, tetapi pada kenyataan, dia adalah persona yang men-transform, melalui ajarannya, “informasi” (perolehan SD) menjadi “pengetahuan” (di tingkat SMP, SMA), lalu menyempurnakannya lebih lanjut, dari “pengetahuan” menjadi “pengetahuan ilmiah” (ilmu pengetahuan) di perguruan tinggi. Idealnya, guru-guru di SMP sudah pantas diberi gelar professeur.

Sebagai keseluruhan apa yang tersurat dan tersirat dari RUU BHP, jelas mencerminkan hasrat pemerintah untuk lepas tanggung jawab konstitusional dan historisnya. Tanggung jawab konstitusional berupa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanggung jawab historis berupa menyiapkan masa depan bangsa melalui pemberian pendidikan yang layak bagi anak-anak bangsanya.

Inikah kado istimewa bagi Ibu Pertiwi?

Daoed Joesoef Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

 

 

 


Opini            

Senin, 13 Agustus 2007

Imbas Keuangan Global

Umar Juoro

Perekonomian Indonesia sudah demikian terbuka sehingga gejolak keuangan dunia berpengaruh besar. Jatuhnya American Home Mortgage Investment—produk keuangan dalam bentuk obligasi yang diturunkan dari kredit kepemilikan rumah yang kualitasnya relatif rendah, yang merugikan perusahaan keuangan—mendorong penurunan pasar modal di AS yang berdampak penurunan pasar modal di tempat lain termasuk Indonesia.

Sebagian investor portofolio asing melepaskan kepemilikannya dalam saham, obligasi, dan SBI yang tidak saja menurunkan indeks pasar modal, tetapi juga melemahkan nilai rupiah.

Penentu kebijakan moneter dan fiskal menganggap persoalan itu sebagai sementara dan bersifat eksternal dan meyakini keadaan akan membaik. Alasannya, neraca pembayaran masih surplus, cadangan devisa memadai, dan inflasi yang terkendali membuat otoritas kebijakan ekonomi meyakini stabilitas ekonomi.

Namun, investor portofolio umumnya khawatir dengan perkembangan ini. Menurunnya perbedaan bunga di Indonesia terhadap bunga di AS seiring dengan menurunnya bunga SBI menurunkan daya tarik investor portofolio. Begitu pula harga saham di pasar modal cukup tinggi. Di sini kita menghadapi dilema. Di satu sisi penurunan suku bunga diperlukan untuk mendorong perekonomian dalam negeri, di sisi lain menurunkan minat investor portofolio yang suka atau tidak suka sumbangannya terhadap stabilitas nilai rupiah cukup kuat, terutama saat PMA belum optimal.

Dilarang membeli SBI

Dengan perekonomian yang sudah demikian terbuka, Indonesia akan selalu terpengaruh imbas gejolak keuangan dunia terutama di sektor finansial. Beberapa pihak menganjurkan agar dilakukan langkah-langkah guna mengurangi pengaruh keuangan dunia dengan menerapkan berbagai macam hambatan, yaitu pajak untuk investasi portofolio jangka pendek dan langkah-langah restriktif lainnya.

Namun, otoritas moneter memandang usulan ini sebagai kontra produktif karena akan menjauhkan investor dari Indonesia. Usulan yang tampaknya rasional dan dapat dijalankan adalah melarang investor asing membeli SBI dengan alasan SBI bukan instrumen investasi, tetapi instrumen kebijakan moneter. Dengan diterbitkannya Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 12 bulan, dan nantinya untuk yang pendek sembilan dan enam bulan, maka pelarangan bagi investor asing untuk membeli SBI mempunyai substitusi karena SPN selain sebagai sarana kebijakan moneter dan fiskal, juga sebagai sarana investasi.

Kecenderungan melimpahnya likuiditas di tingkat global, cepat atau lambat akan terkoreksi guna mencegah penggunaan likuiditas pada investasi berisiko tinggi seperti subprime mortgage di AS. Meski produk derivatif umumnya bertujuan menyebar risiko kepada banyak pihak, kecenderungan investasi mengarah kualitas produk yang relatif rendah dan menjadi kian tidak jelas di mana risiko itu berada.

Hanya dengan kecenderungan inflasi yang relatif stabil, bank sentral di negara maju, terutama AS, tampaknya belum akan menaikkan suku bunganya dalam waktu dekat. Namun, jika persoalan kelebihan likuiditas yang mengarah investasi yang kualitasnya rendah dan berisiko tinggi kian berpotensi menyebabkan kejatuhan pasar modal dan keuangan umumnya, Bank Sentral AS mau tidak mau akan menaikkan suku bunga yang akan diikuti bank sentral lainnya.

Bagi Indonesia, perkembangan pesat pasar modal dan obligasi belakangan ini didorong aliran likuiditas tinggi di tingkat global. Namun ke depan, jika terjadi koreksi akan membuat pasar modal dan obligasi Indonesia, sebagaimana di negara berkembang lainnya, tidak akan menarik lagi. Tentu saja konsekuensinya adalah nilai rupiah akan mengalami tekanan, meski mungkin tidak terlalu dalam. Dengan ekspor yang masih cukup baik ditopang harga komoditas yang tinggi, stabilitas terjaga. Hanya cepat atau lambat harga komoditas ini juga akan mengalami koreksi karena sifatnya yang siklikal.

Masih terbuka kesempatan

Koreksi keuangan global dicirikan dengan kenaikan suku bunga di AS dan negara lain. Apalagi jika harga komoditas juga terkoreksi, sementara perekonomian Indonesia belum bertumpu kuat pada kegiatan ekonomi riil, maka perekonomian akan kembali pada pola siklikalnya, yaitu keadaan dengan pertumbuhan rendah, inflasi, dan suku bunga relatif tinggi lagi. Kesempatan bagi perekonomian Indonesia untuk memperkuat basis riilnya masih terbuka sebelum koreksi terjadi.

Dengan melemahnya nilai rupiah dan kecenderungan inflasi yang meningkat, adalah bijaksana bagi BI untuk menunda penurunan SBI.

Namun, persoalan yang lebih serius adalah penurunan SBI selama ini tidak berkorelasi kuat dengan peningkatan investasi. Kredit perbankan masih terfokus kredit modal kerja, dengan sejumlah besar berupa pengambilalihan kredit dari bank lain (refinancing), dan kredit konsumsi, terutama kepemilikan rumah dan kendaraan bermotor. Risiko tinggi dan masih terbatasnya perusahaan di sektor riil yang bankable membuat perbankan tetap tidak terdorong untuk meningkatkan secara berarti kredit investasi.

PMA terlihat mengalami perkembangan meski belum meyakinkan. Masalah klasik, hambatan investasi tetap menjadi alasan utama, sementara kemajuan dalam mengatasi hambatan investasi berjalan amat lambat. Hal ini masih menjadi tantangan utama penentu kebijakan ekonomi.

Dari perkembangan itu tampaknya perekonomian kita masih pada sisi lebih besar terpengaruh imbas keuangan dunia, baik positif dalam aliran modal masuk ke pasar modal dan obligasi, maupun negatif berupa aliran modal keluar karena terjadinya koreksi, daripada kemampuan perekonomian untuk berkembang atas basis kekuatan ekonomi riil.

Umar Juoro Senior Fellow the Habibie Center, Ketua Center for Information and Development Studies (Cides)

 

 

 


Opini            

Selasa, 14 Agustus 2007

Presiden dan Politik Anggaran

Didik Rachbini

Seperti biasa, pada 16 Agustus 2007 Presiden akan menyampaikan nota keuangan, mengantar RAPBN 2008.

Pidato rutin ini tidak hanya berarti seremonial untuk mengingatkan masalah penting, kebangsaan kita, tetapi juga perlu disimak makna substansial politik anggaran yang disampaikan Presiden.

Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, adakah perubahan struktur politik anggaran? Apakah kebijakan anggaran bisa dirancang untuk menjadi lokomotif perekonomian, mengingat penerimaan pajak dan nonpajak masih bisa ditingkatkan?

Politik alokasi anggaran

Jawaban atas berbagai pertanyaan itu ada pada politik alokasi anggaran. Bagaimana sisi belanja atau pengeluaran harus ditetapkan lebih produktif untuk perekonomian, terutama untuk belanja modal, dan infrastruktur publik, yang lebih besar dan meluas. Jadi, tidak ada pilihan dan hanya membiarkan anggaran belanja habis untuk pengeluaran dan belanja rutin, habis tanpa bekas kegiatan produktifnya.

Rencana anggaran itu akan diajukan pemerintah kepada DPR dengan pagu yang sudah jelas untuk tiap departemen dan lembaga, termasuk jenis-jenis belanja barang atau modal. Jika politik dan kebijakan anggaran itu dipandang sebagai rutinitas, tidak ada perubahan berarti atas alokasi anggaran itu. Aspek belanja APBN akan tetap berat pada pengeluaran rutin, yang tidak masuk sektor produktif.

Artinya, politik anggaran tetap menempatkan pengeluaran besar yang rutin, sebagai jebakan laten seperti biasanya. Kondisi ini merupakan turunan kebijakan sebelumnya dan belum diubah secara substansial. Jika politik anggaran hendak menempatkan APBN sebagai lokomotif, perubahan substansial amat mendesak dilakukan, terutama pada pengeluaran rutin yang bermakna hampir setengah sia-sia.

Anggaran bisa bermakna sebagai lokomotif ekonomi atau setidaknya salah satu lokomotif ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tidak maksimal, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi tidak bisa dilepaskan dari beban anggaran. Kini ekonomi baru beranjak dari pertumbuhan rendah ke moderat dan sulit naik lebih tinggi lagi jika beban APBN tetap berat.

Politik anggaran sebenarnya terletak pada alokasi anggaran itu. Kini kesadaran kolektif politik anggaran masih pragmatis dan mengikuti irama kepentingan jangka pendek, minus strategi besar dan lebih berjangka panjang. Anggaran mengidap penyakit kritis yang laten dan perlu dipecahkan hanya dengan cara kolektif.

Pembangunan infrastruktur

Selama lebih dari dua tahun, pemerintah mengalami hambatan untuk melakukan investasi publik, terutama dalam pembangunan infrastruktur. Kinerja pembangunan infrastruktur—jalan, jalan tol, listrik, dan lainnya—jauh dari memadai. Pemerintah baru akan mengatasinya dengan mengurangi belanja barang dan mengalihkan ke belanja modal. Namun, pertambahan belanja modal masih maksimal daripada potensi anggaran itu sendiri.

Atas kendala itu, banyak peluang investasi tidak bisa optimal dimanfaatkan, bahkan sering menemukan kendala karena masalah infrastruktur. Dalam usaha menumbuhkan ekonomi, pembangunan infrastruktur perlu dilakukan, terutama untuk jalan, pasar, listrik, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dan sebagainya.

Masalah utama persoalan itu ialah kendala di APBN karena beban pengeluaran rutin yang amat besar. Pembangunan dan investasi infrastruktur publik dari sektor pemerintah lemah dan jauh dari memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan, yang besar di seluruh Indonesia.

Investasi infrastruktur sebenarnya dilakukan dua pihak, yaitu pemerintah dan swasta, agar kebutuhan untuk menopang pembangunan ekonomi tercukupi. Namun, peran pemerintah, dalam hal ini APBN, masih dipandang sebelah mata sehingga tidak mungkin swasta akan masuk jika investasi publik tidak memeloporinya. Karena kebijakan pemerintah lamban, swasta, selain tidak mendapat sinyal positif, juga tidak mempunyai keyakinan bahwa pemerintah serius dalam mengelola pembangunan infrastruktur ini.

Beberapa strategi

Ada beberapa strategi yang harus dilakukan untuk memecahkan kendala krusial pada APBN. Strategi itu bersifat kolektif, melibatkan pemerintah, DPR, dan masyarakat.

Pertama, pemerintah pusat dan daerah yang kurang jeli atau tidak proporsional dalam mengatur belanja atau pengeluaran pemerintah. Belanja daerah dan belanja pusat terjebak dalam pragmatisme sehingga kurang berhasil membangun pengeluaran, yang memiliki dampak besar terhadap ekonomi produktif.

Daerah masih sulit dikoordinasikan karena 400 daerah tingkat II dan 33 daerah tingkat I melakukan belanja “seenaknya” tanpa pertimbangan matang. Dua pertiga belanja daerah habis untuk belanja rutin barang dan pegawai. Pengeluaran ini cermin inefisiensi dan cenderung kurang produktif. Belanja daerah sulit terwujud untuk menjadi infrastruktur yang konkret, yang dapat menunjang pembangunan ekonomi di daerah. Inilah masalah khusus yang harus diselesaikan pemerintah daerah.

Belanja daerah 2007 sekitar Rp 252 triliun. Anggaran ini sebenarnya cukup banyak untuk menghasilkan infrastruktur penunjang pembangunan. Jika separuh anggaran itu dipakai untuk membangun infrastruktur, pembangunan daerah bisa berlangsung baik. Namun, kenyataannya desentralisasi anggaran mengidap sisi lemah karena habis untuk belanja rutin.

Kedua, belanja pemerintah pusat. Selama ini pemerintah pusat membuat anggaran yang tidak efektif dan efisien sehingga pembangunan infrastruktur mengalami kemandekan. Lobi di pasar politik antara pemerintah dan DPR belum menghasilkan struktur optimal. Pemerintah menyadari kesalahan ini bahwa belanja modal untuk infrastruktur amat penting dalam rangka menopang ekonomi.

Pada tahun mendatang, pemerintah berniat mengalokasikan anggaran untuk investasi publik yang lebih besar menjadi lebih dari Rp 100 triliun, tetapi rencana itu belum dibahas di komisi-komisi di DPR.

Namun, jumlah ini sebenarnya belum berarti signifikan karena setiap tahun Indonesia membutuhkan belanja infrastruktur dari pemerintah ataupun swasta lebih dari Rp 1.000 triliun. Untuk mencapai target itu, pemerintah memerlukan peran swasta dan BUMN untuk mengeluarkan belanja infrastruktur lebih besar. Fokus swasta kepada infrastruktur komersial, sedangkan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur yang tidak komersial.

Masalah ketiga, belanja subsidi yang dari tahun ke tahun jumlahnya amat besar dan terus meningkat. Pada tahun 2007, jumlah subsidi sekitar Rp 105 triliun. Sekitar Rp 75 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak, sisanya Rp 30 triliun untuk subsidi PLN, juga karena memakai bahan bakar minyak yang disubsidi.

Masalah keempat, beban pembayaran utang luar dan dalam negeri yang hampir mencapai Rp 180 triliun. Pemecahan masalah utang amat diperlukan agar ada relaksasi anggaran.

Didik Rachbini Ekonom

 

 

 


Opini            

Senin, 20 Agustus 2007

Kemitraan Strategis Jepang-Indonesia

Yasuo Hayashi

Selama tiga hari (19-21 Agustus), Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengunjungi Indonesia dengan didampingi sekitar 200 pemimpin perusahaan terkemuka Jepang. Mereka menjadi utusan ekonomi Nippon Keidanren dan JCCI (Kadin Jepang).

Kesamaan persepsi Indonesia-Jepang sebagai mitra strategis tercapai saat Presiden Yudhoyono berkunjung ke Jepang, November lalu. Berbagai keputusan itu pun akan ditandatangani PM Abe pada kunjungan ini.

Kini populasi Indonesia sekitar 40 persen populasi ASEAN, dengan GDP nominal sepertiga GDP nominal ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara besar, diharapkan dapat terus memberdayakan kekuatan politik, diplomatik, ataupun ekonomi. Indonesia juga negara dengan sumber energi terbesar di dunia dan posisinya amat penting dari segi geopolitik Jepang.

Dari segi budaya, para alumni Jepang tahun 1986 mendirikan Universitas Dharma Persada. Lembaga ini semula memfokuskan diri sebagai pusat pendidikan bahasa Jepang. Ini adalah bukti nyata eratnya pertukaran budaya Jepang-Indonesia.

Semangat para alumni untuk mendirikan universitas itu tidak mungkin timbul tanpa didasari persahabatan antardua negara.

Ekonomi

Dari segi ekonomi, kedua negara telah membangun hubungan persahabatan yang berlapis. Perusahaan otomotif dan elektronik terkemuka Jepang telah melakukan investasi di Indonesia. Hal serupa juga terjadi untuk sektor makanan dan kosmetik.

Kedua negara juga sepakat melakukan kerja sama di bidang sumber daya, energi, dan infrastruktur di Indonesia.

Pada kunjungan PM Abe kali ini diharapkan bisa ditandatangani kesepakatan kerja sama dalam pengembangan proyek bersama. Selain itu, Presiden Yudhoyono dan PM Abe akan menandatangani Japan Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA), sebuah simbol hubungan dan wujud eratnya hubungan ekonomi kedua negara.

JIEPA mencakup berbagai bidang, seperti manufaktur, pertanian, kehutanan, perikanan, perdagangan, investasi, pengembangan SDM, lingkungan hidup, teknologi informasi dan komunikasi, serta jasa keuangan. Kerja sama ini belum pernah ada sebelumnya. Dengan JIEPA, Jepang berkomitmen untuk bekerja sama meningkatkan daya saing sehingga Indonesia dapat menunjukkan eksistensinya di pasar Asia yang berkembang pesat sesuai dengan potensinya.

Globalisasi telah memperketat daya saing lintas negara. Indonesia-Jepang mengalami masa resesi panjang dalam iklim ekonomi yang ketat (sejak awal tahun 1990-an sampai 2000-an).

Pertengahan 1980-an Jepang mengambil kebijakan untuk memperluas kebutuhan dalam negeri, mengakibatkan likuiditas berlebihan, lalu mendorong spekulasi di sektor properti. Keadaan ini dikenal dengan bubble economy. Setelah meledaknya bubble economy, masalah penyelesaian kredit macet di perbankan mulai muncul ke permukaan dalam kondisi deflasi berkepanjangan. Dengan dilaksanakannya reformasi oleh pemerintahan Koizumi dan Abe pertengahan 2000-an, ekonomi baru mulai normal.

Sementara itu, bagi Indonesia, krisis moneter 1997 memicu turunnya rupiah secara drastis dari Rp 2.400 per dollar AS menjadi sekitar Rp 17.000 per dollar AS. Ini mengakibatkan bangkrutnya bank-bank dan tingginya kebijakan suku bunga. Akibatnya, timbul kekhawatiran pada sektor keuangan dan resesi ekonomi yang berkepanjangan. Setelah masa kegelapan cukup panjang, lahir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang bernapas reformasi sehingga ekonomi mulai kembali normal berkat reformasi politik yang pasti.

Oleh karena itu, kini merupakan waktu yang amat tepat dan berarti bagi penandatanganan EPA. Ini akan mempererat hubungan kerja sama kedua negara secara pesat serta merupakan titik balik bagi keduanya dalam menghadapi era globalisasi bersama-sama.

Tantangan

Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh kedua negara. Tantangan bagi Indonesia adalah perbaikan iklim investasi, khususnya bila dibandingkan dengan China dan negara Asia lainnya.

Terkait beberapa masalah itu, hal-hal yang dimuat dalam JIEPA akan memberi kontribusi pada perbaikan iklim investasi di Indonesia secara efisien.

Secara nyata, sehubungan dengan kerangka kerja JIEPA, berdasarkan MOU yang ditandatangani dengan Kadin, Jetro merencanakan untuk, pertama, mendirikan dan mengelola bussiness support desk (BSD) yang diharapkan akan menciptakan kesempatan temu usaha (business matching) antara berbagai perusahaan kedua negara.

Kedua, mengirim tenaga ahli untuk membantu capacity building pada perusahaan Indonesia.

Ketiga, mengembangkan industri pendukung dan SDM, antara lain dengan mendukung kegiatan Indonesia Mold & Dies Industry Association (IMDIA) dalam Manufacturing Industry Development Center (MIDEC).

Dengan mempererat hubungan perdagangan dan investasi secara luas, seperti diatur dalam JIEPA, kerja sama nyata seperti uraian artikel ini, akan mendorong perbaikan iklim usaha di Indonesia pada masa depan. Selain itu, upaya ini juga akan meningkatkan nilai strategis global dan regional perusahaan Jepang ataupun Indonesia.

Yasuo Hayashi Chairman and CEO Japan External Trade Organization (Jetro)

 

 

 


Opini            

Senin, 20 Agustus 2007

Kerja Sama Indonesia-Jepang

Syamsul Hadi

Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement/EPA) Indonesia-Jepang ditandatangani hari ini, Senin (20/8). Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan, dengan perjanjian ini Indonesia diharapkan dapat meningkatkan ekspor beraneka produk ke Jepang, selain meningkatkan investasi Jepang di Indonesia.

EPA Indonesia-Jepang mencakup tiga hal utama dalam perjanjian perdagangan bebas, yaitu perdagangan barang (trade in goods), pelayanan (service), dan penanaman modal (investment). Perjanjian ini akan berlaku efektif November mendatang. Hasil kesepakatan EPA diharapkan akan meningkatkan total ekspor Indonesia sekitar 4,68 persen dari total ekspor sebelumnya. Jepang pun akan menghapuskan bea tarif sebesar 9.275 item tarif dalam perdagangan barang dan jasa. EPA ini diharapkan akan meningkatkan kesempatan bisnis sebesar 65 miliar dollar AS pada tahun 2010 (IGJ, 2007).

“Merayu” Jepang

Penandatanganan EPA ini merupakan tonggak penting upaya pemerintah untuk terus meningkatkan investasi Jepang ke Indonesia. Hampir tidak terhitung jumlah kunjungan dan promosi guna mengundang investasi Jepang, dari presiden, wapres, menteri, birokrat, sampai organisasi bisnis. Juga telah dibentuk Joint Forum on Investment untuk kepentingan serupa. Tampaknya pemerintah ingin “mengembalikan” kedudukan istimewa Jepang sebagai investor terbesar di Indonesia sepanjang

 

 

 


Opini            

Sabtu, 18 Agustus 2007

Tantangan Republik Konstitusional

BENNY K HARMAN

Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pernyataan mengenai kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu menandai terbentuknya Republik Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI yang menghasilkan presiden dan wakilnya untuk menjalankan pemerintahan serta UUD 1945 sebagai piagam pendirian RI.

RI yang didirikan adalah republik konstitusional. Pertama, selain dibentuk atas dasar sebuah proklamasi, yang terpenting adalah atas dasar hukum yang bernama UUD 1945. UUD inilah yang melegalkan keberadaan RI.

Kedua, republik konstitusional tidak hanya berurusan dengan ketatanegaraan dan fungsi kedaulatan, tetapi juga mencakup fungsi pelayanan, tugas memperbaiki kondisi ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ketiga, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi ataupun dasar hukum dalam pengaturan kewenangan, fungsi, dan tugas lembaga-lembaga negara dan mekanisme penyelesaian jika terjadi konflik seperti presiden, DPR, dan MPR, serta MA. Kedudukan presiden, parlemen, dan lembaga kehakiman bersifat sejajar.

Keempat, UUD 1945 menjadi acuan penyusunan perundang- undangan ataupun peraturan lain. Tak boleh ada UU dan peraturan di bawahnya yang melanggar UUD 1945, sebab secara hierarki konstitusi menempati kedudukan tertinggi. UU dan peraturan di bawahnya selalu disalahkan jika ada masalah hukum.

Kelima, dalam konstitusinya, republik konstitusional selalu didasarkan atas kewajiban negara (obligation of the state) untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi atau mempromosi HAM. Ketentuan ini dibutuhkan untuk menjamin aparat negara tak berbuat sewenang-wenang kepada setiap orang.

Keenam, republik konstitusional harus didasarkan konstitusi yang selalu bersifat terbuka atas perubahan dan perkembangan atau kebutuhan politik, ekonomi, dan sosial yang lebih baik pada masa kini dan masa depan (berwatak visioner). Meski terbuka, bukan berarti ia terlalu gampang untuk diubah karena implikasinya UU dan peraturan di bawahnya juga harus diubah.

Tantangan republik

Republik—dengan konstitusi yang mendasari keberadaan legalnya—kini menghadapi tantangan yang lebih kompleks.

Pertama, kelemahan konstitusi sebagai kerangka pengaturan, konsistensi, dan pencapaian tujuan tata negara, perkembangan demokrasi, pemberantasan korupsi, jaminan HAM, penataan ekonomi dan kesejahteraan umum. Sejauh ini UUD 1945 memuat 37 pasal, terlalu ringkas jika dibanding UUD Republik Demokrasi Timor Leste (170 pasal).

Kedua, republik konstitusional wajib menjamin hak-hak sipil dan politik agar tak sewenang-wenang atau membiarkan orang atau kelompok lain mengancam pelaksanaan hak-hak itu. Prinsip kesetaraan di muka hukum dan larangan diskriminasi mendasari penegakan hukum. Jaminan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya agar kemakmuran tak dinikmati segelintir orang.

Ketiga, republik konstitusional tidak boleh membiarkan UU dan isi ketentuannya ataupun peraturan di bawahnya yang tak sesuai konstitusi. Setiap ketentuan yang melegalkan diskriminasi atas dasar apa pun menjadi tantangan serius republik konstitusional. Peran aktif dan imparsial MK dan MA dalam menguji suatu ketentuan yang melanggar UUD 1945 dan UU perlu diapresiasi.

Keempat, perkembangan republik dalam hubungannya dengan otonomi daerah harus bersumber pada konstitusi. Otonomi pemerintah dan parlemen daerah harus menjadi bagian dari tujuan republik konstitusional. Harus pula dipastikan otonomi bukan untuk mempersulit kehidupan umum di daerah tersebut.

Kelima, republik konstitusional telah dikenal umum sebagai negara nasional—bukan negara bagi segolongan orang—apalagi bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika. Watak diskriminasi dan intoleransi atas dasar apa pun tak boleh diakomodasi. Perda berdasar agama menjadi masalah serius bagi republik konstitusional.

Republik konstitusional wajib menghormati dan melindungi hak setiap orang dalam memeluk agama atau kepercayaan dan menjalankan ibadah, baik secara individual maupun kolektif. Republik tak boleh memaksa seseorang atau sekelompok orang. Republik wajib menindak tegas orang atau kelompok yang mengancam atau mengganggu hak orang lain.

BENNY K HARMAN Anggota Komisi III DPR

 

 

 


Opini            

Senin, 20 Agustus 2007

Udang di Balik Kerisauan Guru

Ki Supriyoko

Beberapa waktu lalu, ribuan guru berdemo “mengepung” Istana Negara. Mereka mengajukan tuntutan agar anggaran pendidikan sebesar (minimal) 20 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dipenuhi.

Perjuangan meningkatkan anggaran pendidikan sudah sering dilakukan, tetapi seharusnya tidak disertai pematokan angka 20 persen apalagi dimasukkan dalam UUD 1945 hasil perubahan. Mengapa? Dari dulu hingga kini, untuk memenuhi angka 20 persen, dirasa terlalu berat.

Memasang angka dalam UUD juga kurang tepat. UUD seharusnya memuat berbagai ketentuan yang konseptual filosofis, bukan angka-angka teknis. Namun, semua sudah terjadi.

Guru berdemo

Mencapai angka minimal 20 persen untuk pendidikan jelas susah. Siapa pun presidennya, menyisihkan anggaran 20 persen hanya untuk satu sektor tentu terasa berat.

Dalam pidato kenegaraan tentang RUU APBN 2007 di Gedung MPR/DPR Jakarta (16/8/2006), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, RAPBN 2007 mengalokasikan dana Rp 51,3 triliun untuk pendidikan.

Pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan, baik nominal maupun rasio, terhadap belanja pemerintah pusat untuk memenuhi amanat UU Sisdiknas.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2007 mengalami kenaikan signifikan. Konkretnya, dalam RAPBN 2004, anggaran pendidikan hanya Rp 15,2 triliun. Jika dalam RAPBN 2007 menjadi Rp 51,3 triliun, maka dalam tiga tahun mengalami kenaikan Rp 36,1 triliun (237,5 persen). Jika dirata-rata, ada kenaikan 79,2 persen per tahun.

Angka-angka tersebut tentu membesarkan hati. Namun, jika dihitung nilai relatifnya, ternyata tidak demikian. Jika diperhatikan, rancangan anggaran belanja RAPBN 2007 mencapai Rp 746,5 triliun, terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat Rp 496,0 triliun dan belanja pemerintah daerah Rp 250,5 triliun.

Apa arti semua itu? Jika dibandingkan dengan rancangan anggaran belanja (total), anggaran pendidikan kita baru mencapai 6,87 persen. Namun, jika dibandingkan dengan anggaran belanja pemerintah pusat, anggaran pendidikan kita mencapai 10,34 persen. Jadi, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2007 hanya 6,87 persen.

Melihat itu semua, terlihat, betapa pemerintah telah bersungguh-sungguh meningkatkan anggaran pendidikan, tetapi hasilnya belum memenuhi amanat UUD 1945 ataupun UU Sisdiknas. Maka, benar pendapat yang mengatakan, betapa sulit memenuhi angka 20 persen hanya untuk satu sektor pembangunan.

Udang berarti kesejahteraan?

Bahwa guru melakukan demo kini bukan hal baru dan makin lama menjadi hal yang biasa. Yang menjadi pertanyaan, mengapa tuntutan guru pada anggaran pendidikan dan tidak lagi seperti “kebiasaan” yang sudah-sudah, yaitu menuntut kesejahteraan.

Ketika hal itu saya tanyakan kepada guru senior, dengan sukarela dijawab, tuntutan anggaran pendidikan itu hanya sebagai strategi. Jika yang dituntut hanya masalah kesejahteraan, tentu tidak lagi menarik perhatian publik dan terkesan hanya memperjuangkan diri sendiri.

Namun, jika yang dituntut adalah masalah anggaran pendidikan, selain menarik perhatian publik, bahkan bisa mempermalukan pemerintah, maka anggota masyarakat akan lebih banyak yang mendukung perjuangan guru.

Benarkah bisa mempermalukan pemerintah? Itu benar karena, berdasar ketentuan yang ada, pemerintah telah “melanggar” UUD 1945 hasil perubahan (dan UU Sisdiknas). Jika hal ini didengar pihak asing, tentu tidak bagus untuk momentum menjelang Pemilu 2009.

Logikanya sederhana, jika anggaran pendidikan dipenuhi minimal 20 persen dari APBN, akhirnya akan lari ke kesejahteraan guru juga.

Benarkah otak-atik ini? Benarkah para guru risau? Benarkah ada udang kesejahteraan di balik demo guru? Entahlah! Namun, yang jelas, kesejahteraan guru di Indonesia memang amat memprihatinkan. Pemerintah diharapkan memberi perhatian atas masalah ini.

Ki Supriyoko Pamong Tamansiswa, Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), Sekretaris Komnas Pendidikan Indonesia

 

 

 


Opini            

Senin, 20 Agustus 2007

KUHP Tak Memihak Kemerdekaan Pers?

AMIR SYAMSUDDIN

Keinginan pemerintah untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tampaknya akan ditolak oleh masyarakat pers. Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP juga disesalkan karena dianggap masih banyak pasal-pasal kriminal yang dapat menjerat pers. Pertanyaannya, benarkah KUHP kita mengkriminalkan pers, atau benarkah KUHP atau RUU KUHP tidak berpihak pada kemerdekaan pers?

Roumeen Islam dalam The Right To Tell (2002) menyatakan bahwa ketika undang-undang (UU) pidana atas nama kepentingan publik memberikan perlindungan terhadap tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh sebuah media, dengan mewajibkan individu untuk membuktikan bahwa berita yang katanya mencemarkan nama baiknya itu tidak benar dan dibuat dengan maksud jahat, maka UU demikian menguntungkan kebebasan pers.

Apakah ini berarti UU yang mengatur adanya unsur kepentingan umum sebagai bagian dari pembelaan pers adalah UU yang berpihak pada kemerdekaan pers?

Pasal 310 Ayat 3 KUHP memberikan peluang kepada pers untuk menggunakan unsur “kepentingan umum” sebagai dalil pembenaran diri atau sebagai alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond).

Jadi, bisakah dikatakan KUHP atau RUU KUHP kita berpihak kepada kemerdekaan pers? Tentu akan menjadi perdebatan ketika KUHP ataupun RUU KUHP kita saat ini dinyatakan sebagai UU yang mengkriminalkan pers.

Adapun unsur “kepentingan umum” sering dijadikan dalil oleh pers untuk menjadi alasan pembenar agar terhindar dari jeratan hukum. Pertanyaannya, kriteria “kepentingan umum” seperti apa yang harus ditafsirkan sebagai alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond) dalam kegiatan pers?

Doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung tidak banyak memberikan pemahaman kepada kita mengenai kriteria “kepentingan umum” seperti yang harus ditafsirkan sebagai alasan untuk menghapus pidana pers.

Misalnya, dalam kasus majalah Time versus Soeharto, putusan Mahkamah Agung RI menyatakan, pemberitaan mengenai korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mantan Presiden RI Soeharto dapat dianggap sebagai pemberitaan demi kepentingan umum sehingga tidak dapat dipidana. Artinya, kepentingan umum yang dimaksud oleh Mahkamah Agung adalah pemberitaan mengenai KKN Soeharto merupakan pemberitaan atas nama kepentingan umum.

Peter J Kullick (2000) dalam bukunya, Rolling The Dice: Determining P In Order To Effectuate A Public-Private Taking- A Proposal To Redefine Public Use, menyatakan, kriteria kepentingan umum yang bisa didalilkan oleh pers adalah kegiatan yang bersifat public use dan public purpose. Artinya, harus ada manfaat dan tujuan untuk kepentingan publik/ masyarakat.

Salah satu kriteria kepentingan umum dapat kita temukan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menghebohkan itu. Namun, bagaimana kaitannya dengan kegiatan pers? Kepentingan umum seperti apa yang dibela oleh pers?

Jikalau kegiatan pers yang utama adalah pembuatan berita atau pemberitaan, pemberitaan yang bagaimana yang dapat ditafsirkan untuk dan atas nama kepentingan umum? Jika berbicara mengenai pemberitaan pers, kita tidak akan terlepas berbicara mengenai teknis jurnalistik, kaidah-kaidah hukum pers, dan jurnalistik yang terkandung dalam Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

Oleh karena itu, secara singkat dapat dikatakan, unsur “kepentingan umum” dalam pemberitaan pers, yang harus ditafsirkan sebagai alasan penghapus pidana dalam Pasal 310 Ayat (3) adalah pemberitaan yang berisikan kegiatan yang bersifat public use dan public purpose yang memenuhi persyaratan jurnalistik, seperti kebenaran, kualitas (profesional), kejujuran, obyektivitas (keakuratan), tidak berpiha, seimbang, dan terjangkau.

Persyaratan jurnalistik di atas tidaklah ilusif ataupun epistemik, melainkan sangat aksiotif sifatnya sehingga sangat mungkin dilakukan. Dengan memenuhi semua kriteria dan persyaratan di atas, maka sebuah pemberitaan pers jelas-jelas telah menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga sosial dan ekonomi menurut aturan yang berlaku.

AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum

 

 

 


Opini            

Rabu, 22 Agustus 2007

Mengisolasi Panik Finansial

A Tony Prasetiantono

Mungkinkah kepanikan di sektor finansial dan pasar modal dapat diisolasi sehingga tidak sampai merembet ke mana-mana. Dengan demikian, krisis ekonomi yang lebih besar dan luas dapat dihindari? Menurut saya, bisa. Mengapa?

Apabila kita belajar dari sejarah, kepanikan di lantai bursa saham yang kemudian menular secara berlebihan ke sektor riil secara meluas hanya terjadi secara amat signifikan saat terjadi the great depression atau malaise, yang terentang sejak 1929 hingga 1936. Waktu itu krisis dimulai dari kepanikan nasabah yang menarik dananya di bank-bank Austria, lalu meluas ke Eropa, dan menjalarkan kepanikan di bursa Wall Street, New York, yang akhirnya mengimbas ke seluruh dunia.

Namun, sesudah itu dunia tidak pernah mengalaminya lagi secara signifikan. Memang ada satu-dua kasus kepanikan yang menyebabkan krisis mini (mini crises), misalnya, dampak Black Monday pada Oktober 1987, tetapi hal itu tidak terlalu meluas ke sektor riil dan segera dapat dipadamkan.

Panik 2001, 2002, dan 2007

Ketika terjadi peristiwa 9/11 (11 September 2001) pun, kepanikan segera menikam bursa saham New York, kemudian menular ke bursa-bursa seluruh dunia. Namun, hal itu tidak sampai menyebabkan krisis ekonomi dunia berlebihan, apalagi depresi. Di Amerika Serikat, industri penerbangan memang sempat terpukul berat—terutama menimpa American dan United Airlines—tetapi tidak sampai menjerumuskan ke jurang resesi ekonomi lebih buruk.

Adapun dalam kasus skandal akuntansi perusahaan publik Enron, yang disusul WorldCom dan Xerox (2002), dampak negatifnya juga bisa diminimalkan, tidak melebar terlalu luas.

Mengapa gejolak di pasar modal tahun 2001 dan 2002 tidak meluas? Tentu karena otoritas perekonomian berhasil menetralkannya. Dalam kasus-kasus itu, diperlukan intervensi pemerintah secara intens.

Ide untuk melakukan intervensi ini justru diilhami depresi 1929–1936, yang kemudian mendorong John Maynard Keynes menerbitkan bukunya, The General Theory (1936). Dalam keadaan mekanisme pasar tidak mampu memberi hasil seperti yang diinginkan masyarakat (market failure), yang diperlukan adalah “pertolongan” atau intervensi pemerintah.

Berbekal pemahaman inilah, resep yang dipakai otoritas finansial Amerika Serikat dalam kasus 2001 dan sekarang, lebih kurang sama. Intinya, Bank Sentral (Fed) memasok pasar dengan likuiditas segar, untuk memfasilitasi para pelaku ekonomi melakukan transaksi saham. Dengan peredaran likuiditas dalam jumlah cukup, tidak ada alasan bagi pemain bursa untuk panik lebih lanjut. Berapa pun dana yang mereka butuhkan untuk transaksi, likuiditas di pasar terjamin jumlahnya. Hal ini diharapkan dapat memberi rasa aman para pemain sehingga tidak menambah kepanikan lebih lanjut. Setidaknya, kepanikan lebih besar tidak terjadi.

Saat terjadi peristiwa 9/11, Fed menyuntikkan 81,25 miliar dollar AS ke pasar, pada 14 September 2001. Dalam kasus sekarang, Fed menyuntikkan dana 35 miliar dollar AS. Dari skala injeksi likuiditas ini dapat diduga, Fed yakin bahwa tragedi 11 September 2001 jauh lebih dahsyat daripada krisis subprime mortgage investment kali ini.

Sebenarnya Fed masih bisa menyuntik likuiditas dalam skala lebih besar, sebagaimana Bank Sentral Eropa membanjiri pasar dengan dana 212 miliar dollar AS dan Bank Sentral Jepang dengan satu triliun yen. Namun, jika dilakukan, hal ini malah bisa memicu kepanikan lebih besar lagi.

Karena itu, Fed dan bank sentral lain harus taktis dan tidak boleh bereaksi berlebihan (over-reacted). Intervensi memang harus dilakukan, tetapi harus proporsional, sebatas kebutuhan. Karena itu, Fed juga tidak serta-merta menginjeksi pasar dengan likuiditasnya. Dana 35 miliar dollar AS dicairkan dalam dua tahap, yakni 19 miliar dollar AS dan 16 miliar dollar AS. Apabila masih dirasa kurang, Fed pasti akan menambahnya lagi. Prinsipnya, spending and creating liquidity is the way to stave-off a severe economic decline.

Merajut sentimen positif

Gejolak pasar modal memang bisa menjadi batu sandungan perekonomian dunia. Namun, bila para pelaku ekonomi bisa bersikap tenang dan berpikir lebih rasional, ancaman krisis bisa dihindari.

Menurut saya, ancaman terserius yang bisa menyebabkan krisis ekonomi mendalam bukan dari gejolak Wall Street, tetapi bila harga minyak dunia tidak bisa dikendalikan yang dipicu memanasnya perekonomian “Chindia” (China dan India).

Tahun 2004 Stephen Leeb pernah memprediksi harga minyak akan mencapai 100 dollar AS per barrel (The Oil Factor, Warner Books, New York), sesuatu yang saat itu terasa tidak masuk akal. Kenyataannya, harga minyak menembus rekor 78 dollar AS (2006), dan kini 74 dollar AS per barrel.

Belakangan, Leeb kembali meramal harga minyak 200 dollar AS pada akhir dasawarsa ini, atau tahun 2010 (The Coming Economic Collapse: How You Can Thrive When Oil Costs US$$200 a Barrel, Warner, New York, 2006). Kita boleh berdebat soal akurasi ramalan ini, tetapi satu hal sudah jelas: krisis ekonomi dunia amat berpotensi berasal dari lonjakan harga minyak.

Krisis energi ini terutama disebabkan ketidakseimbangan supply dan demand. Pertumbuhan ekonomi yang amat pesat di “Chindia” menyebabkan konsumsi energi berlebihan. Pada tahun 2007 perekonomian China bisa tumbuh hingga 11 persen, sedangkan India 8,7 persen. Jika tidak dikendalikan, ini akan bermuara pada lonjakan harga minyak lebih cepat.

“Soft landing”

Karena itu, yang kini diperlukan adalah soft landing (perekonomian yang “mendarat” mulus). Perekonomian China diharapkan tumbuh maksimal 9 persen, agar tidak terlalu konsumtif terhadap energi sehingga terhindar dari hard landing atau bahkan crash landing.

Di Indonesia, yang bisa dilakukan Bank Indonesia adalah melakukan intervensi secara hati-hati. Sama dengan yang dilakukan bank sentral lain, likuiditas di pasar harus terjaga pasokannya. Tidak boleh terjadi kelangkaan valuta asing di pasar, yang bisa menambah kepanikan. Dengan cadangan devisa 52,3 miliar dollar AS, sementara potensi capital outflow maksimal 20 miliar dollar AS, seharusnya pasar finansial kita dapat ditenangkan.

Sementara itu, seharusnya Bank Indonesia tidak tergoda untuk memberlakukan kontrol devisa (capital control), sebagaimana Bank of Thailand pernah mencobanya pada 18 Desember 2006. Upaya bank sentral Thailand untuk menahan agar modal jangka pendek asing bertahan lebih lama di sana melalui regulasi ternyata berbuah kepanikan yang kontraproduktif.

Kombinasi antara jaminan likuiditas valas di pasar, mempertahankan suku bunga BI Rate pada level konservatif 8,25 persen, dan tidak mengusik modal asing jangka pendek melalui represi (bukannya persuasi) merupakan tiga instrumen kunci bagi Bank Indonesia untuk merajut sentimen positif.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

 

 

 


Opini            

Kamis, 23 Agustus 2007

Pemerintahan Baru Tanpa Fretilin

Kristio Wahyono

Presiden Jose Ramos- Horta menetapkan Kay Rala Xanana Gusmao, pemimpin aliansi empat partai—PSD-ASDT, PD, dan CNRT—menjadi perdana menteri yang segera membentuk pemerintahan.

Maka, partai terkuat Fretilin, meski meraih 21 kursi, dikalahkan aliansi parpol yang bergabung dan menjadi 37 kursi dari 65 kursi parlemen yang tersedia.

Keputusan Horta memihak kelompok yang dalam UUD 2002 disebut aliansi-partai mayoritas parlemen, juga bisa dilihat sebagai balas jasa Presiden kepada pendukungnya. Saat itu Horta, yang calon independen, didukung Xanana dan massa dari keempat parpol dalam memenangi pemilihan presiden babak kedua Maret 2007 atas calon dari Fretilin, Francisco (Lu-Olo) Guterres.

Untuk memperkuat keputusan itu, sebelumnya Presiden Horta mengunjungi Uskup Alberto Ricardo dan Uskup Basilio do Nascimento guna mendengar pandangan gereja Katolik terkait dengan rencana pembentukan pemerintahan baru. Gereja Katolik menginginkan pemerintahan baru tanpa Fretilin.

Mayoritas kalangan intelektual pun berpandangan serupa. Selama lima tahun sejak 2002, negara-negara yang dulu bersimpati bahkan mensponsori kemerdekaan Timor Timur, kini seolah berbalik, tak peduli dengan tudingan terhadap Timor Leste sebagai salah satu “negara gagal”.

Rongrongan

Terlepas dari kondisionalitas itu, Pasal 106 UUD 2002 memberi wewenang konstitusional kepada Presiden Horta. “Perdana Menteri ditentukan oleh Parpol yang memperoleh suara terbanyak atau gabungan beberapa partai mayoritas di Parlemen yang kemudian ditetapkan oleh Presiden setelah mendengar partai-partai lain yang terwakili di Parlemen”. Jadi tidak salah jika Presiden Horta membuat interpretasi sendiri bahwa aliansi mayoritas parlemen berhak membentuk pemerintahan.

Gagasan Fretilin tentang “pemerintahan inklusif minoritas” serta gagasan power sharing yang didukung misi gabungan PBB, UNMIT, menemui jalan buntu.

Tiga kali kekalahan Fretilin sejak tahun lalu, mulai dari disingkirkannya Mari Alkatiri dari kursi PM, kekalahan Lu Olo dalam pilpres, dan kini Fretilin berdiri di luar panggung pemerintahan, harus diyakini bukan berarti partai itu tamat. Sebab, meski tidak mencapai 50 persen suara, Fretilin tetap unggul dengan 21 kursi ketimbang CNRT pimpinan Xanana (18), ASDT-PSD pimpinan Xavier Amaral dan Mario Carrascalao (11), dan PD pimpinan Lasama (8).

Lagi pula gagasan Fretilin tentang pembentukan pemerintahan inklusif minoritas dibenarkan Pasal 106 UUD 2002. Ini merupakan landasan konstitusional bagi Fretilin dalam perjuangan berikut jika pemerintahan aliansi mayoritas parlemen tiba-tiba tersandung di tengah jalan.

Belum final

Selain itu, pernah ada keraguan dari Presiden Horta atau misi gabungan PBB-UNMIT, pemerintahan apa pun tanpa Fretilin tidak akan menjamin stabilitas politik. Artinya, tidak tertutup kemungkinan pemerintahan aliansi tanpa Fretilin akan menghadapi rongrongan politik dan mungkin fisik dalam pemerintahan lima tahun kedepan. Fretilin sadar, “cabikan-cabikan” atas dirinya sudah di ambang pintu.

Penyelidikan lanjutan tentang dugaan keterlibatan Alkatiri dalam rencana pembunuhan para musuhnya (2006), audit internasional tentang penggunaan anggaran belanja pemerintah, dugaan berbagai korupsi, kerusuhan dengan gereja (2005), pengusiran pejabat negara yang menempati rumah pribadi (2004), tuduhan Fretilin terhadap pejabat yang terlibat kerusuhan Dili dan Atsabe (2002), dan tak transparannya perundingan pembagian minyak dan gas dengan Australia sejak 2001 diyakini akan tendensius.

Ada dua catatan. Pertama, pada 1975 berbagai kelompok yang dipimpin Partai UDT melakukan kudeta, menewaskan 15.000 jiwa. Namun, Fretilin mampu menaklukkan lawannya menuju “kemerdekaan Timor Timur” 27 November 1975.

Kedua, selama 20 tahun Fretilin digilas CNRM/CNRT, tetapi muncul kembali dan menjadi partai terkuat pada 2001. Maka, tidak ada jaminan untuk mengatakan, kekalahan Fretilin ini merupakan kekalahan final.

Kristio Wahyono Kepala Kantor Perwakilan RI di Dili (2000-2003)

 

 

 


Opini            

Sabtu, 18 Agustus 2007

Relevansi Khilafah di Indonesia

Azyumardi Azra

Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia pada 12 Agustus 2007 setidaknya berhasil menarik perhatian media internasional.

Beberapa hari sebelum dan pada hari-H konferensi itu, saya diwawancarai beberapa media internasional, termasuk al-Jazeera English live, dari Jakarta. Bagi kalangan media internasional yang memiliki persepsi atau bahkan bias tertentu terhadap Hizbut Tahrir (HT), Konferensi itu memiliki signifikansi sendiri. Bahkan dari aneka pertanyaan yang diajukan, tergambar seolah dengan konferensi itu Islam Indonesia telah berubah drastis; kesan mereka, dengan konferensi itu, khilafah segera berdiri (entah di mana), dan syariah Islam secara serta-merta segera berlaku di seluruh Indonesia.

Konferensi itu diselenggarakan bertepatan dengan 28 Rajab (1428 H). Konon pada tanggal yang sama apa yang disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai “Khilafah Utsmaniyyah” di Turki dihapuskan penguasa sekuler Turki, Kemal Ataturk pada 1924. Jika orang-orang Turki saja tidak pernah menangisi tamatnya riwayat khilafah ini, sebaliknya HT umumnya di berbagai penjuru dunia meratapi berakhirnya kekuasaan Turki Utsmani itu sebagai tamatnya persatuan Islam.

Makna khilafah

Apa sebenarnya khilafah itu? Masih relevan atau viable-kah pembentukan sebuah khilafah di tengah realitas dunia Muslim Indonesia dan internasional?

Awalnya istilah khilafah mengacu pada Al Quran surat al-Baqarah Ayat 30 tentang penciptaan manusia yang disebut khalifah, wakil Tuhan di bumi. Dalam hubungan dengan ayat-ayat lain, para ulama menafsirkan, tugas khalifah ialah memakmurkan kehidupan di muka bumi, bukan menegakkan khilafah, yaitu kekhalifahan, sebuah lembaga politik yang bermula pada masa pasca-Nabi Muhammad. Kekhalifahan ini dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyidun berturut-turut Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan ’Ali bin Abi Thalib. Ciri paling menonjol dari kekhalifahan yang empat ini ialah bahwa sukses didasarkan merit, keunggulan kualitas pribadi daripada yang lain- lain.

Kekhalifahan (khilafah), menurut sejarawan terkemuka Ibn Khaldun, tamat dengan berakhirnya al-Khulafa’ al-Rasyidun. Entitas politik Islam selanjutnya, seperti Dinasti Umaiyyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah, bukan khilafah karena suksesinya berdasar tali darah daripada merit. Semua entitas politik pasca-al-Khulafa’ al-Rasyidun adalah kerajaan atau kesultanan, bukan khilafah.

Karena itu, seperti pernah saya kemukakan dalam wawancara khusus tentang khilafah dengan majalah al-Wa’ie, media resmi HTI, gagasan khilafah yang mereka usung pada dasarnya merupakan romantisme dan idealisasi sejarah belaka. Karena, jika rujukan gagasan khilafah ialah kekuasaan Turki Utsmani, maka sejak awal pembentukannya pada masa Sulaiman al-Qanuni abad ke-15, para penguasanya hampir tidak pernah menyebut entitas politik mereka sebagai khilafah atau memanggil diri mereka sebagai khalifah. Sebaliknya, dengan rendah hati menyebut diri sebagai sultan. Barulah saat penguasa Turki Utsmani terakhir Sultan Abd al-Hamid pada dasawarsa kedua abad ke-20 terancam gerakan Turki Muda yang akan mengambil alih kekuasaan, ia menyebut diri sebagai khalifah guna menarik simpati dan solidaritas kaum Muslim lainnya.

Para penguasa Turki Utsmani tampaknya menyadari, khilafah dan jabatan khalifah bukan sembarangan. Mereka tahu, pada dasarnya adalah para ghazi, perwira, yang karena perjalanan sejarah menjadi para penguasa. Namun, sadar atau tidak, kekuasaan yang mereka bangun—dalam perspektif ilmu politik modern—adalah “oligarki militer” yang kemudian mengalami transformasi menjadi kesultanan.

Sampai masa Tanzimat (reformasi) sejak paruhan kedua abad ke-19, para sultan Turki Utsmani lebih dikenal sebagai penguasa yang despotik, yang lebih asyik dengan diri sendiri daripada memedulikan rakyat. Namun, untuk menciptakan citra kesalehan bagi dirinya, para penguasa ini memberi beasiswa kepada para penuntut ilmu, khususnya yang ada di Haramayn (Mekkah dan Madinah).

Karena watak Dinasti Turki Utsmani seperti itu, Haji Agus Salim pernah mengingatkan tokoh-tokoh Muslim Indonesia yang terlibat dalam Komite Khilafat, yang menentang penghapusan yang dilakukan Kemal Ataturk, bahwa khilafah tidak memiliki relevansi dengan Indonesia. Sebaiknya kaum Muslimin Nusantara tidak menjadikan para penguasa Utsmani yang despotik itu sebagai sosok ideal mereka. Yang relevan dengan kaum Muslimin Indonesia ialah mencapai kemerdekaan dan memakmurkan kehidupan bangsa sesuai dengan surat al-Baqarah Ayat 30 itu. Sejak itu, Komite Khilafat Indonesia kehilangan momentumnya dan ide khilafah tidak pernah lagi menjadi wacana kaum Muslimin arus utama seperti diwakili Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan banyak lagi.

Lepas dari pernyataan Haji Agus Salim dan kenyataan tidak berkembangnya wacana khilafah dalam arus utama kaum Muslim Indonesia, gagasan khilafah agaknya tidak pernah pudar. Sejak Jamaluddin al-Afghani menyerukan perlunya khilafah (politik) di Istanbul dan khilafah keagamaan di Mekkah, bisa disimak ide khilafah yang dikembangkan para pemikir sejak Abd al-Rahman al-Kawakibi (Suriah), Abu al-A’la al-Mawdudi (Pakistan) dan Taqi al-Din al-Nabhani (Palestina), pendiri HT. Tentu saja, sejauh ini HT paling gigih memperjuangkan apa yang disebut khilafah.

Khilafah dan negara bangsa

Gagasan khilafah pada masa modern kontemporer menyerukan pembentukan kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi; sebuah gagasan yang dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Jika umat Islam boleh jujur kepada diri sendiri, kesatuan semacam itu tidak pernah terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Kesatuan hanya terwujud pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Tetapi sejak masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan, terjadi pertikaian dengan ‘Ali bin Abi Thalib—lalu menjadi khalifah keempat. Sejak itu, persatuan umat Islam di bawah satu kekuasaan politik tunggal lebih merupakan imajinasi yang jauh.

Abu A’la al-Mawdudi, yang merumuskan khilafah secara lebih komprehensif, menyadari hampir tidak mungkinnya mewujudkan khilafah universal. Akhirnya ia menyerah kepada realitas negara-bangsa (nation-state). Ia menerima kehadiran negara-bangsa Pakistan pascapartisi Anak Benua India pada 1947, lalu mendirikan parpol Jama’ati-Islami untuk mewujudkan cita-citanya mencapai khilafah. Maka, al-Mawdudi dan Jama’ati-Islami terlibat pergulatan politik nasional Pakistan yang kompleks, sampai terlihat seolah melupakan gagasan dan cita khilafahnya.

Pengalaman al-Mawdudi itu setidaknya menunjukkan dua kontradiksi. Pertama, khilafah tidak mungkin dicapai melalui negara-bangsa. Kedua, negara-bangsa yang ada pada dasarnya menerapkan sistem demokrasi modern. Dan khilafah tidak kompatibel dengan demokrasi yang bersandar pada vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), sementara khilafah yang berdasar pada vox dei vox populi (suara Tuhan adalah suara rakyat).

Realitas politik yang begitu kompleks membuat al-Mawdudi mengompromikan cita khilafahnya. Boleh jadi, HTI akan menempuh jalan yang sama. HT Jordania, misalnya, membentuk parpol yang terlibat proses-proses politik modern. HTI boleh jadi mengikuti langkah lebih realistis dengan membentuk parpol. Jika itu jalan yang ditempuh, realisme HTI patut diapresiasi dengan iringan doa, semoga berhasil di belantara politik Indonesia.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

 


Opini            

Rabu, 15 Agustus 2007

Antara Proklamasi dan Deklarasi

Budiman Sudjatmiko

Teks proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan 62 tahun lalu oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. “Tidak ada yang luar biasa” pada peristiwa 17 Agustus 1945 itu, kecuali telah dinyatakan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia bahwa kita telah merdeka.

Dengan merdeka, terjadi pengambilalihan kekuasaan. Ia tidak ditunjukkan dengan kejadian luar biasa, misalnya, ada upacara sertijab (serah terima jabatan) yang dramatis dari penguasa Jepang yang kalah dari sekutu kepada Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Kehendak merdeka

Namun, sesederhana apa pun peristiwa proklamasi itu, inilah yang oleh Jl Austin, filsuf bahasa dari Inggris, dalam buku How to Do Things with Words, disebut act of speech. Ini sama seperti mengucapkan “terima kasih”. Tak ada tindakan apa pun untuk menunjukkan bahwa seseorang berterima kasih, kecuali mengucapkan kata “terima kasih” itu sendiri.

Demikian juga dengan teks proklamasi. Bahwa suatu bangsa menyatakan merdeka dan mengambil alih kekuasaan, tak ada tindakan lain selain mengeluarkan pernyataan itu sendiri, maka merdekalah bangsa itu.

Sebagai act of speech, membacakan teks proklamasi yang singkat, merupakan tindakan sederhana meski sarat makna dan sakral sehingga (kecuali para separatis) nyaris tak ada pemimpin di Indonesia yang berpikir untuk mengkhianati apa yang eksplisit terkandung dari teks proklamasi itu. Ia terlalu sederhana namun sakral. Semacam credo atau syahadat sebuah bangsa.

Namun, kini orang cenderung lupa, sebagai bangsa sebenarnya kita memiliki dokumen lain yang terkait “kehendak merdeka”, selain proklamasi kemerdekaan. Inilah deklarasi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang oleh Bung Karno dikatakan telah “memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam perkembangan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita” (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II).

Namun, dalam perjalanannya, berbeda nasib antara teks proklamasi dan isi teks deklarasi. Tidak seperti terhadap proklamasi, banyak pemimpin kita (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) kerap mengkhianati deklarasi kemerdekaan yang menjadi “suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita” itu.

Banyak dari mereka setelah terpilih sebagai pemimpin rupanya lebih sering gagal “untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” (Alinea IV Pembukaan UUD 1945).

Deklarasi yang Ideologis

Berbeda dengan teks deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang jelas mengatakan tak ada sesuatu pun yang berhak merebut hak setiap orang untuk mengejar kebahagiaan pribadinya, maka teks deklarasi kemerdekaan Indonesia bertitik tekan untuk “memajukan kesejahteraan umum”. Sebagai sebuah teks, deklarasi kemerdekaan, kita menegaskan watak ideogis yang komunitarian demokratik, bukannya individualisme demokratik.

Dalam sebuah kajian yang dibuat Harvard Business School, disebutkan, apa pun namanya, di dunia ini ada dua tipe ideologi, yaitu individualisme dan komunitarianisme. Jika individualisme lebih menekankan pada persamaan kesempatan, berbasis kontrak, hak-hak milik, daya saing untuk memuaskan kebutuhan konsumen (yakni sebagian dari masyarakat yang punya daya beli), dan peran minim dari negara, maka komunitarianisme demokratik lebih menekankan persamaan hasil (yang diharapkan kesejahteraan umum bisa maju dan kecerdasan bangsa bisa diraih), hak dan kewajiban anggota komunitas, memuaskan kebutuhan seluruh komunitas (terlepas punya daya beli atau tidak), peran aktif negara, serta bersifat holistik atau saling tergantung antarmanusia, dan manusia dengan alam.

Dari tugas pemerintahan yang hendak didirikan oleh sebuah Indonesia yang merdeka, pesan ideologis yang terkandung adalah Pancasila merupakan bagian dari tipe ideologi yang komunitarian demokratik yang menekankan peran aktif negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Studi dari Harvard itu juga menunjukkan, dalam kajian terhadap sembilan negara, justru negara-negara yang tradisi komunitarianisme demokratiknya paling tinggi, yaitu Jepang, Korea, Taiwan, dan Jerman, adalah negara yang paling kompetitif dalam mengatasi ketertinggalannya dalam pembangunan ekonomi dan karakter bangsanya pada era seusai Perang Dunia II.

Karena itu, perlu kiranya kita menggunakan momentum refleksi kemerdekaan ini untuk sungguh-sungguh berpikir dan berbuat berdasarkan pikiran yang sehat. Pikiran dan perbuatan yang sehat seyogianya memaknai kemerdekaan sebagai sebuah tindakan dan kehendak (atau tekad) sekaligus untuk semakin pantas kita mengklaim diri merdeka. Dalam hal ini adalah memerdekakan sebuah komunitas bangsa yang dicirikan oleh kecerdasan dan kesejahteraan umumnya yang meningkat, yang segenap dirinya dilindungi secara sengaja oleh pemerintahnya dalam sebuah negara yang sudah dimerdekakan melalui proklamasi. Inilah fungsi dan guna dari sebuah deklarasi kemerdekaan.

Perkara logika

Menurut hemat penulis, kehendak untuk mewujudkan kemerdekaan komunitas bangsa sebagai amanat deklarasi kemerdekaan bukanlah perkara etika, melainkan perkara logika.

Karena berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah asing yang menjajah kita yang bermaksud “mencerdaskan” dan “menyejahterakan” bangsa jajahan melalui “politik balas budi/politik etis”, Pemerintah Indonesia tidak diminta berbuat etis atau membalas budi rakyatnya sendiri saat melindungi dan memajukan kesejahteraan umum mereka.

Ini adalah urusan yang logis sekaligus ideologis dari sebuah pemerintahan yang masih mau disebut sebagai pemerintah negara Indonesia. Karena ia sudah tertulis dalam bacaan pendahuluan kitabnya bangsa Indonesia merdeka, yakni Pembukaan UUD 1945 atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.

Leaders, you were elected not only to lead but also to read. Dirgahayu Indonesia.

Budiman Sudjatmiko Direktur Eksekutif ResPublica Institute; dan Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan


Opini            

Rabu, 15 Agustus 2007

Pendidikan yang “Memerdekakan”

Maria FK Namang

Saat merayakan HUT kemerdekaan, pertanyaan evaluatif tentang keadaan bangsa kembali mengemuka. Apakah kematangan usia juga terekspresi dalam realitas bangsa yang kian membaik? Apa kaitannya dengan model pendidikan kita?

Paulo Freire (1921-1997), pedagog asal Brasil, mendeteksi model pendidikan pada masanya sebagai salah satu akar penyebab. Dari sana ia menyebar seperti virus dalam aneka kebijakan yang menjerumuskan.

Bisa dipahami. Pendidikan pada dekade 1960-an, dunia terlalu dipengaruhi angan-angan memasuki milenium baru. Katanya, keberadaan dan keberartian seseorang diukur dari tingkat penguasaan teknologi. Model teknologi yang bakal muncul pun sudah diprediksi. Ia meneruskan model lineal. Memang ada perubahan, tetapi tidak terjadi secara substansial.

Cara berpikir itu selanjutnya diterjemahkan dalam konsep pendidikan yang monologal. Pendidik yang dianggap mengetahui semua hal mentransfer pengetahuannya kepada peserta didik yang dianggap tabula rasa, atau papan kosong.

Sistem ini oleh Freire (Pedagogia del oppresso: 1970) dianalogkan dengan model bank. Peserta diarahkan untuk hanya menyimpan pengetahuan, kecakapan teoretis, dan kelincahan menguasai teknologi, seperti yang diajarkan guru. Daya kritis nyaris tak diberi tempat.

“Hipertext”

Sekilas, model pendidikan ala bank adalah solusi yang menggiurkan. Memberi kemampuan dan melatih keterampilan akan amat bermanfaat. Tiba saatnya, mereka menjadi pribadi terlatih yang siap memasuki dunia kerja. Kemajuan pasti digenggam apabila kriteria-kriteria seperti tertulis indah dalam buku teks diikuti secara harfiah.

Tanpa disadari, model pendidikan seperti tersebut bersifat membelenggu. Peserta didik lebih diarahkan untuk memenuhi sejumlah target kurikulum. Sementara itu, lingkungan sekitar, konteks tempat seseorang hidup, dan tanda-tanda zaman kurang diberi perhatian. Tak pelak, saat muncul model lain, yang tidak sesuai dengan skenario, akan menghancurkan tatanan sebelumnya. Kehancuran Brasil pada dekade 1980-an dan Indonesia pada akhir dekade 1990-an adalah contohnya.

Seharusnya pengalaman tragis itu tidak perlu dialami bila awasan Freire cukup mendapat perhatian. Dalam buku L’educazione come practica della libeazione: 1969, dia menawarkan model pendidikan yang lebih dialogal, yaitu guru dan murid saling mendidik. Keduanya tidak terpaku pada buku teks, yang sudah disusun begitu tematis mengikuti kurikulum.

Sebaliknya, mereka lebih diarahkan untuk mengembangkan daya nalar dan rasa serta kemampuan kreatif karsa dalam situasi apa pun.

Metode inilah yang diperjuangkan Freire, atau yang kini dirumuskan sebagai hipertex, yang oleh George P Landow ditulis dalam Hypertext: the Convergence of Contemporary Critical Theory and Technology: 1992. Di sana, setiap pribadi dipertajam pisau analisisnya, diasah nuraninya, dan dikuatkan kehendaknya, agar dalam konteks apa pun mereka sanggup mengambil keputusan yang tepat.

Ruang kreasi

Pada HUT kemerdekaan seperti ini, kita perlu ikhlas mengakui, keterpurukan yang masih dialami bangsa ini terkait model pendidikan yang kita anut. Meski de iure kita cukup merdeka dalam menentukan model pendidikan kita, namun secara de facto, praktik kolonialisme masih dominan. Pendidikan kita masih bernuansa imitatif untuk mengembangkan kemampuan operatif dan akuisitif dari teknologi. Sementara itu, kemampuan suportif apalagi inovatif produk hipertext masih jauh dari harapan.

Untuk itu dibutuhkan pembenahan. Pertama, perlu pemberdayaan ruang kreativitas. Para siswa perlu dipandang sebagai partner pendidikan dan subyek pedagogis. Bersama guru, mereka meretas relasi kerekanan yang saling memberi dan menerima. Dan terpenting, akal, nurani, dan tangannya (head, heart, hand), diberdayakan secara utuh. Di sana, diharapkan agar dalam kondisi berbeda mereka mampu menjadi pelaku. Itulah yang dikehendaki hipertext.

Kedua, kita butuh pijakan filosofis pendidikan. Ia menjadi kekuatan internal yang menjadi pedoman dan penuntun arah dalam berbagai kebijakan. Kenyataan menunjukkan, perubahan yang kerap terjadi pada level kurikulum, lebih menjadi ekspresi imitatif terhadap negara lain ketimbang buah refleksi dengan pijakan falsafah bangsa yang kuat. Kita bagai bunglon yang begitu rajin mengubah warna, tetapi tidak pernah menukik ke kedalaman batin untuk menjadikannya titik awal perubahan itu dari sana.

Ketiga, butuh kehendak politik. Rambu-rambu yang terumus dalam kurikulum amat baik karena mengikuti pemikiran pedagogis-edukatif mutakhir. Hanya saja, rancangan itu tidak disertai komitmen. Pemerintah masih setengah hati dalam perubahan hingga ada kesan masih ada neokolonialisme. Buku cetak (buku teks) masih dijadikan acuan tunggal dalam mengajar. Dan tidak dilupakan, buku cetak juga peluang bisnis, yang selalu akan terus diganti mengikuti permintaan pasar.

Untuk itu, tidak ada pilihan selain menyadari kembali pola pendidikan yang masih menindas dan menguatkan kehendak agar secara kolektif-kebangsaan kita membuat pembaruan. Hanya dengan demikian tiap tahun bangsa akan makin maju secara gradual dan kian kokoh.

Dirgahayu Republik Indonesia.

Maria FK Namang Alumna Facoltà di Scienze dell’Educazione dell’Università Pontificia Salesiana-Roma

 

 

 


Opini            

Rabu, 15 Agustus 2007

BUMN
Syarat KA Menuju “Zero Accident”

Moch S Hendrowijono

Tergulingnya Kereta Api Gumarang di kawasan Grobogan, Jawa Tengah, makin menguatkan pendapat masyarakat bahwa kereta api kita tidak aman. Masih belum diketahui, apakah pemotongan rel sehingga kereta terguling itu karena tindak kriminal murni atau sabotase.

Jalur kereta api, termasuk stasiun dan depo, kecuali bengkel (Balai Yasa), merupakan tempat yang sangat terbuka, tidak steril. Ini bertentangan dengan prinsip keselamatan operasional kereta api di mana pun karena bisa mengancam kelancaran operasi yang bisa berdampak pada kecelakaan.

Tidak hanya sekali, terjadi tabrakan antara kendaraan di jalan raya dan kereta api, orang tersambar kereta ketika menyeberang bukan di perlintasan yang dijaga, dan sebagainya. Penggergajian rel sampai putus sehingga KA Gumarang terguling tak mungkin terjadi jika kawasan kereta api steril.

Namun, siapa yang mengawasi jalur yang berada di tengah sawah jauh dari permukiman itu? Sadar hukum masyarakat kita memang masih rendah, tetapi PT Kereta Api (KA) memiliki prosedur standar mengatasinya.

Selalu ada petugas pemeriksa jalan (JPJ/juru periksa jalan/baan schouwer) yang memeriksa keutuhan jalur KA, baik sebelum lewat KA pertama maupun sesudah KA terakhir lewat. Beberapa kali upaya menggergaji rel di jalur ini ketahuan oleh petugas, ada pelaku yang ditangkap.

Najwa Shihab bertanya di Metro Hari Ini, apakah kejadian itu sabotase atau kriminal, dan apakah dilakukan oleh orang PT KA sendiri sebab penggergajiannya dilakukan dengan rapi. Soal sabotase atau kriminal, bedanya sangat tipis, tetapi bahwa dilakukan orang dalam karena hasil kerjanya rapi, saya jawab belum tentu karena bengkel-bengkel besi bisa menggergaji dengan hasil jauh lebih baik.

Rel kereta api, juga penambat rel yang mereknya bisa Pandrol atau DE-Clip, sangat diincar orang untuk dijual ke pabrik-pabrik baja yang banyak di sekitar Tegal dan jalur pantai utara. Pencuri tidak peduli kereta terguling atau tidak, sama ketika seorang sopir boks menyundul satu jembatan di daerah Kebumen beberapa tahun lalu yang menyebabkan rel meliuk dan kereta terguling ke sawah.

Lokomotif dan kereta, tak cuma milik republik ini, memang lemah. Jangankan relnya diputus, rel tergeser satu sentimeter saja —mungkin karena sudah menipis atau penambatnya dicuri orang— sudah bisa membuat kereta api anjlok bahkan terguling.

Saat ini, tingkat kecelakaan kereta api kita cukup tinggi karena mutu sarana dan prasarana PT KA makin memburuk akibat ketiadaan dana yang memadai untuk perawatan, selain adanya kecenderungan penurunan disiplin karyawan. Pada semester pertama 2007 terjadi 75 kecelakaan kereta api, naik 70 persen dibandingkan dengan semester satu 2006 yang “hanya” 44 kali.

Kemampuan keuangan PT KA tidak menggembirakan. Pada semester satu tahun ini mereka rugi sampai Rp 53 miliar yang membuat operasional perusahaan menjadi semakin sulit. Sarana dan prasarana PT KA lalu ibarat becak yang joknya kusam, jari- jari rodanya bengkok, rantainya aus, bannya kempes walau catnya mencolok, yang oleh pemiliknya harus juga dioperasikan di jalan yang tidak rata. Bisa jalan, tetapi tak heran kalau sesekali—dan makin sering—terseok.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000-2005 menemukan kerugian PT KA rugi Rp 2,8 triliun. Namun, penggantian pemerintah berupa PSO (public service obligation/kewajiban melayani publik) hanya Rp 695 miliar sehingga “rugi bersihnya” Rp 2,12 triliun.

Kecuali kelas ekonomi, KA tak lagi dilirik orang yang lebih suka naik pesawat Jakarta-Surabaya atau Jakarta ke Semarang atau Yogyakarta yang lebih cepat, nyaman, dan relatif murah. Atau travel lebih cepat dibandingkan dengan Argo Gede atau Parahyangan dari Jakarta ke Bandung PP lewat Jalan Tol Padaleunyi.

Sebelum tarif pesawat murah dan belum ada tol Purbaleunyi, KA Argo jadi kereta bergengsi yang acap kehabisan karcis sehingga restorasi pun dipenuhi orang yang memberi rezeki kondektur dan awak kereta. Termasuk Parahyangan dan Argo menyubsidi kelas ekonomi yang bertarif murah.

Kini boro-boro memberi subsidi, KA mahal tadi pun sudah terseok-seok, pendapatannya tak cukup untuk biaya operasinya. Jumlah perjalanan Argo Gede dan Parahyangan dipangkas seefisien mungkin, tetapi akibatnya penumpang tak mendapat pilihan kereta setiap jam sehingga mereka lari juga ke travel. Argo Anggrek tak lagi berbau bunga. Kini banyak fasilitasnya terkurangi, TV acap rusak atau kursi- kursi berubah menjadi kursi malas karena sudah sulit ditegakkan.

“Hil yang mustahal”

Sekitar 90 persen dari 160 juta penumpang PT KA setahun adalah penumpang kelas ekonomi yang jumlahnya tak pernah berkurang, baik jarak jauh maupun kereta lokal semisal KA Jabotabek. KA ekonomi jadi tumpuan karena tarifnya sekitar seperempat tarif bus antarkota untuk trayek yang sama.

Contohnya tarif KA Kertajaya Jakarta-Surabaya (719 kilometer) yang Rp 47.000, sementara tarif bus Rp 100.000. Demikian juga untuk tujuan Pasar Senen-Karawang (57 kilometer), KA Rp 2.500 bus, sementara bus Rp 10.000. KRL Jabotabek paling mahal Rp 2.500 berbanding Rp 10.000 tarif bus. Malah KA Jakarta-Rangkasbitung (83 kilometer) hanya Rp 2.000, sementara bus Rp 15.000.

Itu sebabnya KA ekonomi ke Rangkasbitung selalu dipadati penumpang dan berjubelnya penumpang membuat tingkat keausan serta kerusakan kereta dan lokomotif jauh di atas normal. Satu kereta yang maksimal berdaya tampung 150 orang kenyataannya dijejali 270 orang lebih.

Tarif kelas ekonomi tak bisa sembarangan ditetapkan manajemen PT KA karena harus dengan keputusan menteri, tetapi menaikkan tarif kelas ekonomi tidak populer dan dapat merugikan citra si menteri. Pemerintah selalu minta PT KA meningkatkan pelayanannya dulu sebelum usulan disetujui, padahal maksud kenaikan tarif untuk meningkatkan pelayanan yang mustahil dilakukan tanpa tarif yang wajar.

Tuntutan berbagai pihak, pemerintah, DPR, dan masyarakat, agar PT KA mengupayakan operasional tanpa kecelakaan (zero accident) sulit dilakukan. Keandalan rem tidak optimal sehingga kereta meluncur terus walau sudah direm. Rel dan roda sudah tipis membuat hampir setiap hari ada kereta anjlok. Banyak lokomotif dioperasikan tanpa no go item, semisal penyapu kaca (wiper) atau deadman pedal yang otomatis bisa mengerem kereta jika masinisnya tertidur.

Ada tarik-menarik di kalangan PT KA. Direktorat operasi menghendaki kereta terkondisi prima, tetapi direktorat teknik tidak bisa maksimal memenuhinya. Lalu muncul rekayasa yang sayangnya malah dipuji sebagai inovasi jika ada pegawai PT KA berhasil mengakali suku cadang yang sangat mahal dan perlu waktu pengadaannya.

Contoh profesionalisme petugas, ketika suatu kali pengatur udara (AC) di KA Bima mati, padahal jendela tak bisa dibuka sehingga penumpang kepanasan. Petugas operasi yang mendampingi penumpang sepanjang jalan dimaki habis meski masalahnya sepele, yaitu petugas teknik terbalik memasang coupler (penyambung listrik) antarkereta sehingga tak ada listrik untuk AC-nya.

Kemampuan finansial sering kali mampu membentuk pekerja jadi profesional atau jadi “inovatif”, yang dapat membahayakan keselamatan jika itu misalnya berhubungan dengan perbaikan dan perawatan alat keselamatan. Bahwa PT KA tidak memiliki dana cukup untuk perawatan, seharusnya ditindaklanjuti secara wajar, bukan dengan bongkar pasang manajemen. Pemberian batas waktu enam bulan bagi direksi PT KA untuk mencapai zero accident adalah hil yang mustahal.

Karena itu, desakan kenaikan tarif dalam batas wajar dan memenuhi kebutuhan perawatan untuk operasional sebaiknya tidak dihindari oleh pemegang kebijakan. Semua harus berani menghadapi kenyataan, daripada kecelakaan akan terjadi terus.

Moch S Hendrowijono Wartawan, Bermukim di Cisarua, Bandung

 

 

 


Opini            

Rabu, 15 Agustus 2007

EKONOMI
CSR Layaknya Buah Simalakama

Mulyadi Sumarto

Isu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) yang memanas dalam beberapa hari terakhir ini seperti layaknya buah simalakama. Betapa tidak, sejak iklim investasi dibangun Orde Baru, perusahaan, masyarakat, dan negara hidup berdampingan tetapi relasi di antara mereka sarat dengan konflik. Kasus Buyat, Abepura, dan Lapindo menunjukkan konflik tersebut. Kondisi problematik ini ingin diperbaiki melalui pengesahan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) yang mencakup pasal yang mengatur CSR, tetapi justru membuatnya semakin kompleks.

Kadin dan sejumlah asosiasi pengusaha menolak UU itu, tetapi pemerintah tetap mengesahkannya. Kekhawatiran mereka adalah UU itu menjadi sumber legitimasi praktik pungutan liar karena peraturan itu mencakup kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Begitu seriusnya polemik ini sehingga wakil presiden berusaha meredamnya dengan menyatakan agar perusahaan tidak khawatir pada pengelolaan CSR.

Kalau tidak hati-hati menata CSR, maka kasus hengkangnya PT Sony Elektronik Indonesia beberapa tahun lalu akan terjadi lagi dalam intensitas yang lebih besar dan ekshalasi konflik antara masyarakat dan perusahaan akan menjadi lebih panas. Kalau demikian, bagaimana seharusnya menata CSR? Apakah CSR layak diatur secara legal?

Kepedulian atau kewajiban?

Kompleksitas polemik UU PT berawal dari perbedaan perspektif menafsirkan konsep CSR. Belum ada titik temu antara sektor privat dan negara dalam memaknai CSR.

Banyak perusahaan menganggap bahwa realisasi CSR yang selama ini diwujudkan dalam program community development (CD) dilakukan karena kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena CSR merupakan kepedulian, maka keberadaan peraturan yang mewajibkannya menjadi tidak relevan.

Di sisi lain, harus diakui bahwa proses produksi perusahaan menciptakan externality.

Kehadiran externality melegitimasi negara untuk mewajibkan perusahaan menginternalisasinya guna meminimalisasi dampak externality pada masyarakat. Dalam hal ini, CSR merupakan salah satu media internalisasi externality. Dengan demikian, CSR bisa ditafsirkan sebagai kewajiban.

Pilihan pemaknaan CSR sebagai kewajiban atau kepedulian menimbulkan implikasi yang berbeda. CSR sebagai bentuk kepedulian tidak mungkin diatur secara legal, sementara CSR sebagai kewajiban bisa diatur oleh negara.

Belajar dari negara Lain

Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk mengurai perdebatan itu. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM).

Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur CSR.

Australia, misalnya, mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan CSR dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM.

Sementara itu, Kanada mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, dan penyelesaian masalah sosial.

Pendekatan pengelolaan CSR

Belajar dari beberapa pengalaman di negara itu dan mengacu pada upaya internalisasi externality, maka CSR perlu diatur secara formal.

Pada konteks ini, minimal ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, secara substansial, mengacu pada konsep externality, dasar berpijak yang rasional untuk mengaturnya adalah memikirkan siapa yang terkena dampak externality, wilayah cakupannya, cakupan programnya, dan pendekatan realisasi programnya. Dengan demikian, fokusnya bukan pada nominal “pundi-pundi” yang harus dialokasikan perusahaan, sebagaimana yang diatur oleh UU PT.

Kedua, secara institusional, terdapat tumpang tindih aturan hukum yang diberlakukan dan infrastruktur kelembagaan yang mendukung realisasi UU PT belum siap. UU itu overlap dengan UU Migas tahun 2001 yang telah mengatur realisasi program CD dan reklamasi lingkungan sebagai bagian dari CSR. Namun, peraturan itu belum bisa ditegakkan karena keterbatasan dukungan kelembagaan. Ini sangat mungkin terulang pada UU PT yang melibatkan pemangku kepentingan yang lebih kompleks.

Mengacu pada kedua hal tersebut, maka aturan hukum CSR sebaiknya difokuskan pada pembuatan rambu-rambu realisasi CSR, tetapi pelaksanaannya didesentralisasi di level perusahaan. Hal ini bisa dilakukan melalui standardisasi CSR secara partisipatif, transparan, dan akuntabel yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi. Dengan cara ini, maka CSR bukan lagi merupakan buah simalakama yang mematikan, tetapi buah manis yang bermanfaat bagi masyarakat, negara, dan perusahaan.

Mulyadi Sumarto Dosen Fisipol dan Magister Studi Kebijakan Konsentrasi CSR UGM

 

 

 


Opini            

Rabu, 15 Agustus 2007

CSR
Tindakan Amoral Korporasi?

Mukti Fajar ND

CSR yang selama ini dilakukan oleh korporasi, mendasarkan pada prinsip sukarela (voluntary) dan kedermawanan (philantrophy), dianggap tidak efektif. Demikian kegelisahan yang disampaikan Sekretaris Jenderal PBB dalam pertemuan Global Compact di Geneva, Swiss. Korporasi dianggap tidak mempunyai kepedulian terhadap persoalan sosial seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan community development.

Hal itu terbukti dengan meningkatnya krisis pemanasan global, ketimpangan ekonomi (extreme poverty), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta persoalan sosial lainnya. Demikian pula di Indonesia, pengaturan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilty/CSR) dalam Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal justru banyak ditentang banyak korporat.

Perdebatan klasik itu dikarenakan, pertama, mengenai hakikat korporasi dan, kedua, mengenai penegakan hukumnya.

Secara nature, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. Pendapat ini disampaikan Milton Friedman, seorang peraih nobel bidang ekonomi. “Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder,… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi” (Joel Bakan, 2006). Artinya, CSR merupakan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.

Dengan konstruksi hukum perusahaan yang ada sekarang, memang sulit untuk mengubah perilaku mereka. Walaupun kita bisa saksikan, korporasi dilahirkan untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri.

Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Masih ingat kisah tanggung jawab Lapindo Brantas Inc terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur, kan? Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.

Korporasi yang dibentuk dalam sebuah wilayah hukum seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat di mana hukum itu ada. Oleh karena itu, perlu dibongkar kembali (Gary von Stage, 1994). Pembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung (John Rawls, 1995).

Masyarakat mempunyai hak atas keuntungan yang didapat oleh korporasi karena masyarakat sesungguhnya “pemegang saham” bagi sebuah wilayah hukum yang dijadikan operasi korporasi. Perluasan tafsir atas Pasal 304 KUHP tentang “membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara…” dapat pula diterapkan sanksi pidana bagi korporasi yang mempunyai kekayaan berlebih tetapi menelantarkan masyarakat di sekitarnya dalam kesulitan.

Dengan paradigma tersebut, CSR akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam hukum perusahaan.

Ruang lingkup isu-isu dalam CSR memang tidak bisa dibatasi hanya pada teritorial negara karena dampak negatif yang diakibatkan operasi korporat bersifat global, seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Persoalan penegakan hukum internasional mempunyai kelemahan karena tidak adanya struktur hukum sebagai otoritas yang dibangun untuk melaksanakannya.

Perjanjian internasional hanya berjalan efektif ketika semua negara sepakat di dalamnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai organisasi raksasa yang diikuti hampir seluruh negara di dunia sampai hari ini berdalih hanya akan mengatur negara, bukan korporasi.

Alotnya pihak Amerika Serikat untuk menandatangani pengurangan emisi karbon, demi menekan pemanasan global dengan Uni Eropa, adalah bentuk pembelotan dan mungkin akan diikuti negara lain, yang akan dirugikan industrinya jika menandatangani kesepakatan tersebut.

Namun, bentuk soft law, seperti OECD Guidelines for Multinational Enterprises, yang digagas dalam World Summit on Sustainable Development on CSR dapat dijadikan rujukan (Calder & Culverwell, 2005).

Penerapan sertifikasi bagi korporasi yang memberikan produk yang ramah lingkungan, memerhatikan kehidupan yang layak bagi buruh, dan peduli terhadap community development adalah acuan bagi sebuah negara yang akan menerima kehadiran korporasi untuk beroperasi di wilayahnya.

Menolak kehadiran korporasi yang mempunyai daftar hitam adalah tindakan yang bijak dan baik untuk kemanusiaan daripada perhitungan keuntungan sesaat. Walau kadang sulit sebab korporasi lihai menyuap penjabat negara setempat untuk mendapat izin beroperasi.

Mukti Fajar ND Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

 

 

 


Opini            

Kamis, 16 Agustus 2007

Membesarkan Jiwa Bangsa

Yudi Latif

Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa? Sejarawan HG Wells menyimpulkan, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya.” Tekad sebagai sikap mental (state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.

Soekarno menandaskan hal ini dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959. “Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas—agar kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka Bumi (sirna ilang kertaning Bumi).

Membesarkan jiwa

Maka, Bung Karno berkali-kali menekankan perlunya membesarkan jiwa. “Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin, lebih besar daripada Roosevelet adalah jiwa Roosevelt,… lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu ada dalam dada tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya.”

Dalam hal ini, Mohammad Hatta gundah tentang masa depan kemerdekaan Indonesia yang mungkin dilumpuhkan oleh kekerdilan jiwa bangsa sendiri. Dengan mengutip puisi Schiller, ia bernubuat, “Sebuah abad besar telah lahir/tetapi ia menemukan generasi yang kerdil.”

Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidak eksis dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan keyakinan dan sikap batin yang perlu terus dibina dan dipupuk. Terlebih kebangsaan Indonesia, sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam unit kebangsaan baru, “Untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Peran kepemimpinan amat penting sebagai jangkar solidaritas kebangsaan. Para pemimpin mengemban amanat penderitaan rakyat, yang tanpa pertanggungjawabannya kemajemukan kebangsaan Indonesia sulit menemukan kehendak bersama. “Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya, dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapatkan rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita sendiri dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya dari kita sendiri (Pidato Radio, 8 November 1944).

Kesempatan merenung

Harapan dan peringatan kedua bapak bangsa itu perlu direnungkan di sela peringatan kemerdekaan Indonesia. Perlu refleksi diri, mengapa karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya, kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.

Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan perubahan yang luas cakupannya, instan kecepatannya, dan dalam penetrasinya, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Adakah kelebihan yang bisa dibanggakan selain karunia yang terberikan? Adakah sebutan yang bisa diukir di gelanggang internasional selain gelar-gelar buruk?

Manusia, sang pengubah

Dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan kian membuktikan kebenaran dirinya. Dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya.

Kita perlu “senjata” baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah baru. Ilmu dan teknologi, semangat inovasi dan daya etos dan etis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk memenangi masa depan.

Seharusnya kita bisa. Kita mewarisi kebesaran jiwa para pendiri bangsa, yang menorehkan nama Indonesia sebagai pelopor gerakan kemerdekaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebesaran jiwa dan pengikatan kekuatan nasional, kita masih cukup memiliki sumber daya untuk bangkit dari keterpurukan.

Untuk itu, bangsa kita harus keluar dari kekerdilan mentalitas budak—yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut—dengan memberi isi dan arah hidup kebangsaan. Seperti kata Bung Karno dalam Amanat Proklamasi 1956, “Bangsa Indonesia harus mempunyai isi hidup dan arah hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi hidup dan arah hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali. Ia adalah bangsa penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat, tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong melompong di bagian dalamnya.”

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

 

 

 


Opini            

Selasa, 14 Agustus 2007

Republik Pluralis

HENDARDI

Negara Republik Indonesia yang dibentuk melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 memang dimulai dari Jakarta, lalu menyebar ke daerah.

Meski RI berdasarkan pada Bhinneka Tunggal Ika, toleransi atas keberagaman terus menghadapi masalah. Keberadaan RI dalam masyarakat Indonesia perlu diperhatikan agar selalu diletakkan sebagai republik pluralis, semua golongan dengan berbagai pandangan dan kultural dihormati dan dihargai eksistensinya.

Republik pluralis

RI bukan republik yang didasarkan kepentingan golongan. Atas fakta geografis, bangsa ini terdiri dari beragam suku, etnis, agama, golongan, warna kulit, bahasa daerah, dan gender, tersebar di pulau-pulau besar dan kecil.

Setiap orang juga bisa mempunyai pandangan sosial dan politik beragam. Semua pandangan ini sudah berlangsung sebelum republik ini dibentuk.

Berbagai golongan di masyarakat juga mencerminkan keberagaman, baik berdasar agama maupun kepercayaan berlatar budaya yang lebih tua dari kemunculan republik.

Begitu juga keberagaman golongan dalam ekonomi. Fakta menunjukkan, tak hanya ada golongan pengusaha dan pedagang, tetapi juga golongan tani, buruh, pekerja, profesi, pegawai, dan nelayan. Termasuk pertaliannya dalam relasi ekonomi regional dan internasional.

Pada dasarnya republik pluralis menghormati keberagaman tanpa mengistimewakan satu golongan pun. Ia bukan teokrasi atau pemerintahan berdasar suatu agama, tetapi menghormati semua golongan, apa pun agama atau kepercayaannya.

Republik bersifat terbuka tanpa memandang asal-usul dan warna pandangan atau keyakinan tiap orang. Kebebasan dalam menyuarakan pendapat atau pandangan harus dihormati dan tidak boleh dibatasi sejauh tidak mengganggu hak-hak orang lain.

Sikap dan perilaku intoleran atas suatu golongan atau etnis tak bisa dibenarkan. Begitu juga diskriminasi yang mengakibatkan suatu golongan dikucilkan atau direndahkan. Ini jelas menyakiti nurani atau moralitas berbangsa.

Sudah seharusnya republik memperjelas komitmennya untuk menghormati dan melindungi keberagaman. Kejelasan ini hanya tampak standar melalui komitmen hukum sehingga sikap atau perilaku intoleran dan diskriminasi harus dilarang.

Kemunduran

Kini perkembangan republik ditandai reformasi hubungan pusat dan daerah. Sejak tahun 2000 digelar desentralisasi melalui “otonomi daerah”. Dengan proses ini, pemerintah dan parlemen daerah sebenarnya menikmati keuntungan politik dan ekonomi dalam mengelola daerahnya.

Namun, secara ekonomi masih terjadi eksploitasi atas sumber- sumber ekonomi di daerah sehingga menimbulkan banyak korupsi. Selain itu, tampak kemunduran yang dialami republik pluralis di daerah karena kecenderungan mengusung ketentuan suatu agama dan kedaerahan.

Aparat republik di daerah telah mengeluarkan dan memberlakukan peraturan daerah (perda) yang dikenal sebagai Perda Syariah. Lalu di daerah lain diikuti Perda Injil berdasar mayoritas penduduk suatu agama.

Keberadaan perda seperti itu bukan saja berdampak pada komunitas agama bersangkutan dan di luar komunitas itu, melainkan juga bagi kaum perempuan. Peran polisi pamong praja untuk merazia pun meningkat. Dalam praktiknya, juga tidak jarang terjadi pelecehan seksual.

Bahkan diberlakukan hukuman kejam seperti hukuman cambuk yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam Lainnya, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat.

Masalah kedaerahan juga mengeras seperti ditunjukkan oleh sejumlah kasus pemekaran daerah yang ditandai kekerasan. Kasus lainnya adalah kekerasan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Kasus-kasus berlatar agama juga kerap ditandai kekerasan. Beberapa komunitas mengalami penderitaan sebagai pengungsi karena terjadi pengusiran, perusakan tempat ibadah, dan berbagai intoleransi/diskriminasi berdasar agama. Lebih mengerikan lagi, teror bom yang membunuh sejumlah orang.

Semua perkembangan mutakhir itu menandai kemunduran republik yang seharusnya menghormati dan melindungi keberagaman. Inilah yang harus segera diatasi agar setiap orang yang berada di negeri ini dapat saling menghormati satu sama lain melalui perlindungan republik.

HENDARDI Dewan Pengurus Setara Institute for Democracy and Peace

 

 

 


Opini            

Kamis, 16 Agustus 2007

Merdeka bagi Rakyat Miskin

Benny Susetyo

Setiap memperingati hari kemerdekaan, selalu muncul pertanyaan, seberapa jauh kita benar-benar merdeka?

Bila ditanyakan arti kemerdekaan kepada pedagang kaki lima yang tempat berjualannya digusur semena-mena, warung dirobohkan paksa, atau buruh ditipu majikan, maka kemerdekaan merupakan omong kosong. Bagi mereka, kemerdekaan hanya fakta sejarah.

Tidak menjiwai kehidupan

Kemerdekaan tidak menjiwai kehidupan masyarakat karena berhenti sebagai fakta sejarah. Kemerdekaan adalah cerita masa lalu dan tidak terkait dengan masa kini. Keharuan dan keceriaan dalam aneka perlombaan, pemutaran film, upacara pengibaran bendera, kerja bakti memerahputihkan kampung sering hanya seremoni agustusan. Rutinitas mencoba memaknai heroisme.

Kemerdekaan kita baru sebatas kata-kata, sulit menjadi jiwa peri kehidupan masyarakat, sebab semua orang ingin meraih “kemerdekaannya” masing-masing. Jiwa kemerdekaan sebagai kesatuan rasa kolektif kebangsaan berubah menjadi keserakahan pribadi-pribadi untuk memiliki kemerdekaan masing-masing.

Makna kemerdekaan terasa sempit bila hanya merdeka dari penjajah pada 17 Agustus 1945. Seolah setelah kemerdekaan itu kita tak lagi memiliki musuh bersama, atau tak ada lagi yang bisa dijadikan musuh bersama. Padahal seiring dengan perubahan era, masih banyak musuh yang harus dihadapi bersama.

Kemerdekaan bukan sekadar upacara di tanah lapang, melainkan memberi kelapangan luas kepada rakyat untuk mengisi kemerdekaan ini tanpa gangguan.

Keadilan yang kian melepuh ibarat api dalam sekam. Ketidakadilan merupakan musuh yang terus menggerogoti jiwa kemerdekaan 1945. Siapakah yang tidak khawatir bila jiwa kemerdekaan 1945 suatu saat runtuh karena kesadaran elite untuk bersikap adil terhadap rakyatnya tergerus sikap egois, cinta kekuasaan, dan nafsu serakah.

Tanpa meremehkan arti kemerdekaan 1945, inilah fakta kehidupan bangsa sepanjang merdeka. Dialektika “mengisi kemerdekaan” selama 62 tahun sering hampa bagi kaum papa. Mereka seolah bukan pribadi yang berhak menikmati kemerdekaan.

Para pahlawan yang gigih berjuang pada masa lalu tak pernah membayangkan kehidupan anak yang kesulitan mengakses pendidikan. Faktanya, berapa juta anak Indonesia merasa sengsara karena harus berpendidikan atau lebih sengsara karena sulitnya berpendidikan?

Para elite bangsa harus bertanggung jawab atas aneka persoalan yang menyangkut nestapa kehidupan rakyat pada masa merdeka ini. Mereka telah memperlakukan negara dan kekuasaan bukan untuk membuktikan kesungguhan kemerdekaan, melainkan meremehkannya dengan berbuat tidak adil dan menghambat kreativitas masyarakat.

Para elite bangsa yang tidak merasa keliru mengelola negara, dengan menghamba kepada neoimperialisme asing ataupun utang luar negeri, sudah saatnya menyadari dampak yang kian parah dari ketidaksiapan bangsa menghadapi globalisasi. Kita nyaris tidak memiliki nilai tawar di mata internasional. Bahkan lebih buruk, pembangunan yang telah dijalankan 62 tahun, sebagian besar tidak jelas untuk siapa.

Masyarakat miskin tetap menjadi obyek derita dari semua sandiwara elite kekuasaan. Kemiskinannya menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk keuntungan tertentu. Ini semua dilakukan dalam situasi dan kondisi yang disebut merdeka.

Merdeka bermakna bebas

Merdeka bermakna bebas dari penjajahan fisik ataupun mental. Merdeka bermakna kolektif, dengan kemerdekaan kolektif menjadi cermin kemerdekaan individual, bukan sebaliknya.

Kaum miskin butuh hak untuk menikmati kemerdekaan. Kemerdekaan bukan hanya milik elite politik dan orang kaya. Kini, kemerdekaan belum merata. Tidak semua jiwa yang hidup di Tanah Air ini menikmati kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Semakin tua umur kemerdekaan, selayaknya melahirkan bangsa dengan elite lebih bijak. Semakin tua umur kemerdekaan, seharusnya menambah kedewasaan berpikir, merasa, dan bertindak.

Kemerdekaan 1945 memiliki makna amat dalam bagi pembebasan manusia. Ketidakadilan ekonomi, agama, sosial, budaya dan politik adalah bentuk ketidakmerdekaan. Membiarkan ketidakadilan berkembang, berarti membiarkan pengkhianatan terhadap arti kemerdekaan.

BENNY SUSETYO Pendiri Setara Institute

 

 

 


Opini            

Rabu, 29 Agustus 2007

Guru Inspiratif

Rhenald Kasali

Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui.

Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.

Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.

“Freedom Writers”

Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak di masyarakat. Namun tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected).

Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas “bodoh”, yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antargeng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.

Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya “bodoh” dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.

Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat “kurikulum” sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antargeng.

Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hilary Swank.

Keluar dari belenggu

Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita kian mengisolasi diri dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu kurikulum.

Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar absensi. Dengarlah protes Kazuo Murakami PhD, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat menyaksikan dominasi guru- guru kurikulum di Jepang membangun benteng hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak peduli dengan apa yang terjadi di luar.

Meski belum menonjol di masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.

Ada dua masalah yang harus direnungkan. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student’s ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat “Aku ingin jadi seperti dia” atau “Aku bisa lebih hebat lagi”.

Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Tiap upaya yang dilakukan para guru kreatif untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak bermoral

Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar “kurikulum”. Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-murid menjadi lebih artikulatif. Murid senang, tidak berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.

Kata Jagdish N Sheth, begitu orang- orang lama menyangkal realitas baru, mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah belenggu inertia, yang disebutnya destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki.

Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan “memanusiawikan” kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.

Rhenald Kasali Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia

 

 

 


Opini            

Senin, 20 Agustus 2007

“Bargain” Politik Petani Jepang

Steven Mere

Masuk sudut makanan kebutuhan pokok di supermarket Jepang memberi kesan berada di tengah lahan penghasil jenis bahan makanan apa saja. Bahan makanan dari luar Jepang berlimpah.

Pisang dari Filipina dan Amerika Latin. Mangga dan kelapa dari Thailand dan Filipina. Udang dari Indonesia dan Vietnam. Daging sapi dari AS dan Australia. Madu dari China. Harganya pun murah jika dibandingkan dengan barang-barang produksi dalam negeri (kokusan).

Liberalisasi ekonomi

Data Food Supply and Demand Table of 2002 Departemen Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang menyebutkan, 60 persen makanan yang dikonsumsi masyarakat Jepang diimpor dari luar. Karena pertanian dalam negeri hanya menyediakan 40 persen bahan makanan.

Terjadi deklinasi produksi pertanian dalam negeri Jepang bersamaan dengan deklinasi jumlah tenaga kerja. Banyak kaum muda migrasi ke kota. Padahal, jumlah petani tua cukup banyak dan perlu regenerasi. Skala pengolahan lahan pertanian pun disesuaikan jumlah dan tenaga kerja yang ada. Sulit mengolah lahan dalam skala besar. Belum lagi, biaya produksi pertanian amat mahal.

Dalam kondisi ini, pendekatan baru politik pertanian dan kebijakan penyediaan makanan dalam negeri menjadi urgen. Di bawah PM Junichiro Koizumi, Jepang yang selama ini ada di garda depan penerapan perlindungan pertanian (agricultural protectionism) dengan resistan terhadap impor hasil pertanian (makanan), mulai membuka pintu liberalisasi ekonomi. Salah satu langkah penting adalah menjaga stabilitas makanan impor.

Bagi masyarakat perkotaan, yang mencakup 80 persen penduduk Jepang, tersedianya kebutuhan pokok makanan impor murah tentu menggembirakan. Apalagi di tengah realitas mahalnya biaya hidup perkotaan.

Bagi negara dan petani pengekspor, terbukanya pintu impor memperluas pasar dan keuntungan bagi petani serta peningkatan devisa negara. Berbagai perusahaan transnasional yang terlibat hunting for food berpeluang meraup untung bisnis makanan.

Namun, tidak demikian bagi petani Jepang (4,6 persen dari populasi). Berlimpahnya makanan impor, selain melumpuhkan produksi pertanian dalam negeri, juga menyulitkan pengembangan usaha pertanian.

Besarnya biaya produksi yang tak diimbangi hasil pasar membuat banyak petani tidak bisa menggantungkan hidup hanya pada pertanian. Diperkirakan 80 persen petani harus mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sambilan di kota-kota terdekat (Yasuyo Yamazaki, 2004).

Kebijakan baru

Tanggal 4 April 2006 Pemerintah Jepang mengadopsi kebijakan baru, New Agricultural Policies 2006 for the 21st Century. Kebijakan yang oleh Yoshitaka Mashima (Gerakan Keluarga Petani) disebut sebagai destructive agriculture policies itu memuat visi yang justru memperburam prospek pertanian di Jepang.

Pertama, menghapus sistem tunjangan income bagi semua petani karena sistem lama dianggap terlalu melindungi petani.

Kedua, membongkar sistem pertanian keluarga yang menjadi basis pertanian Jepang.

Ketiga, sekitar 75 persen petani diekstradisi dari proses produksi. Sisanya, menerima subsidi pembayaran langsung, untuk menutupi gap harga barang dalam negeri dan barang impor.

Dalam keterpurukan itu, tawaran kebijakan pertanian partai oposisi Minshuto (Partai Demokrat), tentang kompensasi income untuk tiap petani bila biaya produksi melampaui harga penjualan hasil produksi atau dikenal dengan kobetsushotokushoshou (Manifest Politik No 3), menjanjikan harapan baru bagi petani.

Terlihat sikap dan komitmen soal balance keberpihakan Minshuto kepada petani. Tidak hanya probisnis dan elite pemodal, hanya demi mengejar kemajuan ekonomi makro yang dituntut globalisasi ekonomi semua petani di daerah dirangkum dan disantuni dana insentif secara proporsional. Keberpihakan Minshuto kepada petani ini mengkristalkan kekuatan petani menggugat PM Abe dan Jiminto, sekaligus mengalihkan kepercayaan kepada Minshuto dalam Pemilu Majelis Tinggi Jepang 29 Juli 2007. Jiminto tumbang sebagai partai berkuasa. Posisi PM Abe pun bagai telur di ujung tanduk.

Kemenangan Minshuto, yang kini menguasai Majelis Tinggi arlemen Jepang, bisa disebut kemenangan petani. Kini posisi tawar petani atas pemerintahan PM Abe tidak bisa diremehkan.

Steven Mere Diperbantukan di Department of Asian Studies, Nanzan University, Nagoya, Jepang

 

 

 


Opini            

Sabtu, 25 Agustus 2007

“Khilafah” Bukan Sekadar Romantisme

Muhammad Ismail Yusanto

Konferensi Khilafah Internasional 2007 yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia pada 12 Agustus berjalan sangat sukses.

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Konferensi Khilafah Internasional (KKI) akan menjadi ajang deklarasi pendirian khilafah tidak terbukti karena sejak awal KKI tidak dibuat untuk itu. KKI diselenggarakan hanya sebagai medium guna mengokohkan komitmen menegakkan syariah dan khilafah.

Namun, penilaian Azyumardi Azra (Kompas, 18/8) bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seakan-akan meratapi berakhirnya kekuasaan ke-khilafah-an Turki Utsmani adalah tidak tepat.

Sebagai Juru Bicara HTI, saya berulang kali menegaskan, perhelatan besar ini tidak dimaksudkan untuk mengenang atau memperpanjang kesedihan karena keruntuhan khilafah tidak layak untuk terus diratapi. Dan HTI sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa khilafah yang harus ditegakkan adalah khilafah Ustmaniyah yang dulu berpusat di Turki, tetapi khilafah ’ala minhaji an nubuwah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW dan dipraktikkan para khulafaurrasyidin yang merupakan sahabat utama nabi.

Satu hal penting dicatat, kewajiban menegakkan khilafah bukan didasarkan realitas historis atau kenyataan empiris, tetapi berdasarkan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dan dan Nabi Muhammad SAW sebagai jalan untuk menerapkan syariah dan mewujudkan ukhuwah.

Sejarah

Namun, bukan berarti fakta sejarah tidak penting. Dari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran, penyimpangan ke-khilafah-an dari tuntunan Al Quran dan as Sunnah pasti akan menimbulkan masalah. Karena itu, khilafah yang kita inginkan adalah khilafah yang menjalankan norma ideal Islam secara konsisten.

Kita mengakui ada penyimpangan yang dilakukan para khalifah pada masa lalu, tetapi tidak berarti sistem khilafah itulah yang salah. Adalah tidak relevan menyalahkan sistem yang ideal hanya dengan melihat kesalahan para pelakunya.

HTI juga tidak pernah menyatakan, seluruh sejarah khilafah adalah baik semua. Ada juga khilafah yang menyimpang dari norma ideal Islam. Namun, kekecewaan terhadap keburukan sebagian khalifah tidak boleh menutupi fakta historis tentang sejarah keemasan khilafah yang lain. Ini jelas bukan merupakan tindakan yang fair.

Banyak sejarawan mencatat secara obyektif kegemilangan khilafah. Will Durant dalam The Story of Civilization, misalnya, menuliskan, para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besar bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah telah menyiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.

Dr Ali Muhammad al-Shalabi dalam kitab al-Daulah al-Utsmaniyah, ‘Awamilu al-Nuhud wa Asbabu al-Suqut dengan jelas menggambarkan peran ke-khilafah-an Utsmani dalam melanjutkan kegemilangan peradaban Islam yang dibangun para khulafa sebelumnya. Maka tak berlebihan bila Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang ke-khilafah-an Utsmani dengan: Imperium Utsmani, lebih dari sekadar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya, dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar.

Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, dunia Islam telah melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya luas, terpelajar, perairannya amat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas dan perpustakaan lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan, dan aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu ada di depan.

Islam di Indonesia

Dalam sejarah pengembangan Islam Indonesia, peran khilafah Ustmaniyah juga amat menonjol. Banyak ulama, termasuk sebagian yang dikenal sebagai Wali Songo, dikirim oleh khalifah. Dia turut membantu kesultanan Aceh melawan penjajah Portugis saat itu. Dalam buku Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar Raniri disebutkan, Kesultanan Aceh menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur dari khilafah Utsmaniyah.

Adalah hak Azyumardi Azra untuk mengatakan, gagasan khilafah harus dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Namun, penggunaan tafsir dari Al Baqarah ayat 30 untuk menolak sistem khilafah perlu dipertanyakan.

Ulama terkemuka mana yang menjadikan ayat ini sebagai dasar penolakan terhadap sistem khilafah? Imam al-Qurthubi dalam buku tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur’an al-Azhim (Juz 1/264) justru menjelaskan sebaliknya tentang ayat ini. Dia menulis, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-a’sham (yang tuli) terhadap syariat”.

Menyatukan umat Islam memang berat, tetapi bukan utopis. Masalahnya terletak pada kesadaran. Bila muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan di bawah naungan khilafah, upaya penyatuan ini bukan mustahil. Penyatuan ini dimungkinkan karena karakter utama risalah Islam itu sendiri yang ditujukan untuk seluruh umat manusia (kâffat[an] li an-nâsh) dan untuk memberikan kebaikan bagi seluruh alam (rahmat[an] li al-‘âlamîn).

Dalam konteks Indonesia, ide khilafah adalah jalan untuk membawa Indonesia ke arah lebih baik. Syariah akan menggantikan sekularisme yang terbukti memurukkan negeri ini. Ide khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkeram negeri ini dalam berbagai aspek.

Hanya melalui kekuatan global, penjajahan oleh kekuatan kapitalisme global bisa dihadapi dengan cara yang sama. Karena itu, konferensi ini bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dan umat Islam terhadap masa depan Indonesia dan upaya menjaga kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.

Muhammad Ismail Yusanto Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia

 

 


Opini            

Selasa, 28 Agustus 2007

“La Politique Publique”

Sugeng Bahagijo

Kamus Concise Dictionary of Politic menulis, dalam bahasa Perancis, politik mengandung dua arti, ’politik’ dan ’kebijakan publik’, politique dan la politique publique (McLean and McMillan, 2003, Oxford).

Jika dua arti politik itu dipakai, sejauh mana politik Indonesia setelah 62 tahun merdeka mengarah kepada “kebijakan publik”.

Diam-diam, Indonesia merambah jalan baru. Kini pemerintah tidak perlu cemas diganti paksa di tengah jalan. Kelompok “oposisi” di dalam dan di luar parlemen menunggu hasil kinerja pemerintah selama lima tahun. Hampir semua pihak tidak tertarik untuk potong kompas melalui jalan ekstraparlementer seperti era Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Perhatian “politik” utama pun kini lebih tertuju kepada jenis dan hasil kebijakan pemerintah ketimbang soal perubahan kekuasaan.

Politik produktif

Jika benar politik Indonesia kini sama dengan urusan kebijakan, ini adalah perkembangan positif dan momentum langka. Momentum untuk menyusun politik yang lebih produktif. Politik sebagai ajang “adu kebaikan” (race to the top) ketimbang “adu keburukan” (race to the bottom). Hal itu bisa dan telah terjadi. Studi Joseph Wong tentang meluasnya kebijakan sosial dan jaminan kesehatan di bawah rezim demokratis di Korea dan Taiwan membuktikan ini (Healthy Democracies, 2004, Cornell University Press). Produktif tidak hanya berarti manfaat secara ekonomi dan sosial (pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga), tetapi juga manfaat politik (pemerintah terpilih kembali).

Dengan kacamata “politik sebagai kebijakan” dan “politik produktif”, bagaimana kita menilai pidato Presiden pada 16 Agustus? Ada dua hal, kebijakan industri dan sosial yang perlu disorot.

Dalam pidato Presiden, industrialisasi tidak mengandung kebijakan khusus untuk mendorong dan membantu industri tertentu agar menjadi pilar industri nasional yang mampu bersaing dalam kancah internasional. Tidak ada industrial policy.

Meski infrastruktur menjadi primadona anggaran, tidak ada kebijakan khusus untuk membangkitkan sektor riil, seperti industri perkebunan, tekstil, dan migas. Padahal, mereka menyerap jutaan tenaga kerja.

Di tengah kebijakan moneter yang masih ketat, sektor riil amat membutuhkan kebijakan afirmatif karena kebijakan industri akan menaikkan pertumbuhan, efisiensi, dan daya saing industri nasional (swasta dan BUMN), serta menciptakan konstituensi dan basis sosial di dunia usaha.

Program Askeskin

Bagaimana dengan kebijakan sosial? Program Askeskin layak dibahas. Jika program ini diandaikan efektif dan 90 persen kena sasaran, penerima Askeskin diharapkan merasakan manfaatnya. “Orang miskin dilarang sakit” tidak ada lagi sejak 2008.

Maka, mereka akan menjadi kelompok sosial yang diuntungkan. Sayang, penerima Askeskin terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja (90 juta), apalagi dibandingkan dengan total penduduk Indonesia, yang memerlukan jaminan kesehatan. Kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri perlu disesuaikan dengan inflasi, tetapi tidak memadai mengejar biaya kesehatan dan pendidikan. Padahal, kebijakan sosial universal memperluas kesejahteraan penduduk, dan menciptakan kohesi sosial.

Masalahnya, mengapa memilih mewajibkan dan mendanai asuransi yang selektif dan targeting untuk yang “miskin.” Bukankah ini menciptakan stigma bagi penerimanya? Mengapa bukan kebijakan universal bagi semua? Bukankah yang dianggap “tidak miskin” jumlahnya besar?

Bukan tanpa alasan, asuransi kesehatan di Inggris berlaku bagi semua, warga miskin dan tidak miskin (NHS). Dengan kombinasi dua sumber dana: APBN dan dana swasta. Pun bukan tanpa alasan bila Nyonya Thatcher, meski retorikanya menyerang welfare state dan big government, tetap mempertahankan NHS (Peter Hall, 1986, Governing The Economy, The Politics of State Intervention in Britain and France, Oxford University Press).

Kesimpulan sementara, sejauh Pidato Kenegaraan dan Nota keuangan 2008. dapat dicatat dua hal: (a) Hampir tidak ada satu pun kata tentang “kebijakan industri”, tetapi kata-kata seperti kemiskinan dan kesejahteraan memperoleh porsi paling banyak, yakni 34 (Kompas, 18/7); (b) Meski kebijakan industri dan sosial telah dilansir, tetapi prospek kebijakan itu dalam mendorong peluang politik bagi pemerintah untuk terpilih kembali, boleh dikata meragukan dan belum pasti.

Sugeng Bahagijo Associate Director, Prakarsa

 

 

 


Opini            

Kamis, 30 Agustus 2007

Faksionalisme dan Timur Tengah

Broto Wardoyo

Pascaperistiwa 9/11, Timur Tengah menjadi korban gejala unilateralisme. AS memulai aksi itu di Afganistan, lalu Irak. Adapun Israel memaksakannya dalam penyelesaian masalah Palestina/Israel.

Kini, gejala baru muncul di Timur Tengah (Timteng), berkontribusi negatif pada perdamaian. Timteng mengalami era faksionalisme yang membelah dunia Arab.

Di Irak, perseteruan kelompok Sunni-Syiah berkembang ke arah pembantaian etnis. Di Lebanon, gejolak Sunni-Syiah dan perpecahan intra-Maronit mengancam perang saudara di Lebanon. Dipicu penarikan diri Israel dari Lebanon selatan, beberapa kelompok menghendaki aksi serupa dilakukan Suriah. Sebagian kelompok lain—dengan Hezbollah sebagai tulang punggung—menghendaki Suriah tetap dilibatkan dalam politik Lebanon.

Di Palestina, gejala serupa muncul dalam pertentangan Fatah dan Hamas. Berakhirnya koalisi Fatah-Hamas-independen sesuai mandat Kesepakatan Mekkah menegaskan kuatnya politik faksionalisme di Palestina.

Dalam ketiga kasus tersebut, kegagalan membangun tatanan politik yang seimbang menjadi akar masalah menguatnya gejala faksionalisme.

Peranan asing

Tak ada lagi pan-Arabisme, pan-Islamisme, atau nasionalisme yang bisa mengatasi spirit faksionalisme itu. Gejala faksionalisme kian mekar dengan kuatnya intervensi pemain asing di masing-masing arena.

Di Irak, peran AS, Iran, dan negara-negara Arab-Teluk dibarengi ikut bermainnya aneka kelompok yang diidentifikasikan sebagai fundamentalis, menjadikan faksionalisme beriring kekerasan. Bom menjadi keseharian di Irak.

Di Lebanon, sistem politik confessionalism yang rentan terhadap benturan antarkelompok kian kaku oleh intervensi asing. AS, Israel, Suriah, dan Iran merupakan aktor-aktor luar utama di Lebanon yang keberadaannya dimanfaatkan—selain memanfaatkan—mitra-mitra lokalnya. Hasil pemilu sela bulan ini mengingatkan akan terjadinya perang sipil jika manajemen kekuasaan tidak dilakukan dengan baik. International Crisis Group sudah mengingatkan bahaya re-confessionalism dan street-politics (Lebanon in Tripwire, Middle East Briefing, 2006).

Di Palestina terjadi kondisi serupa. Pasca-Kesepakatan Mekkah harapan yang sempat terbersit ternyata hanya fatamorgana. Penataan sistem politik internal juga direcoki kuatnya kepentingan asing, baik Israel, AS, maupun para donor, Arab dan non-Arab.

Penguatan masyarakat sipil

Sejauh ini pilihan solusi dijatuhkan dengan meminimalkan intervensi asing. Di Irak, ada tekanan kuat agar AS mengurangi domain intervensi. Di sisi lain muncul tekanan serupa terhadap Iran. Dialog tiga pihak—Irak, AS, dan Iran—yang lebih dari sekali dilakukan merupakan usaha membelokkan kepentingan asing terhadap Irak. Di Lebanon, Resolusi 1701 memaksa semua pihak asing menahan diri dan menyerahkan penyelesaian kepada PBB dan Lebanon. Di Palestina, langkah Presiden Abbas menolak bantuan penyelesaian dari luar menjadi indikasi serupa.

Selain meminimalkan intervensi asing, pilihan solusi lain dilakukan dengan membangun demokrasi. Sebagai langkah awal, dilakukan pembentukan pemerintahan transisional—atau penguatan pemerintah yang sudah ada—diikuti penguatan hukum dan HAM. Langkah ini terbukti kontraproduktif karena ketidakpercayaan satu sama lain. Yang muncul, perdebatan ihwal kompatibilitas demokrasi dan karakter masyarakat Timteng. Kebiasaan tribalisme justru meletupkan kekerasan lebih besar dalam alam demokrasi.

Hal ini terjadi karena tidak adanya penguatan masyarakat sipil lebih dulu. Penguatan ini dibutuhkan guna memantapkan kekuatan tawar publik terhadap kekuasaan. Proses ini sudah ada di Palestina dengan tingginya kesadaran berpolitik dan menyelesaikan masalah melalui jalur politik. Sayang, dicemari tekanan asing yang merecoki proses dan memunculkan politik elite yang tidak jelas juntrungannya.

Di Irak, hilangnya dialog intrasipil memunculkan politik elite. Publik diombang-ambingkan elite yang bertarung. Penolakan publik terhadap kekerasan tidak digubris. Di Lebanon, hal sama juga terbentuk. Aliansi para elite menyulitkan publik untuk berpikir rasional dalam menentukan masa depan.

Gejala faksionalisme harus dihentikan jika kita tidak ingin melihat Timteng kian membara.

Broto Wardoyo Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

 

 

 


Opini            

Jumat, 31 Agustus 2007

Penanganan Terorisme

Arianto Sangaji

Dalam pidato 16 Agustus 2007 di DPR, Presiden Yudhoyono menyatakan perang terhadap terorisme.

Seperti ditulis Detik.com (16/8, 11:58) Presiden Yudhoyono (SBY) menyatakan, penanganan terorisme tidak boleh hanya di permukaan, harus menyentuh dan mengatasi penyebabnya. Beberapa penyebab itu, katanya, keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan, ekstremitas, dan budaya kekerasan.

Tampaknya, inilah untuk pertama kali Presiden menyorot terorisme di Indonesia. Misalnya, dengan menempatkan aksi teror dalam kerangka fundamentalisme agama. Dengan menyadari, pemerintah seharusnya segera menerjemahkan menjadi kebijakan nyata, tidak hanya memberi pernyataan yang terdengar menarik tanpa tindak lanjut.

Pendapat umum

Pendapat umum tentang terorisme di Indonesia, lebih kurang terfokus di sekitar fundamentalisme agama. Beberapa tahun terakhir di luar negeri terbit sejumlah buku tentang kekerasan berbendera agama di Indonesia, yang mengaitkannya dengan fundamentalisme agama. Zachary Abuza dalam buku Political Islam and Violence in Indonesia, 2007, termasuk yang mencoba melihat hubungan-hubungan itu.

Terkait aksi-aksi kekerasan bermotif agama, ada hal-hal yang menjadi perhatian pengamat, di antaranya, kemunculan politik Islam setelah kejatuhan Orde Baru, berkembangnya faham yang memilih cara-cara kekerasan, terjadinya kekerasan komunal seperti di Ambon dan Poso, serta munculnya beberapa kelompok radikal yang memilih cara kekerasan yang memiliki jaringan nasional, regional, dan global. Selain itu, studi-studi tentang terrorism financing juga memperkuat cara pandang itu, dengan berusaha mengerti bagaimana jaringan global terorisme saling mendukung dari sisi pembiayaan, termasuk dalam kasus Indonesia (Giraldo & Trinkunas, eds, 2007; Bersteker & Eckert, eds, 2008).

Cara pandang resmi pemerintah dan tindakan penyelesaiannya juga mengonfirmasi hal itu. Misalnya, dengan melihat kekerasan komunal bertameng agama di sejumlah daerah dan munculnya aksi-aksi terorisme yang bersifat transnasional. Laporan resmi polisi menyebutkan para pelaku sejumlah tindakan terorisme memiliki sejarah dalam gerakan bersenjata di Afganistan, berhubungan dengan aneka gerakan bersenjata di Filipina, dan ambil bagian dalam kekerasan di Ambon dan Poso. Penyelesaiannya pun hanya terfokus ke beberapa kelompok yang terlibat aksi teror tersebut.

Fokus ke pemerintah

Sedikit sekali perhatian terhadap aksi-aksi kekerasan berdalih agama dalam konteks lebih luas. John T Sidel (2007) dalam buku Riot, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia jauh lebih dalam memahami munculnya kekerasan itu. Dengan pendekatan yang berlainan dengan apa yang disebut pendekatan religious violence industry dan analisis aktor oleh terrorism experts, Sidel lebih menekankan pada konteks historis dan sosiologis dari berbagai kekerasan itu.

Bagaimanapun, munculnya tindakan teror dan kekerasan komunal di Indonesia penting dilihat dari sisi warisan politik masa lalu dan kegagalan konsolidasi demokrasi. Politik yang terbuka berjalan seiring hukum yang bobrok, rendahnya penghormatan HAM, korupsi yang merajalela, dan pemerintah yang bangkrut dan terpecah-belah, serta rumitnya problem sosial ekonomi. Semua masalah ini berakar dalam tubuh pemerintah.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengembangkan perang melawan terorisme dari pendekatan yang terfokus di masyarakat ke pendekatan yang terpusat di dalam tubuh sendiri.

Ada dua hal yang memerlukan perhatian khusus. Pertama, menelusuri praktik korupsi dengan tindakan terorisme. Sebagai contoh, di daerah konflik, dana pemerintah yang hilang melalui korupsi pejabat dan pengusaha yang menyandarkan diri ke sumber pembiayaan pemerintah mengalir melalui berbagai jalan untuk membiayai kekerasan. Di sini, tindak kekerasan terorisme harus dijelaskan sebagai buah kombinasi antara pejabat yang korup, pengusaha yang mencari untung, dan pelaku teror dengan beragam motif.

UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dapat menjadi dasar untuk melihat kaitan itu. Pemerintah seharusnya menegakkan kedua UU ini dalam kerangka kontra pembiayaan terorisme (countering the financing of terrorism). Investigasi mendalam terhadap hubungan antara terorisme dan korupsi harus dilakukan, dengan melacak sumber pembiayaan setiap tindakan kekerasan itu.

Kedua, pemerintah harus mengontrol berbagai kekuatan dalam tubuh sendiri yang mengeksploitasi cara-cara kekerasan untuk berbagai tujuan politik. Hal itu karena kegagalan aparat keamanan bertahun-tahun mengakhiri teror dan kekerasan komunal bukan saja berasal dari ketidakmampuan menghentikan kekerasan, tetapi lebih karena terpecah-belahnya kepentingan dalam tubuh pemerintah. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi kelahiran sejumlah kelompok sipil bersenjata berbendera agama dan suku di Indonesia justru terkait faksi-faksi yang terlibat dalam perebutan kekuasaan. Begitu juga, jatuhnya senjata api dan amunisi ke tangan sipil, bukan saja karena merajalelanya pasar gelap yang melintasi tapal batas negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga bersumber dari stockpile milik aparat keamanan.

Arianto Sangaji University of Birmingham, UK

 

 

 


Opini            

Sabtu, 25 Agustus 2007

Bercerai Kita Runtuh

Jakob Sumardjo

Indonesia bersatu karena faktor eksternal. Namun, keruntuhannya akibat faktor internal.

Kita tak mampu menjaga kesatuan karena tak ada “musuh” bersama. Kini, zamannya lu, lu; gue, gue, bukan “kamu adalah aku”, kita; tetapi “kami dan mereka”.

Mengakui yang lain, yang berbeda, menghormati, dan ikut menjaga keberbedaan kini dinilai tidak waras. Yang waras adalah gua, gua; lu, lu. Kamu bukan aku. Dan karena kamu mengganggu keberadaanku, kamu harus minggir atau aku lenyapkan.

Prinsip “kamu bukan aku” ini sudah menjalar dalam hubungan negara-rakyat, milik umum-milik privat, perusahaan-buruh, kepala sekolah-murid, lurah-penduduk. Kita kaget saat rel KA digergaji agar gerbongnya terguling, saat kaca-kaca jendela KA retak dilempari batu, lampu-lampu taman dipecahi, monumen dan arkeologi dikotori grafiti, trotoar jadi kaki lima, kolong jalan layang menjadi hunian.

Itu semua hanya gejala kecil yang baru timbul. Selama ini kita menganggap waras-waras saja saat prinsip lu, lu; gue, gue, yang jauh lebih raksasa, telah berlangsung puluhan tahun. Gua pejabat, lu rakyat. Lu memotong rel KA, gua memotong anggaran perbaikan kampung dan dana bantuan bencana. Lu menyerobot lahan kosong di kota, gua menyerobot ratusan hektar hutan tropis. Lu bikin grafiti di sejumlah situs purbakala, gua telah lama membiarkan benda milik negara diperdagangkan di luar negeri. Lu bikin rumah di kolong jembatan layang, gua menggusur hunian kumuh di kota demi “kepentingan umum”. Apa yang kini kau lakukan, cuma tiruan dari yang aku lakukan puluhan tahun lalu.

Zaman edan

Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak seperti gajah. Kita buta terhadap hukum kausalitas. Kekurangajaran rakyat kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekatan rakyat kecil yang kian berani dan menonjol akhir-akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan, membiarkan banjir, lumpur, menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Jika mereka boleh memotong anggaran miliaran rupiah sehingga jembatan runtuh, bangunan SD ambruk, dan jatuh korban, mengapa saya tidak boleh memotong rel kereta api, menggali jalan umum. Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab?

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru-guru (lelaki) kencing berdiri di tepi jalan, murid-murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru- guru ini. Namun, saat kencing berdiri itu dianggap waras-waras saja oleh para guru, para murid menirunya lebih ekstrem. Mereka kencing sambil berlari sepanjang jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan, dan yang edan itu waras. Inilah yang terjadi pada zaman reformasi ini. Membunuh, merampok, dan mencuri milik umum itu dianggap baik, menipu publik itu baik asal semua ada hubungannya antara urusan privat dan umum. Semua ketidakwarasan itu waras belaka selama terjadi oposisi biner antara privat dan publik. Namun, ketidakwarasan itu jelas tidak waras jika menyangkut hubungan publik-publik dan privat-privat.

Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga wajar-wajar belaka, baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. Sebaliknya, atas nama negara, atas nama publik, seorang pejabat sah-sah saja menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil.

Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas merusak barang-barang milik negara, milik umum.

Kontradiksi etika

Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika rakyat mengencingi guru-guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. Para pengelola negara bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu malah minta bantuan. Bukan melindungi, malah mengancam.

Bagaimana rakyat dapat tahan menonton teater negara ini. Kini saatnya rakyat memainkan teaternya sendiri. Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. Lambang-lambang pemerintahan dihujat. Benda-benda milik pemerintah dirusak.

Ini tanda-tanda zaman, sebuah gejala-gejala awal. Rakyat sudah tidak waras lagi menggergaji rel kereta api, merusak jalan tol, membakar gedung mewah kabupaten, mencorengi monumen-monumen negara. Jika teater negara ini tidak segera menghentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan, melainkan menjurus kepada aktor-aktornya. Peradilan rakyat akan muncul. Revolusi Perancis dan revolusi Khmer Merah di Kamboja bisa terwujud di Indonesia. Kegilaan tidak akan dapat dibendung lagi.

Seuntung-untungnya yang gila, lebih untung yang tidak ikut gila, meski tak dapat bagian.

Jakob Sumardjo Esais

 

 

 


Opini            

Sabtu, 25 Agustus 2007

Heboh Minyak Tanah dan Gas

YF LA KAHIJA

Masalah konversi minyak tanah ke gas mengungkap keretakan relasional antara pemerintah dan rakyat. Di satu sisi, empati pemerintah pada rakyat kian terkikis. Di sisi lain, kepercayaan rakyat kecil terkait kepedulian pemerintah merosot tajam.

Implementasi konversi minyak tanah menjadi gas LPG, mungkin bisa dianggap pemerintah sebagai strategi jitu dalam mengurangi subsidi BBM. Sayang, penerapannya tergesa-gesa, instan, dan sedikit memaksa. Tahapan alamiah bagi perubahan sikap dan perilaku dipersingkat demi akselerasi program.

Hasilnya, rakyat merasa tidak dimengerti dan diabaikan karena dicabut dari konteks kehidupan mereka. Kondisi ini mendorong reaksi penolakan. Memang, ada alasan-alasan rasional penolakan, seperti keiritan, buruknya kualitas kompor, atau takut meledak. Namun bila dicermati, itu adalah suara pedih mereka.

Protes atas protes akan terus terjadi bila masalah tidak diurai secara bottom-up. Akan sulit mengharap keberhasilan program konversi bila rakyat menganggap diri “kecil”, sedangkan pemerintah dinilai opresif dan tidak peduli. Gejala-gejala ini memang tidak tampak, tetapi hadir sebagai salient belief (kepercayaan terselubung) yang mengarahkan sikap mereka.

Namun, nuansa itu tampaknya belum dimengerti. Pemerintah ngotot menjalankan visinya. Padahal secara psikologis, perubahan sikap tidak semudah itu karena dibutuhkan persiapan dan sentuhan bertahap untuk persepsi, opini, kepercayaan, nilai, dan kebiasaan yang mendasari pilihan rakyat untuk tetap menggunakan minyak tanah.

Menghargai proses

Pada awal 1980-an James Prochaska dan Carlo DiClemente memperkenalkan konsep SCM (Stages of Change Model) untuk memahami perubahan perilaku. Meski penerapannya bersifat individual, prosedurya dapat ditarik ke dalam konteks sosial. Kedua pakar ini melihat perubahan perilaku sebagai proses yang meliputi lima tahap, yaitu prakontemplasi, kontemplasi, persiapan, tindakan, dan pemeliharaan.

Pada tahap prakontemplasi, orang tidak merasa perlu berubah. Pada tahap kontemplasi, mulai ada keinginan melihat efek negatif dari kebiasaan atau perilaku yang dipertahankan. Meski demikian, tetap ada keraguan. Pada tahap persiapan, muncul keinginan untuk berubah. Bila ketiga tahap awal ini sudah dilalui, perubahan perilaku akan lebih mudah dicapai. Tahap-tahap itu kembali menegaskan tidak relevannya pendekatan instan dan pragmatis. Perubahan yang bertahan lama adalah efek dari meningkatnya kesadaran (consciousness rising), bukan desakan eksternal. Kesadaran inilah yang lebih dulu diupayakan lewat sosialisasi empatetik bertahap.

Reaktans bagi koersi

Fenomena lain yang tampak dalam kebijakan konversi adalah implementasi yang memaksakan (coercive). Strategi ini akan merusak kepercayaan yang kian rapuh. Dalam persepsi rakyat kecil, minyak tanah adalah bahan bakar mereka dan gas dianggap bagian hidup orang berada.

Bila pemerintah tetap pada pendekatan koersif, rakyat kecil bisa menunjukkan perubahan sikap yang negatif (negative attitude change). Lebih jauh, dampak sosial-politisnya adalah kemerosotan drastis kepercayaan, yang pada gilirannya berdampak pada frustrasi lebih jauh yang potensial berbuah anarki.

Merombak skema kognitif masyarakat menuntut teknik persuasif yang lebih sesuai. Ada faktor sosio-kultural yang perlu dipertimbangkan agar gejolak sosial bisa diredam. Kegagalan melihat bahaya inilah yang menimbulkan demonstrasi berujung ricuh pada 6 Agustus 2007 di Depo Pertamina, Plumpang, Jakarta Utara.

Seperti dikondisikan dalam skema kognitif kita, kericuhan selalu dilatarbelakangi provokasi. Konon, dengan mengamankan provokator, situasi bakal normal. Ini menunjukkan, pemecahan masalah masih terbatas faktor pencetus (precipitating factor), sementara faktor pendahulunya (predisposing factors) dibiarkan menjadi bibit-bibit anarki pada masa datang.

Anarki dan sikap bermusuhan bermula dari rasa tidak percaya, tidak adil, dan miskomunikasi. Pemerintah perlu mengintrospeksikan potensi destruktif ini karena hampir pasti akan memunculkan reaktans, yaitu reaksi negatif atau tidak menyenangkan terhadap aturan yang dicirikan dengan niat yang kian kuat untuk menentang.

Sinkroni interaksional

Upaya ideal untuk menjaga kepercayaan adalah menciptakan sinkroni interaksional antara pemerintah dan rakyat kecil. Sinkroni interaksional adalah kepekaan menangkap ekspresi fisik dan emosional dari orang lain sebagai cerminan pemikiran dan perasaannya. Bila tercapai, muncul le rapport (Perancis, saling pemahaman lewat empati).

Untuk itu, ada dua pendekatan persuasif yang bisa digunakan. Pertama, orang akan lebih mudah dipersuasi bila pesan yang disampaikan tidak dimaksudkan untuk memanipulasi mereka. Karena itu, dibutuhkan penjelasan dan niat serius pemerintah untuk menjalankan program dan janjinya. Jika tidak ada perubahan perilaku, akan gagal di tengah jalan.

Kedua, saat rakyat memiliki keyakinan yang bertentangan dengan yang diinginkan pemerintah, pemerintah sebaiknya mampu menyosialisasikan rencananya dengan memberi penjelasan dari dua sisi, baik kompor gas maupun minyak tanah. Dengan begitu, rakyat tetap diberi peluang membuat pilihan rasional.

Dalam proses itu, kepercayaan menjadi sentral. Seseorang pernah mengingatkan agar berhati-hati dengan teman saya. Ia menceritakan bagaimana berkali-kali dibohongi. Suatu saat, saya mengatakan, teman saya tampaknya sudah berubah. Ia tidak percaya. Menurut dia, perubahan itu hanya manipulasi.

Gejolak psikologis serupa tampaknya mendasari kecurigaan, resistensi, protes, dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah untuk mengonversi minyak tanah menjadi gas. Semuanya tumbuh sebagai bibit-bibit ketidakpercayaan dalam ketidaksadaran. Inilah yang harus diluluhkan lebih dulu demi perbaikan yang berpihak kepada rakyat.

YF La Kahija Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang

 

 

 


Opini            

Jumat, 24 Agustus 2007

Kekeringan dan Kemiskinan Petani

ALI KHOMSAN

Petani mulai merasakan dampak kekeringan. Kerusakan sawah mulai merambah dan akan berdampak serius pada kesejahteraan petani maupun ketahanan pangan nasional.

Kekeringan saat ini mungkin merupakan dampak pemanasan global. Namun, para petani adalah yang paling merasakan akibat kekeringan. Tanpa air yang cukup, sawah segera mengering, puso, dan panen gagal. Kekeringan tetap menjadi ancaman jika program reboisasi tidak segera diintensifkan untuk mengembalikan wilayah resapan air.

Pada tahun 1999/2000, luas kawasan yang masih berhutan di Jawa hanya empat persen. Padahal, luas hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem adalah 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itu untuk menjamin ketersediaan sumber daya air bagi kehidupan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan hutan di Jawa yang luasnya 3.289.131 hektar itu kini keadaannya amat menyedihkan. Hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi sekitar 1,714 juta hektar (56,7 persen). Kondisi tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai 9,016 juta hektar. Jadi, di seluruh Jawa kira-kira 84,16 persen lahan daratannya memerlukan rehabilitasi.

Pemerintah diimbau untuk membantu petani dengan bantuan pompa air dan sumur pantek untuk mengatasi krisis air. Tanpa bantuan pemerintah untuk mengatasi kekeringan, nasib petani akan semakin terpuruk.

Ada pemeo yang mengatakan, “kalau ingin hidup tenteram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang”. Tampaknya kini pemeo tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku.

Kehidupan petani jauh dari kesan tenteram dan sejahtera. Petani adalah profesi yang tidak henti dirundung masalah; mulai nilai tukar komoditas yang rendah yang berujung pada kemiskinan, sampai hambatan iklim yang akan membuat nasib petani semakin runyam.

Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah petani merupakan profesi inferior, sementara sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan itu tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut.

Padahal, pada tahun 1970-an tingkat kesejahteraan petani dan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun, kini keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.

Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem, sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan.

Dalam periode 10 tahun, antara 1993 dan 2003, jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karena itu, kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi.

Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separuhnya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Data persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian.

Salah satu upaya dalam mewujudkan keberdayaan petani dapat dilakukan melalui employment shifting. Beban sektor pertanian dengan jutaan petani gurem harus dikurangi.

Ini berarti industri nasional harus bergerak dengan laju yang lebih cepat, dan investasi harus segera masuk untuk kemudian menyerap tenaga-tenaga kerja. Tanpa employment shifting, yang terjadi adalah bertambahnya kegureman petani yang akan semakin memperlihatkan betapa terpuruknya petani-petani kita.

SDM pertanian di Indonesia memang masih lemah, padahal sejak dulu kita mengklaim sebagai negara agraris. Pada tahun 2001 tenaga kerja nasional yang memiliki gelar sarjana adalah 4,7 persen dan yang berasal dari pertanian hanya 0,3 persen. Sementara itu, disadari pula bahwa tidak semua sarjana pertanian bekerja di sektor pertanian. Jadi, lengkaplah sudah keterpurukan pertanian kita karena tidak didukung oleh tenaga-tenaga yang berkualitas dan kompeten.

Sektor pertanian sebenarnya memegang peranan penting dalam menyumbang devisa bagi negara. Pada tahun 2003 ekspor produk pertanian mencapai 11,1 miliar dollar AS. Ketika sektor lain kalang kabut menghadapi krisis ekonomi 1998, sektor pertanian masih tumbuh meski lambat.

Sektor pertanian sampai tahun 2002 masih menyerap 45 persen tenaga kerja, tetapi pangsanya terhadap PDB semakin menurun. Dengan demikian, hal ini menjadi prediksi bahwa sektor pertanian tidak bisa menjamin kesejahteraan tenaga kerjanya.

Untuk mengantisipasi dampak kekeringan yang berkepanjangan, sudah saatnya kini pemerintah memikirkan tentang perlunya sistem jaminan sosial (social security system) untuk petani. Idealnya, sistem jaminan sosial bukan melulu untuk mengatasi krisis yang bersifat insidental. Sistem ini bersifat langgeng dan terus-menerus untuk seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Cakupan sasaran bisa menjadi lebih besar apabila ada kejadian luar biasa seperti kekeringan.

Selama ini berbagai strategi pengentasan kemiskinan telah dilakukan pemerintah. Namun, efektivitasnya belum teruji manjur mengatasi kemiskinan bangsa ini. Bantuan langsung tunai, dana bantuan operasional sekolah (BOS), jaring pengaman sosial (JPS), sampai kompor gas gratis semuanya ditujukan untuk membantu orang miskin.

Kini, di saat kekeringan merebak dan daya beli petani dipastikan merosot, pemerintah harus segera tanggap merumuskan bantuan untuk keluarga-keluarga petani yang terancam kesejahteraannya. Memberikan keringanan kredit pinjaman atau bantuan langsung tunai dengan mekanisme yang lebih baik kiranya sangat diharapkan petani untuk mencegah nasib yang kian terpuruk.

Ali Khomsan Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor

 

 

 


Opini            

Jumat, 24 Agustus 2007

Sertifikasi Guru, Jalan Mudah?

T Raka Joni

Meski sudah hampir dua tahun memulihkan diri dari kecaman atas dua cacat akademik pada Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta beberapa kali revisi, ternyata RPP Guru tidak bisa diterbitkan.

Sertifikasi guru dalam jabatan pun diputuskan untuk dilakukan dengan menggunakan portofolio (Peraturan Mendiknas No 18/2007).

Terlepas dari bagaimana fiasco—kecelakaan karena kekurangcerdasan—sebesar ini bisa terjadi, tampaknya jauh lebih bermanfaat untuk mengkaji berbagai perkembangan persepsi seputar portofolio yang tiba-tiba menjadi buah bibir masyarakat itu.

Sebagai mekanisme asesmen kemampuan orang yang telah berpengalaman kerja, portofolio sebenarnya amat menjanjikan. Artinya, asesmen kemampuan yang dipetik seseorang melalui pengalaman kerjanya itu amat tepat dilakukan melalui prosedur portofolio.

Sebagai antisipasi Program Penyetaraan S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang diselenggarakan Universitas Terbuka, awal 1990-an, pernah dihadirkan pakar asesmen kemampuan yang diperoleh melalui pengalaman kerja (assessment of experiential learning), yaitu Prof David Justice, Dekan School of New Learning, DePaul University, Chicago, AS. Fakultas ini mengkhususkan diri menerima calon mahasiswa yang telah berpengalaman kerja, yang hendak kembali ke bangku perguruan tinggi untuk mengikuti Program Bakauloreat—seperti program S-1.

Dalam lokakarya Penilaian Hasil Belajar Melalui Pengalaman Kerja itu dicontohkan seorang calon mahasiswi yang telah berpengalaman kerja sebagai office manager pada sebuah yayasan Gereja yang memiliki sebuah gedung bertingkat dan sebagian ruangan disewakan kepada sejumlah perusahaan (tenant).

Singkat cerita, saat yayasan pemilik gedung membeli dan meremajakan perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan di kantor itu, gadis tersebut selalu memanfaatkan pelatihan-pelatihan yang disediakan pemasok perangkat keras dan perangkat lunak. Sampai akhirnya ia bisa menyusun program aplikasi pelacakan penggunaan telepon oleh penyewa, yang digunakan untuk menetapkan jumlah tagihan bulanan kepada tiap penyewa.

Dosen Pengantar Ilmu Komputer yang tercantum dalam kurikulum Program Bakauloreat Manajemen Bisnis akhirnya memutuskan, calon mahasiswi ini dibebaskan dari kewajiban mengikuti mata kuliah Pengantar Ilmu Komputer. Dengan kata lain, bukti kemampuan berupa portofolio itu selalu dikaitkan dengan kemampuan akademik yang disyaratkan untuk suatu bidang keahlian.

Isu kampanye pilkada

Apakah prosedur asesmen kemampuan yang dipetik dari pengalaman kerja melalui prosedur portofolio yang digambarkan itu bisa diterapkan dalam konteks sertifikasi guru dalam jabatan?

Penulis yakin prosedur seperti itu bisa diterapkan asal ditempuh dengan mekanisme yang benar. Penulis juga sadar jumlah guru yang harus dilayani itu amat besar, jumlah assessor yang tersedia amat terbatas. Namun, yang terpenting, perlu dicari keseimbangan antara keadilan yang lama diharapkan para guru dan imbalan peningkatan mutu pendidikan melalui profesionalisasi guru yang dijanjikan UU No 14/2005.

Karena itu, yang penting adalah agar tidak ada pihak yang memanfaatkan kesempatan, misalnya dengan menggunakan portofolio sebagai komoditas dalam kampanye pilkada, dengan menjanjikan bahwa asal rekan-rekan guru mengumpulkan data tentang riwayat pekerjaannya pada masa lampau, yang kemudian ditandatangani kepala sekolah masing-masing, dijamin—entah oleh siapa—bahwa semua data itu akan diakui sebagai kandungan portofolio yang sah. Karena itu, untuk kesekian kalinya penulis bertanya, bahkan menggugat, hendak dibawa ke mana masa depan putra-putri bangsa ini?

T Raka Joni Guru Besar Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang, Tinggal di Malang

 

 

 


Opini            

Jumat, 24 Agustus 2007

globalisasi
Kaum Miskin dan Deventer

Endang Suryadinata

Masyarakat Miskin Janganlah Ditinggalkan. Globalisasi Pendidikan Jangan Mempersubur Ketimpangan Sosial. Itulah judul salah satu berita (Kompas, 24/7).

Saat memikirkan kaitan globalisasi dengan dunia pendidikan kita, selalu muncul keresahan. Banyak gugatan dan pertanyaan yang menuntut jawaban serta langkah nyata.

Memang, kita menyambut positif berdirinya lembaga pendidikan bertaraf internasional sehingga bisa kompetitif pada era globalisasi, apalagi jika lembaga seperti itu didirikan atas inisiatif tokoh dan pendidik kita sendiri. Ditambah lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007, yang merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah baru menerapkan liberalisasi pendidikan. Karena itu, pintu dibuka lebar-lebar bagi lembaga pendidikan bertaraf internasional.

Kita perlu menghadapi globalisasi dengan pendidikan yang kompetitif dan bisa mendongkrak mutu SDM agar kita tidak semakin tergilas globalisasi. Pendidikan yang kompetitif menjadi salah satu strategi menghadapi globalisasi. Dan pendidikan kita yang tertinggal jelas harus dibenahi jika ingin kompetitif. Sekadar ilustrasi, hingga tahun 2007 belum ada satu pun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk 100 besar dunia (versi majalah Times). Prestasi perguruan tinggi negeri/swasta kita masih kalah dibandingkan dengan Singapura yang sudah menempatkan dua perguruan tingginya di 50 besar dunia. Padahal, mereka baru merdeka pada tahun 1965.

Masih banyak indikator lain yang menunjukkan betapa tertinggalnya pendidikan kita, termasuk tertinggal tingkat gaji bagi para guru kita yang mayoritas tidak sejahtera, sehingga masih sering pinjam sana-sini (Kompas 20/7).

Oleh karena itu, berdirinya lembaga pendidikan bertaraf internasional yang dikelola para anak negeri tidak perlu dicemburui. Namun, kita jangan menutup mata pada fakta bahwa pada era globalisasi ini kian banyak kaum miskin yang tidak bisa sekolah, di jenjang pendidikan dasar sekalipun. Kabarnya saat ini hampir 7 juta anak tidak bisa sekolah, sedangkan estimasi UNESCO lebih dari jumlah itu. Tidak heran angka buta huruf pun masih tinggi. Data yang dilansir Departemen Pendidikan Nasional (Juni 2007) menunjukkan, 12.881.080 orang masuk kategori buta aksara. Malah ada yang menyebut 70 juta orang yang buta huruf (The New Rulers of the Word, Pilger).

Memang ada dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan berbagai kebijakan pemerintah yang terkesan berpihak kepada kaum lemah. Namun, dalam realisasinya justru masih cukup banyak warga kita tidak bisa sekolah, bahkan sekolah negeri pun kian mahal. Tiap awal tahun ajaran baru, selalu muncul 1.001 keluhan terkait kian mahalnya biaya sekolah. Kita pasti sudah mendengar ungkapan menyayat hati, orang miskin dilarang sekolah.

Deventer

Bagaimana kaum miskin itu akan bisa menghadapi globalisasi? Pertanyaan ini bisa kita jawab dengan mudah, bahwa mereka pasti akan tergilas dan termarjinalisasi. Namun, hidup jelas kian tidak mudah bagi mereka. Entahlah tiba-tiba saat memikirkan sikon mereka, penulis merindukan CTh Van Deventer. Mereka yang belajar sejarah Hindia Belanda atau bergelut di dunia pendidikan kita pasti mengenal sosok satu ini.

Secara singkat, bisa dipaparkan sosok satu inilah yang telah mengubah wajah penjajah Belanda dari watak eksploitatifnya yang dominan menjadi berwajah lebih manusiawi. Dari politik yang menguras habis Hindia Belanda ke politik etis sehingga kita tidak bisa menggeneralisasi yang berbau Belanda itu selalu buruk atau jahat. Dalam artikel bertajuk “Een Eereschuld” (Utang Kehormatan) di majalah De Gids (Nomor 63 Tahun 1899), Devanter menggugat sistem liberal dan cultuurstelsel (tanam paksa) yang hanya mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda. Dia mengusulkan pembenahan tiga hal utama bagi warga bumi putra, yakni dengan migrasi, irigasi, dan edukasi (disebut trilogi Devanter).

Khusus terkait edukasi, usulan Devanter sangat revolusioner dampaknya. Menteri Tanah Jajahan Idenburg dan Gubernur Jenderal van Heurtz (1904-1909) juga mendukung Devanter dengan memberikan kesempatan kepada warga kelas bawah untuk bisa masuk sekolah yang didirikan Belanda dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah itu. Jumlah siswa sekolah desa pun terdongkrak dari 110.000 siswa pada tahun 1900 menjadi 780.000 pada 1920. Kemudian, bertambah lagi hampir tiga kali lipat menjadi 2.200.000 (dua juta dua ratus ribu) siswa pada 1940 (Watson, 1975, Ricklefs, 2001). Sosok seperti Bung Karno atau Hatta dan para pendiri bangsa lain adalah hasil didikan sekolah Belanda sehingga kalau dirunut kemerdekaan kita pun sebenarnya buah dari pemikiran Devanter, itu kalau kita percaya hukum sebab akibat.

Lalu apa relevansi pemikiran Devanter untuk memperbaiki nasib kaum miskin pada era globalisasi ini? Pemikirannya akhirnya dijadikan kebijakan Pemerintah Belanda ketika itu. Jadi, sekarang kita juga butuh kebijakan politik pendidikan yang jelas-jelas memihak kaum miskin, lebih dari sekadar kebijakan BOS. Jadi, pemerintah bisa mengadopsi lagi pemikiran Deventer. Tanpa ada kebijakan signifikan dan nyata, kaum miskin akan semakin menjadi bulan-bulanan sehingga globalisasi menjadi “gombalisasi” bagi mereka (meminjam istilah Cak Nun). Atau meminjam istilah Joseph Stiglitz, jangan sampai kaum miskin di negeri kita lebih buruk nasibnya daripada sapi-sapi di Eropa (“It is better to be a cow in Europe than to be a poor person in a developing country”, Stiglitz, 2006:85).

Endang Suryadinata Peminat Sejarah Indonesia-Belanda; Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

 

 

 


Opini            

Kamis, 23 Agustus 2007

Menjaga Khitah KPK

Saldi Isra

Setelah melewati sejumlah tahapan, Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan 26 calon pimpinan KPK yang berhasil melewati tes profile assessment. Untuk menentukan 10 orang yang akan disampaikan kepada DPR, calon yang lulus profile assessment akan mengikuti dua tahap wawancara.

Banyak kalangan berharap panitia seleksi mampu menemukan figur pimpinan KPK yang tidak hanya sekadar bersih, tetapi juga punya keberanian luar biasa untuk memberantas korupsi. Meminjam ungkapan M Fadjroel Rachman (Kompas, 22/8), pimpinan KPK ke depan harus lebih berani dan memiliki kemauan lebih dalam memberantas korupsi dibandingkan dengan pimpinan kepolisian, kejaksaan, ataupun lembaga peradilan.

Mencermati dampak meluasnya praktik korupsi, harapan itu seharusnya dibaca sebagai desakan terbuka masyarakat kepada panitia seleksi untuk memilih calon pimpinan KPK yang mampu mengemban gagasan awal (khitah) pembentukan KPK. Jika tidak, sebagai superbody alias extraordinary body dalam pemberantasan korupsi, KPK akan mengalami disfungsi dengan mengenaskan.

Khitah KPK

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak terlepas dari performance capaian lembaga penegak hukum yang ada. Terkait hal itu, konsideran UU No 30/2002 menyatakan, lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Karena disfungsi itu, praktik korupsi menjadi tidak terkendali yang secara sistematis menghancurkan perekonomian nasional. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, tetapi juga berujung pada pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dengan kondisi itu, politik hukum pembentukan UU No 30/2002 meletakkan korupsi sebagai extraordinary crime.

Dengan kategori extraordinary crime, penegakan hukum (law enforcement) pemberantasan korupsi juga menghendaki cara-cara yang luar biasa, yaitu dengan membentuk KPK sebagai sebuah badan khusus. Untuk itu, Pasal 3 UU No 30/2002 menegaskan, KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

Jika diletakkan dalam gagasan di atas, pembentukan KPK seharusnya dipahami sebagai akibat gagalnya, bukan belum berfungsi secara efektif dan efisien, lembaga-lembaga penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

Dalam pengertian itu, guna membangun KPK yang kredibel, segala macam usaha harus dilakukan agar badan khusus ini tidak terjangkit penyakit disfungsi seperti lembaga penegak hukum yang lainnya.

Rekam jejak

Meski tidak segaduh seleksi anggota KPU, aroma tidak sedap juga berembus dari awal proses seleksi calon pimpinan KPK. Misalnya, lenyapnya (baca: digantinya) sejumlah nama yang telah diberitakan beberapa media akan menjadi anggota panitia seleksi, karena penggantinya punya reputasi yang relatif sama dengan yang digantikan, tidak terlalu dipermasalahkan publik. Meskipun demikian, penggantian itu tetap menyisakan misteri.

Selain itu, proses seleksi tidak memudahkan publik untuk memberikan tanggapan. Padahal, berdasar Pasal 30 UU No 30/2002, tanggapan atau partisipasi masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, tenggat satu tahapan ke tahapan berikut begitu sempit untuk dapat menggunakan partisipasi dengan maksimal. Tidak hanya itu, dengan batasan waktu yang ketat, jangankan publik panitia seleksi pun tidak mungkin melakukan rekam jejak (track record) calon pimpinan KPK secara maksimal.

Dalam rangka mendapatkan pimpinan KPK yang bisa memenuhi khitah pembentukan KPK, waktu yang tersedia harus dimaksimalkan panitia seleksi untuk membaca secara akurat rekam jejak mereka yang lulus profile assessment. Cara sederhana yang paling mungkin dilakukan adalah membuka semua data calon kepada publik. Jika perlu, untuk akurasi data, panitia seleksi mengundang, secara khusus, kelompok masyarakat atau perorangan yang mengetahui rekam jejak calon.

Bukan perwakilan

Di luar rekam jejak calon, isu lain yang menyeruak ke permukaan adalah pimpinan KPK harus mencerminkan instansi penegak hukum yang ada. Jika ini benar, berarti telah terjadi kekeliruan mendasar dalam memahami khitah KPK. Seharusnya, politik hukum pembentukan KPK menjadi pijakan utama panitia seleksi dalam memilih pimpinan KPK.

Barangkali, dengan adanya “utusan” lima jaksa senior di lingkungan Kejaksaan Agung dapat dibaca sebagai upaya mempertahankan unsur kejaksaan menjadi pimpinan KPK. Dalam hal ini, saya setuju dengan Teten Masduki, rekomendasi jaksa secara resmi oleh Jaksa Agung merupakan infiltrasi terhadap KPK (Kompas, 4/7).

Memaksakan pimpinan KPK mewakili unsur lembaga penegak hukum bisa jadi akan memindahkan problem yang terjadi di lembaga penegak hukum yang ada ke KPK. Padahal, periode mendatang, selain menangani kasus-kasus besar, KPK diharapkan memberi perhatian khusus terhadap praktik korupsi di lingkungan lembaga-lembaga penegak hukum.

Sekiranya pimpinan KPK merupakan perwakilan lembaga penegak hukum, bisa jadi harapan membongkar kasus korupsi di lingkungan lembaga penegak hukum akan menjadi sesuatu yang utopis. Karena itu, perlu disadari bahwa KPK bukan lembaga perwakilan penegak hukum.

Yang lebih mengkhawatirkan, karena isu perwakilan itu, panitia seleksi bisa terjebak dalam perilaku favoritisme. Bagaimanapun, perilaku itu potensial menghancurkan calon-calon potensial yang punya kemampuan untuk menjalankan tugas dan wewenang KPK dalam pemberantasan korupsi.

Sekaranglah saatnya menguji komitmen panitia seleksi dalam agenda pemberantasan korupsi. Semua pihak harus menjaga khitah awal pembentukan KPK. Karena itu, jangan hancurkan KPK demi kepentingan sesaat.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

 

 

Opini                                                                                                                                            

Senin, 27 Agustus 2007

HAM dan Pembatasannya

Yohanes Usfunan

Presiden Yudhoyono mengatakan, empat konsensus dasar dalam kehidupan bernegara yang diikrarkan pendiri bangsa harus abadi dan berlangsung sepanjang masa.

Empat konsensus dasar itu adalah dasar negara Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan kemajemukan dalam Bhinneka Tunggal Ika (Kompas, 14/8). Penegasan yang sama disampaikan dalam pidato kenegaraan (16/8). Salah satu cara mengaktualkan keempat konsensus itu ialah meningkatkan penggunaan HAM, khususnya kebebasan berpendapat.

Istilah HAM

Secara hukum, penggunaan istilah HAM di Indonesia diatur UUD 1945 dan UU No 39/1999 tentang HAM (dalam kepustakaan hukum digunakan hak dasar. Istilah ini sinonim dengan HAM). HAM berbeda dengan hak-hak manusia (HM). HAM dan HM sering dianggap sama, padahal hakikat dan jangkauannya berbeda.

Pengertian HM luas, menunjuk hak-hak yang mendapat pengakuan internasional yang dibela dan dipertahankan internasional. HM juga menjadi isu besar teori dan praktik hubungan internasional (Meuwissen, 1984). Hirsch Ballin dan Couwenberg mengatakan, konotasi HM terkait asas-asas ideal dan politis sehingga bersifat dinamis. Sebaliknya HAM merupakan bagian integral UUD, bersifat yuridis, statis, dan hanya terkait suatu negara.

Perkawinan sejenis di negara lain tak bisa dipaksakan di Indonesia sebab tidak diatur UUD 1945. Isu HAM lain di luar negeri tidak mungkin dipaksakan pemberlakuannya di Indonesia sepanjang tidak diatur UUD 1945. Dalam konteks domestik, HM dianalogikan dengan hak-hak biasa sehingga lebih luas dan selalu terkait aktivitas setiap orang.

Definisi HAM menurut Pasal 1 Angka 1 UU No 39/1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia.

Maka tidak semua hak dapat dikategorikan sebagai HAM karena pengaturannya dalam UUD, UU organik, dan perjanjian internasional. Konsekuensi kurangnya pemahaman akan hakikat dan pembatasan HAM merupakan salah satu penyebab tindakan anarkis. Kebebasan berpendapat melalui demonstrasi, pawai, rapat umum, mimbar bebas, dan media sering menjadi ajang caci maki, fitnah, dan tindak anarkis.

Ekspresi penggunaan HAM berbentuk tarian cakalele sambil mengibarkan bendera RMS di Ambon atau pernyataan merdeka dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura merupakan contoh pelanggaran HAM. Dalam penggunaan HAM, dibatasi alasan tidak boleh mengganggu ketertiban umum, keutuhan, dan kesatuan bangsa, seperti diatur Pasal 6 Huruf d dan e UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 73 UU HAM dan UU No 40/1999 tentang Pers, Pasal 28 J Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.

Ketegasan Presiden dalam pidato kenegaraan untuk menindak gerakan separatis yang mengancam kesatuan bangsa perlu didukung. Sebab, pertama, tindakan hukum atas kelompok separatis dan anarkis merupakan upaya menegakkan kedaulatan RI dan wibawa pemerintah.

Kedua, meningkatkan penegakan hukum, kesadaran, dan kepatuhan hukum.

Ketiga, meningkatkan sosialisasi dan kesadaran penggunaan HAM dan pembatasannya. Sebab, kenyataan menunjukkan, banyak pendemo—terutama di daerah—kurang memahami pembatasan HAM secara normatif.

Karakter

Penggunaan HAM dibatasi karakter HAM, baik yang absolut maupun relatif, seperti diatur UUD 1945 dan UU HAM. HAM absolut, yaitu HAM yang dalam situasi apa pun tidak boleh dikurangi dan dilanggar siapa pun sesuai prinsip nonderogable human rights. HAM absolut meliputi hak untuk hidup, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan nurani, kebebasan beragama, tidak diperbudak, persamaan di muka umum dan hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

HAM relatif penggunaannya dibatasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kebebasan media dibatasi kode etik jurnalistik, kode etik penyiaran, dan kebebasan berpendapat yang dibatasi aneka kewajiban seperti diatur dalam UU No 9/1998.

Maka, polisi dan TNI perlu menindak mereka yang terlibat gerakan separatis dan melancarkan tindakan anarkis dengan dalih demokrasi dan demokratisasi. Dephuk dan HAM pun perlu meningkatkan sosialisasi HAM.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Denpasar

 

 

 


Opini            

Rabu, 29 Agustus 2007

Pembiayaan Pendidikan Tinggi

Agus Suwignyo

Hingga kini pemerintah baru mengalokasikan 9-10 persen APBN, dari ketentuan konstitusi 20 persen, untuk pendanaan pendidikan, di luar gaji guru/dosen.

Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.

Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?

Partisipasi

Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.

Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).

Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).

Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).

Keterbatasan dana?

Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.

Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.

Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.

Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.

Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?

Proyeksi pengembangan

Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.

Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai “lokomotif ekonomi”, belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.

Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.

Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.

Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.

Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.

Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam

 

 

 


Opini            

Rabu, 22 Agustus 2007

Setelah Dua Tahun Perdamaian

Teuku Kemal Fasya

Tanggal 15 Agustus lalu tepat dua tahun usia perdamaian Aceh, masa yang melelahkan sekaligus membanggakan.

Melelahkan karena menghadapi banyak rintangan. Kasus penurunan bendera dan polisi yang menganiaya warga sipil karena dituduh menurunkan bendera menjadi cacat yang harus dihilangkan pada masa datang.

Membanggakan karena perdamaian telah melewati batas psikologis post-conflict, apalagi bila dibandingkan kesepakatan damai sebelumnya (Jeda Kemanusiaan I-II, Moratorium Kekerasan, dan COHA/Kesepakatan Penghentian Permusuhan) yang berumur kurang dari enam bulan.

Masyarakat gembira merayakan dua momentum, 15 dan 17 Agustus.

Desain global

Dari perspektif global, tak ada yang unik dari penyelesaian konflik Aceh, seperti desain resolusi konflik di tempat lain pada 1990-an (Filipina, Thailand, Yugoslavia, Rwanda, Liberia, atau Timor Timur), yaitu mempromosikan demokratisasi dan marketisasi (marketization) sebagai hipotesis penyehatan perdamaian domestik. Namun, jika dilihat tidak semua desain berhasil, proyek Aceh adalah contoh baik yang bisa dipelajari oleh daerah lain.

Demokratisasi diintroduksi melalui pemilu, pembentukan undang-undang baru, pengujian kewenangan pemerintah, serta penghormatan kepada hak-hak kebebasan sipil dalam berbicara, berserikat, dan berpartai. Adapun marketisasi dijalankan dengan gerakan yang mengarah pada ekonomi yang berorientasi pasar, termasuk meminimalkan intervensi pemerintah di bidang ekonomi, memaksimalkan kebebasan investor dan produsen, serta mempertemukan keinginan masyarakat lokal dalam mengelola ekonomi yang disukai (Roland Paris, At War’s End, 2004).

Untuk konteks Aceh, demokratisasi melalui pilkada telah menghasilkan stabilitas politik karena “elite pemberontak” yang dulu terbuang kini ada di pusar kekuasaan. Harapan publik atas pemerintahan Irwandi-Nazar hingga bulan ke-8 masih positif karena kebijakan populisnya, seperti moratorium penebangan hutan, pemberantasan korupsi, dan wacana secepatnya mengambil alih Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).

Juga marketisasi yang dilakukan pascaperdamaian. Slogan “tak ada rekonstruksi tanpa perdamaian dan tak ada perdamaian tanpa rekonstruksi” menjadi mantra ampuh. Hampir tak ada konflik berarti antara TNI dan eks GAM. Narasi bahwa Aceh membutuhkan pembangunan dan bukan perang telah melumerkan dendam hingga tidak tereskalasi.

Faktor eksternal dan internal

Suka atau tidak, bibit-bibit “konflik baru” mulai tersemai oleh kebijakan marketisasi. Program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh semula tidak menyentuh korban konflik. Hingga 2006 hampir semua LSM (terutama internasional) tidak berani menyentuh pembangunan di “wilayah hitam” karena takut diinterpretasikan politis. Akibatnya, muncul kecemburuan antara korban konflik dan tsunami. Padahal bantuan tsunami seharusnya menjadi “berkah tersembunyi” yang menyelesaikan seluruh derita (konflik, tsunami, miskin).

Reorientasi kebijakan baru terlihat saat pemerintah membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk mengimbangi BRR yang menangani korban tsunami. Namun, lemahnya peran BRA dan kacaunya format bantuan yang disupervisi Bank Dunia bagi 3.000 korban konflik membuat konflik merebak di tingkat internal. Hasil verifikasi BRA memastikan ada 31.189 rumah hancur dan dibakar semasa konflik (Serambi Indonesia, 24/7) mengindikasikan ada belasan kali lipat korban penerima program diyat (restitusi) yang tak tertampung.

Hal lain yang juga merugikan perdamaian adalah mengempisnya wacana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pascapembatalan UU KKR Nomor 27 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap lemah membela hak-hak korban. Namun, legalitas KKR Aceh dapat merujuk UU No 11/2006.

Sayang, wacana KKR menjadi horor vacuui. TNI mencurigai gagasan ini sebagai upaya menjerumuskannya menjadi aktor tunggal (perpetrator). Padahal praktik wacana KKR berfungsi mengklarifikasi kekaburan sejarah konflik dan menegaskan, korban bisa siapa saja—TNI, GAM, keluarganya, atau orang biasa—yang memiliki hak untuk menuntut apa yang telah dirampas dari kehidupannya pada masa lalu. KKR dapat menghalangi korban dikurbankan kembali oleh politik kekuasaan yang salah. Para korban layak mendapat buku putih atas sejarahnya.

Terakhir, konteks damai Aceh harus mampu menegosiasikan kepentingan internal GAM, antara “kelompok pragmatis” yang kini di pucuk kekuasaan dan “kelompok idealis” yang masih ingin merdeka. Serial teror bom yang menimpa para bupati dan wali kota eks GAM serta hilangnya bendera Merah Putih menjelang 17 Agustus menandakan ada ketidakpuasaan internal atas strategi memartabatkan Aceh ke depan. Reunifikasi layak pula diberlakukan di internal GAM-SIRA.

Dua tahun belum cukup! Rakyat Aceh masih menuntut perdamaian yang lebih panjang pada tahun-tahun mendatang.

Teuku Kemal Fasya Ketua Jurusan Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe

 

 

 


Opini            

Selasa, 21 Agustus 2007

RAPBN 2008, “Pro-poor” Infrastruktur

Devy Hendri

Presiden Yudhoyono telah menyampaikan pengantar nota keuangan negara RAPBN 2008, di depan rapat paripurna DPR, 16 Agustus lalu.

Asumsi dan alokasi dasar penyusun RAPBN 2008 menunjukkan, pemerintah berkomitmen menggunakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan.

Bagaimanapun, arah dan kebijakan RAPBN itu layak diapresiasi. Kebijakan infrastruktur dan investasi harus menjadi bagian penting pengurangan kemiskinan pada negara berkembang dengan ciri infrastruktur buruk.

Terkait penyediaan infrastruktur, Pemerintah Indonesia menghadapi beban ganda. Di bidang listrik, beban berat ada di Pulau Jawa dan Bali, sementara pulau-pulau besar di luar Jawa-Bali amat kekurangan listrik. Jalan raya sudah terlalu padat, sementara jalan bebas hambatan baru disiapkan. Proporsi penduduk yang bisa mengakses air bersih pun mengalami penurunan akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk (World Bank, 2007).

Ketimpangan pemanfaatan

Dari sisi kualitas, ketersediaan infrastruktur bukan berarti akan menurunkan angka kemiskinan. Laporan Bank Dunia Reaching The Poor 2005 menyimpulkan, hampir tidak ada korelasi positif antara ketersediaan infrastruktur (kuantitas) terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Desain kebijakan infrastruktur yang salah kaprah tidak menghasilkan hal berarti pada perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin.

Isu utama adalah ketimpangan pemanfaatan (utilization inequality) infrastruktur. Berbagai infrastruktur social-based seperti sekolah, jaringan air bersih, kesehatan, dan infrastruktur commercial-based—infrastruktur yang dikelola BUMN dan berorientasi bisnis—yang seharusnya dapat dimanfaatkan merata oleh seluruh masyarakat, pemanfaatan terbesarnya dilakukan kelompok masyarakat yang lebih baik karakteristik sosial-ekonominya.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007, yang dirilis World Bank Office Jakarta memaparkan, akses terhadap air pipa amat terbatas di semua provinsi di Indonesia. Tingkat akses air bersih masyarakat miskin adalah paling rendah. Lebih dari 80 persen rumah tangga dalam kisaran 20 persen kelompok penghasilan terendah (kuintil rakyat paling miskin) bergantung pada air sumur dan sumber air alami seperti air hujan, mata air, dan sungai.

Pada sektor kesehatan, terutama layanan kesehatan dasar dan sekunder (primary and secondary health care), belum berpihak kepada penduduk miskin meski secara netral didistribusikan di antara kuintil pengeluaran. Berbagai studi menunjukkan, fasilitas dan layanan puskesmas juga dimanfaatkan optimal masyarakat kaya (Davy dan Elfindri, 2007; Elfindri, 1995).

Pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder jelas tidak memihak kaum miskin. Sebagian besar dinikmati penduduk kaya.

Celakanya, layanan kesehatan publik yang paling banyak digunakan penduduk miskin adalah infrastruktur dan layanan kesehatan dasar (primer). Tetapi, pemerintah justru menggunakan 40 persen sumber daya untuk layanan kesehatan publik, untuk subsidi regresif yang ditargetkan bagi rumah sakit (layanan kesehatan sekunder) pemerintah.

Hambatan pemanfaatan

Apa saja yang menyebabkan infrastruktur itu belum sepenuhnya mencapai kelompok masyarakat termiskin? Beberapa hambatan dari pribadi masyarakat (individual barriers) menjadi faktor penjelas. Meski jalan raya mulus, mahalnya ongkos transpor menghambat masyarakat miskin untuk menikmatinya. Sementara itu, dalam survei rumah tangga yang tidak memiliki sambungan listrik, 87 persen menyebutkan mahalnya sambungan merupakan alasan utama, hanya 4 persen mengeluhkan biaya bulanan yang mahal.

Meski hambatan individual itu bisa dihilangkan dan masyarakat bersedia memanfaatkan infrastruktur serta layanan publik, buruknya kualitas layanan—seperti layanan yang kurang ramah—sering menjadi masalah tersendiri (service barriers). Ini amat terasa dalam pemanfaatan fasilitas dan layanan publik social-based, seperti pendidikan dan kesehatan.

Meski biaya pelayanan kesehatan amat murah atau gratis, ketidaktepatan diagnosa dan treatment pengobatan membuat orang miskin tidak percaya dengan kualitas obat yang diresepkan dokter puskesmas.

Kebijakan “pro-poor”

Karena itu, kebijakan infrastruktur pro-poor harus menjamin dua hal pokok, yaitu ketermanfaatan dan keberlangsungan secara merata. Untuk menjamin tingginya pemanfaatan infrastruktur dan layanan social based, perbaikan kualitas layanan dan SDM mutlak diprioritaskan.

Terkait infrastruktur commercial-based, pemerintah harus menyusun kebijakan insentif bagi penyedia, agar bersedia menurunkan service charge bagi lapisan miskin, dengan jaminan tidak ada mark-up dan KKN. Selain itu, pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur pendidikan harus terjamin keberlangsungannya.

Kita berharap fokus pembangunan RAPBN 2008 pada infrastruktur fisik (hard-infrastructure) yang dikuti upaya perbaikan soft-infrastructure—aturan main, tata kelola yang baik (good governance)—dapat berdampak maksimal. Yaitu, sebuah korelasi positif dan signifikan antara kucuran dana triliunan rupiah bagi pembangunan berbagai infrastruktur dan penurunan tingkat kemiskinan masyarakat termiskin. Bukankah itu yang menjadi salah satu tujuan kemerdekaan negeri ini?

Devy Hendri Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang

 

 

 


Opini            

Selasa, 21 Agustus 2007

EPA dan Habitus Baru Hubungan RI-Jepang

Bambang Wibawarta

Penandatanganan Persetujuan Kemitraan Ekonomi RI-Jepang, 20 Agustus 2007, amat berarti bagi kedua negara.

Di tengah kondisi politik dalam negeri Jepang yang kurang menguntungkan pemerintahan Abe, momen ini diharapkan menjadi pemulih kepercayaan masyarakat. Langkah-langkah simpatik Abe menjadi pelipur masalah dalam negeri, seperti sistem pensiun, skandal anggota kabinet, dan Menhan yang keseleo lidah. Ke dalam, Abe dan beberapa menteri tidak mengambil bonus musim panas tahun ini, sedangkan ke luar, keputusan untuk tidak mengunjungi Kuil Yasukuni mengurangi konflik, khusunya dengan Korea dan China.

Jepang sudah memiliki pengalaman dengan persetujuan kemitraan ekonomi (EPA), dan Indonesia merupakan negara ke-8 bagi Jepang. Sebaliknya bagi Indonesia, hubungan kemitraan ini merupakan pengalaman pertama sehingga Pemerintah Indonesia terlihat amat berhati-hati.

Pengamanan pasokan energi memberi nuansa amat kental bagi Jepang. Dari data statistik tahun 2005, ekspor tertinggi Jepang ke Indonesia (29,6 persen) adalah mesin, sedangkan ekspor terbesar Indonesia ke Jepang terkait energi seperti LNG, minyak mentah, dan batu bara (51,6 persen). Dengan EPA, Indonesia lebih dulu menginformasikan dan mendiskusikan dengan Jepang jika ingin mengeluarkan kebijakan baru terkait masalah energi.

Selain ekonomi, banyak hal yang bisa membuat kedua negara menjalin hubungan erat dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah internasional, misalnya penyelesaian Korea Utara dan hubungan Islam-Barat.

Habitus baru dan kendala

Tahun 2008 merupakan tahun ke-50 hubungan diplomatik RI-Jepang. Penandatangan EPA diharapkan menjadi babak baru hubungan RI-Jepang, khususnya di bidang ekonomi. Karena itu, diharapkan tercipta habitus baru, dengan sikap dan mentalitas baru. Alasannya, selama Orde Baru hubungan RI-Jepang banyak diisi basa-basi dan slogan manis di permukaan. Ke depan, Indonesia diharapkan tidak sekadar menjadi pemasok energi dan bahan baku atau sekadar pasar bagi produk Jepang, meski Jepang adalah investor terbesar di Indonesia juga pemberi bantuan terbesar.

Ungkapan PM Fukuda Takeo saat pertemuan puncak Jepang- ASEAN tahun 1977, dengan doktrin heart to heart understanding, secara historis memiliki arti penting dalam merekat hubungan yang sempat renggang, seperti peristiwa Malari. Ungkapan sejenis heart to heart talks pernah diungkap Presiden Soekarno, tahun 1963 (Yomiuri, 27/9/1963). Hubungan kedua negara kini bergesar kepada “kemitraan strategis” yang seharusnya mengedepankan kesetaraan.

Jepang amat berkepentingan dalam jaminan pasokan energi, sedangkan Indonesia mengharapkan investasi lebih besar yang akhir-akhir ini kian menurun, ketenagakerjaan, dan capacity building. Dengan EPA, Indonesia hampir pasti memperpanjang suplai gas ke Jepang yang kontraknya habis 2010 karena jaminan ini menjadi salah satu syarat yang ditetapkan Jepang. Indonesia menjadi penyuplai 24 persen kebutuhan gas Jepang.

Tenaga kerja Indonesia

Dalam hal ketenagakerjaan, Jepang bersedia menerima tenaga perawat Indonesia sesuai standar kualifikasi yang ditetapkan Jepang. Namun, pengiriman perawat bukan hal mudah. Sebelumnya Jepang berpengalaman menerima perawat dari Filipina (2004) dan Thailand (2005). Untuk memenuhi kualifikasi itu tidaklah mudah. Kemampuan bahasa Jepang menjadi persyaratan berat yang harus dipenuhi perawat asing yang akan bekerja di Jepang. Selain itu masalah agama, budaya, peraturan ketenagakerjaan, dan ujian yang tidak mudah bagi orang asing akan menjadi kendala besar. Selain itu adanya isu terorisme dan kejahatan yang dilakukan warga asing seperti sering diberitakan media Jepang menjadi masalah lain.

Rendahnya angka kelahiran dan usia harapan hidup yang amat tinggi memicu munculnya masalah tenaga kerja. Tingginya jumlah lansia di Jepang memberi harapan dalam hal tenaga perawat. Menurut penelitian, jumlah penduduk Jepang akan berkurang 21,8 juta jiwa pada 2050 dan 32 persen dari seluruh jumlah penduduk adalah lansia, yakni yang berusia di atas 65 tahun.

Program magang

Untuk kebutuhan industri khusus, Jepang memberlakukan program magang bagi warga asing. Beberapa kalangan berpendapat jika Jepang mengambil banyak tenaga kerja potensial dari luar negeri, itu akan mengurangi kesempatan bekerja warga Jepang sendiri. Karena itu, tenaga kerja asing khusus ditujukan untuk pekerjaan yang sering disebut jenis “3K”, kitsui (kasar), kitanai (kotor), dan kiken (bahaya).

EPA bukan hanya menjual barang. Masalah terpenting, bagaimana agar Jepang menjamin produk Indonesia masuk pasar Jepang seperti Indonesia menjamin pasokan gas alam ke Jepang. Misalnya, membantu Indonesia mencapai standar Jepang yang tinggi, seperti keamanan pangan dan hambatan nontarif lainnya.

EPA harus dijadikan momen penting dan konsistensi pelaksanaannya harus dipelihara. Kemitraan yang setara menjadi tuntutan lazim hubungan RI-Jepang, dan EPA harus dibuktikan bukan sebagai panoptisasi, namun bentuk kemitraan yang dapat saling mengawasi dalam kesetaraan. Diharapkan, EPA bukan seperti membuka kotak pandora tanpa tahu cara menutupnya kembali.

Bambang Wibawarta Direktur Eksekutif Pusat Studi Jepang UI

 

 

 


Opini            

Selasa, 21 Agustus 2007

Makna Kemitraan RI-Jepang

Makmur Keliat

Bagi Indonesia, posisi Jepang amat “strategis”. Sebaliknya, bagi Jepang, Indonesia disebut aktor negara yang “strategis”.

Pernyataan diplomatik seperti ini sering didengar saat ada pertemuan di antara dua kepala negara. Lihat dokumen kemitraan strategis yang ditandatangani Shinzo Abe dan Susilo Bambang Yudhoyono di Tokyo, 28 November 2006. Di luar pernyataan diplomatik itu, ada berbagai realitas objektif yang menunjukkan adanya tantangan besar bagi kedua negara untuk memaknai hubungan “strategis” itu.

Realitas

Pertama, lihatlah realitas perdagangan. Data hingga 2005 menunjukkan, Jepang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia (21 persen). Total ekspor Indonesia ke Jepang 18 miliar dollar AS. Indonesia mendapat surplus karena impor perdagangan Jepang dari Indonesia hanya 6,9 miliar dollar AS. Jika angka-angka ini dijadikan rujukan, Jepang menduduki posisi “strategis” bagi Indonesia. Namun, melihat kecenderungan sebelum 2005, ada hal menarik untuk digarisbawahi.

Meski Jepang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, kecenderungan pola perdagangan bilateral kedua negara amat dipengaruhi situasi ekonomi regional Asia Timur. Akibat krisis finansial tahun 1997, sebenarnya ekspor Indonesia ke Jepang ataupun sebaliknya mengalami penurunan drastis. Baru pada tahun 2003 ekspor Indonesia ke Jepang mulai melewati nilai ekspor yang telah dicapai tahun 1996. Dengan kata lain, sejak 1997 hingga 2002, ekspor Indonesia terus menurun. Dalam kasus ekspor Jepang ke Indonesia, situasinya lebih buruk. Hingga tahun 2005, ekspor Jepang ke Indonesia belum mencapai nilai ekspor yang telah dicapai negara itu tahun 1996, yaitu 8,5 miliar dollar AS.

Situasi yang mirip juga dapat ditemukan dalam investasi. Kecenderungan pengaruh dampak krisis finansial tahun 1997 juga amat terasa. Jika tahun 1996 penanaman modal asing langsung Jepang ke Indonesia tercatat 7,6 miliar dollar AS, hingga tahun 2005 hanya mencapai angka sekitar 1,2 miliar dollar AS. Bahkan pada tahun 2002 pernah mencapai angka 519 juta dollar. Dengan kata lain, penanaman modal asing langsung Jepang ke Indonesia belum mencapai angka yang pernah dicapai sebelum krisis.

Realitas di bidang politik dan keamanan juga tidak sepenuhnya menyenangkan. Salah satu isu krusial di bidang ini adalah perhatian Jepang yang kian besar dalam keamanan laut (maritime security). Jepang amat khawatir terhadap tindakan perompakan dan pembajakan di laut. Karena itu, Jepang ingin mendorong Indonesia menyetujui Kesepakatan Kerja Sama Regional Menghadapi Tindakan Pembajakan dam Perampokan Bersenjata terhadap Kapal di Asia (ReCAAP). Keinginan Jepang merupakan hal wajar karena negeri itu merupakan salah satu major trading nation di dunia yang amat berkepentingan terhadap keamanan maritim.

Sebab lain adalah kian menonjolnya isu-isu keamanan baru pada tataran global seperti terorisme, pasca-tragedi 11 September. Itu sebabnya, Jepang mendukung gagasan Proliferation Security Initiative (PSI) yang digagas Amerika Serikat. Indonesia tidak menyetujui ReCAAP ataupun PSI. Gagasan ReCAAP tidak disetujui karena dapat mengakibatkan hilangnya kontrol Indonesia, bersama Malaysia dan Singapura, atas wilayah Selat Malaka. Demikian juga PSI ditolak Indonesia karena meniadakan kontrol terhadap laut teritorial Indonesia.

Bagian penguatan regional

Karena itu, istilah kemitraan strategis tampaknya masih merupakan cita-cita daripada kenyataan. Kedua negara masih harus meluncurkan berbagai kebijakan dan tindakan nyata guna mengurangi kesenjangan antara cita-cita dan kenyataan.

Selain itu ada dua hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk membuat hubungan kedua negara tidak hanya sekadar strategis, tetapi juga realistis.

Pertama, penguatan hubungan bilateral Jepang-Indonesia sebaiknya jangan sampai mengorbankan kebutuhan untuk penguatan kerja sama regional yang sedang diinisiasi ASEAN. Data-data perdagangan dan investasi yang telah dipaparkan menunjukkan, hubungan bilateral Indonesia-Jepang tidak dalam suatu kehampaan regional. Hubungan itu juga ditentukan dinamika ekonomi regional Asia Tenggara dan Asia Timur. Dengan kata lain, penguatan hubungan bilateral harus selalu ditempatkan sebagai bagian integral penguatan hubungan regional.

Kedua, meyakinkan Jepang bahwa kita tidak membutuhkan kerangka kelembagaan baru untuk penanganan isu-isu keamanan baru, seperti terorisme dan bajak laut. Ada dua argumen yang bisa digunakan untuk meyakinkan Jepang.

Pertama dengan menyatakan, ASEAN telah menyediakan kerangka kelembagaan untuk penanganan isu keamanan baru.

Kedua, terkait kebutuhan efisiensi biaya, dengan menyatakan lebih baik memperkuat kapasitas kelembagaan yang ada daripada menciptakan kerangka kelembagaan baru.

MAKMUR KELIAT Pengajar Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI; Research Fellow pada Center for East Asian Cooperation Studies (CEACoS), FISIP UI

 

 

 


Opini            

Selasa, 28 Agustus 2007

Paradoks Pelesetan Hukum

Moh Mahfud MD

Ada yang mendobrak nurani saat media, Senin (20/8), memberitakan paradoks nasib koruptor serta penanganan korupsi di Indonesia dan China.

Rubrik Politik dan Hukum harian Kompas edisi hari itu memberitakan, setelah keluar dari penjara karena korupsi, Mulyana W Kusumah menyatakan akan kembali aktif di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara pada rubrik Internasional diberitakan, sampai Agustus 2007 China menangkap 4.866 pejabat karena korupsi. Salah seorang yang dihukum adalah Xu Wenai, seorang jaksa di Provinsi Anhui yang pergi ke Finlandia menggunakan uang negara dengan undangan palsu. Hebatnya, Juli lalu, China mengeksekusi mati mantan kepala pengawasan obat dan makanan, Zheng Xiaoyu, karena terbukti korupsi. Kita mudah menyimpulkan, keberhasilan China dalam memberantas korupsi karena negara itu bersikap tegas.

Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi tak efektif karena tak pernah tegas. Jangankan dihukum mati, yang dijatuhi hukuman penjara pun bisa kabur tanpa ketahuan rimbanya. Orang yang resmi didakwa korupsi masih bisa tampil perlente dan berorasi di muka umum tanpa risi. Orang yang telah dihukum pun bisa dengan tanpa beban dan tidak malu mengatakan akan berkantor lagi di lembaga yang pernah dirusaknya dengan korupsi. Mengapa budaya hukum tidak mencerminkan budaya adiluhung seperti yang sering digembar-gemborkan?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan ingin belajar cara memberantas korupsi kepada China. Padahal, kalau mau, tak perlu lama untuk paham bagaimana China berhasil memberantas korupsi. Kata kuncinya: konsekuen dan tegas. Namun, kelihatannya pemerintah tak sungguh-sungguh mau belajar dari China. Jangankan bersikap tegas, membuat keputusan pemberhentian atas koruptor yang harus diberhentikan saja lupa.

Buktinya Mulyana belum diberhentikan dan terus menerima gaji meski sudah divonis pidana dengan ancaman hukum mati. Untung, meski terlambat, Menhuk dan HAM Andi Mattalatta menyatakan Mulyana tak bisa lagi kembali ke KPU dan keppres pemberhentiannya segera dikeluarkan (Kompas, 21/8). Pemberhentian itu sesuai dengan ketentuan Pasal 18 huruf j dan Pasal 29 Ayat (2) d Undang- Undang No 22/2007. Dalam berbagai UU lain, sebenarnya sudah lama ada pengaturan seperti itu, misalnya UU No 22/2003.

Pelesetan hukum

Fenomena Mulyana sebenarnya merupakan bagian kebiasaan kita bermain pelesetan hukum. Kalau pelesetan kata dalam ketoprak humor atau dalam parodi Republik Mimpi bisa menggelikan dan menghibur.

Pelesetan hukum bukan permainan kata, tetapi pembelokan kasus hukum. Ada kasus terindikasi sebagai kasus pidana tetapi prosesnya mandek karena diselesaikan secara adat. Korupsi dana abadi umat yang fantastis berhenti pada penghukuman mantan menteri agama dan seorang dirjen sebagai tumbal padahal dana itu mengalir ke pejabat, termasuk pejabat yang minta diumrahkan.

Kasus dana nonbudgeter DKP berhenti pada Rokhmin Dahuri padahal dana korupsi tersebut mengait banyak orang yang saat itu sedang menjabat sehingga sebenarnya dapat diproses secara hukum karena pidana korupsi (juga), pidana gratifikasi, atau pidana pencucian uang. Ada juga pejabat yang menyalahgunakan wewenang dan terindikasi melanggar hukum tetapi mengaku tak bersalah. Mereka mau bertahan pada jabatannya dengan alasan tak ada putusan pengadilan bahwa dirinya bersalah. Padahal, kita tahu, untuk pejabat tinggi level tertentu aparat penegak hukum selalu tak berani menyentuh sehingga selama dia menjabat kecil kemungkinannya disentuh hukum.

Harus diingat, menurut Tap MPR No VI/MPR/2001 seorang pejabat publik harus berhenti dari jabatannya jika membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan keresahan atau sorotan publik. Menurut Tap MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa, pejabat publik harus mengundurkan diri tanpa harus lebih dulu terbukti bersalah secara hukum jika membuat policy atau melakukan sesuatu yang menimbulkan sorotan atau ketidakpercayaan publik. Tap MPR No VI/MPR/2001 itu menurut Tap MPR No I/MPR/2003 masih berlaku sampai ada UU yang menggantikannya.

Presiden Yudhoyono pun tampaknya ikut memelesetkan hukum saat pada awal masa jabatannya meminta para menteri menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika terbukti melanggar hukum. Seharusnya, menurut Tap MPR No VI/MPR/2001, jika terbukti melanggar hukum dalam kualifikasi tertentu, seorang pejabat publik tak perlu diminta bersedia mengundurkan diri, tetapi atas nama hukum harus diberhentikan.

Begitu banyaknya pemeleset hukum di negara kita sehingga di antara kita pun banyak yang kemudian menjadi permisif terhadap korupsi sambil berpura-pura arif, mengajak menjadi pemaaf terhadap para koruptor.

Moh Mahfud MD Dosen UII Yogyakarta, Anggota Fraksi PKB DPR

 

 

 


Opini            

Senin, 27 Agustus 2007

Fantasi Kemerdekaan

Yonky Karman

Taman Tugu Proklamasi di Jakarta sering menjadi simpul pertemuan untuk memperjuangkan hak-hak dasar rakyat. Bulan Juli lalu tugu itu dikunjungi ribuan anak-anak pinggiran dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Mereka bersenandung, “Kamilah ini anak merdeka…. Semua di dunia milik bersama, ’tuk dibagi sama adil dan beradab.”

Dalam surat pembaca dari Medan, disimpulkan, negara telah mundur 45 tahun (Kompas, 18/7). Kondisi sekarang mirip pengalamannya semasa kecil tahun 1962-1966. Jalan-jalan rusak parah, sering terjadi pemadaman bergilir, antrean panjang minyak tanah, kelangkaan premium, serta harga beras, gula, dan minyak goreng melambung. Padahal, bahan dasarnya melimpah di Tanah Air. Kita masih berkutat dengan isu-isu pembangunan yang mendasar.

Negara kuat

Kita tak berdaya menghadapi serbuan produk murah dari China yang membuat produk dan produktivitas kita tertekan. Saat Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat melarang beberapa produk China, tak ada sikap reaktif dari China. Namun, saat otoritas Indonesia melakukan hal serupa, langsung ada reaksi balasan.

Dalam brosur bertajuk Politik (November, 1945), fantasi politik Tan Malaka adalah merdeka 100 persen. Merdeka secara bentuk (bernegara) dan isi (berdaulat). Kontroversi tentang perjanjian kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura pada dasarnya mencerminkan kelemahan Indonesia dalam penguasaan teknologi militer sehingga konsesi yang diberikan mengganggu kedaulatan negeri.

Kita kaya bahan mentah industri dan bahan bakar minyak. Namun, emas, tembaga, logam lain, dan sebagian besar minyak dan gas kita dikuasai asing yang menguasai teknologi mutakhir. Seharusnya modal asing ditanam sejauh suatu barang belum bisa dibuat sendiri atau sejauh investasi itu tidak membahayakan perindustrian, pertahanan, dan kesejahteraan bangsa. Namun, hingga kini belum ada negosiasi ulang terhadap isi kontrak karya.

Namun, kurang dari satu tahun masa pemerintahan Evo Morales, Presiden Bolivia itu berhasil mewujudkan janji politiknya saat kampanye. Ia menjadikan perusahaan asing menjadi mitra yang ikut mengatasi problem sosial, bukan mengeruk kekayaan dan melestarikan kemiskinan. Berhadapan dengan keberpihakan tanpa pamrih, berbagai perusahaan minyak dan gas asing di Bolivia terpaksa menandatangani program nasionalisasi.

Problem “statism”

Rakyat Indonesia bagai menunggu Godot untuk kehadiran pemimpin seperti itu. Republik lebih didominasi peran penguasa daripada publik. Intervensi pemerintah dalam kehidupan bernegara begitu besar sehingga menyerap spontanitas warga. Kalaupun ada spontanitas, itu dibiarkan penguasa sebagai bagian dari skenario melanggengkan status quo. Birokrasi berkepentingan untuk membuat rakyat tidak cukup kuat menggoyang penguasa.

Untuk memeriksa pejabat yang terindikasi korupsi, birokrasi izin pemeriksaan dibiarkan rumit. Korupsi birokrasi mengerikan bagai gurita mafia nyaris di semua bidang. Kekayaan negara digerogoti di depan mata. Padahal, kekuatan suatu negara berbanding lurus dengan penegakan hukumnya. Demokrasi kita baru pada tahap prosedural yang melegitimasi oligarki kekuasaan.

Negara akan kuat jika birokrasi tak dibiarkan membangun kleptokrasi. Beberapa kali dana nonbudgeter menjadi kasus hukum. Seharusnya itu memiliki efek domino. Seharusnya segera ada penertiban rekening dana nonbudgeter di semua departemen. Seharusnya ada tindakan hukum yang memaksa semua (tidak satu-dua orang) penerima dana mengembalikannya ke kas negara.

Problem statism adalah rakyat ada untuk negara. Negara bukan untuk rakyat. Negara tidak menjalankan kewajibannya memenuhi dan melindungi hak dasar rakyat. Pembahasan RUU Pelayanan Publik di parlemen terus tertunda. Substansi kebijakan politik tidak memihak kesejahteraan rakyat. Negara korup dipadati kumpulan massa tanpa karakter yang merampas kesejahteraan rakyat.

Rakyat sejahtera

Bung Hatta dalam salah satu amanat pidatonya berkata, “Negara akan kuat kalau pemerintahnya dipercaya rakyat. Rakyat akan makmur kalau pemerintahnya mencintai rakyat” (rapat umum di Kabanjahe, 22 November 1950). Di era globalisasi, upaya negara untuk menyejahterakan rakyat berhadapan dengan kekuatan pasar global.

Peringkat daya saing global produk kita menurun, terutama di bidang manufaktur, garmen, tekstil, dan hasil alam. Berdasarkan hasil survei World Economic Forum (WEF) tahun 2007, Indonesia ada di posisi 50 dari 125 negara di dunia. Posisi itu masih di bawah India, Filipina, Vietnam, China, Sri Lanka, dan Banglades.

Semasa dijajah Belanda hingga abad ke-18, produk rempah Indonesia berjaya di pasar dunia. Cengkeh dan pala dari Maluku. Lada dari Bangka dan Belitung. Kayu manis dari Sumatera Barat. Vanili dari Bali dan Lampung. Namun, kini rempah kita kalah bersaing dengan India, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Petani rempah kita harus diberi penyuluhan dan insentif sebab produktivitas tanaman rempah baru 40-60 persen dari seluruh potensi.

Salah besar jika pemerintah negeri agraris membiarkan kemiskinan di kalangan petani. Harus ada langkah nyata membantu petani mengantisipasi fenomena tahunan, kekeringan, dan banjir. Masalah ini tidak cukup diatasi dengan imbauan menteri pertanian agar menghemat air. Kemiskinan adalah salah satu karakteristik rakyat lemah.

Bulan lalu, saat memperingati Ulang Tahun Ke-60 Kemerdekaan, Perdana Menteri Manmohan Singh menegaskan, rakyat India belum merdeka dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi baru dinikmati segelintir orang. Malanutrisi menjadi aib nasional, 46 persen anak di bawah usia tiga tahun menderita kurang gizi. Itulah fantasi kemerdekaan pemimpin India.

Menurut Laporan Bank Pembangunan Asia bulan lalu, globalisasi berperan memperlebar kesenjangan pendapatan di hampir seluruh negara Asia. Tanpa kebijakan afirmatif pemerintah, globalisasi berpihak pada warga berpendidikan baik. Jika pemerintah melepas pendanaan pendidikan kepada mekanisme pasar, kaum terdidik akan lebih sedikit lagi. Padahal, kekuatan daya saing bangsa berbanding lurus dengan penguasaan ilmu dan teknologi.

Negara kuat dan rakyat sejahtera adalah fantasi kemerdekaan para pendiri republik. Dalam segala keterbatasan, fantasi itu telah menghadirkan kemerdekaan. Jika tak terjadi kelangkaan fantasi kemerdekaan, seharusnya kita sedang membebaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Yonky Karman Rohaniwan

 

 

 


Opini            

Senin, 27 Agustus 2007

Membuang Duri dalam Daging

Usman Hamid

“Poisoner do their deadly work in secret. The evidence in poisoning cases is nearly always circumstantial. In this case it is more direct than usual. You must remember that poisoning is always concealed and deliberate. It is crime that is not done in a moment of passion, or on an impulse. It is crime that must be planned.”

Itulah ungkapan hakim William Windeyer saat mengadili Dean, pelaku pembunuhan dengan racun, di Pengadilan Pidana Pusat Sidney tahun 1896, yang dikutip Peter Macinnis dalam buku Poisons, from Hemlock to Botox and the Killer Bean of Calabar (Arcade New York 2005).

Ungkapan itu memang telah lama, tetapi maknanya masih relevan untuk dijadikan jendela dalam melihat pembuktian yuridis kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib (39).

Sebagai hamba hukum, hakim Windeyer menginsafi, pelaku pembunuhan dengan racun melaksanakan pekerjaan mematikan dalam kerahasiaan. Kasus-kasus ini hampir selalu bertumpu pada circumstantial evidence dan pada keadaan yang memungkinkan pengadilan untuk menjangkau kesimpulan bahwa seseorang bersalah meski tanpa bukti yang sempurna/konklusif.

Dalam kerahasiaan

Kejahatan ini lebih langsung dari biasa. Kita, kata Windeyer, harus ingat bahwa peracunan selalu disembunyikan, nyaris tak terlihat, serta dipenuhi kesengajaan, niat, dan kehendak. Ia adalah kejahatan yang tidak dapat dilaksanakan dan selesai dalam sebuah momen keraguan atau sebuah momen keseketikaan. Ia adalah kejahatan yang pasti telah direncanakan. Itu pasti.

Pada kasus Munir, ada keyakinan kuat, ia telah mati karena terbunuh racun, seseorang telah meracunnya secara kejam dan pengecut. Dan sang peracun tidak sendirian, tetapi ada dalam komplotan. Keyakinan ini bukan tanpa bukti. Hanya saja, pada sisi lain mata rantai bukti-bukti dalam kejahatan ini terkesan menjadi terputus.

Pembuktian yuridis who did what to whom berakhir dengan vonis 14 tahun penjara oleh pengadilan negeri kepada Pollycarpus atas tuduhan pembunuhan berencana dan penggunaan surat palsu. Namun, dua hakim agung majelis kasasi Mahkamah Agung membatalkan tuduhan pembunuhan. Pandangan hukum kaum positivis merasa babak ini akhir segalanya, demi kepastian hukum.

Bagi kita, hukum harus menyibak kebenaran sehingga keadilan bisa tegak. Kepastian hukum yang menyisakan kebenaran masih sebagai misteri, keadilan pun tak hadir, dan ini tidak boleh dibiarkan.

Pencarian kebenaran

Upaya mengungkap kebenaran dalam kasus pembunuhan Munir telah menempuh semua cara yang mungkin dan tersedia. Dari segi hukum, pengajuan peninjauan kembali (PK) adalah upaya terakhir yang mungkin dilakukan kendati justifikasinya dalam prosedur keadilan bersifat problematik. Satu-satunya dasar legal utama bagi upaya PK adalah pencarian kebenaran demi keadilan itu sendiri.

Kita menyadari, upaya mengungkap kebenaran tak pernah mudah. Dan bagi kasus Munir, upaya ini telah melibatkan komitmen dan solidaritas dari begitu banyak pihak, baik oleh negara maupun warga.

Meskipun keadaan itu tidak membuatnya jadi lebih mudah, harus diakui telah membuatnya bernapas lebih panjang. Semua solidaritas dan kerja sama dari berbagai pihak itu memberi kita harapan untuk tetap bekerja, setia (fidelity), dan tidak mudah menyerah meski bukti sempurna belum juga ditemukan.

Duri yang menyakitkan

Jika dulu Presiden Yudhoyono menyatakan pengungkapan kasus Munir adalah test of our history, sampai hari ini hasilnya adalah runtuhnya benteng tirani kebisuan dan sikap tinggal diam, yang sebelumnya dengan banal memenjarakan kita.

Kasus Munir bukan hanya pembunuhan. Bukan semata kejahatan pada relasi intersubyektivitas. Ia adalah akibat perbuatan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Jika tak ada kemampuan dan kehendak kita untuk menjaga organ kekuasaan seperti intelijen atau badan publik lainnya, selamanya tubuh negara mengalami kesakitan. Jika tubuhnya kesakitan, jiwanya pun tak akan tenang.

Para pembunuh Munir adalah duri yang menyebabkan sakit itu. Mereka ada dalam daging tubuh negara kita. Duri itu telah terus mempermalukan kita dan badan-badan kekuasaan negara kita di mata dunia dan anak cucu kita. Karena itu, harus dicabut dan dibuang. Bukan hanya oleh hamba-hamba hukum, tetapi juga oleh bagian-bagian lain dari tubuh kekuasaan negara kita dan jiwa bangsa Indonesia.

Usman Hamid Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)

 

 

 


Opini            

Kamis, 30 Agustus 2007

Pentingnya Ideologi

Ivan A Hadar

Seusai peluncuran buku Making Globalization Work versi bahasa Indonesia, terjadi perdebatan antara Joseph E Stiglitz—pengarang dan peraih Nobel Ekonomi 2001—dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Boediono terkait dengan ideologi.

Sejumlah ekonom di Indonesia, kata Boediono, menuding pemerintah menjual diri demi berpegang pada ideologi liberalisme yang diusung Konsensus Washington. Namun, baginya, menjadi tidak produktif jika mencari jawaban atas persoalan riil melalui perdebatan ideologi.

Menanggapi Boediono, Stiglitz mengatakan, pragmatisme tidak dapat dilepaskan dari konteks ideologi yang menyajikan pandangan mendasar tentang bagaimana pemerintah seharusnya berperan (Kompas, 19/8).

Ketimpangan dalam globalisasi, kata Stiglitz, perlu dikelola oleh negara berkembang, dengan peran pemerintah lebih efektif dan efisien, tercermin dalam dorongan pemerintah mengembangkan industri baru, pertanian, bisnis skala kecil, dan memastikan pengelolaan sumber alam berbuah kesejahteraan bagi rakyat.

Sejarah mencatat, di satu sisi, maraknya perekonomian tidak hanya disebabkan liberalisme perdagangan. Krisis ekonomi sebelumnya pun tidak bisa diatasi pasar. Pada sisi lain, proteksionisme negara memperparah gejala krisis ketimbang memperbaikinya.

Manfaat (neo)liberal

Secara umum, konsep (neo)liberal diakui bisa bermanfaat dalam mengurangi mentalitas rent seeking birokrat. Namun, pada saat sama, ekonomi pasar murni yang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang gagal memenuhi janjinya. Kesenjangan antarnegara kaya-miskin dan antara lapis sosial dalam sebuah negara kian melebar. Tiga contoh berikut memperjelas hal itu.

Pertama, asumsi neoliberal bahwa pasar modal tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar spekulatif yang digelembungkan (spekulativer Marktaufblaehung). Fluktuasi kurs di bursa efek tidak menggambarkan kekuatan ekonomi sebenarnya dari berbagai perusahaan anggotanya. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan, bahkan dunia, seperti diperlihatkan “Krisis Asia” yang dampaknya masih terasa bagi Indonesia hingga kini.

Kedua, penelitian Prittchett (1996) membuktikan, dalam proses globalisasi yang terjadi bukan konvergensi, tetapi kesenjangan yang meluas. Pasar bebas, liberalisasi perdagangan dunia, serta investasi dan pasar modal tidak berperan dalam memperkecil kesenjangan kaya-miskin. Pemenang proses globalisasi adalah negara-negara kaya anggota OECD, sementara negara berkembang kian terpinggirkan.

Ketiga, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus diakui, kegagalan yang sama dialami negara, terutama terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ternyata, pasar seperti negara, dapat gagal.

Penyebab kegagalan pasar dan pentingnya intervensi negara terkait beberapa hal, yaitu adanya monopoli dan oligopoli, tidak sehatnya persaingan, kesenjangan ekonomi di tingkat nasional, dan global, kemiskinan, kerusakan lingkungan, serta ketidakmampuan perusahaan swasta untuk mencukupi kebutuhan publik, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Negara yang efisien

Untuk membendung dampak negatif proses globalisasi neoliberal diperlukan sebuah negara yang efisien. Namun, pada saat sama, akibat keterpenggalan antara ekonomi global dan politik nasional, sebuah kebijakan proteksionistis oleh negara diduga akan mengalami kegagalan. Bagaimana mengatasi dilema itu?

Solusinya terletak pada kian menyatunya masyarakat global, yang memunculkan berbagai lembaga ekonomi dan politik serta terbentuknya global civil society. Sebagai instansi politik terpenting, negara dapat berfungsi sebagai mediator kepentingan nasional dalam membendung dampak destruktif globalisasi. Pada saat sama, negara diharapkan berperan sebagai moderator berbagai proses dalam masyarakat sebagai instansi integrasi dan penengah yang mencegah terjadinya fragmentasi di masyarakat.

Sementara itu, kelompok kepentingan lokal dapat memperkuat berbagai faktor setempat seperti pendidikan, budaya, infrastruktur, dan mengorganisasi jaringan lokal seperti perluasan partisipasi politik, seleksi jenis investasi, dan penguatan potensi ekonomi lokal.

Pada tingkat regional, kerja sama antarnegara dalam pakta ekonomi, seperti ASEAN, bila dikelola dengan pas, bisa lebih membuka gerak bagi perdagangan sekaligus memperkuat posisi tawar dalam menghadapi persaingan global.

Terakhir, berfungsinya global governance. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama antara negara dan masyarakat sipil di tataran lokal, nasional, dan internasional. Sasarannya, reorganisasi politik dalam semua tataran aksi melawan logika pasar murni. Negara, masyarakat sipil, dan global governance, idealnya bersekutu membendung dominasi pasar dan ekonomi serta mengurangi dampak buruknya. Kegagalan pasar global, seperti kesenjangan antarnegara dan antarkelompok masyarakat, kemiskinan, pengangguran, dan krisis lingkungan hidup tidak saja menuntut negara yang efektif dan efisien, terutama dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Dari semua argumentasi itu, terlihat betapa pentingnya ideologi.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

 

 

 


Opini            

Kamis, 30 Agustus 2007

Kerja Sama

Pakta Pertahanan Indonesia-Malaysia Telah Lama Beroperasi

F Djoko Poerwoko

Kita terus disibukkan oleh masalah Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang telah ditandatangani di Bali, 27 Maret 2007, antara Indonesia dan Singapura. Meski belum beroperasi karena masih menunggu peraturan pelaksanaan (implementation agreement) yang sedang digodok, suara pro dan kontra masih terus berlangsung.

Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau DCA yang jauh dari pengertian operasi militer ini selalu dikaitkan dengan permasalahan kedaulatan dan harga diri bangsa. Sementara itu, soal pertahanan (udara) antara Indonesia dan Malaysia yang telah beroperasi puluhan tahun yang lalu dengan sandi Operasi Pertahanan Udara Terkoordinasi—yang lebih dikenal dengan sebutan Operasi Hanud Terkoordinasi Malindo—berlangsung aman-aman saja.

Dalam operasi yang berlangsung sepanjang tahun ini, masing-masing pihak menempatkan seorang perwira menengah (pamen) dan seorang bintara secara timbal balik. Personel yang disebut sebagai liaison officer ini akan berada di dalam kabin dan bertugas sebagai pengendali operasi pertahanan udara.

Dengan demikian, seorang pamen TNI AU ditempatkan di kabin radar hanud Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) di SOC-I/Butterwort, demikian juga pamen TUDM berada di Kosek-III/Medan sebagai salah satu operator radar kita.

Penempatan operator militer asing (TUDM) dalam subsistem pertahanan udara kita bukan serta-merta tanpa kajian. Diawali saat digelar latihan bersama (latma) Elang Malindo I/75 di Butterwort, Malaysia, dan dilanjutkan saat latma Elang Malindo II/77 di Madiun, Indonesia, kajian dan aplikasi terus dikembangkan.

Latma disepakati akan selalu dilanjutkan setiap dua tahun sekali dengan tempat bergantian hingga didapat konsep awal prosedur tetap Malindo. Salah satu prosedur tersebut adalah operasi hanud yang diwujudkan dengan operasi hanud di daerah sepadan (perbatasan) antara Malaysia dan Indonesia, yaitu ruang udara di Selat Malaka.

Menyikapi konsep operasi hanud terkoordinasi ini, organisasi Kohanudnas sebagai otoritas tunggal penegak kedaulatan di udara dikembangkan dengan dibentuknya Komando Sektor Pertahanan Udara-III (Kosek – III/Medan) sebagai counter part SOC-I/Butterwort TUDM.

Pernah tidak mesra

Hubungan antara Malaysia (dulu bernama Malaya, merdeka dari Inggris tanggal 31 Agustus 1957) dan Indonesia tidak selalu mesra. Puncaknya saat Inggris berencana melebur negeri Semenanjung Malaya dengan Brunei, Sarawak, Sabah, dan Singapura dalam Federasi Malaysia. Rencana pembentukan Malaysia ini diterjemahkan Indonesia sebagai konsep imperialis dan untuk itu harus dibubarkan.

Awal tahun 1963, Indonesia mengambil sikap terbuka menolak kelahiran Malaysia dan pertengahan April tahun yang sama sukarelawan Indonesia mulai disusupkan masuk ke Serawak dan Sabah untuk propaganda dan sabotase.

Niat nyata Indonesia juga dikumandangkan Presiden RI Bung Karno dengan mengeluarkan maklumat yang dikenal dengan Dwikora pada tanggal 27 Juli 1963.

Meskipun akhirnya Federasi Malaysia jadi dibentuk pada tanggal 16 September 1963, Brunei tidak jadi bergabung dan Singapura keluar setelah dua tahun bergabung (9 Agustus 1965). Terbentuknya Malaysia membuat Indonesia meningkatkan tekanan militernya, tercatat mulai tahun 1964 infiltrasi ditingkatkan dan perang perbatasan di Kalimantan berkobar.

Keterlibatan militer Indonesia mulai terlihat Agustus 1964 saat pasukan para diterjunkan di Johor disusul 2 September diterjunkan di Labis dan 29 Oktober mendarat di Pontian. Semuanya di semenanjung. Sebagai imbangan, Malaysia meminta pasukan Australia untuk ditempatkan di Kalimantan Utara awal tahun 1965 menjadikan jumlah pasukan Persemakmuran meningkat menjadi 14.000 orang.

Akhiri konflik

Fakta sejarah mencatat sejak 28 Mei 1966 antara Indonesia dan Malaysia sepakat mengakhiri konflik, bahkan kedua negara ini nantinya menjadi inspirator terbentuknya ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967.

Hubungan mesra antara Indonesia dan Malaysia juga diwujudkan dengan pengiriman personel secara timbal balik serta latihan bersama bidang militer yang diawali latma Elang Malindo pada tahun 1975, diikuti matra laut dalam latma Malindo Jaya dan matra darat dalam Kekar Malindo.

Bukan hanya itu saja. Antarketiga matra juga digelar latihan dengan sandi Latgabma Darsasa Malindo yang bermakna Latihan Gabungan Bersama Darat, Samudra, dan Angkasa antara Malaysia dan Indonesia. Format latihan ini tidak pernah dilakukan Indonesia dengan negara lain.

Yang nyata adalah dalam keseharian antara TNI AU dan TUDM telah melakukan operasi bersama di ruang udara Selat Malaka. Mereka saling mengirimkan data operasi berupa cross telling. Apabila perlu, melakukan handling over atau mempersilakan pesawat tempurnya melakukan hot pursuit jika ada ancaman nyata.

Jika kita telaah, bukankah Operasi Hanud Terkoordinasi ini merupakan salah satu format pakta pertahanan yang hingga kini tetap berlangsung dan sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak serta tidak diributkan.

Kasus Sipadan-Ligitan dan Ambalat yang sempat mencuat dapat diselesaikan dengan semangat ASEAN antarnegara serumpun ini.

“Selamat pesta emas Pak Cik…!” karena tanggal 31 Agustus ini Malaysia genap berusia 50 tahun dan seharusnya kita tambah mesra dengan negara tetangga.

F Djoko Poerwoko Pemerhati Militer

 

 

 


Opini            

Kamis, 30 Agustus 2007

Memperkuat Negara

Eko Prasojo

Bangsa Indonesia menghadapi masalah besar kenegaraan. Berbagai masalah muncul, mulai dari penyakit korupsi, dinamika politik yang tidak menentu, sampai buruknya aneka pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu memberi pertanyaan, “mampukah kita bernegara?”

Pertanyaan ini relevan diulas karena setelah 62 tahun merdeka, ternyata Indonesia belum mampu mengatasi aneka krisis, terutama upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Negara yang kuat

Kuatnya sebuah negara memiliki aneka dimensi. Fukuyama, misalnya, membagi kekuatan negara dalam dua hal, 1) sejauh mana lingkup fungsi yang dijalankan negara. 2) Kemampuan negara merumuskan, menjalankan, dan menegakkan berbagai kebijakan yang dibuat (Fukuyama, 2004).

Dalam lingkup fungsi, pertanyaan dasar yang diajukan adalah apakah negara harus menjalankan sendiri semua fungsinya, mulai dari menyediakan keteraturan publik dan mengatasi serangan dari luar sampai regulasi industri dan redistribusi kekayaan. Dalam dimensi kekuatan/kemampuan negara, pertanyaan dasar yang diajukan adalah apakah negara berkemampuan merumuskan dan menegakkan aneka kebijakan secara konsisten, menjalankan administrasi negara secara efisien dan efektif dengan birokrasi minimal, mengontrol korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), memelihara transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara dan pemerintah, serta, yang utama, menegakkan hukum.

Dalam praktik bernegara di Indonesia, jika menggunakan kacamata dimensi Fukuyama, negara ini dicirikan oleh lingkup fungsi yang luas, meski dengan keterbatasan kemampuan/kekuatan. Justru di sini awal dan sumber aneka persoalan, yaitu fungsi negara yang luas tidak diiringi kemampuan negara untuk menyediakan berbagai kebutuhan dasar publik dan lemahnya penegakan hukum.

Negara gagal melindungi kaum miskin dan meningkatkan keadilan karena kondisi birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif serta hilangnya sumber kekayaan negara karena tidak terkontrolnya penyakit KKN oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Kasus BLBI yang tidak pernah jelas terungkap amat mengindikasikan rendahnya akuntabilitas lembaga pemerintah, ketidakmampuan negara menegakkan hukum dan mengontrol KKN. Akibat yang ditimbulkan adalah kemiskinan menjadi-jadi dan ketidakadilan kaya-miskin kian meningkat.

Tiga sumber penyakit negara

Mungkin kita dapat menyebut negara ini sebagai negara kepentingan karena ukuran kebijakan dan penegakan hukum amat ditentukan oleh siapa mendapatkan apa (who gets what?). Bahkan korupsi pun dapat terjadi secara legal-formal melalui proses kebijakan yang sah. Jelas amat sulit mengurai dari mana dan bagaimana upaya kita memperkuat negara. Namun, mengetahui sumber penyakit negara, setidaknya akan membantu memberi therapy yang cocok. Saya berpandangan, sumber penyakit yang menyebakan lemahnya negara ini dapat diurai dalam tiga hal.

Pertama, lemahnya sistem politik. Bangunan sebuah negara yang kuat ditopang sistem politik yang kuat. Kini, sistem politik Indonesia sedang mengalami radang yang parah. Hal ini diindikasikan dengan perubahan paradigma dan fungsi partai politik. Partai politik tidak lagi menjadi instrumen dalam pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan.

Partai politik tidak memiliki political merit system yang kuat. Maksudnya, partai politik yang memiliki ideologi perjuangan yang jelas dan sistem kaderisasi memadai. Puncak kebobrokan sistem nilai politik ini adalah indikasi kecenderungan menjadikan partai politik sebagai “perusahaan” tempat orang mencari nafkah, memenuhi ambisi, dan kepentingan pribadi. Negara ini menjadi lemah karena bangunan partai politik yang rapuh. Pembelajaran politik terhadap masyarakat akhirnya tidak berjalan. Partai politik, yang menjadi satu-satunya tulang punggung kehidupan demokrasi, tidak diikuti penguatan political merit system dan modernisasi pengelolaan partai politik. Kekuasaan partai politik menjadi tidak terbatas. Hal ini akan mengancam keberlangsungan kehidupan negara yang demokratis dan menyebabkan political corruption dalam kehidupan bernegara.

Kedua, lemahnya penegakan hukum. Hal ini juga disorot Fukuyama untuk kuatnya sebuah negara. Sudah menjadi rahasia umum, penegakan hukum di Indonesia amat diwarnai KKN. Kesulitannya, upaya untuk memperkuat negara harus dimulai dengan menegakkan hukum terhadap aparat penegak hukum itu sendiri. Kita menyebut ini sebagai judicial corruption karena upaya pemberantasan korupsi yang terjadi dalam birokrasi dan politik justru mengakibatkan korupsi baru dalam wilayah peradilan. Jadi, korupsi memicu efek domino korupsi. Hal ini tidak saja membuat hilangnya kepercayaan dan penghormatan masyarakat terhadap hukum, tetapi juga pembiaran terus-menerus terhadap tiap pelanggaran hukum. Jika hukum sebagai rule of the game kehidupan bernegara tidak dipatuhi, fondasi apalagi yang dapat mempertahankan sebuah negara.

Ketiga, birokrasi yang kacau. Masalah ketiga adalah mesin negara yang tidak efisien, tidak efektif, korup, dan tidak sensitif. Kegagalan pembangunan sering disebabkan ketidakmampuan negara mereformasi birokrasinya. Hal sama terjadi untuk Indonesia. Birokrasi sebagai mesin negara, terkooptasi kepentingan politik sehingga dipenuhi budaya kekuasaan, bukan sebaliknya: budaya pelayanan. Kondisi ini menimbulkan korupsi dalam birokrasi (kleptokrasi). Pertautan dan perkawinan antara political corruption, judicial corruption dan bureaucratic corruption telah menyebabkan lumpuhnya fungsi negara.

Pertanyaan berikut, masih mampukah kita bernegara?

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI

 

 

 


Opini            

Jumat, 31 Agustus 2007

Hakim dan Mafia Peradilan

HENDARDI

Saat merayakan Ulang Tahun Ke-62 Mahkamah Agung, 20 Agustus lalu, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyatakan bantahan atas kondisi lembaga negara yang dipimpinnya, yang dinilai pihak lain sarat “mafia peradilan” dan tidak independen seperti tujuh atau delapan tahun lalu.

Sebaliknya, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas mengungkapkan banyaknya laporan yang diterima lembaganya dari korban ataupun pengacara yang menandakan masih maraknya mafia peradilan. Bahkan hasil survei Transparency International (TI) memperkuat dugaan suap berasal dari aparat pengadilan (Kompas, 21/8/2007).

Hakim dan korupsi

Aparat pengadilan atau kehakiman di Indonesia terus disorot, baik dalam menangani perkara melawan hukum (pidana) maupun sengketa (perdata). Sorotan ini terkait apakah para hakim menjadi bagian perbuatan melawan hukum atau memutus perkara secara jujur (fair) dan independen berdasar bukti kuat?

Jika sebagian hakim dinilai tidak jujur atau tidak independen dalam memutus perkara, dugaan bahwa mereka ambil bagian dalam perbuatan melawan hukum atau dicampuri pihak lain tampaknya sulit dibantah.

Salah satu perbuatan itu—seperti terungkap dalam survei TI—adalah suap. Jika disebut inisiatif suap berasal dari hakim, tampaknya harus diklarifikasi, benarkah perbuatan itu adalah suap atau justru pemerasan?

Suap bukan inisiatif pihak yang menerima, melainkan pihak lain yang memberi uang untuk membebaskan atau meringankan dakwaan ataupun memenangkan atau menguntungkan salah satu pihak dalam suatu gugatan perdata. Hakim yang diduga menerima suap jelas bukan inisiator. Suap berarti inisiatornya bisa berasal dari terdakwa atau tergugat/penggugat serta bisa pula dari pengacara.

Inisiatif penerima uang atau barang lain dapat digolongkan tindakan pemerasan. Maka, para hakim yang menjadi inisiator atas penerimaan seperti ini dapat dikatakan sebagai pemeras. Dalam perkara pidana, pemerasan hakim atas terdakwa. Dalam perkara perdata, pemerasan hakim atas tergugat atau penggugat.

Selain perkara korupsi atas terdakwa Probosutedjo yang sempat mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruangan kantor Ketua MA, perkara korupsi PT Jamsostek atas terdakwa Ahmad Djunaidi juga ditandai reaksi pelemparan alas kaki oleh terdakwa yang kesal atas putusan yang tidak sesuai dengan bayaran yang diberikan.

Berdasar hasil-hasil survei, perilaku suap, pemerasan, dan “dagang perkara” yang melibatkan hakim menduduki peringkat korupsi tertinggi dalam lembaga peradilan. Kusutnya masalah ini kerap disebut “mafia peradilan”.

Maraknya mafia

Mafia dalam aparat pengadilan diduga lebih marak di bawah kepemimpinan Bagir Manan seperti diungkap Wakil Ketua Kerukunan Keluarga Purnbhakti Hakim Agung (KKPHA) Benjamin Mangkoedilaga. Pendapat ini didukung Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) juga anggota DPR Benny K Harman (Kompas, 22/8/2007).

Maraknya “mafia peradilan” menimbulkan keprihatinan atas kondisi lembaga peradilan dari berbagai kalangan masyarakat, terutama saat mereka berurusan dengan pengadilan dan bertalian dengan aktivitas bantuan hukum. Kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah dan DPR untuk bertindak dalam memperbaiki sistem peradilan.

Meski demikian, amat penting memperjelas mengapa “mafia peradilan” diduga lebih marak pascareformasi?

Pertama, kewenangan (baca: kekuasaan) hakim menguat atau meningkat seiring dengan berkurangnya intervensi pemerintah atas proses pengadilan. Pandangan Lord Acton, “kekuasaan cenderung korup” (power is tend corrupt), tampaknya sulit dihindarkan. Aparat pengadilan lebih leluasa “mengatur” perkara tanpa perlu mendasarkan kepada bukti-bukti yang menguatkan dalam merancang putusan.

Kedua, adanya kewenangan yang lebih independen itu tidak didukung dengan undang-undang yang ketat atas operasi kekuasaan kehakiman. Para hakim agung dengan gampang dapat memperpanjang usia pensiunnya sendiri, bahkan tanpa perlu menunjukkan apa prestasinya, sementara perkara di MA justru menumpuk. Draf putusan hakim pun bisa “dijual” kepada pihak yang berperkara.

Ketiga, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga masih lemah secara prinsip karena tak menggunakan pembuktian terbalik. Dari mana sumber kekayaan hakim tak dapat diperiksa atau ditelusuri sejauh tak ada indikasi kuat atas tindak pidana yang ditangani aparat penegak hukum. Kasus suap Probosutedjo, yang diduga melibatkan hakim agung, kini praktis berhenti tanpa penjelasan dari KPK.

Keempat, fungsi pengawasan yang dijalankan KY saat memantau perilaku hakim dalam menangani perkara, yang terungkap justru tidak bersifat untuk ditindaklanjuti. Bahkan dengan mudah fungsi KY dibalas dengan tuduhan “mencemarkan nama baik” oleh sejumlah hakim. Seolah fungsi KY dinilai sebagai lembaga yang merusak citra korps hakim.

Soal “mafia peradilan” perlu menjadi tantangan pemerintah dan DPR, bagaimana mengubah atau memperbaiki kondisi lembaga peradilan di bawah kewenangan MA. Jika lembaga ini masih terus dipandang berbagai kalangan sarat mafia peradilan, wibawa dan kepercayaan atasnya akan terus merosot.

HENDARDI Dewan Pengurus Setara Institute for Democracy and Peace

 

 

 


Opini            

Jumat, 31 Agustus 2007

Revitalisasi Puskesmas

Handrawan Nadesul

Halaman depan harian ini mengungkap temuan Litbang Kompas ihwal ketidakterjangkauan ratusan puskesmas oleh masyarakatnya. Diungkap pula, tak gampang mengajak tenaga dokter bersedia ditempatkan di daerah terpencil (Kompas, 23/8).

Fakta itu perlu dibeberkan mengingat puskesmas adalah ujung tombak berhasil-tidaknya pembangunan kesehatan. Itu pula sebab salah satu indikator kualitas bangsa, sebut saja human development index (HDI), kita masih di urutan bawah.

Minimal ada tiga masalah. Pertama, tidak semua puskesmas melaksanakan lebih dari 10 programnya. Kedua, maladistribusi tenaga dokter belum tertuntaskan. Ketiga, sejak otonomi daerah, tidak semua wilayah berorientasi pembangunan kesehatan dasar (primary health care).

Bukan rumah sakit

Konsep puskesmas seharusnya menjemput bola. Perannya bukan seperti rumah sakit yang menunggu pasien berkunjung. Untuk daerah terpencil yang sulit terjangkau, puskesmas harus lebih mendekat ke masyarakat agar mereka tidak telanjur sakit.

Bila masyarakat tidak dibina, mereka rentan jatuh sakit. Puskesmas dinilai gagal jika pasien yang berobat bertambah banyak. Apalagi jika penyakitnya itu-itu lagi dan terjangkit kasus endemis diare, malaria, demam berdarah, yang masih di situ-situ lagi.

Agar masyarakat lebih sehat, lebih dari 10 program preventif, promotif, dan rehabilitatif harus dijalankan. Pengobatan cuma satu dari 10 program dengan target agar masyarakat tak sakit. Idealnya, dokter puskesmas berada di lapangan selama tiga perempat jam kerja, bukan duduk menunggu pasien datang.

Tidak semua lulusan dokter mengusung idealisme karena menjadi dokter puskesmas hanya batu loncatan agar bisa mengambil spesialisasi. Apalagi, motivasi mayoritas lulusan dokter tak penuh demi menyehatkan masyarakat. Jadi program puskesmas tak selalu berjalan mulus. Konsep bagus, (primary health care), tetapi implementasinya buruk.

Bukan obat murah, pun bukan layanan medis yang harus ditingkatkan, tetapi masyarakat harus diberdayakan hidup sehat. Solusi kesehatan akar rumput lebih pada jamban, selokan, dan air bersih karena di situ masalah kesehatan lapisan bawah bermula. Termasuk meningkatkan gizi.

Untuk memberdayakan masyarakat agar tak sakit, perlu banyak penyuluhan (komunikasi, informasi, edukasi). Rantai di hulu harus dipotong agar masyarakat batal sakit. Memberi obat murah atau rumah sakit gratis berarti menunggu masyarakat telanjur sakit di hilir.

Puskesmas bertugas memutus rantai penyakit sejak di hulu, bukan menunggu setelah telanjur tiba di hilir. Akibat perilaku masyarakat telanjur tak sehat, tugas pemerintah bertambah berat, anggaran habis buat beli obat.

Tak perlu dokter

Ada tiga hal mengapa dari dulu tak mudah menarik lulusan dokter bekerja di puskesmas. Pertama, penghargaan pemerintah tak memadai. Dokter di Thailand dan India brain-drain, ada kecemburuan profesi, sekolah sama-sama susah dengan sejawat di negara maju, tetapi penghasilannya jauh berbeda.

Kedua, pendidikan dokter kita tidak menyiapkan lulusan untuk siap bekerja di puskesmas. Kelewat banyak ilmu di bangsal tak terpakai. Dokter puskesmas lebih bersifat manajerial dan butuh bekal ilmu-ilmu sosial. Lulusan sarjana kesehatan masyarakat (SKM) dinilai lebih tepat. Selain lulusannya lebih berkompeten bekerja di lapangan, sekolah SKM tak semahal dokter. Layanan medis didelegasikan kepada paramedis.

Ketiga, memberi insentif kepada dokter puskesmas belum tentu menyelesaikan meratanya distribusi layanan puskesmas. Rusia sejak awal memotivasi calon dokter bersedia menjadi dokter lapangan (“bare foot” doctor). Mereka disiapkan membangun kesehatan masyarakat. Namun, tak ada sanksi buat dokter puskesmas kita yang kurang bersungguh-sungguh menjalankan tugas.

Revitalisasi puskesmas

Sektor kesehatan kita dianggap ongkos, bukan investasi. Maka kita terlambat mengangkat masyarakat menjadi sumber daya manusia unggul produktif karena tidak menyemai hidup sehat, yang dituai masyarakat rentan sakit, tak diberdayakan sehat.

Solusi prioritas layanan “jalur lambat” untuk masyarakat papa bukan urusan medis teknis, tetapi mendorong membuat jamban, memperbaiki sanitasi, dan tersedianya air bersih, lalu menyuluh hidup sehat. Peran radio dan televisi ala kelompencapir bisa menjadi pilihan efektif.

Peran puskesmas perlu dibugarkan. Kebijakan otonomi daerah menghadirkan kembali kader kesehatan dan posyandu. Dipertimbangkan tenaga SKM menggantikan dokter puskesmas karena SKM lebih kapabel membina masyarakat. Dengan begitu, tak perlu ada lagi puskesmas yang tidur, atau bekerja separuh hati.

HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pernah Memegang Tiga Puskesmas

 

 

 


Opini            

Kamis, 30 Agustus 2007

Pangan
Lahan Pertanian Abadi

Khudori

Salah satu persoalan besar bangsa di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga. Jika KB berhasil, pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa.

Agar semua perut kenyang, dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang 11,6 juta hektar, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektar. Ini pekerjaan yang mahaberat.

Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena deraan kemiskinan, konversi lahan pertanian berlangsung kian masif. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar, tetapi empat tahun terakhir melonjak 145.000 hektar per tahun.

Lahan pertanian terancam punah. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada 2004 luas sawah 8,9 juta hektar: 7,31 juta hektar beririgasi dan 1,45 juta hektar nonirigasi. Dari sawah irigasi yang subur, 3,099 juta hektar hendak dikonversi oleh pemerintah daerah. Dari jumlah itu, 1,67 juta hektar (53,8 persen) merupakan sawah beririgasi di Jawa dan Bali. Jika permintaan itu diluluskan BPN, akan menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.

Selama ini 56-60 persen produksi padi bertumpu pada sawah-sawah yang subur di Jawa. Didukung irigasi teknis, sawah di Jawa memiliki produktivitas tinggi (51,87 kuintal/hektar) ketimbang di luar Jawa (39,43 kuintal/hektar).

Jika konversi lahan tak terkendali, surplus beras di Jawa tidak akan terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian jobless (kehilangan pekerjaan), jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ini semua akan membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota.

Pertumbuhan ekonomi, transformasi struktur ekonomi dan laju pertambahan penduduk yang tinggi merupakan determinan utama konversi lahan pertanian. Semua itu membutuhkan tapakan lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi juga mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan nonpertanian. Perpaduan antara permintaan dan rente lahan nonpertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi lahan berjalan masif.

Pertanyaannya, apakah skenario konversi dalam jangka panjang (secara ekonomi dan lingkungan) merupakan pilihan paling efisien? Adakah alternatif lain agar konversi lahan tidak menyebabkan pengorbanan yang lebih tinggi ketimbang manfaat (sesaat)?

Sebagai negara berpenduduk besar, pangan adalah soal hidup-mati. Saat ini kemiskinan masih 37,17 juta jiwa (16,58 persen) dan penderita gizi buruk 2,3 juta jiwa. Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi pangan domestik merosot, lalu kita tergantung dari pangan impor. Sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan harganya tidak stabil. Bergantung pada pangan impor jelas tidak menguntungkan.

Ditilik dari sisi mana pun, konversi sawah (beririgasi) amat tidak menguntungkan. Menurut Bulog, setiap satu hektar sawah di Jawa dikonversi hilang 4.000 dollar AS untuk membuat kebun beras. Dengan laju konversi 145.000 hektar/tahun, lenyap nilai 580 juta dollar AS dan 1,3 juta ton gabah per tahun.

Kerugian kian besar apabila biaya pemeliharaan sistem irigasi dan rekayasa kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto dari Pusat Studi Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar Rp 210 juta pada 2005. Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri input, dan sektor pedesaan lain.

Sawah terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti, suhu udara meningkat, kemungkinan erosi, banjir dan longsor lebih besar, kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Demikian juga keindahan alam, bio-diversity dan kebudayaan perdesaan cepat punah, bahkan akan muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.

Dampak berganda konversi itu tidak pernah disadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat (tangible). Padahal, sawah mempunyai multifungsi, yaitu menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, serta mempertahankan nilai-nilai sosial budaya perdesaan. Fungsi ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tidak mudah dikenali (intangible).

Sudah banyak peraturan dibuat untuk mencegah konversi, tetapi semuanya mandul. Untuk mengatasi ini, penentuan lahan pertanian abadi, seperti diatur RUU Lahan Pertanian Abadi yang dibahas DPR, perlu segera ditunaikan.

Lahan abadi diutamakan pada lahan utama, yakni lahan beririgasi, produktivitas tinggi dan berindeks pertanaman lebih dari dua. Konversi lahan utama tetap dimungkinkan, tetapi dengan kompensasi tinggi. Tanpa ini, konversi akan meruyak karena sawah dinilai terlalu murah (undervalue).

Khudori Peminat Masalah Sosial- Ekonomi Pertanian, Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember

 

 

 


Opini            

Selasa, 28 Agustus 2007

Parkir Uang Korupsi?

Indriyanto Seno Adji

Polemik realisasi setor uang pengganti menjadi berkepanjangan. Departemen Keuangan memberi versi berbeda tentang besaran setor uang pengganti dengan versi yang diajukan Kejaksaan Agung.

Keseriusan pemerintah mengatasi polemik ini terlihat dari peringatan Wapres, agar tidak terjadi korupsi ganda dalam pengelolaan dana pengganti dan uang kerugian yang dikelola dan dilaporkan ke Departemen Keuangan (Depkeu) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kejaksaan Agung (Kejagung) harus menyusun, membuat laporan transparan, dan memenuhi prinsip akuntabilitas.

Status uang sitaan

Sebenarnya ada pemahaman keliru tentang penempatan uang ke kas Kejagung yang menimbulkan polemik tentang pemaknaan status uang sitaan dan uang pengganti. Bahkan makna uang kerugian tidak dikenal dalam tindak pidana korupsi.

Pemahaman uang yang akan disetor ke kas negara dalam perkara korupsi sebagai dwang middelen (upaya paksa). Uang yang disita dari seseorang karena diduga terkait atau berasal dari tindak pidana korupsi. Penyitaan dilakukan penegak hukum guna mencegah pencucian uang melalui penyamaran asal-usul uang itu sehingga diperlukan tindakan paksa berupa penyitaan. Umumnya, uang sitaan ditempatkan pada rekening penegak hukum atau distatuskan sebagai penitipan bahkan dilakukan pemblokiran oleh bank atas permintaan penegak hukum. Penitipan dilakukan hingga ada kejelasan berkekuatan hukum tetap dari pengadilan tentang terbukti atau tidaknya pelaku melakukan korupsi.

Jika terbukti melakukan korupsi, uang sitaan dieksekusi, menjadi milik negara. Terpidana harus menyetorkannya ke kas negara, bukan oleh penegak hukum. Praktik atas eksekusi setor uang pengganti pernah dilakukan Abdullah Puteh (mantan Gubernur Aceh) sehingga tidak pernah ada status parkir terhadap uang pengganti.

Polemik lain adalah potensi terjadinya korupsi ganda yang dalam makna hukum sebagai penggelapan uang negara oleh aparatur negara. Dari kedua bentuk uang itu, uang sitaan dan uang pengganti memiliki potensi korupsi ganda jika terjadi kekeliruan dalam mengelola administrasi keuangan tanpa ada prinsip akuntabilitas dan transparansi kelembagaan.

Status uang sitaan yang diparkir dalam rekening kejaksaan berpotensi melahirkan korupsi ganda (penggelapan jabatan) jika terdakwa dibebaskan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dan status uang sitaan itu raib tak jelas rimbanya. Atau jika benar terdakwa dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dan status uang sitaan tidak disetor ke kas negara oleh kejaksaan.

Atas status uang pengganti, potensi terjadinya korupsi ganda akan sulit mengingat eksekusi setor uang pengganti dilakukan terpidana (keluarganya) sendiri.

Kendala

Penegak hukum sering menghadapi kendala dalam mengeksekusi uang pengganti karena diskriminasi regulasi tindak pidana korupsi atas eksekusi uang pengganti. Di satu sisi, dengan UU Nomor 3 Tahun 1971, eksekusi atas kekurangan uang pengganti dilakukan melalui gugatan perdata berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung 1985. Inilah kegagalan yang sering ditemui penegak hukum karena gugatan perdata memiliki kompleksitas sistem pembuktian yang berbeda dengan hukum pidana. Selain itu, gugatan perdata menyita waktu puluhan tahun sehingga wajar terjadi akumulasi kuantitas.

Di sisi lain, UU Nomor 31 Tahun 1999 memberi legalitas penyitaan harta kekayaan terpidana sebagai eksekusi uang pengganti. Mekanisme ini mempercepat eksekusi uang pengganti dari terpidana secara langsung karena regulasi tidak mengatur teknis mekanisme pelaksanaan eksekusi uang pengganti. Praktik menyerahkan pelaksanaan eksekusi uang pengganti kepada terpidana (keluarganya), seperti kasus Abdullah Puteh, Probosutedjo, atau Beddu Amang, untuk menghindari potensi korupsi ganda atau penggelapan jabatan seperti dimaksud Pasal 8 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Di era reformasi yang penuh kehendak memberantas korupsi, yang diperlukan tidak hanya keterbukaan lembaga penegak hukum (Polri, Kejagung, dan KPK), tetapi sinergi dengan institusi negara lainnya, seperti Depkeu, BPK, atau BPKP, untuk menunjukkan sikap transparan dan akuntabilitas publik.

Dengan demikian, institusi keuangan dapat membantu menyelesaikan masalah, bukan menimbulkan polemik tanpa arah yang mengaburkan semangat memberantas korupsi institusional.

Indriyanto Seno Adji Pengajar Program Pascasarja Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI

 

 

 


Opini            

Selasa, 28 Agustus 2007

Menyangsikan Corak Globalisasi

B Herry Priyono

Agustus adalah bulan sibuk dengan wacana kebangsaan. Dan beberapa tahun ini, wacana kebangsaan yang muncul setiap bulan Agustus berisi kecemasan yang dihantui satu istilah besar: globalisasi.

Tidak jelas apa yang dicemaskan dari globalisasi. Namun, agaknya kecemasan itu menunjuk suasana ini: sebagai bangsa kita merasa tertimpa kekuatan raksasa yang beroperasi seluas bola dunia, entah itu daya kultural, ekonomi, finansial, politik, atau teknologi. Bagi sebagian, cara menanggapinya adalah berbicara di mana-mana tentang kompetisi. Sebagian lain menanggapi dengan meratapi situasi ketertimpaan itu. Lainnya lagi bermimpi mengeruk keuntungan sebesar mungkin dengan mendirikan sekolah-sekolah global, tanpa peduli tujuan pendidikan. Namun, kaitan antara soal kebangsaan dan globalisasi tetap saja menjadi teka-teki.

Alkisah, saat Jakarta sedang riuh rendah dengan pilkada, 8 Agustus 2007, Bank Pembangunan Asia (ADB) mengeluarkan laporan Key Indicators 2007 yang mungkin dapat digunakan untuk memahami watak globalisasi saat ini. Dalam laporan dengan statistik amat kaya itu, dikenali ada dua kecenderungan yang tidak disebutkan. Pertama, selama ini kita terlalu merayakan globalisasi tanpa cukup melakukan kritik. Kedua, ambivalensi (watak mendua) globalisasi di Asia tampil amat telanjang.

Perayaan berlebihan

Mirip di kawasan Asia, kita di Indonesia menanggapi globalisasi seperti anak kecil mendapat mainan baru, lalu berhari-hari mulut, tangan, dan perilakunya heboh dengan itu. Bagi orang dewasa, kehebohan itu jenaka dan memesona. Namun, orang dewasa mengerti, kehebohan itu adalah bentuk obsesi. Sayang, kerumunan perilaku sebuah bangsa tidak sama dengan perilaku seorang manusia. Lebih mudah membangunkan seorang anak dari obsesi daripada sebuah bangsa dari ilusi.

Laporan ADB 2007 berjudul Kesenjangan di Asia dapat membangunkan kita dari heboh kekanak-kanakan terhadap globalisasi. Dalam bahasa ADB yang amat sopan, kesenjangan yang kian tajam di Asia “bukan kisah kaum kaya yang kian kaya dan kaum miskin yang makin miskin, tetapi kisah tentang kaum kaya yang menjadi kaya lebih cepat daripada kaum miskin”. Dari berbagai penyebab, corak globalisasi saat ini dilihat sebagai salah satu faktor penting. Ciri globalisasi apa yang membuat kesenjangan kian tajam?

“Sebab-akibat” (kausalitas) dalam ilmu-ilmu sosial tentu istilah licin; biasanya hanya ditunjuk melalui indikator. Contoh jelas yang diajukan adalah pola di India. Globalisasi—terkait reformasi ekonomi pasar dan teknologi—telah menciptakan bias yang melumpuhkan kaum yang buta huruf dengan idiom global. ADB menyebutnya “teknologi dengan bias keterampilan” global (skill biased technologies). Artinya, kita yang terdidik dengan idiom kultural dan teknologi global punya akses jauh lebih besar pada globalisasi. Maka globalisasi jauh terlihat sebagai berkah ketimbang kutuk. Sebaliknya, kita yang tidak fasih dengan kinerja global akan merasakan globalisasi sebagai kutuk.

Agaknya, itulah yang menjelaskan mengapa kelompok pertama lebih cepat kaya daripada kelompok kedua. Namun, bukankah pola itu sudah jelas dengan sendirinya bahkan ketika kata “globalisasi” baru mulai menjadi buah-bibir? Yang menawan, ADB menunjukkan pola itu dalam perbandingan seluruh Asia. Ada tiga pokok yang mungkin berguna untuk mengubah pemahaman kita tentang globalisasi.

Pertama, klaim globalisasi menguntungkan semua orang adalah klaim yang datang atau dari kenaifan atau dari kepentingan yang harus dipertahankan. Kepentingan itu bisa berupa keterdidikan kita dalam idiom global dan bisa pula keuntungan ekonomi, kultural, politik, dan teknologi yang kita raup dari proses globalisasi.

Kedua, pokok itu memaksa kita mengakui berlakunya induk segala klise: globalisasi dalam coraknya seperti sekarang berisi janji ekonomi-politik “tetesan ke bawah”. Ia berupa janji, berkah globalisasi bagi kaum miskin akan menetes ke bawah jika, hanya jika, kelompok-kelompok yang paling diuntungkan kinerja globalisasi dalam coraknya seperti sekarang tetap mengendalikan jalannya globalisasi. Maka yang kemudian terjadi adalah tirani status quo, agar berkah menetes pada kaum miskin, globalisasi harus tetap berlangsung dalam coraknya seperti sekarang.

Ketiga, cara berpikir ganjil itu yang rupanya menuntun kita untuk terlalu merayakan globalisasi. Apa yang dimaksud “merayakan” adalah cara menanggapi dengan eforia dalam gejala yang terjadi. Dalam suasana itu, pendekatan kritis tidak dilihat sebagai kesungguhan untuk membuat globalisasi menjadi bagian integral hidup kita, tetapi dilihat sebagai sikap antiglobalisasi. Namun, mengapa kritik atas globalisasi begitu perlu?

Ambivalensi globalisasi

Seperti gejala lain di bawah langit, globalisasi punya wajah mendua, baik dan buruk. Mengapa harus memakai istilah moral “baik” dan “buruk”? Itu karena apa yang terjadi dalam globalisasi menyangkut tindakan manusia dengan implikasinya pada hidup bersama. Andai globalisasi adalah peristiwa seperti gempa tektonik, dan bukan akibat tindakan manusia, tak ada soal baik dan buruk.

Contoh kecil mungkin berguna. Bagi keluarga buruh, revolusi harga murah yang terlibat dalam globalisasi ekonomi adalah berkah. Maka, harga sepatu sekolah yang kian murah bagi anak seorang buruh umumnya disebut baik. Namun, proses kemudahan relokasi industri sepatu yang terlibat revolusi harga murah itu mempermudah PHK ayah anak itu. Itu terjadi dalam keluarga yang sama. Mengapa harga murah sepatu umumnya disebut baik, sedangkan PHK buruh umumnya disebut buruk? Itulah ambivalensi globalisasi.

Ambivalensi itu tidak akan lenyap. Itu menunjukkan, dalam proses globalisasi terlibat simpang siur gejala yang tidak seragam, bahkan gejala satu bertentangan dengan gejala lain. Ambivalensi antara murahnya harga sepatu dan mudahnya PHK buruh dalam keluarga yang sama adalah contohnya. Dalam kisah ambivalensi seperti inilah Laporan ADB 2007 mengisyaratkan, kita di Indonesia terlalu merayakan globalisasi dan sama sekali belum cukup menganggap serius ambivalensi globalisasi. Kita masih dalam eforia, dan itu terjadi di bidang teknologi, ekonomi, keuangan, politik, ataupun kultural.

Mengingat globalisasi selalu berwatak ambivalen, kritik terhadap corak globalisasi yang kini berlangsung merupakan tuntutan yang tak bisa ditawar. Kritik-kritik itu diperlukan tidak dalam rangka “pro” atau “anti” (karena kedua posisi itu sama-sama mematikan diri), tetapi agar berbagai kebijakan publik yang menyangkut titik temu antara persoalan kebangsaan dan globalisasi tidak dibuat dan dilakukan atas dasar eforia dan kenaifan.

Mengapa terlalu merayakan globalisasi dan naif atas ciri ambivalen globalisasi itu fatal untuk proyek kebangsaan? Lantaran ruang bagi gagasan kian sempit, jawabnya hanya bisa dibuat hemat: karena para tuan besar globalisasi tidak peduli apakah Indonesia terbentuk sebagai bangsa, sedangkan kita terpaksa peduli secara kritis atas corak globalisasi yang berlangsung saat ini.

Globalisasi adalah kisah tentang asimetri.

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta

 

 

 


Opini            

Selasa, 28 Agustus 2007

Roh Prajurit TNI di Alam Demokrasi

Sagom Tamboen

Profesionalisme TNI tampaknya tidak henti-hentinya menghadapi ujian, terutama dihadapkan pada wacana penggunaan hak pilih prajurit TNI dalam Pemilihan Umum 2009.

Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto dalam berbagai kesempatan mengatakan, TNI belum mengambil keputusan. Survei Mabes TNI mengindikasikan, sebagian besar responden prajurit TNI memilih untuk tidak menggunakan hak pilih. Adapun responden eksternal dari kalangan nonmiliter tidak sedikit yang menginginkan agar prajurit TNI ikut memilih dalam pemilu mendatang. Hasil survei diametral ini menarik dikaji lebih dalam.

Tentara profesional

Sejak proses reformasi internal TNI bergulir bersama arus reformasi nasional, upaya TNI untuk menempatkan dirinya secara tepat dalam kehidupan bernegara terus mendapatkan ujian. Mulai dari reposisi TNI untuk tidak lagi bermain di ranah politik, penghapusan peran Dwifungsi ABRI, penarikan TNI dari legislatif pada tahun 2004, serta reorganisasi dan reaktualisasi peran TNI merupakan proses yang terus berlanjut. Dengan wacana penggunaan hak memilih oleh prajurit TNI pada pemilu yang akan datang, diperkirakan akan memengaruhi soliditas TNI. Indikasi terkotak-kotaknya prajurit TNI mengikuti warna-warni partai politik akan sulit dihindari sehingga konsistensi untuk menempatkan diri secara total menjaga bangsa dan negara menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan.

Arah yang hendak dituju TNI sesungguhnya hanya menjadikan prajurit TNI sebagai tentara profesional yang mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan tegas mengamanatkan arti dan makna tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.

Membentuk TNI yang profesional dan dedikatif yang menjadi tekad Panglima TNI seperti yang dikemukakan saat mengikuti fit and proper test tidak bisa terlepas dari konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pengaruh dari sistem dan dinamika perpolitikan nasional. Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan TNI dengan jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional untuk selalu dapat dicerminkan dalam pola pikir dan pola tindaknya.

Ahli filsafat Clausewitz menyatakan bahwa perang diselenggarakan oleh tritunggal antara pemerintah, militer, dan rakyat. Pemerintah menetapkan tujuan politik, militer menyiapkan diri sebagai sarana mencapai tujuan politik, sedangkan rakyat sebagai pendukung perang. Mengabaikan salah satu unsur tersebut akan berpengaruh pada perang itu sendiri. Oleh karenanya, pemberian otoritas kepada militer untuk melaksanakan keputusan politik haruslah merupakan jalan terakhir yang sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan secara matang.

Sejalan dengan pandangan tersebut, TNI memiliki garis pembatas yang sangat tegas dalam ranah politik. Selaku alat negara, maka politik TNI adalah politik negara, bukan politik kelompok atau politik partai. Hal ini jelas menuntut agar TNI senantiasa mengedepankan profesionalisme dalam mengimplementasikan perannya sebagai bagian dari sistem kenegaraan. Dinamika politik yang sarat dengan kepentingan dan kecenderungan tarik-menarik antarelite politik harus dapat disikapi secara arif untuk menghindari keterjerumusan TNI pada situasi pelik.

Oleh karena itu, TNI harus selalu berpegang teguh pada prinsip untuk menempatkan kepentingan negara di atas segala kepentingan demi menjaga tetap kokohnya persatuan dan kesatuan. Mengambil posisi netral di antara seluruh partai politik. Bila nanti TNI diberi hak untuk memilih, diperlukan rambu-rambu yang mengaturnya untuk dapat mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat merugikan TNI, bangsa, dan negara.

Menisbikan peran politik sebagaimana proses yang telah dilakukan saat ini sebagai bagian dari reformasi internal akan mendorong prajurit TNI untuk tumbuh dengan dimensi profesionalisme yang semakin menguat. Kenyataan memang tidak bisa dimungkiri bahwa relasi dan kohesi sipil-militer dalam masa transisi demokrasi saat ini belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang optimal. Karenanya untuk mencapai tingkat profesionalisme TNI yang diinginkan bersama memerlukan kerja keras dan kerja cerdas bukan saja oleh TNI sendiri, tetapi juga oleh segenap bangsa.

Ketergantungan tentara pada kebijakan yang dibuat oleh negara merupakan keharusan yang sulit dielakkan dalam menentukan sikapnya, termasuk pemberian hak memilih bagi prajurit TNI yang nantinya dapat disikapi secara beragam, tergantung dari sudut pandang masing-masing yang melihatnya. Ketika kepentingan partai politik terdukung oleh kehadiran TNI, maka pemberian hak memilih bagi prajurit TNI akan dinilai positif. Sebaliknya apabila dianggap merugikan kelompoknya, maka kehadiran TNI akan dinilai negatif. Politik bermuka dua seperti inilah yang harus diwaspadai agar TNI tidak terombang-ambing akibat kepentingan pihak lain.

Karena itu, TNI cenderung memilih untuk lebih memacu pihak sipil untuk memberikan dorongan guna memfokuskan peran TNI selaku alat pertahanan negara. Memikirkan pengalokasian anggaran militer yang memadai guna peningkatan kekuatan dan kemampuan alat utama sistem senjata dengan tidak melupakan aspek kesejahteraan prajurit dan keluarganya.

Sumpah prajurit vs demokrasi

Sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, prajurit TNI umumnya tidak menggunakan hak pilihnya. Sejak pemilu tahun 2004 muncul wacana untuk menggunakannya dengan berbagai argumen yang saling berseberangan. Sudah barang tentu kita tidak menghendaki pertarungan argumen itu berlangsung dalam arena yang tidak di-manage dan dihitung untung-ruginya terlebih dahulu.

Pembiaran yang lahir dari sikap apatis dan ketidakmampuan kita menghitung untung rugi dari penggunaan hak pilih prajurit TNI akan dapat berujung pada kerugian yang harus dibayar mahal oleh generasi berikutnya. Kebebasan pemberian suara oleh setiap warga negara yang memiliki hak memang bersifat hakiki. Karenanya bila prajurit TNI tidak menggunakan hak pilih bisa berkonotasi telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan membeda-bedakan hak antara prajurit TNI dan sesama warga negara.

Perlu pemahaman mendalam bahwa seorang prajurit TNI mempunyai sifat bawaan yang melekat dan membedakannya dengan warga negara lain. Sifat yang terbentuk bersamaan dengan pembentukan dan pengembangan serta kehidupan prajurit TNI yang akhirnya sudah merupakan kultur yang mungkin sulit dipahami oleh kalangan di luar TNI. Satu ciri yang kental dalam kehidupan TNI, antara lain keseragaman dalam satu unit kerja. Meskipun satu sama lain memiliki perbedaan karena sejak awal mereka berasal dari berbagai ragam suku dan karakter, tetapi irama kehidupan sudah menyatu untuk bersama-sama menuju arah dan tujuan yang akan dicapai satuannya.

Dari gambaran ini bisa kita bayangkan suasana psikologis yang terjadi dalam satu unit kerja bila atasan dan bawahan atau antar-unit kerja memiliki aspirasi politik yang berbeda. Perbedaan aspirasi, terutama aspirasi politik yang terjadi akibat kesepakatan yang dibuat bersama, akan menjadi sesuatu hal yang rawan bila dihadapkan pada kultur TNI yang dituntut kekompakannya dalam menjalani kehidupan di satuan dan kepatuhan pada perintah kedinasan.

Kita harus ekstra hati-hati dalam menentukan pilihan menyangkut posisi TNI. Pilihan yang seyogianya tidak boleh mengorbankan profesionalisme serta soliditas TNI. Apabila terjadi friksi bernuansa politik sekecil apa pun itu, pasti akan dapat berakibat pada penurunan profesionalisme prajurit. Loyalitas prajurit pada keputusan pimpinan serta kultur prajurit yang selalu penuh keseragaman dan berada dalam satu komando akan berseberangan dengan kebebasan berbeda pendapat.

Butir ketiga Sumpah Prajurit berbunyi, “Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan”, sudah tertanam dalam hati sanubari setiap prajurit TNI. Akan sulit bagi mereka untuk mengartikulasikan hak demokrasinya sebagaimana warga negara lainnya. Jika pemberian hak pilih dijalankan sesuai jaminan undang-undang, hal ini akan menjadi embrio pembangkangan prajurit kepada atasan, institusi, dan sumpahnya. Adakah toleransi terhadap pembangkangan dalam kehidupan kemiliteran sekalipun konteksnya untuk pembelajaran dalam alam demokrasi? Sungguh dilematis.

Satu kesatuan militer akan sangat rawan ketika di dalamnya terdapat lebih dari satu panutan. Apabila setiap partai politik masuk dan mencoba memengaruhi alam pikiran prajurit dengan kampanyenya masing-masing, tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Ruwet dan mengacaukan. Akan banyak waktu prajurit terbuang untuk melayani para politikus yang datang “sowan”. Apakah para prajurit dalam kesatuan tersebut akan dapat tetap memelihara soliditasnya bila hati mereka telah diwarnai begitu banyak perbedaan? Pertarungan antara roh keprajuritan dan kebebasan mengartikulasikan hak politik seorang prajurit dalam pemilu pun dimulai. Siapa pemenang pertarungan? Apakah prajurit atau institusi TNI? Segenap bangsa Indonesia perlu mencari jawabannya.

Akhirnya, sungguh diperlukan kearifan untuk memutuskan pemberian hak memilih bagi prajurit TNI dalam pemilu mendatang. Satu keputusan yang diharapkan dapat tetap menjamin profesionalisme, soliditas, dan dedikasi prajurit dalam mempertahankan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa Indonesia.

Sagom Tamboen Marsekal Muda TNI, Kepala Puspen TNI

 

 

 


Opini

Selasa, 28 Agustus 2007

Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Bambang Heru

Badan Pusat Statistik atau BPS merilis produk domestik bruto triwulan II-2007 (15/8). Pertumbuhan ekonomi triwulan itu mencapai 6,28 persen (year on year triwulan II), capaian tertinggi sejak krisis.

Dengan inflasi 6,06 persen (year on year Juli 2007) dan bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang menurun, capaian itu mengindikasikan perekonomian makro membaik. Namun, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia belum berkualitas karena belum menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan (Media Indonesia, 20/7). Mungkinkah pertumbuhan 6,8 persen seperti target pemerintah mampu mengurangi kemiskinan?

Makna berkualitas, paling tidak mencakup makna mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Kenyataannya, masih banyak orang menganggur dan miskin. Karena itu, perlu ciri investasi keberpihakan kepada mereka, tanpa mengekang investasi bagi yang besar.

Kepercayaan

Pada sisi lain, kini trust mulai menghilang dari bangsa ini. Orangtua tidak percaya kepada yang muda, pimpinan kehilangan kepercayaan terhadap bawahannya dan sebaliknya, masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, perbankan mengalami krisis kepercayaan terhadap “pengusaha” mikro dan kecil. Lembaga itu lebih percaya terhadap “yang besar” meski kemungkinan kerugiannya juga besar (kasus BLBI).

Sudah menjadi keniscayaan jika pemerintah menyediakan barang/jasa publik demi kemaslahatan masyarakat. “Pengusaha” mikro—yang tuna agunan finansial—diberi akses berupa dukungan trust untuk mendapat kredit perbankan. Kredit itu mengejawantahkan pemberian akses pada faktor produksi berupa entrepreneurship bagi si kecil. Kebijakan itu memberi kesempatan penduduk miskin menolong diri sendiri. Dapat dilihat di media, “orang kecil” terbukti lebih takut terlibat masalah hukum ketimbang “orang besar”. Mereka selalu mengeluh jika ditanya cara mendapat kredit permodalan.

Dengan cara ini, masyarakat yang sedang menganggur dan miskin dapat berusaha. Pemerintah tidak harus menyediakan uang cash dalam APBN/APBD, tetapi menganggarkan pada tahun berikut jika tahun berjalan ada “tunggakan merah”.

Data historis

Menurut publikasi BPS, Tabel Input-Output Indonesia 1980, persentase nilai tambah di sektor primer—tempat masyarakat miskin, terutama di sektor pertanian—mengambil porsi 50,53 persen, tetapi persentase pekerjanya 55,50 persen. Jika angka pertama dibagi angka kedua, hasilnya 0,91. Dari tabel tahun 2000 (Tabel Input-Output terakhir BPS, tabel 2005 belum dipublikasikan) hasil bagi itu sebesar 0,59. Perbandingan angka 1980 dan 2000 bermakna persentase nilai tambah per kapita pekerja di sektor primer menurun signifikan, terjadi pemiskinan.

Sebaliknya, perbandingan yang sama pada sektor sekunder—tempat masyarakat lebih “kaya”—menunjukkan dua hal.

Rasio-rasio itu selain jauh lebih tinggi juga meningkat signifikan (150 tahun 1980 dan 195 tahun 2000). Angka-angka itu menyiratkan masyarakat yang bekerja di sektor sekunder lebih sejahtera dan makin sejahtera selama kurun waktu itu.

Gambaran pekerja di sektor tersier tidak terlalu berbeda dengan gambaran sektor sekunder. Artinya, pekerja, dan keluarganya, di sektor ini lebih baik.

Sektor primer meski berkontribusi besar tetapi masih lebih kecil dibanding gabungan sektor sekunder dan tersier. Pertumbuhan dua sektor terakhir harus terus didorong tetapi tanpa mengabaikan sektor primer.

Target pertumbuhan 6,8 persen tidak akan berarti apa-apa jika penduduk miskin tidak diberi akses faktor produksi. Toh, akhirnya mereka tidak berhak atas nilai tambah perekonomian. Tetap miskin. Tahun 1995 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8,07 persen. Namun, dua tahun kemudian, ekonomi krisis menyisakan jurang besar kaya dan miskin.

Dari aspek pertumbuhan ekonomi, kebijakan yang memihak penduduk miskin (pro-poor) akan “mengganggu” besaran pertumbuhan karena sektor primer berkontribusi tinggi dalam struktur ekonomi. Pemberian kredit untuk usaha yang dianggap kurang efisien seperti tidak relevan. Namun, pemberian bantuan semacam BLT (bantuan langsung tunai), atau bantuan yang berupa transfer lain, malah membebani kumulatif nilai tambah yang sudah tercipta (belum kerepotan dalam implementasinya).

Dengan pemberian akses pada faktor produksi bagi si miskin, selain pertumbuhan ekonomi berkualitas, dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang lebih berwawasan kebangsaan. Pertumbuhan ekonomi yang “mengerti” masalah bangsa: pengangguran dan kemiskinan.

Bambang Heru Kepala Subdirektorat Konsolidasi Neraca Regional, BPS

 

 

 


Opini            

Selasa, 28 Agustus 2007

Pendapatan Keluarga dan Kualitas Anak

Razali Ritonga

Laporan pernyataan anak- anak sedunia 2007 menyebutkan, pembangunan kesetaraan gender akan berjalan seiring dengan capaian pembangunan milenium atau MDGs.

Pernyataan itu dapat dimaknai, perempuan sebagai katalis perubahan sekaligus patut dicermati karena belum pupusnya diskriminasi atas perempuan di Tanah Air. Indikasinya, capaian pembangunan manusia berbasis gender yang lebih rendah dari pembangunan manusia umumnya. Tahun 2005, indeks pembangunan manusia (IPM) 69,6, sedangkan indeks pembangunan berbasis gender (IPG) 65,1, selisih 4,5 poin (BPS, 2006).

Ekonomi dan sosial

Belum tercapainya kesetaraan gender terefleksi secara ekonomi maupun sosial.

Secara ekonomi, ketidaksetaraan tercermin dari rendahnya partisipasi dan produktivitas perempuan, berakibat hilangnya peluang peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Menurut survei ESCAP, Indonesia berpotensi kehilangan 2,4 miliar dollar AS setahun karena tidak optimalnya partisipasi perempuan (Kompas, 21/4).

Secara sosial, ketidaksetaraan tercermin dari rendahnya kualitas hidup perempuan, khususnya pada aspek kesehatan dan pendidikan (Koran Tempo, 21/12/2005). Pada gilirannya, hal itu berpengaruh negatif terhadap tumbuh-kembang anak.

Pada aspek fisik, anak yang lahir dari ibu dengan kualitas hidup rendah berpotensi memiliki berat badan lahir rendah (BBLR), kurang dari 2.500 gram. Diduga ada 300.000-400.000 bayi lahir per tahun di Tanah Air dengan berat badan rendah (Untoro, 2005). Anak dengan kondisi demikian, jika tidak ditangani serius akan mengalami kematian atau keterlambatan perkembangan fisik dan kecerdasan.

Tak heran, angka kematian bayi (AKB) di Tanah Air masih terbilang tinggi, lebih tinggi dari beberapa negara anggota ASEAN. Adapun AKB di Indonesia sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di Brunei Darussalam 8,0 persen, Singapura 3,0 persen, Malaysia 10 persen, Vietnam 16 persen, Thailand 18 persen, dan Filipina 25 persen (http://www.childinfo.org/areas/childmortality/infantdata.php, April 2007).

Selain berisiko kematian tinggi, kondisi pendidikan anak juga memprihatinkan. Sekitar 12 per 1.000 anak usia 16-18 tahun menyandang buta huruf. Secara keseluruhan, sembilan dari setiap 100 orang penduduk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 90,9 persen menyandang buta huruf pada 2005. Sementara rata-rata lama sekolah hanya 7,3 tahun (BPS, 2006).

Pendapatan keluarga

Salah satu penyebab tingginya AKB dan rendahnya pendidikan anak di Tanah Air adalah faktor non-teknis, berupa kurangnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Ini termanifestasi dalam kontrol pendapatan rumah tangga (control the cash).

Diperkirakan, kian besar control the cash, kualitas anak kian meningkat. Pengalaman di Brasilia, Brasil, menunjukkan, perempuan yang memiliki control the cash menyebabkan perbaikan status gizi keluarga tujuh kali lebih besar dibanding jika control the cash dilakukan laki-laki. Hal itu berakibat peluang anak yang dilahirkan bertahan hidup menjadi 20 kali lebih besar (UNDP, 1996).

Control the cash bagi perempuan diperkirakan tidak hanya pada konsumsi pangan, tetapi juga pendidikan dan kesehatan anak. Hal ini bersentuhan dengan pembangunan manusia.

Atas dasar itu, sebenarnya banyak kasus kematian dan ketelantaran pendidikan anak dapat dicegah. Namun, hal itu sering tidak dapat dilakukan karena faktor control the cash. Untuk mencegah tiga penyakit utama penyebab kematian anak, pneumonia, diare, dan malaria, misalnya, ternyata amat murah.

USAID (2007) melaporkan, biaya pencegahan pneumonia dengan antibiotika 25 sen dollar AS (Rp 2.340). Biaya pencegahan diare dengan oralit 6 sen dollar AS (Rp 540). Biaya pencegahan malaria dengan pil antimalaria 12 sen dollar AS (Rp 1.080).

Terkait kebijakan pemerintah meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH), control the cash terasa kian penting. Diketahui, pemerintah mengucurkan bantuan cash pada rumah tangga amat miskin bersyarat pendidikan dan kesehatan. Bantuan dengan tujuan meringankan beban menyekolahkan anak dan pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan balita itu dikhawatirkan tidak sampai ke sasaran, jika tidak diikuti peningkatan peran perempuan dalam control the cash.

Karena itu, diperlukan komitmen semua pihak guna meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga berupa control the cash. Peningkatan peran itu tidak harus dari pemerintah, tetapi berawal dari rumah tangga. Sikap keluarga yang kurang memanusiakan anggota keluarga perempuan secara akumulasi akan mendistorsi kualitas anak bangsa. Karena itu, masa depan bangsa amat ditentukan bagaimana kita memperlakukan perempuan.

Razali Ritonga Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik, BPS

 

 

 

Leave a comment